DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)

embrassesmoi által

246K 43.8K 15.3K

Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarg... Több

MOODBOARD
DTYT-Avoir un coup de foudre
DTYT-Les yeux dans les yeux
DTYT-Ne pas faire d'omelette sans casser des oeufs
DTNT-La première fois
DTYT-Avoir envie de quelqu'un
DTYT-Avoir du pot
DTYT- Mon Dieu!
DTYT-Avoir le cœur qui bat la chamade
DTYT-Avoir le coeur sur la main
DTYT-Vivre d'amour et d'eau fraîche
DTYT-Mal tourné
DTYT-De mal en pisfrom
DTYT-Le cœur lourd
DTYT-La première fois
DTYT-Quel choc!
DTYT-Un beau parleur
DTYT-Tomber dans le panneau
DTYT-Un bordel
DTYT-Je ne suis pas né de la veille
DTYT-Commencer une relation
DTYT-La vache!
DTYT-Péter Le Feu
DTYT-Ça alors!
DTYT-Les carottes sont cuites
DTYT-Ca suffit
DTYT-T'es malade ou quoi?
DTYT-J'en ai ras-le-bol!
DTYT-Être dans le ou au trente-sixième dessous
DTYT-Se mettre en boule ou en pétard
DTYT-Le soleil se lèvera et nous essayerons à nouveau
DTYT-Je ferai tout ce que je peux
DTYT-Et puis quoi encore?
DTYT-Mettre de l'huile sur le feu
DTYT-C'est la goutte d'eau qui fait déborder le vase
DTYT-Trouver la perle rare
DTYT-La raison d'aimer, c'est l'amour
DTYT-L' amour donne des ailes
DTYT-C'est la fin de l'histoire

DTYT-Loin des yeux, loin du cœur

5.5K 1K 474
embrassesmoi által

Loin des yeux, loin du cœur

Out of sight, out of mind



"Di sini?"

Handjoko berdiri, menatap ke arah kolam renang The Kings Hotel & Resort, tepatnya ke area di mana kecelakaan di tempat syuting menimpa Upih tadi. Kedua tangannya terlipat di sisi pinggang, sementara matanya mengarah ke arah sekitar termasuk ke beberapa kamera dan kru yang masih berkumpul di tempat syuting ini.

"Director, pihak brand, sama perwakilan production house-nya ada di mana? Bisa saya ketemu mereka sebentar?" tanyanya, memutar tubuh agar bisa berhadapan dengan kru yang tadi mengantarkannya ke sini.

Pria bernama Samsul—yang tadi sempat berkenalan singkat dengan Handjoko di perjalanan menuju ke sini—menengok ke kanan dan kiri—terlihat seperti mencari sesuatu, sebelum dia menggelengkan kepalanya. "Sepertinya sedang istirahat, Pak."

Dibalik sikap tenang yang ditampilkan Handjoko, ada perasaan kesal dan heran ketika jawaban barusan ia dapatkan setelah ada kecelakaan besar yang menimpa salah satu talent aktris mereka. "Bisa minta tolong dipanggilkan? Saya mau bertemu sekarang," pinta Handjoko, masih berusaha bersikap sopan.

Setelah Samsul pergi dari hadapannya, Handjoko kembali menghadap ke arah kolam renang. Keningnya berkerut dalam ketika mengingat lebam di wajah Upih tadi, bukannya itu bisa disebut kecelakaan besar di lokasi syuting, ya? Dan bagaimana orang-orang di sini bisa bersikap se santai ini ketika mengetahui kalau Upih terluka parah?

"Maaf, Pak." Handjoko menolehkan kepala, dia menemukan seorang pria yang ternyata dibawa Samsul. "Perkenalkan, Pak, saya—"

"Kamu siapa?" potongnya, bahkan pria di belakangnya itu belum selesai memperkenalkan dirinya. "Director? Pihak brand, atau perwakilan PH? Kamu yang mana?"

Pria itu menggelengkan kepala, "Bukan, Pak. Saya ini perwakilan—"

"If you're not one of the people I mentioned, I don't want to talk to you." Masih menatap pria yang kini membungkam bibirnya, tangan Handjoko bergerak menunjuk seseorang yang berdiri di seberangnya—salah satu kru juga. "Stop filming me, or you're going to get what you deserve," ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya ke pria yang kini memutar kepalanya dan menatap tajam kru yang dimaksud Handjoko dan membuatnya menurunkan handphone sambil menundukkan kepalanya.

