JEREMIA

By milkymiuw

59K 8.5K 1.8K

Hanya kisah tentang Jeremy si aktor idola remaja dan Mia si penulis. Dua manusia yang dulunya berteman dekat... More

Disclaimer!
Prolog
1. Alasan Konyol
2. Keluarga Ariendra
3. (Bukan) Pernikahan Impian
4. The Penthouse
5. Teka-Teki
6. Jeremy dan Emosinya
7. Tidak Setara
8. Please, Hug Me!
9. Tentang Mia
Pengumuman
10. Keinginan
11. Keluarga yang Lain
12. Keinginan II
13. Teman
14. Selalu Dibenci
16. Pukulan dan Amarah
17. You're The First!
18. Tidak Diakui
19. Suami dan Istri
20. Games and Traps
21. Kecemburuan Jeremy
22. I Love You
23. I Love You II
24. Hubungan yang Manis
25. Tekad Baru dan Rumor
26. Sakit
27. Berita Mengejutkan
28. Berita Mengejutkan II
29. Si Paling Perhatian
30. Calon Papa
31. My Love, My Darling
32. Our Princess
33. Cantik
34. Kembali ke Rumah
35. Kebenaran Menyakitkan
36. Kebenaran Menyakitkan II
37. Tentang Masa Lalu
38. Pilihan Terbaik
39. Jangan Kembali
40. Jangan Kembali II
41. Rumah yang Hilang
42. Terlambat
43. Langitku yang Berharga
44. Langitku yang Berharga II
45. Mia dan Dubai
46. Mia dan Dubai II
47. Dia Belum Pergi
48. Kita Bertemu Kembali
49. De Javu
50. Dia Sempurna
51. Aku Ayahnya

15. Trauma Lama

1.4K 198 79
By milkymiuw

"Gue mau pulang.."

"Please Jere..."

Kenapa Mia sampai memohon seperti itu?

Aneh sekali melihatnya tersenyum seperti orang bodoh sepanjang malam lalu berakhir seperti ini.

Jeremy tidak tahu, hanya saja dia merasa janggal setiap kali melihat interaksi kakaknya dan Mia.

Mia dulu sangat menganggumi Jayden. Atau malah mungkin menyukainya?

Karena itulah Jeremy sampai bertengkar dengan kakaknya itu untuk memperebutkan Mia.

Itu hanya sebuah kenangan masa kecil. Jeremy tidak tahu menahu soal rasa suka atau cinta apalah-apalah itu.

Dia ingat memperebutkan Mia tapi juga memberebutkan Karalyn. Jadi bagi Jeremy itu hanya pertengkaran remeh karena dia tidak ingin kehilangan teman-temannya.

"Berhenti!" pekik Mia membuat Jeremy memelankan mobilnya. Lebih ke mengerem secara halus.

"Gue mau turun di sini."

Jeremy menahan tangan Mia yang hendak membuka pintu mobil di sampingnya. Gila aja!

"Lo pikir lo mau pergi kemana Mia!" bentak Jeremy.

Dia sungguh tak mengerti dengan Mia. Perjalanan mereka hanya diisi kebungkaman padahal Jeremy berharap Mia mau menceritakan segalanya kepadanya.

Apa yang dia rasakan?

Kenapa dia melakukan itu?

Apa yang salah dengan Jayden dan dirinya?

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka?

Apa ada sesuatu yang tidak Jeremy ketahui?

Seharusnya Mia membuka mulutnya untuk mengatakan itu semua tapi Mia justru menyuruhnya menghentikan mobil dan memilih untuk turun di tengah jalan?!

"Please... biarin gue pergi Jere. Gue mau sendiri-"

"Bullshit! Lo bilang mau pulang kan?! Kalau gitu kita pulang. Gue nggak ninggalin lo di sini." tegas Jeremy. Menutup pintu mobil dengan kunci otomatisnya.

Gue nggak akan ninggalin lo di sini!

Ucapan Jeremy terdengar sangat gentle. Perempuan lain pasti senang mendengarnya. Tapi tidak dengan Mia.

"Buka nggak?! Gue mau turun di sini!" Mia menarik-narik pegangan di sisi pintunya. Dia begitu frustasi.

Memang Mia meminta untuk pergi dari sana. Dan Mia juga sangat berterimakash karena Jeremy membawanya pergi. Hanya saja Mia tidak tau kapan dia bisa meledak menahan perasaan yang membuncah ini.

Jeremy tidak harus melihat sisinya yang itu. Tidak seorang pun harus melihatnya.

"Please please biarin gue keluar!!" Mia memohon. Air matanya mulai mengalir karena Jeremy tak juga menghentikan mobilnya.

