Lentera Hati

By Alfia_ramadhan11

488K 60K 63.5K

Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bert... More

PROLOG
01. Keramaian yang Asing
02. Prajurit Udara
03. Tentang Perempuan dan Kemuliaannya
4. Calon Suami?
05. Perihal Keseriusan
06. Dia Cuek Karena Paham Agama
07. Pesona Laki-laki Jawa
08. Lamaran Dadakan?
09. Air Show
11. Orang Lama atau Orang baru?
12. Drama Selebgram
13. Diambang Kebingungan
14. Anak Perempuan yang Beruntung
15. Melaporkan Kasus
16. Kehilangan Restu

10. Memadamkan untuk Menghidupkan

21.1K 3.2K 3.9K
By Alfia_ramadhan11

بسم الله الرحمن الرحيم

"Aku memang bukan perempuan yang baik, tapi sedikitpun aku tidak pernah mempunyai niatan untuk merebut kebahagiaan perempuan lain demi kebahagiaan saya sendiri. Aku tidak akan tenang jika harus bahagia di atas luka perempuan lain."

—Arsyila Farzana Ghaziullah El-Zein—

.
.
Jangan lupa vote yaaa! kalau nggak jangan salahkan kalau tiba-tiba di unpublish:)

Bismillah... tenang dulu, Zana. Zana masih memilih diam, menenangkan dirinya, menstabilkan degup jantungnya, tak peduli perempuan di hadapannya ini menatap dengan intens, seolah menginginkan respon cepat setelah apa yang dia ceritakan.

"Mbak mungkin kaget dengan apa yang saya katakan, tapi memang itulah faktanya, Mbak," ujarnya kemudian, mengetahui Zana sepertinya masih enggan berbicara.

"Jadi kalian sudah pernah berpacaran berapa lama?" akhirnya pertanyaan itu terucap dari lisan Zana.

"Tiga tahun, Mbak," jawab perempuan itu sendu. "Saya dan Mas Ghazi berpacaran sejak kelas 1 SMA dan putus menjelang ujian kelulusan," sambungnya memberikan detail.

Zana mengangguk mendengarnya. "Lalu—"

"Tapi walaupun kami putus, sebenarnya kami masih saling mencintai. Saya diam-diam tetap menemui Mas Ghazi dan memberinya semangat setelah tau ternyata alasan Mas Ghazi tidak melanjutkan kuliah, karena Mas Ghazi sedang mempersiapkan diri mengikuti seleksi masuk Akademi Angkatan Udara," perempuan itu memotong perkataan Zana.

"Setelah itu kalian kembali bersama?" tanya Zana.

Fara, perempuan itu menggeleng. "Tidak, Mbak. Tapi Mas Ghazi berjanji akan kembali setelah dia diterima, dia akan menemui ayah saya dan meminta restu," jawabnya. "Mas Ghazi menepati janji itu, kita berhubungan jarak jauh selama Mas Ghazi menjalani pendidikan. Sesekali kita bertemu untuk menikmati waktu bersama. Namun saat Mas Ghazi berada di tingkat empat, mendekati Praspa, dia menjauh dari saya dan kita lost contact karena waktu itu keluarga saya pindah ke luar kota. Sampai akhirnya saya mendengar kabar jika Mas Ghazi melamar Mbak," sambungnya, Fara menghela napas.

Zana memejamkan matanya, ada perasaan bersalah setelah mendengar cerita Fara. Zana memang tidak pernah berniat merebut Ghazi dari siapapun. Ghazi yang datang menemui sang ayah untuk melamarnya. Bahkan Zana sendiri tidak menyangka ternyata Ghazi benar-benar serius. Tapi sebagai seorang perempuan, dia mengerti perasaan Fara.

"Mbak Fara, wallahi, saya tidak pernah berniat untuk merebut Lettu Ghazi dari Mbak Fara atau siapapun itu. Saya bertemu Lettu Ghazi belum lama ini. Saya tidak tahu apapun soal masa lalunya. Saya bahkan tidak menyangka jika dia melamar saya," Zana memberikan penjelasan, juga pembelaan untuk dirinya.

Fara mengangguk. "Maka dari itu, saya percaya Mbak Zana perempuan baik. Sekarang Mbak sudah tau semuanya. Jadi Mbak bersedia menjauh dari Mas Ghazi, kan?"

"Jika Mbak bersedia, akan lebih mudah bagi saya untuk menemui Mas Ghazi dan memperbaiki semuanya. Saya mohon... apakah saya perlu bersujud supaya Mbak mau merelakan Mas Ghazi?" Fara memohon. Perempuan itu bangkit dari duduknya dan hendak merendah di hadapan Zana.