Suasana di lokasi syuting yang tadinya berjalan biasa-biasa saja mendadak berubah sedikit mencekam, beberapa kru bahkan berhenti di tempat mereka—tidak berani pergi ke mana-mana.

Handjoko sendiri mencoba mengendalikan emosinya karena dia pendatang baru di sini—salah satu perwakilan Daher Reu—yang sudah pasti harus bisa menjaga perilakunya sebagai tamu. However, the people he was dealing with were utterly unaware of the concept of politeness, which he was still attempting to retain despite the fact that his emotions were running high at the time.

"Pak, ini bisa kita bicarakan baik-baik, kok. Setelah ini, saya akan memanggil—"

"Han!" Dari balik kacamata yang digunakannya, Handjoko bisa melihat dengan jelas sosok Terang yang berjalan menghampirinya. "Nyusul aja ke atas. Yang di sini nanti biar diberesin sama orangnya Suta, they are on their way here." Belum juga mendekat, Terang kembali memutar arah dan berjalan masuk ke arah dalam restoran setelah Handjoko menganggukan kepalanya.

Mengabaikan Samsul dan pria yang dibawanya, Handjoko berjalan dan berusaha menyamakan langkahnya dengan Terang.

"Heran, ya, sama orang-orang tadi?" Terang melirik sekilas begitu Handjoko berhasil berjalan bersisian dengannya.

Diingatkan lagi, kepala Handjoko bergerak menggeleng—seakan tidak habis pikir. "They must be familiar with Upih and her family's background, right? How could they be so nonchalant after making such a huge mistake with someone whose name is so well-known here?"

Mendapati Upih yang kesakitan dan sendirian di saat dia dikerubungi kru yang sama sekali tidak membantunya sama sekali sempat membuat Handjoko bertanya-tanya, tidak perlu sampai mengenal baik sosok Upih untuk bisa menaruh rasa simpati dan prihatin tentang kecelakaan yang menimpa wanita itu.

"Nggak usah bawa-bawa nama keluarganya, nama Upih sendiri aja udah besar di sini. For the same reason, Upih may be both an idol and an easy target of hatred." Terang berhenti melangkah begitu keduanya sampai di depan lift. "It's like seeing two sides of the same coin. Kadang, nama Upih di eluh-eluhkan, dan bisa juga dihujat habis-habisan. Nggak pasti, Han," tuturnya sambil berjalan masuk ke dalam lift dan Handjoko mengikutinya dari belakang.

Setelah Terang menempelkan acces cardnya, Handjoko menekan angka 11 di hall button.

Ternyata di negara manapun sama saja, ya? The way society treats and judges people with big names is similar; they will treat these people anyway they see fit.

"Ini kebetulan Upih lagi sial aja. Dia sama agensinya nggak teliti, asal terima tawaran iklan—katanya, sih, karena Upih murni mau bantu soalnya yang punya brand itu temen dari adiknya Wita," jelas Terang detail, cukup mengejutkan Handjoko karena Terang tidak ada di tempat saat ia, Wita, dan Suta bertemu pertama kali dengan Upih.

Sambil memandang hall indicator, Handjoko menyahut, "You seem to know a lot."

"We are used to fixing issues swiftly because we have a lot of other work to complete." Di sebelahnya, Terang ikut menatap ke arah hall indicator. "Tadi, gue dapat kabar dari Suta—voice note-nya Upih—terus sempet minta kiriman cctv dari hotel di kolam renang tadi, setelahnya gue kirim ke Suta semuanya soalnya dia sama timnya yang bakal urus sisanya." Terang sempat menyikut lengannya, tepat sebelum pintu lift terbuka.

Okay, hal itu memang tidak bisa diragukan mengingat sudah banyak masalah ataupun hal penting lainnya yang dikerjakan Handjoko bersama Wita, Terang, dan Suta bisa selesai dalam waktu cepat.

Keduanya lalu berjalan menuju kamar Handjoko dengan dia yang memimpin jalan, setelahnya Handjoko menempelkan acces card-nya yang lain dari saku celana.

