DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)

By embrassesmoi

245K 43.7K 15.3K

Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarg... More

MOODBOARD
DTYT-Avoir un coup de foudre
DTYT-Les yeux dans les yeux
DTYT-Ne pas faire d'omelette sans casser des oeufs
DTNT-La première fois
DTYT-Avoir envie de quelqu'un
DTYT-Loin des yeux, loin du cœur
DTYT-Avoir du pot
DTYT- Mon Dieu!
DTYT-Avoir le cœur qui bat la chamade
DTYT-Avoir le coeur sur la main
DTYT-Vivre d'amour et d'eau fraîche
DTYT-Mal tourné
DTYT-De mal en pisfrom
DTYT-Le cœur lourd
DTYT-La première fois
DTYT-Quel choc!
DTYT-Un beau parleur
DTYT-Tomber dans le panneau
DTYT-Un bordel
DTYT-Commencer une relation
DTYT-La vache!
DTYT-Péter Le Feu
DTYT-Ça alors!
DTYT-Les carottes sont cuites
DTYT-Ca suffit
DTYT-T'es malade ou quoi?
DTYT-J'en ai ras-le-bol!
DTYT-Être dans le ou au trente-sixième dessous
DTYT-Se mettre en boule ou en pétard
DTYT-Le soleil se lèvera et nous essayerons à nouveau
DTYT-Je ferai tout ce que je peux
DTYT-Et puis quoi encore?
DTYT-Mettre de l'huile sur le feu
DTYT-C'est la goutte d'eau qui fait déborder le vase
DTYT-Trouver la perle rare
DTYT-La raison d'aimer, c'est l'amour
DTYT-L' amour donne des ailes
DTYT-C'est la fin de l'histoire

DTYT-Je ne suis pas né de la veille

5.5K 1K 395
By embrassesmoi

Je ne suis pas né de la veille

you can't play that on me, I'm not that naive.






















"Urusan tamu yang lain, hotel dan lainnya—termasuk transportasi—selama menginap di sini sudah beres semuanya, kan?"

"Isn't it too late to ask now? Tonight's banquet is nearly finished," gerutuan barusan memang terdengar kurang ajar, tapi Pangeran Martaka—orang yang menerima kalimat tajam itu—untuk sekali ini bermaksud memaklumi perkataan Adji.

Mungkin Adji belum tahu soal kejadian semacam apa yang terjadi sebelum acara banquet malam ini, dan tentu saja mencari masalah dengan Pangeran Martaka di momen ini bukanlah ide yang bagus.

Sambil melirik ke arah Adji dan Pangeran Martaka bergantian, Handjoko menganggukan kepalanya. "Semuanya sudah diurus. Some guests are already on the way to the hotel," jelasnya memberikan update soal tamu-tamu yang diundang Kerajaan Daher Reu untuk merayakan pesta ulang tahun anak kembarnya itu.

Suasana di Aula Besar sudah tidak seramai sebelumnya, cenderung sepi karena kebanyakan tamu yang datang memutuskan untuk pulang dan menyisakan beberapa orang yang berkepentingan dengan acara malam ini saja yang tampak masih berada di meja dan berkumpul di sudut Aula Besar selagi beberapa pelayan mulai membersihkan ruangan.

Pangeran Martaka ikut menganggukan kepalanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Aula Besar, sampai pandangannya terhenti ke satu titik tepat di meja yang berada di paling ujung aula.

Pemimpin Daher Reu itu mengedikkan dagunya, membuat Handjoko, Adji, dan Raden Kacaya ikut menatap ke arah yang sama. "Are we so short of cars or drivers that we have to make a woman wait here alone at this late hour?" tanyanya dengan nada menyindir yang kentara.

"Upih maksudnya?" Raden Kacaya bertanya.

"Memang ada wanita lain yang masih bertahan di sini?" tanya Pangeran Martaka balik.

Dalam diam, Handjoko menghela napasnya panjang ketika melihat Upih yang masih duduk di kursinya dengan tenang. Senyum wanita itu terulas lebar sambil sesekali ia mengedarkan pandangan ke sembarang arah, tampak sangat bersemangat yang kemungkinan datang dari apa yang diucapkan dan dijanjikan Handjoko sebelum pria itu harus pamit menemui Pangeran Martaka yang kembali ke Aula Besar setelah mengantar anak-anaknya kembali.

