DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)

By embrassesmoi

246K 43.8K 15.3K

Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarg... More

MOODBOARD
DTYT-Avoir un coup de foudre
DTYT-Les yeux dans les yeux
DTYT-Ne pas faire d'omelette sans casser des oeufs
DTNT-La première fois
DTYT-Loin des yeux, loin du cœur
DTYT-Avoir du pot
DTYT- Mon Dieu!
DTYT-Avoir le cœur qui bat la chamade
DTYT-Avoir le coeur sur la main
DTYT-Vivre d'amour et d'eau fraîche
DTYT-Mal tourné
DTYT-De mal en pisfrom
DTYT-Le cœur lourd
DTYT-La première fois
DTYT-Quel choc!
DTYT-Un beau parleur
DTYT-Tomber dans le panneau
DTYT-Un bordel
DTYT-Je ne suis pas né de la veille
DTYT-Commencer une relation
DTYT-La vache!
DTYT-Péter Le Feu
DTYT-Ça alors!
DTYT-Les carottes sont cuites
DTYT-Ca suffit
DTYT-T'es malade ou quoi?
DTYT-J'en ai ras-le-bol!
DTYT-Être dans le ou au trente-sixième dessous
DTYT-Se mettre en boule ou en pétard
DTYT-Le soleil se lèvera et nous essayerons à nouveau
DTYT-Je ferai tout ce que je peux
DTYT-Et puis quoi encore?
DTYT-Mettre de l'huile sur le feu
DTYT-C'est la goutte d'eau qui fait déborder le vase
DTYT-Trouver la perle rare
DTYT-La raison d'aimer, c'est l'amour
DTYT-L' amour donne des ailes
DTYT-C'est la fin de l'histoire

DTYT-Avoir envie de quelqu'un

5.9K 1K 410
By embrassesmoi

Avoir envie de quelqu'un

Longing for someone







Banyak. But there was no one like him, and no one could make her feel the way she did now.

Belum pernah ada lelaki yang berhasil membuat Upih seperti ini, dan Handjoko—dengan mudahnya—dari dua pertemuan mereka secara langsung bisa membuat Upih jungkir-balik seperti sekarang ini.

Cukup lewat dua pertemuan, interaksi, dan obrolan yang singkat—Upih semacam punya keyakinan kalau apa yang dirasakannya adalah sesuatu yang dulu tidak pernah ia percaya. Upih bahkan menganggapnya omong kosong kalau ada pria yang mendekatinya dan mengatakan perasaan yang sekarang sedang dirasakan Upih.

Love at first sight.

Does this make sense? While you should get to know the person well, you should at the very least chat with them and find a match before deciding whether or not to love them.

"What exactly are you saying in our first meeting right now? When we were just sitting there talking about the food we chose, you told me it was love at first sight. Did you expect me to believe such nonsense?"

Itu mungkin ucapan Upih 4 tahun lalu saat dia dan Rafi—salah satu kenalan dari kerabatnya—menghabiskan waktu dinner bersama setelah mereka dikenalkan di acara soiree keluarga kerabatnya itu.

Ingat setiap kata dan kalimat yang dikatakan Upih 4 tahun lalu, dan bagaimana bisa 4 tahun kemudian Upih justru terasa seperti menelan ludahnya sendiri?

Well, sekarang bisa dikatakan kalau apa yang dirasakan Rafi sedikit masuk akal di saat Upih justru jatuh cinta pada pandangan pertama lewat layar televisi—di salah satu berita gosip yang tidak sengaja ditontonnya sembari menunggu acara berita yang dibawakan Puri.

Is this what others have said about karma?

Bagi Upih jelas karmanya tidak terlalu buruk jika berbentuk Handjoko Hariwibawa, pria yang baru saja bertemu dengannya 2 kali dan sekarang membiarkannya mengotak-atik akun YouTube pria itu sesuka hati.

Wajah Handjoko yang lebih banyak mengkerut—berwajah masam—itu menjadi pertanda kalau apa yang dilakukan pria itu sekarang punya alasan kuat dibaliknya, dan berisiknya Upih-lah yang menjadi alasan kenapa Handjoko dengan sukarela melakukan apa pun untuk membuatnya diam.

But isn't it interesting that he has no responsibility or purpose to keep her quiet, tapi Handjoko masih berusaha melakukan segala cara yang dia bisa untuk membuat Upih diam?