"Jeremy!!!"

Pintu mobil terkunci lalu roda mobil kembali berputar dengan cepat. Mia tak ada harapan keluar dari sini.

Tidak ada!

Tidak ada!

Tidak ada!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"MIA?! LO APA-APAAN?!"

Jeremy menarik tangan Mia yang terus memukuli dadanya. Sebenarnya apa yang ada dipikiran Mia sekarang?!

Air mata Mia terus keluar, matanya terpejam dan tanganya terus memukul dadanya sendiri dengan kepalan tangan. Itulah yang sejak beberapa detik yang lalu Mia lakukan setelah gagal membuka pintu mobilnya.

Mau tidak mau Jeremy menghentikan mobilnya. Dia mencari jalanan sepi untuk menepi.

"Eung-" bukannya berhenti tangan Mia justru merambat ke atas dan membuka dua kancing teratasnya dengan kasar.

Jeremy kalang kabut menahan tangan Mia, tapi pemberontakan itu lebih kuat dari yang dia bayangkan.

Tangan Mia terus menepis tangannya, lalu Mia mulai menggaruk dengan kasar bagian kulitnya yang terbuka.

"MIA!"

Mia seolah tuli, suaranya tak didengar sama sekali. Dia menggunakan kedua tangannya untuk menggaruk di seluruh bagian tubuh yang bisa dijangkaunya.

Wajah cemas, takut, dan panik menjadi satu. Mia seperti orang yang tengah kerasukan sekarang.

Ada yang salah. Memang ada yang salah.

Maka Jeremy dengan cepat menahan kedua tangan Mia. Dia mencengkeram kuat pergelangan tangan Mia dan memojokannya ke sandaran kursi penumpang.

Jeremy butuh dua tangannya untuk menahan tenaga Mia yang memberontak.

"Hiks hiks!"

"Arghhh!"

Menangis lalu berteriak lalu menangis kencang dan berteriak lagi itulah yang Mia lakukan.

Bayangan itu kembali terlintas dengan jelas di kepala Mia. Sangat jelas. Tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, Mia seperti mengalami tragedi yang sama.

Sekarang- di sini. Di dalam mobil Jeremy, pikirannya melanglang buana di dalam kamar rumahnya dalam keadaan yang terang benderang.

Ada seseorang di atasnya. Mia baru membuka matanya saat sesuatu yang keras dan panjang melesak ke dalam bagian bawahnya.

"Mia..."

Lalu kecupan-kecupan tanpa henti dia dapatkan di seluruh wajah dan lehernya. Tubuhnya dihimpit begitu kuat sampai terasa sesak hingga membuat napasnya tersenggal.

"Kamu baik-baik saja, Mia?"

Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa pria itu bertanya apakah dia baik-baik saja atau tidak?!

Sakit sekali! Ini menyakitkan.

"Katakan kamu menyukaiku juga Mia. Katakan..."

"MAMAAAAAAA! SAKIT!" Mia berteriak lantang memanggil ibunya.

"BUKA MATA LO MIA!!" bentak Jeremy menangkup kedua pipi Mia yang banjir air mata. Hingga tangan Jeremy ikut basah karenanya.

"MAMAAAA!"

"MIA AMORA! MAMA LO UDAH NGGAK ADA!

Deg!

Mia membuka matanya, netranya langsung bertatapan dengan mata Jeremy yang melihatnya dengan penuh rasa cemas.

"Nyokap lo udah nggak ada..." lirih Jeremy menekan kedua pipi Mia, menyadarkan perempuan ini pada kenyataanya.

Jeremy ikut frustasi dibuatnya.

"Mama lo gak ada di sini. Tapi di sini ada gue.. ada gue.."

"Ada gue, Mia!" tegas Jeremy.

Napas Mia tersenggal-senggal. Raungannya memang sudah berhenti tapi air matanya masih saja mengalir.

Dia menangis mendengar fakta yang Jeremy katakan kepadanya. Tidak ada mamanya di sini. Dia juga sedang tidak berada di kamarnya. Dan yang pasti tidak ada pria itu di sini.

Hanya Jeremy. Di sini hanya ada dirinya dan Jeremy.

"Lihat gue! Udah gue bilang kan? Lo cuma perlu lihat gue!"

"Jere.."

"Ya, gue!" Jeremy mengangguk, senyum di bibirnya terukir indah. "Lo mau gue peluk?"

Bukan menawarkan diri, Jeremy sebenarnya sedang meminta izin kepada Mia.

Beberapa detik Mia memikirkannya, kepalanya lalu mengangguk saat melihat ketulusan di mata Jeremy.