"I will personally take her back to the hotel," jawab Handjoko, masih mempertahankan tatapannya ke arah Upih yang kini tampak sibuk dengan handphonenya.

Decakkan Pangeran Martaka terdengar, membuat Handjoko dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah sahabatnya yang berdiri di hadapannya itu. "You should have told me from the beginning, Han. What kind of man would keep his lady waiting till this late? Can't you take her to the hotel first and then return here?"

Menerima tatapan sinis dari Pangeran Martaka dan dengkusan dari Adji, Handjoko hanya mampu menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Andai saja mereka tahu seberapa kerasnya Handjoko berusaha membujuk Upih untuk kembali ke hotel sebelum ini.

Tawa kecil Raden Kacaya menarik perhatian Pangeran Martaka, pria itu menatap ke arah Handjoko geli. "Tidak sulit untuk tahu karakter Upih meskipun kami baru bertemu sebentar. Your girlfriend wouldn't want to go back to the hotel and ask to wait here, would she?" tebak Raden Kacaya, tepat sasaran.

Handjoko tadi sudah meminta Upih untuk kembali ke hotel bersama Wita dan Terang, tapi wanita itu menolak dan bersikeras untuk menunggu di sini meski dia sudah mengatakan kalau pekerjaannya masih banyak dan pasti membutuhkan waktu lama sampai Handjoko bisa mengantarkannya kembali ke hotel.

















"Nggak masalah, aku tungguin di sini."

Kepala Handjoko menggeleng pelan, "Upih..." Ia membuang napas kasar saat menerima tepukan pelan di bahu dari Terang dan Wita yang akhirnya pamit untuk kembali ke hotel tanpa bersama Upih.

"Tadi Mas Joko bilang sendiri, 'kan? Nanti diobrolin. Nanti means hari ini, setelah acara selesai, setelah kerjaan Mas Joko selesai. Ya, 'kan? Mas Joko keberatan kalau Upih mau nungguin di sini? Kalau memang keberatan, Upih bisa balik sekarang, kok."

Setelah Wita dan Terang kembali duluan ke hotel? Lagipula, kalau mau dipikirkan lagi, Handjoko tidak bisa memungkiri kalau perkataan Upih memang benar adanya. Ia sendiri yang menjanjikan ke Upih, dan dia tahu benar kalau kalimat yang diucapkannya harus bisa dipertanggung jawabkan juga.

Upih masih mengulas senyumnya lebar ketika Handjoko meluruskan tatapan ke arah wanita yang duduk manis di kursinya itu, "Jadi? Mau aku balik aja sekarang?" tanyanya, pura-pura polos.

Handjoko berdecak, dia membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu tidak mungkin membiarkan Upih kembali sendiri meski supir Kerajaan bisa dibilang sangat terpercaya.

"Pangeran Martaka..." Upih menganggukan kepala sebelum Handjoko sempat menyelesaikan kalimatnya. "Saya masih harus kerja, Upih."

"Aku tunggu," jawabnya cepat. "Aku udah biasa kerja sampai malam, jadi santai aja, Mas," sambung wanita itu yang semakin membuat perasaan Handjoko tidak enak.

Dengan kedua tangan yang dimasukkannya ke dalam saku celana, Handjoko sesekali mengarahkan pandangannya ke arah depan—berjaga-jaga sebelum Pangeran Martaka kembali ke Aula Besar. "Karena Upih lagi nggak kerja, harusnya nggak perlu terjaga sampai selarut ini," katanya, kembali menatap ke Upih.

Senyum Upih terlihat semakin melebar, "Kalau buat Mas Joko, sih, nggak masalah."






















Handjoko refleks berdecak mengingat apa yang dibicarakannya dengan Upih sebelum ini, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan sosok Upih yang membingungkan seperti ini. Jangan pikir selama ini Handjoko tidak tahu soal godaan-godaan yang Upih berikan kepadanya, apalagi sejak pertemuan kedua mereka di rumah orang tua Upih berbulan-bulan lalu. Bukannya tidak mengetahui, Handjoko berusaha untuk tidak menganggap serius godaan yang dilancarkan Upih itu.

Tapi tanpa disadarinya, dari kepura-puraannya untuk tidak peka, Handjoko malah terjebak ketika ia menerima beberapa godaan Upih. Contohnya, seperti apa yang terjadi hari ini ketika Handjoko dengan sengaja menggoda Upih balik soal panggilan Ayah yang sempat dilontarkan wanita itu di hadapannya dengan harapan agar bisa membuat Upih mengerti dan supaya Upih bisa menjaga lisannya.