Apa pun itu alasannya, Upih hanya akan memikirkan hal-hal baik yang membuatnya bahagia saja.

Upih tertawa tanpa suara ketika ia melihat Puri dan Sukma menatap tingkahnya yang dianggap kedua orang itu tidak sopan tanpa berkedip, sambil mendownload satu per satu video vlog miliknya—Upih melempar kedipan mata yang membuat kedua sahabatnya itu menggelengkan kepalanya pelan.

Ah, soal history di akun YouTube yang ditunjukkan Handjoko tadi... Does she need to explain how happy she is now after discovering such a shocking thing could happen in her life?

"Rumah Suta memang di mana?"

"Kemang. Lumayan jauh dari sini, tapi harusnya 15 menit lagi dia sampai, sih. Awas aja pake telat segala, gue bikin susah hidupnya!" Suara Wita yang cukup keras sama sekali tidak mengganggu kegiatan Upih, wanita itu masih mengulas senyum lebarnya sambil men-scroll laman YouTube Handjoko.

Upih menggumamkan beberapa lagu secara acak sambil menunggu video vlognya selesai di download, sementara ia sendiri berusaha menahan diri agar tidak tersipu malu ketika menyadari kalau posisinya sekarang—ia yang menunduk melihat handphone milik Handjoko yang dipegang pria itu—terlalu... lucu.

"Belum?" Upih sempat ragu, tapi dia menolehkan kepala dan menemukan Handjoko menatapnya dan handphonenya bergantian. "Belum?" tanyanya lagi.

Maksudnya?

Ah!

Upih langsung menegakkan kembali tubuhnya, dia akhirnya duduk di kursinya dengan posisi yang benar. "Masih di download, belum selesai semuanya."

Oh, and why is she finding this situation with Handjoko so funny?

Merasa penasaran, Upih bergerak mendekat dan ikut kembali memperhatikan layar handphone yang masih menunjukkan laman download YouTube yang juga tengah diperhatikan oleh Handjoko. "It's a good thing it's me; if it were another woman, they would misinterpret and assume you're looking for a way to flirt with her."

Padahal, sebelum melemparkan pertanyaan itu, Upih sudah bersiap-siap dengan jawaban khas Handjoko. They haven't really gotten to know each other—those were simply two brief meetings—tapi, Upih tahu kalau Handjoko lebih sering menggunakan ucapan sarkas untuk menjawab pertanyaan atau menanggapi situasi yang tidak terduga.

Upih menunggu cukup lama sampai layar handphone Handjoko berubah gelap dan Wita yang tadinya pamit pergi ke toilet sudah kembali ke kursinya, pria yang duduk di sebelahnya itu belum punya jawaban juga.

"Did my question just now offend you? Did it go too far? I'm sorry, I had no idea. I just wanted to—"

"Tennis?" Handjoko memotong ucapannya, menunjuk ke arah pakaian yang Upih pakai.

Cara Handjoko mengalihkan topik pembicaraan cukup memberitahu Upih kalau pria itu agaknya sedikit merasa terganggu, dan Upih memudahkannya dengan menganggukan kepala. "Iya, tadi abis main tenis sama Sukma di sini," balasnya menatap ke arah dirinya sendiri sebelum menatap ke Handjoko lagi.

"Di sini?"

Upih mengangguk, "There are tennis courts here, and I and others usually use the courts here. If you and your friends want to play tennis, ask them to come here." Ia bahkan ikut menunjuk ke arah luar restoran, seakan itu akan membantu Handjoko untuk tahu di mana letak lapangan tenis yang dimaksudnya.

"Do you play tennis well?" Handjoko bertanya tanpa menatap Upih, melainkan ke arah layar handphonenya yang berubah gelap.

Kedua bahu Upih terangkat bersamaan, "Well, my skills are good enough to handle amateurs like her," jawabnya sambil menunjuk ke arah Sukma yang langsung mendengkus sambil membuang muka.

Tak lama setelahnya, tiba-tiba saja Puri berdiri dari kursi dengan raut wajah yang terlihat panik ketika dia menatap fokus handphone di tangannya. "Gue duluan, ya. Ini jadwal siaran gue kayaknya berubah, deh."