"Ini nanti saya resepkan obat, ya, sama sekalian obat tetes matanya." Dari arah dalam kamar, suara asing terdengar—sepertinya dari dokter ketika Handjoko menutup pintu kamarnya. "Untuk matanya ini karena ada benturan keras di sekitar mata, makanya bisa pendarahan begitu. Tapi, nggak separah itu. Cuma memang sakit sama mengganggu penglihatan, ya? Itu nanti darahnya bisa terserap sendiri, tapi prosesnya memang agak lama, ya, Mbak Upih. Sekitar 2-3 minggu an."

"Kalau bagian pipinya, Dok?"

"Sama, kok. Itu juga karena benturan keras, makanya bisa lebam dan bengkak begitu. Pokoknya, rajin dikompres aja, sama obat dari saya juga harus dikonsumsi, ya, Mbak Upih. Nanti setelah agak membaik, saya bakal hubungan ke dermatologist juga."

"Tapi, nggak ada yang parah, 'kan, ya?"

"Nggak ada. Cuma nyeri aja kali, ya, Mbak Upih?"

Bersama Terang, Handjoko lebih memilih untuk menunggu di ruang tengah selagi Upih sedang diperiksa oleh dokter di dalam kamar yang ditempati Handjoko.

Terang lagi-lagi menggelengkan kepalanya ketika ia menerima mineral water dari Handjoko yang sebelumnya telah menawarinya, "Sukma would go crazy if she knew Upih was being treated like this in her hotel..."

"Even worse is the attitude of the brand and everyone who took part in today's ad shoot." Handjoko ikut duduk di sebelah Terang setelah dia menegak mineral water-nya sendiri.

"They all know who they're dealing with, but they have to do their job too." Apa yang dimaksud Terang barusan itu berarti ada orang 'besar' lain yang merencanakan ini semua?

Belum juga dia sempat menanyakan kelanjutannya ke Terang, suara Wita dan Suta dari dalam kamar membuat kedua orang di ruang tengah menoleh bersamaan ke arah pintu kamar Handjoko yang terbuka.

"Itu gimana, sih, kronologi detailnya? Luka lo sampai gitu, Pik..."

"Memang segitu parahnya?" tanya Terang, dia kembali menoleh ke arah kamar Handjoko yang ditempati Upih sekarang.

Handjoko mengangguk, dia tadi sempat terkejut ketika melihat keadaan Upih saat mereka bertemu di The Kings Restaurant setelah menyelesaikan pertemuan singkatnya bersama Wita, Suta, dan Terang. "Parah."

Mendengar jawaban singkat itu, Terang akhirnya berdiri dari sofa dan berjalan menyusul masuk ke dalam kamar bersamaan dengan Widya—asisten Upih—dan dokter yang datang memeriksa keadaan wanita itu keluar dari kamar.

Ia sempat berdiri dan menundukkan kepala, memberikan salam ke dokter dan Widya yang menyapanya sebelum mereka berdua berjalan keluar dari kamar hotel yang ditempati Handjoko itu.

"Rada bingung, sih. I didn't anticipate it to be this awful, but I was expecting it based on the pain I had when she elbowed me in the water earlier." Suara Upih terdengar semakin jelas ketika langkah Handjoko bergerak mendekat ke arah kamar yang ditempati Upih, dia memilih berdiri di depan pintu dan melihat Upih yang sekarang bersandar duduk di ranjangnya. "Sebelum kita menyelam, tuh, dia beberapa kali narik tangan gue. Gue mikirnya si Bella memang lagi nervous aja soalnya dia minta supaya kami bisa pegangan tangan, tapi begitu kami menyelam—Bella malah narik tangan gue, causing me to stutter in the water.

"I knew we had to recreate the scene, so I wanted to get to the surface as soon as possible. Tapi, Bella tiba-tiba aja nyikut muka gue, dan itu dua kali—that is why I said she did it on purpose, and she also stated that I did not want to let go of her hand when she was nearly out of breath."

According to the stories she just heard, the atmosphere back then must have been chaotic and frightening. Entah harus heran atau kagum, Upih malah bisa bersikap tenang terlepas dari kecelakaan yang sudah pasti sempat membuatnya terkejut itu.

Suta yang berdiri tidak jauh dari Handjoko lalu menyahut, "Ini pertama kalinya lo ketemu sama dia, Pik?"

"I've met her several times, but this is my first project with her." Dengan wajah lebam dan mata sebelah kiri yang agak membengkak, Upih menatap ke arah Suta sambil menggelengkan kepalanya.