Lucunya, bukannya berjalan sesuai dengan rencananya, Handjoko malah dibuat menerima godaan Upih lainnya yang berhasil menjebaknya berada di situasi ini.

Luar biasa, bukan?

"He wants to finish his work quickly so he can spend more time with his girlfriend. You just don't get it." Ucapan Adji barusan membuat Handjoko tersenyum masam. "Kalau sudah ada kekasih, buat apa dia kembali ke sini?" tambahnya lagi, berhasil membuat Pangeran Martaka ikut memasang raut masam.

Raden Kacaya tertawa kecil, "Even though the news has improved and your and Upih's names are no longer being mentioned negatively, don't act hastily, Han."

Kedua alis Handjoko bertaut ketika ia menemukan tatapan Pangeran Martaka yang memicing menatapnya, "I understand this is your first time, but you should avoid such situations as much as possible. Saya nggak mau dengar soal berita-berita aneh seperti sebelumnya, apalagi soal sikap impulsifmu itu—you should really take care of it," ujarnya dengan raut wajah serius.

Karena memang benar, Handjoko membalas lewat anggukan kepalanya meskipun dia harus ditertawakan Adji dan Raden Kacaya.

Nah, apa yang dikatakan Pangeran Martaka barusan punya relasi dengan ucapan yang dikatakan Handjoko ke Upih soal mereka yang harus membicarakan hubungan atau apa pun yang mendasari segala tingkah laku yang Handjoko dan Upih lakukan ke satu sama lain.

Handjoko jelas tidak tutup mata soal perilakunya ke Upih yang dibilang istimewa jika mau dibandingkan dengan perlakuannya ke orang lain, bukan cuma perkara acara hari ini saja tapi juga sebelumnya.

Bisa dibilang, ini pertama kalinya bagi Handjoko merasakan perasaan semacam ini. Sebelumnya, Handjoko memang tidak pernah berkencan sama sekali. Dia cuma sempat dekat—sebatas menghabiskan waktu makan siang dan makan malam bersama—dan selesai begitu saja karena Handjoko tidak menemukan kecocokan, di saat dia punya dugaan atau pandangan tentang kecocokkan antara dirinya dan wanita lain yang diajaknya untuk bertemu.

Jelas itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi kepadanya dan Upih, kan?

Bukannya Handjoko mengatakan kalau dia dan Upih tidak cocok, tapi Handjoko memang tidak merasa kalau dia perlu menjalin hubungan ketika fokusnya cuma tertuju ke pekerjaannya sekarang. Ditambah fakta kalau Upih begitu jauh dari tipe idealnya—wanita yang tenang—Handjoko semakin yakin kalau hubungan keduanya benar-benar akan dibatasi profesionalitas sebagai rekan kerja saja.

Tapi, apa yang terjadi sekarang?

Handjoko malah menemani Upih menghabiskan puding yang sengaja dibawakan Adji untuknya ketika ia sudah bersiap-siap untuk mengantarkan wanita itu kembali ke hotel.

"Mas Joko nggak makan?" tanyanya di sela menyuapi puding nanas—kesukaan Ervin—ke dalam mulutnya.

"Upih mau?" Entah benar atau tidak, tapi Handjoko memang melihat Upih beberapa kali menatap puding miliknya yang juga berada di atas meja wanita itu.

Upih sempat terdiam, dia lalu mendongak menatap Handjoko yang berdiri di depan mejanya. "Ternyata enak banget rasanya."

Kepala Handjoko mengangguk, puding nanas memang menjadi dessert kesukaan semua masyarakat Daher Reu dan mereka punya resep masing-masing untuk membuatnya. Dari banyaknya resep yang sudah dia coba, Handjoko setuju kalau puding nanas buatan Kerajaan memang terasa paling enak.

"Mau lagi?" tanyanya, kali ini dia mendorong puding nanas miliknya mendekat ke arah Upih yang hampir menghabiskan puding nanas yang wanita itu pegang.

Setelah menghabiskan miliknya sendiri, Upih sempat mendongak lagi. "Yakin? Kalau udah dikasih, nggak bisa diminta lagi, loh?" Senyum wanita itu terlihat sekali tertahan, mungkin akibat Handjoko yang memilih menatap ke arah lain.

