JEREMIA

By milkymiuw

26.2K 3.7K 961

Hanya kisah tentang Jeremy si aktor idola remaja dan Mia si penulis. Dua manusia yang dulunya berteman dekat... More

Disclaimer!
Prolog
1. Alasan Konyol
2. Keluarga Ariendra
3. (Bukan) Pernikahan Impian
4. The Penthouse
5. Teka-Teki
6. Jeremy dan Emosinya
7. Tidak Setara
8. Please, Hug Me!
9. Tentang Mia
Pengumuman
10. Keinginan
12. Keinginan II
13. Teman
14. Selalu Dibenci
15. Trauma Lama
16. Pukulan dan Amarah
17. You're The First!
18. Tidak Diakui
19. Suami dan Istri
20. Games and Traps
21. Kecemburuan Jeremy
22. I Love You
23. I Love You II

11. Keluarga yang Lain

833 149 47
By milkymiuw

Mia memang bermimpi untuk melihat bangunan-bangunan tinggi di dunia ini. Karena sadar dia gak bisa lihat semuanya makanya Mia cuma pengen melihat yang tertinggi diantara semuannya. Burj Khalifa.

Meski Mia nggak mengerti tentang arsitektur, konstruksi, penciptaan dan sebagainya itu dia bisa tahu banyak hal karena mamanya.

Mamanya dikenal sebagai arsitektur yang hebat. Ada banyak project yang biasa mamanya kerjakan.

Mia senang melihat mamanya duduk di kursi dan menggambar konsep struktur bangunan dan menghitungkan banyak hal.

Mia jadi bisa membayangkan semuanya. Apalagi mamanya suka sekali memberinya mainan yang ada hubungannya sama bangunan.

Meski begitu kenapa Mia sama sekali enggak berminat jadi Arsitek?

Entahlah, Mia tidak tahu.

"Mama lagi ngapain?"

"Bentar ya sayang, mama lagi ngerjain tugas nih. Sini mama pangku."

Mia masih kecil saat menikmati duduk di atas pangkuan mamanya dan melihat tangan mamanya dengan lincah menciptakan garis demi garis hingga membentuk suatu objek.

"Ma.." panggil Mia begitu lembut. "Mia bukan anak yang nakal kan?"

"Bukan! Mia anak mama yang paling baik! Mia denger itu dari siapa sayang?"

"Soalnya papa ninggalin kita. Takutnya Mia memang anak nakal..."

Saat itu mamanya tak jadi melanjutkan pekerjaanya. Dia meletakan pensil mahalnya ke atas meja lalu mendekap tubuh kecil Mia dengan sayang.

"Tapi kalau Mia nakal nggak mungkin Jere, Lyn, sama Sagara mau temenan sama Mia. Iya kan ma?"

Mia menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan gemas. "Jere nggak akan ngasih Mia banyak permen kalau Mia nakal. Kita temen baik!"

"Iya.. Mia temennya banyak. Anak baik soalnya, Mia anak terbaik yang mama punya. Kesayangan mama!"

Mia tidak sadar air mata menggenang di pelupuk mata sang mama saat dia bersorak gembira.

"Yeyyy!"

Bagi Mia tidak apa-apa ditinggalkan papanya selagi mamanya masih ada di sini.

Bukan berarti Mia tidak mencintai papanya. Hanya saja memang mamanya yang selalu bisa meluangkan waktu untuknya.

Mia tetap sayang papanya meski pria itu sudah tidak tinggal di sini. Dia tinggal bersama wanita selain mamanya dan anak lain selain dirinya.

Mia anak terbaik yang mama punya!

Itu adalah pujian yang sangat membanggakan. Mia senang sekali.

"Mia mau dibacain buku dongeng mama."

"Iya ayo, sekarang Mia tidur ya. Mama bacain cerita yang bagus."

Wanita itu menghabiskan waktu untuk menceritakan kisah anak-anak kepada putri kecilnya. Mia senang mendengar suara mamanya yang begitu lembut.

"Mama kalau udah gede Mia mau jadi penulis!" ucap Mia begitu tiba-tiba, padahal matanya sudah hampir menutup tadi.

"Penulis?"

"Iya! Biar bisa nyiptain cerita-cerita yang keren untuk anak-anak dan orang lain!"

"Mia pengen nulis cerita petualangan sama teman-teman Mia. Pasti seru banget! Nanti mama yang bikinin gambarnya."

"Terus nanti dibacain sama mama, Mia jadi seneng!"

"Iya pasti mama buatin kalau buat Mia. Terus mama bacain juga buat anak kesayangan mama ini."

Padahal dulu cita-cita membuat buku anak-anak, buku dongeng yang setiap hari dibacakan oleh mamanya.