Mungkin bukan cuma Terang saja yang heran, semua orang yang berada di kamar ini—termasuk Handjoko—cukup bingung dengan fakta bahwa ini pekerjaan pertama keduanya, tapi salah satunya sudah berani membuat masalah ke aktris yang bisa dibilang jauh lebih senior darinya.

Handjoko sendiri berpikir kalau tidak ada alasan yang jelas kenapa wanita itu bisa melukai Upih—

"Bella itu pacarnya Oliver," jelas Upih.

Dan, siapa Oliver—

"Oliver siapa?" tanya Wita, menyuarakan pertanyaan yang sama seperti apa yang dipikirkan Handjoko.

Suta menghela napas panjang, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Mantannya Upik."

"Si sutradara itu?" tanya Terang, mencoba memastikan.

Lalu, Handjoko melihat Upih menganggukan kepalanya. "Iya, mereka baru jadian."

Handjoko ikut melipat tangan di dada, dia memutuskan berdiri dengan bersandar di samping pintu—ikut mendengarkan obrolan Upih di saat dia tidak seharusnya ada di sana.

Ini seperti bukan diri Handjoko yang sebenarnya karena pria itu sangat jarang ikut campur dalam permasalahan seperti ini, bersama sahabatnya saja—Pangeran Martaka—Handjoko memilih tidak mencampuri urusan satu sama lain meskipun Pangeran Martaka sebenarnya tidak memasalahkannya.

Dan, ini menjadi keanehan lain karena bisa-bisanya Handjoko menaruh perhatian ke obrolan seseorang yang baru dikenalnya tanpa merasa kalau dia seharusnya pergi. Handjoko bertindak secara natural, seperti dia memang sudah seharusnya ada di sana dan mendengarkan cerita Upih.

"Terus, hubungannya apa sama lo?" Wita mengerutkan keningnya, dia menarik salah satu kursi dan menaruhnya di dekat ranjang yang ditempati Upih. "Gue paham poin si Oliver pacaran sama siapa itulah, mereka baru jadian... Okay, paham." Kepala Wita bergerak mengangguk-angguk sambil mendudukkan dirinya di atas kursi. "Terus, kenapa si siapa itulah malah berulah ke lo? Karena lo mantannya Oliver gitu?"

Upih gantian yang menganggukan kepala, "Bisa jadi, sih. The media recently revealed Oliver's relationship with Bella. Then some media outlets and others compared the two of us. Mungkin dia kesel kali, ya, sama gue?"

"Perkara cowok bisa begini banget, ya, Pik?" Suta menyahut, penuh dengan nada sindiran.

Lucunya, Upih menganggukan kepala. "Women can sometimes be incredibly scary when it comes to love," tuturnya diimbuhi tawa kecil dan juga tatapan yang mengarah lurus ke Handjoko.

Kepala Handjoko bergerak miring, hampir menyentuh pinggiran pintu dan di atas ranjang Upih mengikuti gerakannya sebelum wanita itu kembali menatap ke arah Wita yang mendengkus keras.

"Ini mau lo beresin sendiri atau gimana?" Suta bertanya dan sempat membuat Handjoko kebingungan.

"Sendiri aja. Gampang juga," timpal Upih cepat dengan senyum yang sama sekali tidak terlihat cocok dengan keadaannya sekarang.

Alis Handjoko bergerak naik bersamaan ketika mendapati ketiga pria di dalam ruangan menganggukan kepalanya, "Gue bantu buat bikin ribut sebentar di bawah. Tim gue udah keburu dateng soalnya," ucap Suta sambil mengecek handphonenya.

Serius, mau dipikirkan bagaimanapun juga rasanya sulit untuk dipercaya bahwa Upih yang biasanya berisik bisa menyikapi masalah dengan tenang seperti sekarang. Sekali saja bertemu dengan wanita itu, Handjoko dulunya berpikir kalau Upih ini tipikal wanita 'berkuasa' yang banyak ditemuinya—they would make a huge deal out of anything, no matter how minor the issue.

Well, when it comes to Upih, she is well-known, and he has heard from a few people that she has a solid reputation in the entertainment industry. Mungkin karena nama besarnya itu dan lamanya dia berkecimpung di dunia ini, Upih bisa menyikapi masalah yang dihadapinya dengan tenang.