"Upih boleh makan," jawab Handjoko, tidak ingin memperpanjang obrolan yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Sambil menyantap puding nanas keduanya, Upih kembali mendongakkan kepala—menatap ke arah Handjoko yang kini juga menatapnya. "Kalau memang desert ini jadi kesukaan di sini, kenapa tadi nggak ada? Apa aku nggak kebagian?"

Bagaimana wanita itu tidak menyadarinya? "Ada, tadi," singgung Handjoko soal menu puding nanas yang disediakan di banquet ulang tahun anak Pangeran Martaka tadi. "Upih juga kebagian. Semua tamu kebagian desertnya," jelasnya membuat kening Upih berkerut dalam.

Handjoko menatap ke arah Upih yang kini kembali sibuk menyantap puding nanas miliknya, "Kok, tadi nggak ada, sih? Aku nggak makan, tuh?"

"Ya, Upih nggak sadar soalnya." Sambil menyendokkan puding ke dalam mulutnya, Upih dengan cepat menatap ke arah Handjoko lagi. "The pudding was already on the table, but you were busy looking at me."

Kedua alis Handjoko terangkat tinggi ketika ia melihat Upih tidak memberikan reaksi apa pun, padahal dia sudah berharap Upih akan malu dan fokus menghabiskan pudingnya agar Handjoko bisa membawa wanita itu kembali ke hotelnya.

Sayangnya, Upih hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Bagaimana bisa, kan? "Is the uniform you're wearing right now the same one you usually wear to work?" tanya Upih, mengubah topik pembicaraan yang sama sekali tidak terduga bagi Handjoko.

Apa Upih tidak pernah merasa canggung, ya? Seperti kehabisan ide atau topik obrolan, mungkin? Handjoko benar-benar penasaran karena di setiap kesempatan—mau segenting apa pun—rasanya dia belum pernah menemukan sosok Upih yang kehabisan akal ketika mengobrol dengannya atau orang lain.

Mengarahkan tatapannya ke seragam kerajaan yang dia pakai sekarang, Handjoko menemukan keanehan lain dari dirinya sendiri. "Bukan, seragamnya berbeda." Jika ini bukan Upih—atau ini mungkin wanita lain—apakah Handjoko mau repot-repot menjelaskan hal remeh semacam ini? "The uniform I'm wearing right now can only be worn for major kingdom commemorative ceremonies," sambungnya menjelaskan.

Meski menemukan dirinya sendiri banyak bertanya-tanya dan cukup terganggu karena pertanyaan Upih yang seperti tidak ada habisnya, Handjoko berakhir menanggapi dan menjawab semua pertanyaan yang diberikan wanita itu sampai puding nanas yang dinikmatinya habis.

"Kalau seragam kerja? Memang apa bedanya?" Bak seorang murid yang sedang bertanya, Upih melipat kedua tangan di atas meja.

"Warnanya." Handjoko mengulurkan tangannya untuk memindahkan sendok dan piring kecil bekas Upih dan diberikannya ke pelayan yang kebetulan berjalan di sekitarnya untuk membersihkan area sekitar. "Warna hitam digunakan untuk acara-acara besar Kerajaan Daher Reu, dan saya pakai warna abu-abu sebagai seragam kerja setiap harinya. Warna dari setiap seragam kerja berbeda, tergantung peringkat atau pangkatnya."

Upih lalu menyahut cepat, "Peringkat? Pangkat?" beonya, terdengar penasaran.

"Ya, kami membedakannya lewat warna. Warna abu-abu untuk seragam pekerja peringkat atas dan kalangan bangsawan yang bekerja di kerajaan, lalu warna biru untuk seragam pekerja peringkat menengah—staf-staf yang bekerja dengan pekerja peringkat atas."

Kepala Upih mengangguk-angguk sekali lagi, dia lalu menunjuk ke arah Handjoko—tepatnya ke arah seragam yang dipakainya sekarang. "Aku belum pernah lihat Mas Joko pakai seragam kerja dong, ya? Kalau yang ini, 'kan, udah..."

See? Untuk sikap terang-terangan Upih yang semacam ini, Handjoko lebih memilih untuk mendiamkan Upih dan membiarkan wanita itu menyimpulkannya sendiri yang kebanyakan akan berakhir dengan—

"Okay, aku ngelantur meskipun dikit...," aku Upih dengan tawa yang lolos tepat ketika Handjoko hanya mampu memberikan tanggapan lewat gelengan kepalanya saja.

