Mawar yang Patah

By excL_06

156 29 1

Annelise Adalgiso, putri kerajaan yang memilih tinggal pada kastil tua dipinggiran kota. Bak mawar merah yang... More

BREAKING NEWS
Satu-A
Satu-B
Satu-C
Dua-A
Dua-B
Tiga-A

Dua-C

10 2 0
By excL_06

Hari berganti, bulan berlalu, entah sudah keberapa kalinya Annelise dan Arthur saling mengirim surat, pagi ini Annelise bersantai di halamannya. Burung-burung sibuk terbang mencari rerumputan kering untuk membuat sarang, kicauannya menenangkan, sedang rumput dan ilalang bergoyang lembut diterpa angin pagi ini. Beatrice datang memberinya amplop coklat, Annelise menerimanya dan membacanya dengan seksama di halaman kastil, ia tersenyum. Seiring waktu, sedihnya akan Natan terlupakan, perasaan nyaman dengan kehadiran Arthur mulai ia rasakan.

"Charlotte," panggilnya. Annelise bangkit dari duduknya, "siapkan baju terbaikku, aku ingin pergi menemui seseorang," ujarnya kemudian.

"Baik Nona," Charlotte pergi, mempersiapkan baju terbaik untuknya.

***

Annelise menatap dirinya pada cermin tua di kamarnya, benar-benar baju terbaiknya. Jubah putih yang begitu sederhana dengan lengan yang dipenuhi manik-manik. Annelise menoleh ke arah kanan dan kiri perlahan, menatap polesan sederhana di wajahnya, ia meraih perona bibir dan mengoleskannya sedikit, menampakkan aksen sederhananya, menambah gincu merah pada bibirnya sedikit, kini ia benar-benar mempesona. Charlotte memasuki kamarnya

"Perlu kusiapkan kereta kuda untukmu Nona?" tanyanya. Annelise menggeleng, meraih anting-anting merah darah dan memasangnya pada kedua teinganya.

"Tidak perlu, aku akan berjalan," Charlotte kemudian berjalan keluar dari kamar Annelise. Annelise kembali menatap dirinya pada cermin dari ujung kepala hingga kaki, tersenyum manis.

Annelise meraih jaketnya, meletakkan di kedua bahunya dan mengikatnya pelan, ia berjalan keluar dari kamarnya, suara hentakan sepatu Annelise memenuhi sudut-sudut lorong yang sepi. Annelise memetik setangkai mawar merah segar di halamannya, membersihkan duri-duri mawar dengan jemari lentiknya membuat satu jemarinya mengeluarkan setets darah akibat duri itu. Ia menyematkan mawar ranum itu sebagai hiasan di kepalanya. Annelise terus berjalan, menikmati jalanan yang mulai ramai.

Annelise sampai pada sebuah telaga, disana seorang lelaki menunggunya. Annelise tidak tahu itu siapa dan menerka bahwa itu adalah Arthur, tapi punggung itu tidak asing baginya. Annelise berjalan mendekati lelaki itu.

"Permisi Tuan," sapanya pada si Tuan membuat lelaki itu berbalik badan. Harapan Annelise pudar, sebab dia lelaki yang membantunya, bukan Arthur.

"Hm?" jawab pria itu singkat.

"Oh maaf, aku rasa aku salah mengenali orang," ujar Annelise mencoba berbalik badan untuk meninggalkan pria itu sendirian.

"Aku rasa kita pernah bertemu Nona?" tanya si pria

"Ah iya, kau pernah menyelamatkanmu Tuan. Aku lupa berterima kasih padamu saat itu," Annelise kembali berbalik hadap, "Terimakasih," Annelise memberi ucapan terima kasih pada pria itu dengan sedikit membungkukkan badannya.

"Ah benar, kau Nona pada malam itu," si pria tersenyum, "tidak perlu terlau formal Nona," ujarnya kemudian. Annelise tersenyum, "Oh iya, kau ingin menemui seseorang? Aku rasa tadi kau salah mengenaliku sebagai orang yang kau cari. Benar begitu Nona?" tanya nya kemudian.

"Emm, benar. Aku sedang menunggu seseorang. Aku pikir kau tadi orang itu, maaf sudah salah mengenali."

"Ah tidak apa-apa," jawab pria itu kemudian.

"Boleh aku tahu siapa nama Tuan?" Annelise tersenyum, mencoba menghilangkan kecanggungan mereka berdua. Pria itu terbahak.

"untuk apa Nona, saya rasa wanita terpandang seperti Nona tidak layak untuk mengenal laki-laki seperti saya."

"Ah, Tuan mengada-ada. Aku tidak seterpandang itu."

"Aku tidak yakin, bicaramu sungguh bukan seperti kebanyakan orang Nona,"

"Tuan bisa saja," kedua manusia itu saling menatap sebentar, kemudian melemparkan pandangan mereka pada telaga di depan. Angin menerpa kehengingan diantara mereka.

"Kau percaya pada kata cinta Nona?" tanya pria itu tiba-tiba. Annelise berharap Arthur akan datang saat ini, menyelamatkan ia pada pertanyaan yang tidak ingin dijawab olehnya.

"Cinta? Apa itu?" Annelise kembali bertanya.

"Kurasa kau tahu apa maksudku Nona," Annelise dan pria itu saling menatap, dalam, ada sesuatu yang sulit diartikan jauh di dalam sana. "Ya maksudku, kau terpandang, tentu kau dikelilingi oleh banyaknya cinta. Benar bukan?" Annelise tersenyum

"Cinta darimana yang kau maksudkan Tuan, cinta keluarga yang rela mengkhianati aku? Atau cinta seseorang pria yang berani mengingkari janjinya? Aku hanya percaya bahwa cinta adalah satu hal yang paling mematikan di dunia," Annelise tersenyum lagi, air matanya sepertinya sudah berkumpul untuk jatuh secara bersamaan, perih. "lantas menurut Tuan, kau percaya cinta?" tanya Annelise. Lelaki itu terdiam sejenak.