"Mbak Fara, jangan seperti ini. Tidak enak dilihat banyak orang." Zana segera berdiri dan meraih tangan Fara membantunya kembali berdiri.

Beberapa orang sudah mulai menyadari keberadaan Zana dan Fara, mereka mulai memperbincangkan mereka.

"Saya minta tolong, jangan seperti itu lagi, ya?"

"Jadi Mbak Zana sudah bersedia?" Fara tampak sumringah.

Zana terdiam beberapa saat. "Saya juga mau mendengar dari Lettu Ghazi. Sebaiknya masalah ini dibicarakan baik-baik, dilihat dan didengar dari dua sudut pandang agar lebih adil," jawabnya tegas.

"Jadi Mbak Zana tidak percaya pada saya?"

"Mbak Fara tidak perlu takut jika yang Anda bicarakan tadi benar. Saya hanya ingin mendengar dari Lettu Ghazi juga. Setelahnya baru saya bisa mempertimbangkan," jawab Zana tersenyum simpul.

Fara tak menyangka Zana akan berkata demikian. Fara salah, ia pikir Zana adalah gadis lemah dan hanya bisa menurut, tapi nyatanya tidak. Zana bahkan bisa berkata tegas, padahal awalnya dia tampak menyedihkan, layaknya seseorang tak berdaya yang dilabrak.

"Mbak Zan—"

"Mari ikut saya. Lettu Ghazi sedang bersama Kakak saya. Nanti saya minta Kakak saya menjauh dulu."

"Mbak Zana tunggu... Ini saya punya bukti foto saya bersama Mas Ghazi," Fara mencegah Zana. Perempuan itu mengambil ponsel dari dalam tasnya, kemudian menyusul Zana yang sudah beberapa langkah di depannya.

"Ini foto saya dan Mas Ghazi saat dia sedang pesiar. Dia yang membelikan tiket kereta saya ke Jogja dan dia memberi saya kejutan ulang tahun." Fara menunjukkan foto laki-laki berseragam taruna dan dirinya, perempuan yang memegang bunga, mereka tampak berada di sebuah restoran. "Sayangnya foto aslinya hilang. Ini saya ambil di arsip story instagram saya. Karena waktu itu gaya pacaran kami, privat but not secret," sambungnya.

Zana mengangguk seraya memperhatikan foto itu beberapa detik. Dan saat itu juga ia menemukan kejanggalan. Tapi Zana memilih diam dan mengiyakan saja.

Lah, ngangguk doang? Batin Fara kesal.

"Mari Mbak Fara, ikut saya," ajak Zana lagi.

"Eumm, saya ke kamar mandi dulu ya. Mbak beritahu saja lokasinya, nanti saya menyusul."

Zana mengangguk. "Kalau begitu di sini saja. Biar saya yang panggil Lettu Ghazi ke sini."

"I—Iya, boleh," jawab Fara tampak gugup. "Oke, kalau gitu saya permisi dulu." Kemudian ia beranjak meninggalkan Zana.

Zana tersenyum. "Enggak, kamu nggak salah, Zana. Kamu nggak pernah berniat merebut Lettu Ghazi dari siapapun. Kita akan tahu faktanya setelah mendengar dari Lettu Ghazi," lirihnya seraya memegangi dadanya.

Ya, walaupun Zana belum menyatakan untuk menerima lamaran Ghazi, tapi jawaban baik itu sudah ada di lubuk hatinya.

Saat tadi Zana bersikap tegas, namun tak dapat dipungkiri ada perasaan gelisah. Bagaimana jika yang dikatakan Fara benar? Apa dia akan gagal memulai hubungan lagi? Setelah gagal karena Ghafi pergi, akankah akan gagal lagi karena masa lalu Ghazi kembali?

Akankah masa lalu tetap menjadi pemenangnya?

Semua itu berkecamuk dalam pikiran Zana. Namun apapun itu, dia yakin bahwa jodoh sudah ditetapkan, tidak akan tertukar.

*****

Terdengar suara kran menyala dari salah satu bilik kamar mandi. Sementara sang empu tampak fokus menatap layar ponselnya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Ya, air kran itu dibiarkan menyala begitu saja agar dia punya waktu di dalam kamar mandi selagi menyelesaikan urusannya.

"Semoga Tante bisa membantu," lirihnya seraya menarik napas dan menghembuskannya berulang kali.

*****

"Farzan, kenalin ini Bian, junior saya," Ghazi memperkenalkan Bian kepada Farzan.