Di sebelahnya, Sukma juga ikut berdiri setelah buru-buru membereskan barangnya. "Gue sekalian balik sama anter Puri kerja, ya. Yang ini nanti—" Sukma menunjuk peralatan tenis miliknya yang masih ada di bawah sofa yang ia duduki. "—gue bakal suruh orang buat ambil dan beresin," ujarnya sambil melambaikan tangan cepat ketika Puri sudah berjalan meninggalkan meja lebih dulu.

"Lah, makanannya belum dateng?" Jenar berujar heran karena sebelumnya Siska lah yang memesan breakfast untuk mereka.

Tangan Sukma masih melambai, sementara langkahnya sudah bergerak menjauh. "Gue duluan."

Jenar lantas menatap Upih dengan tubuh tertunduk karena kursi mereka dipisahkan oleh dua pria bertubuh besar yang sekarang duduk di antara mereka, "Lo habis ini ada acara?" tanyanya.

"Ada." Upih mengangguk. "Syuting, tapi di sini," lanjutnya yang sempat membuat Wita menatapnya dengan kedua mata memicing.

Apa? Apa Wita mau bilang kalau Upih segila itu memindahkan lokasi syuting filmnya ke sini karena kebetulan ada Handjoko di sini?

Belum. Belum saatnya Upih menunjukkan sisinya yang itu...

"Film? Film yang mana?" Sekarang gantian Wita yang menyahut, pria itu terlihat curiga dan penasaran di waktu yang bersamaan.

Sekuat tenaga—dengan kedua tangan terkepal erat—Upih menatap Wita dengan raut wajah sedih yang di mata Wita—yang sudah mengenal Upih sangat baik—terlalu dibuat-buat, tapi mungkin bagi mereka yang tidak tahu seberapa hebatnya akting wanita itu pasti mengira kalau Upih benar-benar sedih karena pertanyaan Wita barusan.

Termasuk Handjoko yang kembali diam—tampak terkejut dan berubah canggung—di kursinya sekarang.

"As a big fan, isn't it disappointing that you don't know about my projects?" Dengan raut sedihnya yang tampak menyebalkan di mata Wita, Upih berujar—memulai aktingnya di depan Handjoko yang terang-terangan menghela napasnya kasar.

"Bukannya film lo yang terakhir udah selesai syutingnya? We're just waiting for the movie to air, right?" Tampak tertekan, Wita bertanya dengan senyum yang terulas paksa.

Well, Upih sudah mengenal Wita sejak mereka masih kecil. They are connected with Sukma, Jenar, Puri, Terang, and Suta due to their parents' vicinity, who were from wealthy families. Dan karena itu pula, Upih tahu kalau Wita sudah berjanji—mau dengan cara apa pun pasti akan pria itu tepati. Of course, nothing comes for free, and in order to persuade Wita to help her in this way, Upih had to offer Wita some sort of price later.

Upih mengangguk puas ketika berhasil membuat Wita sadar kalau di situasi ini, pria itu harus menolongnya. "Betul." Ia bahkan ikut mengacungkan ibu jarinya. "I'm filming a commercial here later. It's a skincare advertisement... Oh, itu punyanya Kania, sahabatnya Elok, kan?" terang Upih, menyebut nama adik dari Wita.

"Oh..." Wita bergumam panjang sambil mengangguk-anggukan kepala, tampak sekali kalau pria itu nggak berniat mendengarkan Upih.

Baru juga Upih memuji Wita, tapi sedetik kemudian pria itu berulah. Baru saja dia hendak berterima kasih karena Wita mau menolongnya, tapi lihat saja bagaimana sahabatnya itu menunjukkan sikap setengah-setengahnya sekarang.

Plin-plan sekali, bukan?

Mulut Upih sudah terbuka, ia hampir saja membalas perkataan Wita ketika ia menyadari kalau Handjoko menggerakkan handphonenya. Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu dan Handjoko mengarahkan pandangannya ke handphone. "Coba dilihat, sudah ke-download semua belum video vlognya tadi."

Hah?

Bukan cuma Upih, tapi Jenar dan Wita yang sejak tadi memperhatikan juga ikut terdiam ketika melihat Handjoko menekan beberapa kombinasi angka sebelum handphone pria itu kembali menyala.

"Coba dilihat." Handjoko kembali mengulang ucapannya sambil menggerakkan handphonenya.

Untuk beberapa detik, Upih dibuat membeku di tempatnya. Dia masih melihat salah satu jari Handjoko menahan layar handphone supaya tetap menyala, sementara pria itu terlihat mengajak Wita mengobrol.