Sekarang Mia justru membuat cerita yang tokohnya seorang Arsitek seperti mamanya. Itu sebuah cerita yang sudah lama dia ketik namun tak kunjung selesai juga.

Karena kenyataanya dia tak akan pernah bisa membuat seorang tokoh yang mirip dengan ibunya. Cerita yang dia buat sepenuh hati itu, mungkin akan menjadi tulisan yang terakhirnya.

Jeremy menertawainya saat dia mengatakan tentang cita-citanya.

Mungkin semua orang juga akan melakukannya. Ah tidak juga, mereka pasti akan berkata kepadanya untuk meminta uang kepada ayahnya dan pergi dengan segera.

Tidak.

Mia sudah menabung untuk itu. Sudah lama dia menyisihkan uangnya untuk pergi ke Dubai.

Mia harap sebelum tahun depan dia bisa pergi ke sana. Karena tahun depan kemungkinan udah tidak ada harapan untuknya.

Mungkin ada tapi mia memilih tak berharap apa-apa. Karena dia sendiri tidak tergerak untuk mengobati penyakitnya

Ya, Mia memang sakit.

Tumor otak yang mungkin akan segera berubah menjadi kanker otak.

Dokter Tomi bilang kepadanya untuk segera berobat. Karena jika sudah memasuki stadium 4, panyakit itu sudah tak bisa lagi disembuhkan. Dan rata-rata harapan hidup penderitanya hanya berkisar 15 bulan.

Justru itu yang Mia inginkan. Bukan kesembuhan penyakitnya melainkan kenaikan tingkat stadiumnya.

Hari itu pertama kalinya Mia datang ke rumah sakit lagi setelah tiga bulan dia didiagnosis penyakit itu. Masih stadium awal.

Mia tergerak karena Jeremy yang banyak memprotes rasa makanan buatannya. Mia pikir indra sensorik dan pengecapnya sudah mulai rusak.

Mia ingin tahu apakah sudah lebih parah dari sebelumnya?

"Kamu gila Mia! Baru kali ini aku melihat ada orang yang tertawa setelah didiagnosis terkena tumor otak."

"Nggak bahaya tuh dokter ngatain aku gila? Hmm tapi gak salah juga. Dokter kan tahu aku banyak minum obat dari psikolog soalnya. Anggep aja aku gila."

"Kamu harus berobat! Aku tidak mau tau! Jangan sampai kamu berakhir seperti ibumu."

"Akan aku pikirkan, tapi nggak sekarang."

"Mia!"

Dokter Tomi berbohong kepada Sagara. Saat itu Mia tidak datang untuk mengambil berkas ibunya.

Lagi pula siapa yang akan percaya itu? Dokumen rumah sakit kan bersifat rahasia.

"Berobat itu wajib Mia! Kalau kamu nggak punya uang-"

"Bukannya aku nggak punya uang."

"Lalu apa yang membuamu keras kepala tidak mau berobat?!"

Karena Mia memang tidak memiliki keinginan untuk mengobati penyakitnya.

Tidak apa-apa mati karena penyakit ini dibanding mati bunuh diri dan kemungkinan digagalkan oleh Jeremy kedua.

Obat sakit kepala dan pil penahan rasa sakit sudah cukup untuknya.

Ting!

Sebuah pesan masuk dari papanya. Mia membukanya dengan cepat.

Papa
Mia, sudah lama kamu nggak main ke sini.

Papa
Ayo kita makan bersama. Papa kangen.

Mia
Maaf ya pa, Mia juga baru aja berpikir mau main ke sana kok.

Mia
Besok akhir pekan Mia ke sana

Ngeles aja sih Mia. Dia seneng ketemu papanya tapi malas jika harus bertemu dengan ibu tiri dan adiknya yang satu itu.

Tidak apa-apalah. Kebetulan kan dia juga ingin pergi ke rumahnya di komplek. Kemarin saat makan malam keluarga Ariendra Mia hanya bisa lewat tanpa bisa masuk ke dalam.

•••

Mia
Gue mau pergi ke rumah papa. Cuma mau bilang doang sih. Oiya balik malem karena mau mampir ke rumah gue

Tidak ada balasan dari Jeremy. Yah, Mia tidak peduli jika. Manusia hits itu pastilah sibuk bekerja.

Mia harus mengerti, meskipun statusnya istri Jeremy bukan berarti Jeremy mau tau dan harus tau apa yang dia lakukan.

Mari berpikir begitu agar tidak sakit hati berlebihan. Toh Mia juga pandai dalam mencueki orang.

Tapi Mia langsung merasa sial begitu datang ke rumah papanya dan disambut oleh manusia bernama Mabelle.

"Lo nunggu gue? Wah gue tersanjung." ucap Mia, padahal dia belum melewati pintu rumah ini. Bella sudah menghadangnya di depan.