"Bian, Bang," Bian menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Farzan.

"Eh jangan panggil Bang. Kayaknya kita seumuran. Saya 99."

"Iya sama, saya juga 99, nggak nyangka sudah 25 tahun menapakkan kaki di Bumi yang dirahmati Allah ini," balas Bian dramatis.

"Saya 28 tahun, lebih lama saya. Berarti saya paling tua, ya?" Ghazi terkekeh.

"Tapi Abang kelihatan seumuran sama kita, Bang," jawab Farzan.

"Iya bener tuh, Bang," sahut Bian.

"Boleh hiburannya." Mereka bertiga terkekeh.

Saat ini mereka bertiga sedang duduk berbincang-bincang di sebuah gazebo dengan Ghazi dan Bian yang masih memakai pakaian dinas terbang. Mereka tampak akrab padahal baru bertemu. Begitulah laki-laki, mudah akrab dengan siapapun. Mulai dari membicarakan bola sampai masalah di negeri ini, semuanya diperbincangkan.

"Dinas di mana kau, Zan?" tanya Bian.

"Masih di Polres Metro, Jakarta. Tapi bentar lagi pindah ke Magelang. Alhamdulillah jadi sekota lagi sama Ayah. Kapan-kapan main ke Magelang."

"Siap, siap! Tapi tinggal di asrama Akmil atau gimana?"

"Nggak, ada rumah sendiri dekat sana. Soalnya sudah punya istri dan sebentar lagi punya buntut, jadi rumah sendiri aja," jawab Farzan. "Kalau mau main-main ke Akmil, ikut Bang Ghazi aja nanti. Iya, kan, Bang?" Farzan menoleh pada Ghazi.

"Iya, boleh," jawab Ghazi. "Nanti saya bantu bilang ke Komandan, butuh temen," sambungnya terkekeh.

"Wah, boleh juga, Bang!" Bian sumringah.

"Tapi saya masih heran, kok bisa sih Bang Ghazi suka sama kembaran saya yang nyebelin itu? Asal Abang tau, dia itu cerewet banget. Apalagi kalau sudah ngomel, sakit kuping saya," Farzan mengusap-usap telinganya.

Ghazi terkekeh. "Zana cerewet, ya?"

"Banget, Bang. Memang Abang siap dengan dengerin cerewetnya 24/7 nanti?"

Ghazi tersenyum. "Saya suka perempuan cerewet karena dia akan menjadi calon ibu yang baik bagi anak-anak saya nantinya. Perempuan yang pintar bicara akan lebih mudah mendidik anak-anaknya. Akui sajalah, laki-laki, termasuk saya kadang malas bicara. Nggak terbayang nanti kalau dua-duanya malas bicara, anak-anaknya gimana?"

"Bahkan penelitian sudah membuktikan kalau kemampuan verbal perempuan jauh lebih baik dari laki-laki. Jadi, nggak masalah kalau istri saya nantinya cerewet, karena memang itulah tabiat perempuan," sambungnya.

Jawaban Ghazi benar-benar diluar prediksi. Farzan dan Bian yang mendengarnya sontak melongo. Terutama Bian, karena dia belum menikah. Sementara Farzan akhirnya setuju juga dengan jawaban Ghazi.

"Abang lulus ujian pertanyaan jebakan saya. Saya jadi makin yakin dan tennag kalau nanti Zana hidup bersama Abang,' Farzan tersenyum.

"Kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, tolong jaga Zana ya, Bang. Dia sudah melewati kesulitan sebelum bertemu Abang, jadi tolong pastikan dia bahagia ya, Bang..." ujarnya pada Ghazi. Mendadak suasana menjadi lebih haru.

Ghazi mengangguk kemudian menepuk pundak Farzan. "Kamu sebagai saudara laki-lakinya pasti selalu menjaga, menyayangi dan berusaha membuatnya bahagia sejak kecil. Lalu saya siapa berani menyakiti dia?"

Farzan tersenyum. "Makasih, Bang."

"Ghazi, Ibumu lagi video call sama Papa, kamu ikut?" Tiba-tiba Tante Ratna datang menghampiri Ghazi.

"Nggih, Ma, aku ikut. Sebentar lagi aku nyusul," jawab Ghazi.

"Yaudah, jangan lama-lama ya, ditunggu."

"Iya, Ma..."

Akhirnya Ghazi berpamitan pada Farzan dan Bian untuk menemui Komandan Teddy agar bisa ikut video call dengan ibunya.

Sesaat setelah Ghazi pergi, Zana datang menghampiri Farzan dan Bian yang masih berbincang-bincang di gazebo.