Benar-benar sangat berbanding terbalik dengan image yang dia tunjukkan di depan Handjoko.

"Thanks, ya, for helping me out." Upih masih mengulas senyumnya, menatap satu per satu sahabatnya sebelum wanita itu menatap Handjoko. "Thank you also for lending me this room; it was incredibly helpful in getting treatment swiftly." Tangan Upih bergerak melambai, seperti ingin menarik perhatian Handjoko yang melamun tadi.

Handjoko langsung menegakkan tubuhnya, kepalanya menggeleng pelan. "Santai saja."

Tidak lama setelah obrolan itu, Widya—asisten Upih—kembali memasuki kamar, rautnya terlihat pucat dan segan ketika menyapa Handjoko.

"Mbak Upih, mau pindah kamar sekarang aja?" ucap wanita itu, masih berdiri di depan pintu kamar.

Sadar kalau Widya mungkin merasa tidak nyaman dengan keberadaannya, Handjoko berjalan masuk dan berdiri di sebelah Terang dan Suta.

Melihat kalau Upih bergerak turun dari Ranjang, secara refleks Handjoko berjalan menghampiri sisi ranjang dan memegangi selimut di ujungnya agar Upih bisa mudah turun dibantu Wita dan Suta. "Nggak usah kali, ya, Widya? Kita langsung balik ke apartemen aja, soalnya tadi butuh tempat buat istirahat sama manggil dokter aja. Ini udah diperiksa juga, jadi biar istirahat sekalian di apartemen."

Bergerak cekatan, Widya juga ikut membantu Upih berdiri dari ranjang dan menggenggam tangannya. "Baik, Mbak. Saya coba hubungi Mas Danang dulu buat nyiapin mobil, ya."

Upih kembali didudukkan di tepi ranjang saat Widya memutuskan untuk menghubungi supir mereka.

"Yakin nggak mau istirahat dulu di sini? Pulang sorean aja, toh, syuting lo juga mandek," ujar Terang, ikut berjalan mendekati Upih.

"Nggak, deh. Mau balik aja, biar istirahatnya enak. Lagian, di sini juga nggak ada jaminan gue bakal nggak direcokin sama kru lain." Upih menggeleng, dia menerima bantuan dari Wita untuk kembali berdiri setelah Widya memutus sambungan teleponnya dengan Danang.

Mengingat sesuatu, Handjoko berjalan keluar dari kamarnya. Dia menuju ruang tengah, dan mengambil sesuatu dari dalam bag packnya. Setelah menemukan barang yang dicari, Handjoko kembali masuk ke dalam kamar bertepatan dengan Upih yang dituntun Terang akan berjalan keluar dari kamar.

"Mau pakai ini dulu? Bisa, nggak?" Handjoko menyerahkan masker baru ke arah Upih.

Wanita itu sempat terdiam, menatap masker di tangan Handjoko lama sebelum Widya mengambilnya segan. "Sakit nggak, sih, nanti kalau kena muka?" tanya Upih dengan tatapan yang mengarah lurus kepadanya.

Sepertinya? Handjoko jelas tidak tahu karena dia belum pernah merasakannya—memakai masker sementara wajahnya lebam.

"Sakit, ya?" tanya Handjoko balik, sementara Upih mengedikkan kedua bahunya. "Terus? Lebamnya mau ditutupi bagaimana?"

Setelah pertanyaan barusan terlontar, Wita, Suta, dan Terang seakan sadar ketika menatap wajah Upih bersamaan.

"Topi?" sahut Handjoko lagi. Widya dan Upih menggeleng, "Tadi, bukannya main tennis?"

"Nggak pake." Upih menggelengkan kepalanya lagi.

Tanpa banyak bicara, Handjoko kini berjalan menuju kopernya. Pria itu membuka dan mencari topi polo miliknya, "Mau coba pakai topi dulu, nggak?"

"Nggak nutupin banget, sih. Tapi bisa nyamarin dikit, lah, apalagi bagian mata lo." Suta menerima topi yang diberikan Handjoko dan memberikannya ke Upih. "Daripada lo begini—" katanya sambil menunjuk penampilan Upih yang cukup terang-terangan menunjukkan wajah lebamnya.

"Pinjam dulu, ya, Mas?"

"Mas?"

"Mas?"