"Sudah?" tanya Handjoko.

"Apanya?" Upih malah bertanya balik. "Ngelanturnya? Ya, belum, lah. Nanti aku lanjutin lagi," ucap wanita itu sambil berdiri dari kursinya.

Ketika Handjoko bisa memilih meninggalkan Upih atau menawarkan wanita itu untuk pulang bersama supir kerajaan yang sudah disiapkan, Handjoko masih bertahan dengan pilihannya untuk mengantar Upih meski dia tidak bisa bohong kalau dia sempat merasa kesal dengan ocehan wanita itu yang tidak ada habisnya.

Tangan Handjoko terulur menyentuh sisi meja, menutupi bagian ujung meja saat Upih bangkit dari kursinya. "Mau langsung ke depan? Atau Upih mau foto dulu?" Ia mendadak ingat kebiasaan Upih yang bisa mengambil foto di manapun.

"Mas Joko mau fotoin?"

Kalau itu bisa membuat semuanya cepat selesai, kenapa tidak? "Saya bisa bantu," jawabnya, sudah siap menerima handphone Upih.

Tidak tahu apa yang lucu dari ucapannya barusan, tapi Upih tampak tertawa geli sampai wanita itu membungkukkan tubuhnya. "Gini, deh, ya... Biar Mas Joko nggak tersinggung." Bukannya memberikan handphone ke Handjoko, Upih justru bergerak menjauh dari meja dan dari Handjoko. "Di situ aja, Mas. Berdiri di situ dulu," cegah Upih ketika melihat Handjoko hampir bergerak menghampirinya.

Berdiri kebingungan, Handjoko tidak punya ide lain selain menuruti permintaan Upih. Sekali lagi, pertanyaan yang sama memenuhi benak Handjoko sekarang.

Kalau ini bukan Upih—kalau ini wanita lain—apakah Handjoko mau dibuat diam di sini?

Mata Handjoko berkedip lambat ketika menemukan Upih mengarahkan kamera handphone ke arahnya, lalu disusul kilat dan suara jepretan yang lumayan banyak. Senyum Upih terlihat mengembang puas, wanita itu berlari kecil membuat Handjoko menjalin langkahnya lebar menghampiri Upih lebih dulu.

Ia berdecak ketika akhirnya berhasil memangkas jarak tanpa perlu melihat Upih berlari dengan heelsnya, "Jangan lari-lari di sini."

"Eh? Nggak boleh, ya?" Tatapan Upih langsung lepas dari layar handphonenya, raut wajahnya terlihat panik. "Aduh, saking excitednya jadi lupa..." Upih meringis malu juga segan.

"Selain tidak sopan, nanti Upih bisa jatuh," balas Handjoko mengingatkan.

Masih meringis, Upih balas menatap Handjoko dengan rautnya yang sekarang berubah pias. "Maaf, ya, Mas," katanya sambil berbisik yang diangguki singkat oleh Handjoko. "Ini, loh, fotonya Mas Joko di handphoneku hasilnya bagus-bagus." Masih sambil berbisik, Upih menyodorkan handphonenya ke arah Handjoko. "Nah, hasil foto yang bagus itu begini. Kelihatan jelas orangnya, objek yang mau diambil apa—semuanya keliatan di sini."

Oh, apa yang dibilang Upih memang tidak salah. Handjoko cukup terkejut ketika menemukan foto yang diambil Upih di handphone milik wanita itu yang menurutnya tidak ada bedanya dengan jepretan fotografer profesional.

"Bagus, ya," komentarnya, masih menatap foto-foto yang diambil Upih.

Tawa kecil Upih terdengar samar, "Bagus, lah. Kan, nge-fotonya bener."

Ah, Upih sedang menyindirnya, kan? "Upih mau difoto begini?" Handjoko menatap Upih dengan telunjuknya yang mengarah ke layar handphone Upih yang masih menampilkan foto-fotonya.

"Memang Mas Joko mau? Bisa?"

Handjoko mengangguk, dia menengadahkan telapak tangannya—meminta handphone Upih. "Saya coba dulu." Setelahnya, Handjoko berjalan menuju tempat di mana Upih sebelumnya berdiri.