"Oppa, Lettu Ghazi mana?" tanya Zana langsung to the point.

"Ciee... ngapain nyariin Bang Ghazi?" goda Farzan seraya mengedipkan-ngedipkan matanya.

"Oppa, nggak bercanda ih. Ada hal penting," Zana mengayun-ayunkan pundak Farzan.

"Hal penting apa sih? Bang Ghazi barusan dipanggil Budenya, katanya mau video call sama ibunya."

"Ooohhh," walaupun sedikit kecewa karena Ghazi tak bisa dipanggil secepatnya, namun Zana tetap berusaha bersabar. Ia tidak mungkin menganggu Ghazi saat sedang berkomunikasi dengan orang tuanya.

"Ada apa, Na? Hal penting apa?"

"Nggak usah kepo. Kalau gitu, bye!"

Zana memang tak berniat memberi tau kepada siapapun perihal ini. Ia tidak ingin keluarganya tau sebelum ia tau kebenaranya. Ayah dan kakaknya pasti marah jika tau ada yang melabraknya. Urusannya akan semakin panjang dan rumit, jadi Zana akan coba selesaikan sendiri, sampai benar-benar jelas.

Zana akhirnya kembali ke tempat dimana ia dan Fara bertemu. Benar saja, Fara juga sudah berada di sana.

"Gimana, Mbak? Mas Ghazi sudah mau datang ke sini?" tanya Fara seraya tersenyum, dia tampak tenang, tidak seperti tadi.

"Lettu Ghazi sedang bersama Pakde dan Budenya, jadi belum bisa dipanggil ke sini. Kita tunggu dulu, ya..."

Fara mengangguk. "Boleh," balasnya.

Setelah itu suasana hening, tidak ada pembicaraan apapun diantara mereka walaupun duduk berdampingan, hanya berjarak beberapa sentimeter saja.

"Mbak Zana pernah dengar ini nggak? Jangan pernah memadamkan kebahagiaan orang lain demi menghidupkan kebahagiaan sendiri," ujar Fara tiba-tiba.

"Iya, saya tau," balas Zana.

"Semoga tidak hanya menjadi pengetahuan ya, Mbak, tapi juga dilakukan. Kadang kita nggak perlu sadar, tanpa sadarpun bisa jadi kita sudah memadamkan kebahagiaan orang lain."

"Maksudnya saya yang memadamkan kebahagiaan orang lain demi menghidupkan kebahagiaan saya sendiri?"

"Akhirnya sadar juga," Fara berucap lirih.

"Saya memang bukan perempuan yang baik, tapi sedikitpun saya tidak pernah mempunyai niatan untuk merebut kebahagiaan perempuan lain demi kebahagiaan saya sendiri. Saya tidak akan tenang jika harus bahagia di atas luka perempuan lain."

"Jadi Mbak Fara tenang saja, saya juga bukan perempuan rendahan yang akan mengemis cinta laki-laki yang tidak menginginkan saya. Saya yakin dan percaya Allah sudah mengatur urusan jodoh. Jika Lettu Ghazi memang ditakdirkan untuk Mbak Fara, dia tidak akan menjadi milik saya sampai kapanpun. Tapi sebaliknya, kalau memang Lettu Ghazi tidak ditakdirkan untuk Mbak Fara, mau seberapa banyak dan besar usahanya, dia tidak akan pernah menjadi milik Mbak Fara."
_________________________________________




Menyala Zanaa🔥🔥

Sukaa sama ketegasan Zana, menurut kalian gimana?

Coba tebak gimana respon Ghazi nantinya?

Apakah kapal Zana Ghazi akan karam dan beralih Ghazi Fara?
_______

Oh iya, aku mau menginformasikan di sini kalau besok akan ada PO Photocard Zana dan Ghazi👇🏻

_______

Spam Menyala Zana🔥

Spam Lentera Hati

Spam Next

2.5k vote dan 3k komen for next!

Continue Reading

You'll Also Like

934 240 8
[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA!!! ] Zayna Adiba Zahra seorang gadis yang duduk di bangku SMA kelas akhir. Zayna semua orang memanggil dia dengan se...
264K 32.3K 38
PART MASIH LENGKAP. SILAKAN DIBACA SEBELUM DIHAPUS. *** "Saya sudah tidak suci lagi. Ustaz berhak mendapatkan wanita lain yang lebih pantas." Ayda te...
394K 33.6K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
3.6K 523 90
"Antara adzan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang, antara kiblat yang temukan arah aku pulang dan salib yang membuatmu tenang, antara hitun...