Jeremy melepas sabuk pengaman Mia. Mia kebingungan, terlebih saat Jeremy mengangkat tubuhnya dengan ringan dan membuatnya melayang jatuh ke pangkuan cowok itu.

Mia tak bisa protes. Pertama karena dia tak punya tenaga untuk melakukannya. Kedua karena duduk di sini terasa lebih nyaman untuknya.

"Gue Jeremy," ucap Jeremy yang diangguki Mia.

Jeremy benar-benar memastikan Mia melihatnya dan mengenalinya sebagai Jeremy bukan orang lain.

"Peluk gue sekarang. Jangan dilepasin."

Bukan Mia. Jeremy yang berkata demikian.

•••

Sepuluh menit-tidak! Mungkin ada hampir tiga puluh menit Jeremy dan Mia terdiam dalam posisi berpelukan seperti itu.

Tidak ada yang bersuara. Jeremy menghargai Mia yang tak ingin membuka mulutnya.

Keheningan mendominasi, terlebih ternyata Jeremy menepikan mobilnya di jalanan sepi.

Nyaris tidak ada kendaraan besar yang melewati jalan ini. Hanya ada beberapa mobil dan kendaraan motor yang lewat setiap beberapa menit sekali.

Tangan Jeremy sibuk mengusapi rambut Mia sesekali juga mengusap pinggang rampingnya dan juga punggungnya.

Mia tidak membenci sentuhan seperti ini malah justru membiarkannya. Tidak apa-apa, Jeremy bisa melakukannya sepanjang malam.

Namun fakta jika tubuhnya tidak baik-baik saja setelah menopang Mia dengan kedua kakinya seperti itu-
—maksud Jeremy adalah kakinya yang mulai pegal.

Dia juga pegal di bagian lain, tapi itu tidak untuk dibahas sekarang.

"Jere?"

"Kenapa?"

"Lo kok diem aja?"

Jeremy terdiam. Memang begitu kan seharusnya yang dia lakukan? Membiarkan Mia tenang dan mau membuka mulut untuknya.

Mia mengangkat wajahnya dari pundak Jeremy.

Jeremy menatap mata Mia yang sedikit memerah. "Terus gue harus gimana?"

"Harusnya lo nanya..." Mia mencicit pelan. "Harusnya lo nanya kenapa gue bertingkah kayak gitu."

"Gue udah tau."

Deg!

Kedua mata Mia melebar. Jeremy sudah tahu? Apa benar Jeremy sudah tahu tentang reaksi dari traumanya?

"Lo kesurupan tadi."

Bahu Mia seketika luruh. Ketegangannya menghilang sekarang yang ada justru dia merasa kesal.

"Maaf," ucap Jeremy menyesal. Dia tahu ini bukan waktunya untuk bercanda.

Jeremy melakukan itu untuk menghibur Mia. Dia pasti bodoh karena berpikir Mia akan tertawa dengan lelucon payahnya.

"Yah, lumayan menghibur sebenarnya." Mia tersenyum tipis. Dia menampar pipi Jeremy dengan lembut.

Sepertinya memang begini saja. Jadi pembicaraan mereka tidak harus seserius itu karena Mia justru akan merasa tertekan.

"Lo nggak salah kok waktu bilang gue lebih butuh psikolog dari pada suami."

"Mia gue-"

"Gue udah lama nggak minum obat lagi dari dokter. Gue udah sembuh, itu trauma lama. Gue... gue emang korban pelecehan," tidak lebih tepatnya korban pemerkosaan.

Jeremy membungkam bibir Mia dengan telapak tangannya. Cowok itu menggelengkan kepala, meminta Mia tak melanjutkan ceritanya.

Dari suara Mia terdengar tak terdengar baik-baik saja. Jeremy tidak kuat mendengarnya.

Mie menyingkirkan tangan Jeremy. "Gue enggak pernah cerita ini ke siapapun selain dokter gue... tapi cerita sama lo gini rasanya enggak buruk juga."

"Gue takut kalau semakin lama gue tahan gue nggak akan bisa sembuh dari trauma itu."

"Go ahead Mia, ceritain semuanya. Gue dengerin." Jeremy menyelam ke dalam mata Mia. Dia menangkup pipi bulat itu dan mengusapnya.

Ah tidak. Dada Mia berdebar sebelum dia bisa menyelesaikan ucapannya tentang kenangan traumatis itu.

"Kata dokter gue, gue ini tipe yang menyimpan semuanya sendiri. Mungkin karena itu gue nggak pernah mau cerita ke siapapun."

"Siapapun?"