Sambil menahan senyum di bibirnya dan degup jantungnya yang menggila, Upih bergerak mendekat—menundukkan tubuhnya—dan kembali melihat layar handphone Handjoko sambil men-scroll layarnya tidak beraturan.

She's not sure why he was doing this, but the feeling she was having right now was new and unfamiliar, yet nice.

"Yang terakhir belum," gumam Upih pelan, dia menggigit bibir bawahnya—mencoba mengontrol perasaan bahagia meluap yang dirasakannya sekarang.

Handjoko sempat bergumam, dia berhenti bicara dengan Wita sebentar untuk bicara ke Upih. "Sekalian download video yang lain aja," katanya sebelum kembali menyambung obrolan dengan Wita.

Dengan kepala tertunduk, Upih melipat bibirnya agar tawa gelinya tidak keluar. This situation is really funny, isn't it?

Entah berapa lama waktu yang dihabiskan Upih untuk diam menekuri layar handphone Handjoko, sampai akhirnya suara bass familiar membuat kepala Upih terangkat.

Keningnya langsung berkerut ketika menemukan Suta menatapnya—tentu dengan tatapan heran—bersamaan dengan Terang yang juga memberikan tatapan serupa di sebelahnya.

"Mau sekarang aja?" Suta bertanya, masih menatap Upih dengan kedua matanya yang memicing tajam. "Kalau iya, mending masuk sekarang. Lunch ini, Terang harus balik ke kitchen lagi soalnya," jelasnya sambil menunjuk Terang, sementara keduanya makin memicing—bahkan hampir tidak terlihat.

"What's the problem with your eyes? If you have symptoms with your eyes, you should rest at home instead of going here. It also does not look good," celetuk Handjoko ke Suta yang membuat Upih dan Jenar—yang kebetulan saling bertatapan—menahan tawa mereka.

Berbeda dengan Upih dan Jenar, Wita dan Terang menertawakan ucapan Handjoko yang terdengar begitu lugu mengkhawatirkan keadaan Suta.

Di kursinya, Wita sempat menepuk bahu Handjoko beberapa kali sebelum dia berdiri dari kursinya. "That was a good joke! Whoa, your communication abilities have greatly improved since the first time we met."

"I'm not joking; I'm quite concerned about him. Your eyes look too bad to be in good health." Handjoko menyela, wajahnya terlihat masih sama seriusnya padahal Suta tengah menatapnya datar.

Masih sambil melempar candaan, Handjoko berdiri dari kursinya membuat Upih kembali menegakkan tubuhnya.

Ia sebenarnya sedikit kecewa karena dia harus berpisah secepat ini dengan Handjoko, tapi dia tahu kalau pria itu ke sini juga karena ada alasan penting yang melatarbelakanginya dan tentu Upih tidak ingin kejadian lain seperti yang terjadi di pintu depan restoran itu kembali terjadi untuk kedua kalinya.

Mengenai masalah itu, Upih belum membahasnya lagi dengan Handjoko. Upih akan menyimpannya untuk pertemuan mereka selanjutnya.

"Kalau nggak salah, dari arah jam 4." Jenar tiba-tiba menarik lengan kemeja Wita sambil berbicara dengan nada pelan. "I noticed the cell phone flash a few times from there. You should have someone check it out."

Kedua alis Upih terangkat, dia baru sadar kalau di mana saja mereka berkumpul—bahkan sebelum A-List ada—kehadiran Wita, Terang, dan Suta di tempat yang sama bisa menarik perhatian banyak orang.

Dulu, Upih pernah menerima rumor yang mengatakan kalau dia dan Terang tengah menjalin hubungan dari foto yang diambil tamu lain—di sini—di The Kings Restaurant—saat Upih sedang berkunjung dan kebetulan Terang menemaninya makan juga.

Itu, dulu.

Sekarang, pria-pria yang berkumpul di dekatnya dan Jenar adalah pria-pria yang mereka sebut dengan sebutan A-List. Jangan tanya soal fans mereka, bukannya tadi Jenar bilang kalau ada beberapa perempuan muda yang memesan salah satu wine termahal untuk Terang?

Melihat Wita mengangguk, Upih kembali duduk dengan santai karena tahu kalau semua ini sudah pasti akan dibereskan oleh Wita dan stafnya. "I'll check later; you don't need to worry," ucap Wita, dan dia kembali melambaikan tangannya ke arah Jenar dan Upih sekali lagi.