Begitu berdiri di tempat yang tepat, Handjoko memutar tubuhnya dan mengarahkan kamera handphone ke arah Upih yang kini sudah sibuk berpose. Mulai dari tersenyum sambil mengedipkan salah satu mata, lalu ia memutar tubuhnya dan menghadapkan setengah wajahnya ke kamera, sampai ke Upih yang pura-pura tertawa—semuanya tidak luput dari perhatian Handjoko.

Ada perasaan aneh yang dirasakan Handjoko ketika menatap wajah Upih lebih dekat dari layar handphone milik wanita itu yang kini digenggamnya, dan perasaan takut juga ragu mendadak dirasakan Handjoko setelahnya.

"Gimana? Udah, Mas? Mau liat dong?" Suara Upih menyadarkan Handjoko.

Ia buru-buru mengangguk saat Upih berjalan pelan—tidak berlari sebelumnya—menuju ke arahnya. Handjoko mengembalikan handphone ke Upih, pria itu lebih memilih memperhatikan wajah Upih daripada ikut memperhatikan foto-foto yang tadi diambilnya.

"Lah?" Upih berseru dengan suara yang kecil. "Aku memang udah nggak ngarep apa-apa, sih, tapi masa' beneran nggak dikasih apa-apa begini, sih?" katanya dengan raut wajah geli yang kentara.

Maksudnya? Mendengar gumaman Upih barusan, Handjoko akhirnya mengintip ke arah layar handphone Upih yang malah menampilkan foto-foto Handjoko yang diambil Upih sebelumnya. "Kok, liat foto saya lagi?"

Upih mengangkat tatapannya, mempertemukan kedua matanya dengan pandangan Handjoko yang ikut mengarah ke Upih. "Ya, abis gimana kalau foto aku nggak ada?" Bibir Upih langsung menipis, mencoba menahan tawa.

Huh? Jangan bilang...

"Belum tersimpan, ya?" ucap Handjoko, mencoba mencari alasan dari kecerobohannya yang lupa mengambil foto Upih karena terlalu fokus menatap wanita itu.

Kepala Upih menggeleng pelan, dia lalu memasukkan handphonenya ke dalam clutch bagnya ketika Handjoko menawarkan untuk mengambil foto lain. "Mas Joko jadi antar aku balik ke hotel?"

"Iya. Jadi."

"Balik sekarang aja, yuk?"

Handjoko langsung terdiam, dan Upih ikut diam di sebelahnya—menatapnya heran. "Kenapa? Upih marah?" Bukannya tadi mereka sudah berjanji untuk mengobrol dan Upih menjadi salah satu orang yang paling bersemangat sampai dia rela menunggu Handjoko selesai bekerja?

"Nggak, lah? Ngapain marah?" Tangan Upih bergerak mengibas di depan wajahnya. "Ini udah malam. Keburu makin malam, nanti Mas Joko nggak bisa istirahat juga," katanya dengan menunjuk ke arah depan, menandakan bahwa Handjoko juga harus ikut berjalan bersamanya.

"Ngobrolnya berarti nggak jadi?" Handjoko melirik ke arah Upih selagi mereka berdua melangkah keluar dari Aula Besar.

Upih sempat bergumam panjang sebelum menjawab, "Nanti disempetin bentar-bentar aja sambil di perjalanan. Gimana? Bisa nggak?"

"Bisa."

Keduanya lalu berjalan sampai ke arah luar Aula Besar, di mana Darma dan pengawal Handjoko menunggu di sana.

"Saya akan mengantarkan Nona Upih kembali ke hotelnya, berdua saja. Yang lain bisa ikut di belakang." Itu yang dikatakan Handjoko ketika ia menghampiri Darma dan menyuruh pria itu menyampaikan ke pengawal-pengawal Handjoko yang masih menungguinya.

Upih sendiri tidak banyak bertanya karena mendadak sibuk dengan handphonenya sepanjang dia menunggu di depan Aula Besar sampai masuk ke dalam mobil yang kini disopiri langsung oleh Handjoko.

"Wah, rame banget?" Itu adalah komentar pertama Upih saat wanita itu sudah berada di dalam mobil bersama dengan Handjoko. "Ini karena perayaan ulang tahun anak-anaknya Pangeran Martaka aja, 'kan, makanya bisa bikin jalan besar sampai seramai ini, atau memang biasanya udah rame begini, Mas?"