"Mas?"

Mengabaikan Suta, Wita, dan Terang yang sepertinya berniat menggoda Upih, kepala Handjoko mengangguk.

Terang cuma bisa mendengkus, dia lalu menepuk bahu Handjoko dan mengajak pria itu untuk berjalan lebih dulu keluar kamar.

Kepala Handjoko refleks menoleh ketika ia melihat Upih berjalan sembari membenarkan topi di kepalanya, ketika kepala wanita itu menunduk, lebam di wajahnya tidak terlalu terlihat dan sepertinya ide untuk memakai topi tadi sudah benar.

"Thanks, ya, Han. Padahal ini bukan urusan lo, tapi lo masih mau bantu." Begitu sampai di luar kamar, sambil menahan pintu agar nanti Upih bisa keluar dari kamar dengan mudah, Terang menyahut dengan menepuk bahu Handjoko pelan.

"Anyone who sees and has sympathy and empathy will undoubtedly help, especially if they are someone I know. Take it easy; it's not a big issue," balas Handjoko dengan tatapan mengarah ke dalam kamar tempatnya menginap, menunggu Upih untuk keluar. "But are you sure she can handle all of these issues on her own?" Tiba-tiba saja, Handjoko mengingat jawaban yang diberikan Upih—yang baginya terkesan janggal.

Bukannya tidak sadar kalau Terang sedang menatapnya heran, Handjoko cuma diam mengabaikan—masih menatap lurus ke arah dalam kamar hotelnya. "Upih itu udah ada di dunia entertainment dari umur 16 tahun, Han. She wouldn't have come this far if she couldn't stand on her own two feet and handle her own work difficulties." Handjoko hanya menanggapi lewat gumaman panjangnya. "Tenang aja, lo nggak perlu khawatir, Han."

"Saya?" sahut Handjoko cepat, menoleh ke arah Terang setelah ia mendengar kalimat terakhir yang dikatakan pria itu.

Terang malah balik menatapnya heran sambil mengangguk, "Masa' gue?"

"You did look worried earlier," kata Handjoko setelahnya.

Suara tawa kecil Terang menguar pelan, "Ya, karena dia temen gue, Han."

Keduanya lalu bertatapan—nggak lama—karena setelahnya Upih sudah berjalan keluar bersama Widya, Suta, dan Wita.

Handjoko nggak sempat memberikan reaksi apa pun saat Terang menepuk bahunya sekali lagi sebelum dia bergabung dengan Suta dan Wita, berdiri di belakang Upih dan Widya.

"Duluan, ya, Mas. Terima kasih sekali lagi." Upih melambaikan tangan, menunjukkan senyum lebarnya yang tampak kontras di wajahnya sekarang.

Kepala Handjoko mengangguk, "Semoga cepat sembuh," katanya sebelum membiarkan Suta, Wita, dan Terang menuntun Upih untuk berjalan menuju lift.

Anehnya, Handjoko tidak buru-buru masuk. Alasannya? Satu.

Karena wanita itu—yang berjalan—hampir diseret sahabat-sahabatnya—masih sesekali menoleh ke arah belakang—ke arahnya—sebelum dia tidak terlihat lagi setelah memasuki lift.






***





"When are you coming back to Daher Reu?" Nada tidak ramah ini—yang terdengar keras—dari handphone Handjoko adalah salah satu orang yang menghubunginya di sela kegiatannya membereskan barang untuk pulang ke Daher Reu siang ini.

Handjoko mengabsen kembali barang-barangnya sebelum menutup kopernya, "Now. In 10 minutes, the royal private plane should be picking me up, Dji."

"Oh." Adji bergumam singkat. "Saya dan Raden Kacaya ada di kantormu. We need to discuss the cooperation on flight permits between Indonesia and Daher Reu because I heard Prince Martaka provide me with a nice deal," katanya dengan nada bersemangat yang sepertinya baru didengar Handjoko pertama kali dari Adji.

Tangan Handjoko bergerak menarik kopernya ke depan pintu kamar hotelnya, "Saya belum dengar apa-apa soal itu." Kalau apa yang dikatakan Adji memang benar, seharusnya Handjoko sudah mendengarnya lebih dulu.

"So hurry up and come here and make yourself helpful, since I'm just as busy as you. See you soon." Tanpa menunggu jawaban Handjoko, Adji lebih dulu memutus sambungan telepon mereka.