Tatapan Upih yang tadinya mengarah ke Jenar dan Wita teralihkan oleh handphone yang bergerak di depan pandangannya, "Yang ini—sisanya—nanti saya cek lagi," ucapnya soal sisa video vlog milik Upih yang belum selesai di download.

Sempat terkejut, Upih mengerjapkan matanya pelan dan memberikan jawaban lewat anggukan kepala sebelum Handjoko pamit menyusul yang lainnya untuk bergegas pergi ke ruang VIP yang sudah Wita pesan sebelumnya.

Dengan gerakan cepat, Jenar berpindah dari kursinya ke kursi yang sebelumnya diduduki Handjoko. "Didn't you say you only met briefly? But what did I see before?"

"That's called chemistry; that's what you just saw from the two of us," ucap Upih, membiarkan tubuhnya digoncang-goncang oleh Jenar. "You have seen it, right? Isn't that strange, but also cute? I mean, we've only met briefly twice, and today's encounter doesn't count, so how could we act that natural?" Upih menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan pekikan bahagianya ketika dia mengingat interaksi semacam apa yang terjalin di antaranya dan Handjoko.

Beberapa detik kemudian, Upih melepas tangannya sementara kepalanya menoleh dengan cepat ke arah Jenar yang mendadak terdiam—tidak heboh seperti sebelumnya. "Tapi, ya, Pik..." Kening Upih berkerut dalam, menunggu Jenar melanjutkan ucapannya. "Handjoko's earlier directive to you to do anything you like, in my opinion, was simply to keep you quiet and calm, sih." Jenar meringis, dia melanjutkan lagi, "Wajahnya nggak enak banget, Pik, waktu tau lo sama Wita rame tadi. Kayak kalau dia deket sama kita, mungkin Handjoko bakal milih pindah meja, deh."

Sebenarnya, Upih pun tidak buta dan dia cukup peka untuk mengerti ekspresi semacam apa yang dibuat orang-orang sekitarnya. She's a professional and an actress; she's used to such things.

Setiap ekspresi dan gestur yang dibuat Handjoko dari pertemuan pertama mereka yang singkat di depan pintu restoran pun, Upih tahu kalau pria itu berbeda dengan dirinya.

Upih menganggukan kepala, senyumnya masih terulas di bibir. "Gue sadar, kok, kalau dia merasa terganggu sama berisiknya gue. Mungkin karena kita beda banget kali, ya." Masih meringis, Jenar membenarkan. "But don't you think it's strange how he's trying to get me to stop talking? I understand he was trying to be kind when he could have just left the table, but why was he sitting next to me and attempting to keep me quiet—this was his effort—so that he could converse quietly with Wita? Isn't that odd?" Kedua mata Upih membelalak lebar, sebagai salah satu usahanya untuk meyakinkan Jenar.

Sementara itu, Jenar yang duduk bersebelahan dengan Upih tampak mengerutkan keningnya dalam. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya kepalanya bergerak mengangguk pelan, "Tapi, kalau dipikir-pikir lagi sekarang emang aneh, sih... Dari banyaknya cara, mungkin dia bisa negur lo baik-baik, 'kan, ya? Tapi, kenapa dia milih cara itu, ya?" gumam Jenar, mempertanyakan hal yang sama.

Senyum Upih terulas lebar, kepalanya mengangguk puas. "See? Gue nggak mengada-ada, loh."

Jenar jadi bergumam panjang, "Did he feel the same way? Was he likewise in love with you at first sight?" Meski bernada ragu, Jenar tetap mengatakannya.

Dan ucapannya barusan ditertawakan oleh Upih, tangannya juga bergerak memukul lengan Jenar sampai membuat wanita itu bergerak menjauh. "Kalau gue, sih, udah bisa dipastikan 97%, ya, Nar. Tapi, kalau Mas Joko, sih, kayaknya belum sampai ke sana. Kalau dari pengamatan gue selama ini, ya..."

"You've only met and interacted with him twice... The way you talk really shows that you've known each other for a long time..."

"Kalau dari pengamatan gue selama ini, ya, Nar." Mengabaikan apa yang dikatakan Jenar, Upih mengetuk dagunya dengan jari, sementara pandangannya memicing—menerawang. "Mas Joko, tuh, tipikal yang pasif gitu, loh. So, if I don't make myself noticeable in front of him, he won't see me, and we won't be able to get close," simpulnya, tanpa sadar membuat Jenar meringis—membayangkan akan se ribut apa kehidupan Handjoko ketika Upih mencoba memperlihatkan dirinya sendiri di depan pria itu.