"Iya, karena ada festival perayaan ulang tahun anak-anak dari Pangeran Martaka. Biasanya tidak pernah seramai ini." Membagi fokus dengan kemudinya, Handjoko juga sigap menjawab segala pertanyaan yang diberikan Upih sepanjang perjalanan menuju hotel tempat wanita itu menginap.

Karena jalanan ramai dan padat, jarak antara Kerajaan Daher Reu dan hotel tempat Upih menginap terasa lebih jauh dari biasanya. Bahkan, beberapa kali mobil yang dikendarai Handjoko harus berhenti untuk beberapa menit karena mendahulukan para pejalan kaki yang datang ke alun-alun untuk datang ke festival perayaan ulang tahun dari anak-anak Pangeran Martaka.

"Sebenarnya ini pertanyaan sudah sangat terlambat untuk ditanyakan, but I wanted to confirm it straight before continuing to speak with you." Ucapan Upih barusan sempat mengejutkan Handjoko, ia langsung menolehkan kepalanya menatap Upih karena mobilnya juga dalam posisi berhenti. "Mas Joko sudah punya pacar? Are you in a relationship with someone?"

Bukannya ketakutan yang ditunjukkan Upih sekarang memang benar-benar terlambat, ya? Setelah menggodanya habis-habisan, apa Upih baru memikirkan soal kemungkinan Handjoko yang sudah memiliki kekasih begitu?

"Aku, tuh, sebenernya udah kepikiran soal ini dari lama!" Upih menimpali ucapannya sendiri lagi. "Cuma selalu lupa tanya ke Mas Joko. Bingung juga mau tanya gimana, tapi aku lebih ke yakin kalau memang Mas Joko udah punya hubungan dan pacar, Mas Joko pasti bakal negur aku dilihat dari sikapnya Mas selama ini ke aku, ya," ucapnya bergumam pelan.

Lagi, Upih memang tidak sepenuhnya salah. Handjoko sudah pasti akan menegur siapapun yang berusaha mendekatinya ketika ia punya seseorang atau hubungan yang harus dijaga. Handjoko tidak akan segan soal itu.

Dan yang lebih menariknya lagi, Handjoko dibuat kagum dengan sikap observatif Upih yang sudah dibuktikannya sendiri beberapa kali.

"Have I ever chastised you? Maybe once or twice if that's too much, but otherwise, I've never spoken to you about relationships or other women because I'm not in a relationship with anyone right now." Kaki Handjoko bergerak menginjak pedal gas dan kembali melajukan mobil pelan, ia sempat melirik untuk melihat sekilas Upih yang duduk diam di sebelahnya.

Ada beberapa detik yang dihabiskan keduanya dalam diam, Handjoko dan Upih sama-sama tidak mengatakan apa pun sampai suara gumaman panjang Upih terdengar.

"Soal yang tadi nggak mau dibahas?" tanya Handjoko lebih dulu.

Dari ujung mata, Upih mengangguk sekali. "Ini mau ditanya, tapi masih bingung mau ngomong gimana."

Kalau begitu, biar Handjoko dulu yang memulai. "Saya belum pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun selama ini. Saya cuma pernah dekat, sebatas kenal saja—sudah berhenti sampai di sana. Dan, sampai sekarang pun saya tidak berniat menjalin hubungan dengan siapapun," ucapnya dengan perasaan berat yang tidak bisa dideksripsikannya.

"Kenapa? Kalau aku boleh tahu, alasan apa yang ngebuat Mas Joko belum mau menjalin hubungan selama ini?" Upih bertanya setelahnya dengan kepala wanita itu yang menoleh ke arah Handjoko yang masih fokus menatap kemudi dan jalanan di depannya.

"Masih belum kepikiran? Saya masih fokus dengan pekerjaan saya sekarang, apalagi karir saya sebagai Konsultan Ekonomi di Daher Reu juga bisa dibilang baru. Ditambah posisi saya sebagai perwakilan negara juga salah satu orang kepercayaan Pangeran Martaka, saya masih belum berani untuk berkomitmen menjalin hubungan dengan seseorang di sela kesibukan saya ini."

Itu alasan yang terkuat yang dimiliki Handjoko selama ini jika bicara soal belum adanya pendamping untuknya, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan untuk bertemu wanita dan meluangkan waktu—Handjoko belum mampu. Daripada menyakiti dan berakhir tidak baik, pria itu lebih memilih untuk tidak memulai hubungan apa pun sampai saat ini.