Handjoko bergerak melepas airpod di telinganya sambil berdecak, berurusan dengan Adji—dan beberapa konglomerat Daher Reu—selalu menjadi hal yang merepotkan.

Baru saja Handjoko mau meletakkan airpodnya ke atas meja—di samping handphonenya—ketika ia mendapati ada nomor yang tidak dikenal menghubunginya. Karena memang dia sedang terburu-buru dan itu nomor yang tidak diketahui, Handjoko memilih mengabaikannya untuk mulai membereskan barang-barang lainnya.

Lima belas menit kemudian ketika semua barang sudah dibereskan dan koper Handjoko juga sudah siap, handphone pria itu kembali berdering nyaring. Masih dari nomor yang sama, Handjoko akhirnya memasang kembali airpodnya dan duduk di sofa setelah menarik tombol hijau supaya panggilan teleponnya tersambung.

"Selamat siang. Dengan Perwakilan Konsultan Ekonomi Daher Reu, who am I speaking with, and how can I help you?"

Karena nomor telepon yang digunakan Handjoko hanya satu dan itu pula nomor yang diberikan ke rekan-rekan bisnisnya baik itu di Daher Reu maupun di Indonesia, Handjoko mau tidak mau harus memberikan sapaan formal setiap ada nomor baru yang mencoba menghubunginya.

"Hhh... Untung aja... I assumed it was an incorrect number, soalnya dari tadi nggak diangkat-angkat." Tubuh Handjoko yang tadinya bergerak bersandar ke sofa langsung mengurungkan niatnya ketika mendengar suara familiar yang ada di seberang sambungan sekarang. "Siang, Mas Joko. Sorry, ya, aku ganggu, nih. Lagi sibuk, nggak?"

Mas?

Mas Joko?

"Ini lagi siap-siap mau pulang." Meskipun merasa terganggu dengan panggilan yang dibuat Upih, Handjoko masih menjawab pertanyaan Upih.

Suara panik Upih membuat kening Handjoko berkerut dalam, "Oh, ini mau pulang? Aduh, maaf jadi ganggu Mas Joko. Itu, aku mau bilang kalau Widya tadi ke hotel mau ngembaliin topi yang aku pinjem kemarin. Terima kasih, ya, Mas."

Ah, soal itu... "Dibawa saja dulu. Bukan masalah besar, kok," jawabnya.

"Tadi sama Widya topinya dititipkan ke resepsionis, soalnya Mas Joko tadi nggak bisa ditelepon."

"Oh, jadi tadi Upih yang telepon?" tanya Handjoko.

Handjoko sempat mengerutkan kening ketika mendengar suara pekikan di seberang sambungan, "Iya, tadi aku telepon beberapa kali, tapi nggak diangkat. Soalnya, tadinya Widya mau langsung ngasih ke Mas langsung topi sama perkedel kentangnya," terang Upih, berubah berisik seperti biasanya.

"Perkedel kentang?" Handjoko tidak salah dengar, 'kan, barusan?

"Iya. Aku bawain perkedel kentang sebagai rasa terima kasih karena dipinjemin kamar sama topi," ucap Upih sambil terkekeh pelan.

Kepala Handjoko bergerak menggeleng, dia lalu bersandar di kepala sofa dan membiarkan kepalanya menengadah. "There's no need to bother, because I'm willing to help." Suara kekehan Upih masih terdengar samar. "Omong-omong, keadaan Upih bagaimana? Sudah baikan?" tanya pria itu, mengingat kejadian semacam apa yang membuat Upih dan dirinya bisa ada di situasi ini.

"Sudah baikan. Lebamnya masih ada, pandangan mata juga masih memburam, tapi sisanya nggak ada masalah," jelas Upih terdengar seperti itu bukan masalah besar untuknya. "Ya, sudah, Mas. Sekali lagi terima kasih, ya, bantuannya kemarin. Have a safe flight."

"Terima kasih juga, Upih. I hope you get better soon!" ucap Handjoko sebelum Upih memutus sambungan telepon mereka.

Tidak ada yang salah, kan?

Ini cuma sekedar rasa terima kasih yang ditunjukkan Upih ke Handjoko yang sudah menolongnya, tidak lebih dari itu.