"Ya, termasuk papa... cuma mama, dokter gue dan—"

Mia mengingit bibirnya. Dia masih saja menahan diri padahal tekatnya untuk bercerita pada Jeremy sudah bulat.

"Dan siapa Mia?"

"Keluarga lo."

Deg!

Mata Jeremy membelalak. Kedua tanganya yang sejak tadi berada di pipi Mia seketika terjatuh lemas.

Keluarganya?

"Enam tahun yang lalu... k-kak Jayden... g-gue... malam itu... d-dia.. dia.."

Disetiap tarikan napas Mia untuk berucap, Jeremy merasakan dadanya mengeras. Degup jantungnya menggila. Sesuatu yang tak pernah dia bayangkan kini berputar hebat di kepalanya.

Tidak mungkin! Jayden...

Air mata Mia kembali mengalir, dia mengusapnya dengan cepat. "Enggak papa kalau lo nggak percaya Jere... karena selama ini juga nggak ada yang percaya sama gue. Selain mama."

Alasan Mia sangat membenci keluarga itu dan selalu memakai topeng saat berada di depan mereka adalah para manusia jahat itu justru menyudutkannya sebagai pemicu utama Jayden berbuat nekat kepadanya.

Mereka menyalahkan semua padanya, memintanya merahasiakan semua ini, dan tetap diam sampai akhir demi kehormatan seorang Jayden dan nama baik keluarga Ariendra.

Jadi tidak apa-apa jika Jeremy tidak mempercayainya. Mia merasa beban di dadanya sedikit terangkat karena dia bisa mengatakan yang sebenarnya kepada Jeremy.

Dia memang kotor. Jadi menerimanya atau tidak, Jeremy yang punya hak memutuskan.

"Benci gue Jere... lo boleh marahin gue karena bicara buruk soal keluarga lo. Tapi please jangan usir gue dari rumah lo... gue masih mau tinggal-"

"Lo bohong Mia..." gumam Jeremy, pandangannya kosong dan perasaanya kini begitu hampa.

Kedua tanganya mengepal kuat, bahkan Mia bisa merasakan tubuh Jeremy yang menegang hebat. Urat-urat di leher dan rahang cowok itu terlihat jelas sangat jelas.

"LO BOHONG MIA!" teriak Jeremy bersamaan dengan tetesan air mata yang membasahi wajahnya, tangan kiri Jeremy memukul kaca mobil dengan keras dari dalam.

BUGH!

Keras.

BUGH!

Sangat keras dan kuat.

BUGH!

Kepalan tinju Jeremy semakin keras seolah ingin meremukkan kaca mobilnya bahkan meremukkan tangannya sendiri.

"JERE STOP!"

"LO BOHONG! LO BOHONG! BILANG SAMA GUE KALAU LO BOHONG SAMA GUE!"

Jeremy menatap Mia nyalang. Dia berharap semua yang Mia ceritakan kepadanya itu tidak benar.

Tidak benar! Tolong!

Lalu Jeremy tidak akan merasa menyesal karena telah membenci Mia selama ini.

Dan Jeremy akan menerima kebencian Mia kepadanya dengan senang hati. Sebanyak yang Mia inginkan, sebanyak yang Mia mampu.

"ARGHHHH SIALAN!" tangis Jeremy pecah, dia menutup matanya yang banjir air mata dengan telapak tangannya yang sudah dipenuhi darah.

"Jere..." lirih Mia menatap Jeremy dengan jantung yang berdegup hebat dan tubuh gemetaran. "Gue takut... gue takut..."

Chapter 31-40 udah gue upload di KK yah buat yang mau baca lebih awal.

Oiya keknya yang di KK juga banyak typo yah. Sedih sekaleh😭

Gue sedang pusing memikirkan endingnya mau gue bikin plot twist, gue harap gimanapun endingnya nanti kalian bisa menerimanya🥹🤚☺️

Yang udah baca di KK kaget gak sih? Diantara Jeremy sama Mia siapa yang paling cinta ke satu sama lain?

Continue Reading

You'll Also Like

406K 28.9K 55
Dua bulan hidup di bumi Ireland, cukup membuatkan Marissa merasai bahagia yang pernah hilang dahulu. Demi anak-anaknya, Marissa bangkit untuk melupak...
946K 26.8K 66
"What's that on your shirt...?" "Would you believe me if I said red paint?" "Is it paint?" "...yes?" Meet Ashlyn, your typical teenage super-assas...
4M 188K 120
☾ Idol au ☾ Social media/text au ☾ "Yo what, how did you know that?" "Mark...I'm literally your fan." Book 1 in the Dreaming series Book cover: @...