Mobil yang mereka tumpangi kembali berhenti, kali ini karena rambu lalu lintas.

"Itu karena Mas Joko belum berani coba aja," sahutan yang dibuat Upih barusan membuat Handjoko ikut menatap Upih. "Kalau ketemu pasangan yang cocok, soal sibuk dan nggaknya itu bisa jadi pemakluman. Mas Joko mikir begitu karena itu yang memang dipikirin Mas Joko, bukan sesuatu yang sudah atau pernah terjadi." Sepanjang penjelasan itu, Upih tetap mengulas senyumnya.

Padahal, Handjoko sudah siap merasa bersalah ketika ia mengungkap penolakan secara tidak langsung soal ucapan yang dikatakan Upih di Aula Besar tadi.

Handjoko kembali menatap ke arah depan, bertepatan dengan rambu lalu lintas yang sudah berubah warna. Ia kembali melajukan mobilnya pelan, dari jaraknya sekarang, hotel yang ditempati Upih sudah terlihat.

"Mas Joko mikirnya kalau punya pasangan—pacar—mungkin merepotkan, bisa bikin kerjaan Mas Joko kacau, belum lagi soal kesibukan Mas yang mungkin bakal menyita waktu dan bikin Mas takut kalau nantinya Mas bakal nyakitin pasangannya Mas. Gitu, 'kan?" Upih kembali bersuara, dan kali ini Handjoko menjawabnya lewat anggukan kepala saja karena dia harus fokus dengan kemudinya. "Lagi-lagi itu, tuh, karena Mas Joko belum coba. Yang Mas Joko pikirin itu cuma ketakutan-ketakutan yang belum tentu terjadi.

"Itu karena Mas Joko belum ketemu pasangan yang pas, yang cocok, yang bisa ngertiin kesibukan dan semua hal tentang Mas Joko," cerocosnya panjang lebar. "Kalau misal, Upih menawarkan hubungan ke Mas Joko gimana? Hubungan sebagai pasangan. Kita coba pelan-pelan."

Untung saja Handjoko tidak menginjak remnya mendadak setelah mendengar perkataan Upih barusan, dia tetap melajukan mobilnya pelan memasuki kawasan hotel setelah membiarkan satu mobil pengawalnya menyalip mobil yang ditumpanginya bersama Upih lebih dulu untuk mengarahkannya ke basement.

Dari kursinya, Handjoko bisa mendengar Upih yang melepas seatbeltnya saat ia sedang memarkirkan mobil tepat di pintu belakang hotel. "Soal perasaanku, aku pikir aku nggak perlu ngomong soal itu lagi karena Mas Joko udah pasti tahu. Ya, kan?" tanyanya sambil mengarahkan tubuhnya menghadap ke arah Handjoko.

Di kursinya, Handjoko bergerak menyandarkan tubuhnya setelah melepas seatbeltnya juga. "Upih tahu, 'kan, soal reaksi orang diluaran sana soal pemberitaan hubungan—"

Handjoko dibuat kembali menelan kalimatnya ketika Upih memotong ucapannya dengan tatapan lugu yang entah kenapa menghadirkan perasaan aneh di dadanya.

"Siapa yang peduli soal itu? Kan, yang aku ajak buat pacaran bukan orang diluaran sana, tapi Mas Joko. If you say yes, whatever the people out there will do is no longer important to me."

Continue Reading

You'll Also Like

997K 50.9K 58
Takdir itu emang kocak. Perasaan cerita tentang perjodohan itu hanya ada di film atau novel, tapi sekarang apa? Cecilia Janelle terjebak dalam sebuah...
78.4K 10K 39
Yoga sama Fara itu.... Apa ya? Temen sih kayaknya. Ya paling gak, Yoga yakin banget Fara nganggep dia temen doang. Sementara menurut Fara, Yoga itu...
12.4K 914 54
Menceritakan tentang seorang siswa SMA yang membantu temannya untuk menjadi Reloplayer salah satu tokoh dari cerita karangannya yang sedang trending...
129K 2.6K 32
(SUDAH TAMAT) Gara-gara gosip menyesatkan yang tersebar mengenai dirinya dengan salah satu Direktur di tempatnya berkerja, Maria terlempar masuk ke d...