Dan seperti apa yang sudah dikatakannya sebelumnya, sebagai manusia yang punya hati nurani sudah pasti Handjoko menolong Upih yang saat itu sedang kesusahan.

Cuma berbeda beberapa menit, Handjoko mendapatkan pesan kalau jemputannya sudah siap. Ia segera keluar dari kamar hotel dan menyempatkan diri pergi ke meja resepsionis untuk mengambil topi dan perkedel kentang yang diberikan Upih, lalu pergi menuju heliport yang berada di lantai paling teratas hotel.

"Selamat siang, Bapak Handjoko."

Handjoko membalas sapaan singkat co-pilot yang menyapanya, ia lalu memasang seat belt sebelum helikopter lepas landas.

2 jam kemudian, helikopter yang ditumpangi Handjoko sampai di heliport yang ada di area khusus Rumah Kebesaran—area perumahan di mana Handjoko tinggal.

Setelah berterima kasih dan mengobrol singkat, Handjoko diantarkan ajudan-ajudannya yang sudah menunggu lebih dulu pergi menuju ke rumah pribadi pria itu.

"Saya cuma perlu menaruh koper, setelahnya saya harus pergi ke Gedung Kebesaran Pusat," jelas Handjoko ketika ia memasuki mobil jemputannya.

Salah satu ajudannya mengangguk, "Baik, Pak."

Tidak butuh waktu lama sampai Handjoko tiba di rumahnya. Dibantu ajudan-ajudannya, Handjoko membiarkan mereka memasukkan kopernya sementara ia langsung mengarah ke area dapur.

Ia mengambil dan menggunakan topi yang ada di dalam paper bag, sebelum Handjoko mengambil kotak makan berisikan perkedel kentang ke dalam kulkas.

Setelahnya, Handjoko langsung mengeluarkan handphone dari dalam sakunya. Berniat untuk mengirim pesan ke Upih untuk berterima kasih, tapi Handjoko dibuat teralihkan ketika ia mendapati Terang mengiriminya pesan.




Rahardja Terang

nih, siapa tau lo penasaran.
https://gossipeverywhere/read/2024/20/21/33/2986214/goladies-membuat-permintaan-maaf-atas-kecelakaan-di-tempat-syuting-yang-menimpa-upih-dan-bella





Refleks, Handjoko menekan link yang dikirim Terang dan membaca singkat artikel itu. Sepanjang membaca artikelnya, Handjoko dibuat menghela napas kasar apalagi setelah membaca pernyataan singkat yang dibuat Go Ladies—selaku brand—yang mempekerjakan Upih sebagai aktris yang membintangi iklan mereka.

Intinya, Go Ladies mencoba menutup-nutupi kecelakaan yang menimpa Upih dengan mengatakan kalau kecelakaan yang terjadi di lokasi syuting mereka cuma kecelakaan kecil. Mau dibaca beberapa kali pun, Handjoko masih tidak paham kenapa brand bermasalah itu mencoba menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya terjadi.

Antara tidak sadar atau memang terbawa emosi setelah membaca pernyataan dari brand yang bermasalah dengan Upih itu, Handjoko mengirimkan satu komentar di instagram—tepat di postingan pernyataan yang dibuat Go Ladies.

It's not going to be a problem, right? Toh, apa yang mereka lakukan juga sebenarnya sangat tidak profesional.

Selesai mengirimkan komentarnya, Handjoko buru-buru ke kamarnya untuk membersihkan diri sekaligus mengganti pakaian setelah ia menerima spam pesan dari Adji.

"Bapak, Pangeran Martaka minta untuk bertemu dengan Bapak sekarang juga." Baru turun dari tangga, salah satu ajudan Handjoko menghampirinya dengan terburu-buru lengkap dengan raut pucatnya.

Handjoko mengangguk, dia bergegas mengambil handphonenya di dapur dan menemukan banyak sekali notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab di handphonenya. Ah, something must have happened, right?

Olvasás folytatása

You'll Also Like

42.7K 7.3K 19
Adhara Kamaniya, 30 tahun. Single, pintar, dan sukses. Cantik, juga disukai banyak pria. Kekurangannya cuma satu, komitmen masalah hati. Di matanya...
53.5K 8.2K 20
Once upon a time, I love Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat meliha...
1.4M 112K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
118K 17.7K 29
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM SETELAH PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes. "Aku akan bayar semua hutang ka...