Gaya songongnya seperti biasa. Remaja SMA puber ini menatapnya penuh kebencian.

"Najis banget. Ngapain sih lo dateng ke sini? Ganggu ketenangan weekend keluarga gue aja."

Mulutnya itu, sebenarnya anak ini mirip siapa sih?

Papa? Mia tak melihat satupun kemiripan dari papanya yang menurun ke Bella.

Ibunya? Hm mungkin banget sih itu.

"Gue mau ketemu papa gue. Minggir!" usir Mia.

Mia ingin menghindari Bella dan masuk ke dalam, sayangnya Bella lebih dulu mencegatnya tepat sebelum Mia bisa meraih gagang pintu besar itu.

"Emangnya papa masih ngaggep lo anak!?" ketus Bella mendorong pundak Mia menjauh.

Mia menyapu pundaknya seolah sentuhan Bella barusan adalah hal yang najis. Apa Bella pikir dia berhasil menindasnya?

Dasar manusia manja dan menyebalkan ini!

"Masih lah! Orang papa yang ngundang gue kok. Gatau ya? Apa lo pikir gue dateng ke sini karena keinginan sendiri? Cih mending gue nemuin papa di luar."

"Brisik lo! Mentang-mentang udah nikah sama kak Jeremy tingkah lo jadi makin jelek aja."

"Mending lo ngaca. Punya kaca gak di rumah? Apa perlu gue belii?" Mia selalu bisa menjawab ucapan Bella dengan savage.

"Asal lo tau dari pada sama lo, kak Jeremy lebih cocok sama kak Karalyn!!"

"Hmm iya?" Mia menusuk-nusuk dagunya, berpikir keras. "Bagus deh kalau lo mikir gitu. Dari pada sama lo juga gue lebih setuju Jeremy cocok sama Karalyn."

"Diem lo yatim!"

Plak!

Mia menampar keras tangan Bella yang mau menamparnya. Mulut Mia sudah ingin membalasnya dengan perkataan yang sama kejamnya.

"Lo anak haram juga mending diem!"

"KAK MIAAA!"

Untunglah Mars datang di saat yang tepat. Anak laki-laki berusia sekitar delapan tahunan itu berlari dan memeluk kakinya.

Mia lega dia tidak jadi bicara kasar. Atau mungkin akan ada drama yang lebih besar dari pada ini.

"Mia, sejak kapan kamu dateng. Bella? Kok kakaknya nggak diajak masuk." Papa Mia datang menyambut Mia.

"Baru aja kok pa, kebetulan ketemu Bella di sini. Mia nyapa dia dulu." ucap Mia tersenyum tipis.

Gadis itu memelototinya dengan kejam. Dia masih saja mengusapi tangannya yang sakit. Perasaan Mia tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk menepisnya deh.

"Yasudah ayo ke meja makan. Eva sedang menyiapkan makanan, kamu bantu mama ya?" ucap papanya.

"Kan ada anak papa yang ini." ingin sekali Mia berkata begitu.

"Kak Mia ayoo main sama aku aja!!"

"Lebih seru main sama kak Mia dibanding kak Bella!"

"Ayoo ayooo!"

Woah untung saja jagoan kecilnya ini ada di pihaknya. Jadi Mia bisa menghindar dari tugas membantu istri papanya itu. Wajah kesal Bella membuat Mia terhibur.

Mia bermain mobil-mobilan dan merakit puzzle bersama Mars di kamar anak itu. Lalu dua puluh menit berselang Mia sudah dipanggil dan disuguhi banyak makanan di atas meja.

Memang selalu begini kok. Makanya tidak buruk-buruk amat pergi ke sini. Papanya selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

"Kamu harus bangga sama papa kamu Mia, dia mulai mengembangkan bisnisnya ke banyak sektor."

"Beneran pa?"

"Iya," ucap papa Mia bangga. "Besok uang saku kamu papa tambahi ya."

"Mia kan nggak minta pa. Udah ada Jere yang ngasih Mia uang."

"Cih pengemis."

Suara lirih itu Mia bisa mendengar dengan jelas keluar dari bibir Bella.

"Doakan papa kamu ya Mia biar usahanya lancar selalu," ibu gadis itu langsung menimpali dengan ucapan lain.

Sengaja banget tuh agar papa tak bisa mendengarnya. Kebiasaan.

"Ya, tanpa mama minta juga Mia bakalan doain yang terbaik buat papa dan keluarga ini."

Papa Mia tersenyum senang. Mia putrinya memang sangat baik. Dia merasa bersalah sudah meninggalkan Mia dulu. Putri kesayangannya itu seharusnya tinggal di sini bersamanya. Tapi Mia lebih menyukai rumah lama milik ibunya.

"Gimana hubungan kamu sama Jeremy?" tanya mama tirinya.