***






"Kita bakal pesan salah satu kamar supaya Mbak Upih bisa istirahat dulu kalau Mbak Upih memang menolak buat ke rumah sakit. Untuk sementara ini syutingnya kami tunda sampai keadaan Mbak Upih membaik."

"Jadi, ini belum ada kamar yang bisa ditempati? Sebelum syuting nggak ada yang kepikiran buat booking kamar di sini? Nggak usah, deh, buat jaga-jaga kalau ada kecelakaan kayak begini, tapi buat istirahat talent, kek—nggak kepikiran begitu? Mentang-mentang kita cuma lagi syuting iklan, nggak butuh waktu lama—nggak selama syuting film jadi bisa lalai begini?"

Menatap beberapa kru iklan yang bergerombol di kursi—di Kings Restaurant—yang ditempatinya, Upih cuma bisa meringis sambil menghela napas kasarnya. Ia sebenarnya ingin marah, tapi rasa sakit yang dirasakannya di bagian mata dan pipi sebelah kiri membuatnya hanya mampu diam mendengarkan Widya yang tampak marah besar ketika wanita berumur 27 tahun itu mendapati kalau tidak ada kamar yang bisa ditempati Upih untuk istirahat setelah kecelakaan kecil yang dialaminya saat syuting iklan beberapa menit lalu.

Widya tampak menggelengkan kepalanya tidak paham, dia lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah Upih yang masih memegangi pipi bagian kirinya dengan handuk berisikan es batu. "Mbak Upih yakin nggak mau pergi ke rumah sakit, kayaknya itu parah, deh, Mbak." Sambil meringis, Widya mencoba mengintip ke wajah Upih yang ditutupi handuk.

"Tolong booking kamar dulu aja, Wid. Urusan ke rumah sakit, nanti aku bisa telepon dokter untuk datang ke sini." Menggunakan tangannya yang lain, Upih menepuk lembut bahu Widya, mencoba menenangkan asistennya itu.

Masih terlihat panik, Widya mengangguk dan segera bergegas berlari kecil keluar dari The Kings Restaurant menuju ke meja resepsionis hotel.

Begitu Widya meninggalkannya, Upih memejamkan mata sambil menghela napasnya panjang. Wajahnya terasa kaku dan perih di waktu yang bersamaan, begitu juga dengan mata kiri Upih yang pandangannya berubah memburam.

"Mbak Upih..." Salah satu kru tampak buka suara, terlihat takut menghampiri Upih yang terduduk dan tampak memejamkan matanya. "Maaf soal kecelakaan di kolam renang tadi, ya, Mbak. Mbak Bella tadi bilangnya nggak sengaja, Mbak. Dia juga kaget dan sekarang kayaknya lagi ditenangkan sama kru lain."

Tidak ingin memperpanjang, Upih menggelengkan kepalanya. "Jangan dibahas sekarang, ya." Upih sempat berdehem saat menemukan suaranya keluar serak. "Keadaanku masih begini, loh?"

Ia sudah menahannya sejak tadi sebenarnya, sejak Bella—aktris pendatang baru yang sedang naik daun yang juga menjadi rekannya di syuting iklan hari ini—membuat beberapa keributan sebelum syuting, sampai ketika gadis berusia 29 tahun itu—menurut Upih—tampak sengaja menyikut wajahnya saat keduanya seharusnya muncul dari dalam kolam renang dan membuat Upih sempat tenggelam sebelum dia berhasil menyeimbangkan tubuhnya dan kembali muncul dari dalam kolam renang.

Dan apa yang dibilang mereka tadi? Kalau Bella terkejut dan sedang ditenangkan oleh kru lain di saat keadaan Upih sedang buruk begini? Are they thinking clearly?

Seumur hidupnya, selama Upih aktif di dunia entertainment, sepertinya ini menjadi pengalaman pertama kalinya dibuat menangis di set. Bukan cuma karena sakit yang dirasakannya, tapi perlakuan yang didapatkannya dari kru yang dirasakan Upih begitu tidak adil.