"Ya, aku percaya,"

"Mengapa? Apa karena kau tidak pernah terluka karena cinta? Atau kau menghibur diri karena sudah sering tersakiti oleh cinta? Hm?"

"Aku pernah tidak percaya, dan itu dulu. Sekarang aku percaya cinta. Sebab dari cinta, aku menemukan binar dari mata indahnya, bahagianya, dan segala tentang dia memenuhi fikiranku, dan itu selalu." Annelise tersenyum malu, ia membayangkan jika yang mengatakannya adalah Arthur, sungguh Annelise sepertinya telah jatuh cinta pada Arthur.

"Hufthh," Annelise membuang nafasnya lembut dan berat, mengalihkan pandangannya untuk menutupi ranum merah di pipinya.

"Ada yang salah dari ucapanku Nona?" pria itu tersenyum melihat tingkah aneh dari Nona dihadapannya, dan itu Annelise.

"Jangan terlalu percaya pada cinta, ia akan jadi bumerang untukmu, Tuan!" Annelise tertawa kecil. Baginya, persetan dengan kata cinta setelah perasaan cintanya dirusak satu persatu, tercabik cabik secara perlahan.

"Bagaimana kalau aku enggan berhenti mencintainya? Bagaimana kalau aku rela mati demi dirinya? Yah, meskipun aku baru mencintainya beberapa waktu lalu, tapi aku yakin perasaan ini benar-benar cinta."

"Pemikiranmu sungguh bodoh, Tuan!", Annelise menatap pria itu, tatapan penuh ejekan, "dasar budak cinta, perjuangkan saja gadis yang kau sukai itu, aku harap dia tidak akan menolakmu saat kau menyatakan cinta padanya. Apalagi setelah ia tahu bahwa kau adalah pria budak cinta." Annelise berbalik hadap, melangkah pergi sebab yang ditunggu tak kunjung datang.

"Lalu bagaimana kalau kau adalah gadis itu? Kau akan menolakku?" Annelise terhenti.

Pria ini sungguh menyebalkan, andai yang mengatakan itu padaku Arthur - batinnya

"Aku ini banyak lukanya, Tuan. Lagipula, sejak dahulu tidak pernah ada yang lama menungguku, jangankan menunggu, mengenal saja tidak mau. Dan kenyataannya, semua orang selalu takut padaku. Mati saja kau dalam cintamu itu," jawab Annelise, "toh aku ini pembawa sial, kau mencintaiku sama dengan kau mencari sial di hidupmu. Dan satu lagi, aku ini murah, carilah wanita yang lebih berkualitas dari pada aku. Mencintaiku sama dengan mempercepat kematianmu!" tutur Annelise dengan tegas. Padahal pipinya saat ini sungguh benar-benar seperti kepiting rebus, tapi ia mencoba redam sebab pria itu bukan Arthur, sosok yang ia harapkan. Annelise sungguh naif, jika pria lain yang mengatakan cinta ia menolak sebegitu kuatnya, namun dihatinya masih mengharapkan Arthur untuk mengatakan hal bodoh itu padanya.

"Tak peduli kau banyak lukanya," pria itu pelan sembari berjalan kearahnya, "Nona Annelise," pria itu kini tepat disampingnya, senyumnya menggoda tepat pada saat Annelise menoleh kearahnya. Sungguh Annelise tidak mampu menyembunyikan rasa malunya, ia seolah dibuat terbang oleh ucapan pria itu.

"Emm, aku akan pergi, sepertinya yang aku tunggu tidak akan datang," Annelise menjawab canggung dan begitu kaku, lalu menyincingkan kain roknya sedikit, berniat pergi dari sana. Pria itu menghalangi jalannya, tersenyum lalu membungkukkan badannya sambil mengepalkan kedua tangannya pertanda sebuah permintaan maaf, sungguh senyuman yang mematikan bagi Annelise.

"Maaf, aku terlalu lancang padamu," pria itu mengangkat kepalanya, "Putri Annelise, hamba adalah Arthur. Maaf jika kesannya aku sudah mempermainkanmu," Annelise terkejut, benar-benar terkejut. Kalimat itu seolah terdengan seperti sebuah sihir bagi Annelise. Annelise berjalan mendekat pada Arthur, berjinjit sedikit membuat tinggi Annelise hampir sama dengan Arthur. Annelise mendekatkan bibirnya di sebelah Arthur.

"Sial, senyummu sungguh menghentikan detak jantungku, Tuan! Sungguh mempesona. Bisa-bisa aku mati dalam senyumanmu," bisik Annelise pelan namun tertangkap jelas oleh pendengaran Arthur, nafas yang begitu hangat.

"Dan aku, sungguh benar-benar mencintaimu, Annelise Adalgiso!" Annelise benar-benar mematung kali ini, ia akan mati dibuat mati oleh Arthur. Dasar Annelise, wanita naif soal cinta.

Disinilah kisah mereka dimulai. Kisah si mawar ranum yang kelopaknya akan hancur karena cinta, menyedihkan.

Bersambung
..........
Jangan lupa baca cerita "Perih pertama"

Terima kasih untuk supportnya teman-teman

Continue Reading

You'll Also Like

79K 5.4K 22
Arsyakayla Attaya, biasa dipanggil Kayla seorang gadis berumur 18 tahun. Ia adalah gadis yang ramah dan lembut ia juga sangat baik dan perduli terhad...
135K 12.7K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
162K 10K 18
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
90.1K 12.7K 22
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...