Kenapa wanita ini selalu punya banyak pertanyaan sih? Tidak bisakah dia membiarkan Mia makan dengan tenang?

Kalau tidak bertanya pasti ada saja sesuatu yang dia pamerkan. Memang ucapannya begitu halus. Tidak ada yang sadar kalau wanita itu sedang mengintimidasinya.

"Baik-baik aja. Aku bahagia nikah sama Jere." Mia tersenyum lebar. Dia tentu saja harus menunjukan kalau dirinya sangat bahagia saat ini.

Lebih lebih lebih bahagia!

"Syukurlah! Lalu kapan kalian berencana ingin memiliki anak?"

"Uhuk uhuk!"

"Uhuk!"

Mia terbatuk-batuk mendengar ucapan mama tirinya barusan. Bella juga sama syoknya sampai tersedak makanan dan ikut terbatuk.

Bella menatap Mia sengit. Dia benci pembicaraan ini!

Papanya malah terlihat excited, menyebalkan sekali!

"Mia belum ada rencana apa-apa soal anak."

Tidak mungkin, Mia tidak berencana mengandung anak Jeremy. Dia tidak memikirkan itu sama sekali.

"Begitu yaaa.." suara mama tirinya terdengar sedih. "Padahal mama nunggu banget loh."

"Pasti nyenegin soalnya anak kamu besok jadi cicit pertama di keluarga Ariendra. Disayang banget sama kakek neneknya, siapa tau dapat bagian paling banyak."

"Eva, kamu bicara apa sih?" tegur papa Mia.

Tuh kan aslinya memang begitu. Pikiran ibu tirinya ini tidak jauh jauh dari uang. Iyalah, dapat papanya juga karena ngincer uangnya. Tapi syukur kalau bisnis papanya baik-baik aja dan malah makin berkembang.

Mia gak bohong saat mengatakan dia mendoakan keluarga ini agar selalu bahagia.

Makan siang yang seharusnya singkat itu menjadi panjang karena Mia harus banyak mendengarkan omong kosong ibu tirinya.

Lalu soal anak... cicit dan apalah itu Mia tidak memikirkannya sama sekali.

"Kamu menginap di sini saja Mia." pinta papanya.

"Enggak pa, Mia pulang aja. Mia mau lihat rumah mama soalnya. Udah lama nggak masuk ke sana." balas Mia bermitan kepada papanya.

Ah, Mia juga tidak mau mengambil resiko berurusan dengan Bella, si bocah gila itu.

Pukul empat sore Mia sampai ke rumahnya. Dia masuk ke dalam dengan kunci yang selalu dia bawa. Mia menutup gerbang itu lagi sebelum melangkah ke dalam.

"Baru ditinggal sebulan lebih udah berdebu banget," gumam Mia menatap ke seluruh penjuru rumahnya.

Dia memang membiarkan keadaan rumahnya tetap seperti biasanya. Tidak ada yang berubah.

"Terus kalau gue tinggal besok gimana ya?" gumam Mia menghembuskan napas panjangnya. "Haruskah gue biarkan tetap seperti ini?"

"Menurut mama gimana?" tanya Mia pada udara hampa.

Tidak ada jawaban.

Hening.

Sangat hening, seperti keadaan rumah ini.

Hua kemarin gue post chap baca duluan di KK rame banget. Kalian gak sabar banget sih. Seneng banget gue karena cerita yang gue buat sambil mewek-mewek ini berhasil😭

Baca duluan chapter 21-30 mau di up kapan nih? Udah gak sabar? Atau masih kuat nunggu?

BANYAK-BANYAK MAKASIH YAH UNTUK 1K FOLLOWERSNYA🥹 BAPER GUE, GAK NYANGKA MULAI DARI 0 TO 1000. SATU ORANG BAGI GUE SANGAT AMAT BERHARGA BANGET❤️
TERIMAKASIH BESTIEKU SEMUAAA.

PANTENGIN KK YA TIAP GUE UP DI SANA. BAKALAN GUE SEDIAIN BANYAK VOUCHER BUAT SYUKURAN KECIL-KECILAN❤️

Continue Reading

You'll Also Like

21.7K 3.4K 22
: Yang dingin juga bisa meleleh kalo di angetin terus tiap hari. TSUNDARE ⓒ CIRIEKINNA
3M 148K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.6K 202 8
"Jadi kita menerimanya?, tanpa paksaan dan atas kemauan bersama?" "Iya, tanpa paksaan dan atas kemauan bersama. Kita menerimanya" Perjodohan tidak se...
12.7K 1.7K 40
Winter itu cumalah seorang pelukis. Mimpi buruk yang kebiasaan dialami membuatkan Winter merasakan warna dalam lukisan corak kehidupannya jadi berkur...