"Kamar buat Mbak Bella udah ready, kan? Gue mau bawa ke sana duluan, ya? Kasihan soalnya, kayaknya kaget banget Mbak Bella nya."

Di sela keributan itu, Upih sempat mendengar ada salah satu kru yang bertanya lewat walkie-talkie dan kru lain juga terdengar menjawab dengan sangat santai. "Sudah, kok. Bawa aja dulu ke sana."

Di saat tidak ada satu kamar pun yang tersedia untuk Upih, mereka bisa mengusahakan kamar untuk Bella? Isn't this situation funny?

Don't cry. You don't have to cry... Upih menarik dan membuang napasnya perlahan, mencoba untuk menenangkan emosinya yang mendadak ingin meledak, ditambah bagaimana kru-kru di sekitarnya malah sibuk meminta maaf atas nama Bella, bukannya membantu Widya untuk memesan kamar.

"Upih?"

"Pih?"

Kedua mata Upih langsung terbuka, kepala wanita itu juga kembali terangkat mencari sosok dari suara-suara familiar yang memanggilnya barusan.

Kru yang tadinya bergerombol di depannya mendadak bergerak menyingkir, dan Upih tidak pernah merasa selega ini ketika melihat Handjoko, Wita, dan Suta—kedua sahabatnya itu—menghampirinya.

"Kenapa?" Handjoko yang pertama kali bertanya, bukan ke Upih melainkan ke kru yang terdiam—terlihat terkejut, mungkin karena mereka nggak menyangka kalau akan bertemu Handjoko di sini.

Setelahnya, Upih bertemu tatap dengan Wita dan Suta yang menundukkan tubuhnya agar bisa bertatapan dengannya. "Apa yang terjadi?" tanya mereka bersamaan.

"Ada kecelakaan kecil tadi di kolam renang." Upih tidak bisa benar-benar fokus ketika ia mendapati kalau Handjoko sedang mendengarkan penjelasan dari kru syuting iklan di belakang kursi yang didudukinya.

"Kenapa nggak ke rumah sakit?" Upih menggeleng ketika Suta melemparkan pertanyaan dan membuat pria itu keheranan. "Terus, kenapa lo ada di sini? Seenggaknya di dalam—"

"You have not reserved a room here yet. Are you saying you didn't book a room for one of your actresses?" Berkat suara Handjoko barusan, Wita dan Suta kembali menegakkan tubuh mereka.

Serius, Upih cuma punya satu permintaan supaya Widya bisa datang ke sini secepatnya dan membawanya ke kamar. Dia sedang tidak ingin berada di tengah keributan lain setelah apa yang dialaminya hari ini.

"Luka, Pih? Coba kasih liat." Berbeda dengan dugaan Upih, Wita dan Suta kembali memberikan seluruh fokus mereka ke Upih. Begitu juga dengan Handjoko yang berjalan, dan memilih berdiri di samping kursi yang diduduki Upih.

Kepala Upih mengangguk, "Wajah gue kerasa kaku, sih, sekarang. Gue udah minta dokter buat ke sini. Gue cuma butuh kamar buat ditempati dan Widya belum balik juga."

"Bisa dikasih lihat?" Handjoko ikut menundukkan tubuhnya, pria itu memperhatikan lekat-lekat wajah Upih.

"Nggak parah, kok. Tadi, cuma nggak sengaja kesikut aja—"

Ucapan salah satu kru itu langsung terhenti saat Upih membuka handuknya, memperlihatkan pipi kirinya lebam membiru dan juga matanya yang berdarah.

"Ke rumah sakit, ya." Tanpa disadarinya, Handjoko menahan tangan Upih yang hendak menutupi pipinya yang terluka dengan handuk.

Wita dan Suta ikut menganggukan kepala mereka, "Mending ke rumah sakit aja, ya, Pik. Itu—"

Ucapan Suta terpotong ketika Upih menggelengkan kepalanya cepat, "Gue udah telepon dokter. Sekarang, gue cuma butuh kamar—"

"I am staying here. Mau ke kamar saya dulu?"

"Boleh, Han." Bukan Upih, Wita lah yang menjawab lebih dulu sementara Upih tampak pasrah ketika Suta membantunya untuk berdiri dari kursi. "Nanti kalau asistennya Upih udah dapat kamar, gue balikin nanti."

Upih meringis, sebenarnya merasa segan karena harus merepotkan Handjoko tapi pria itu menggelengkan kepalanya saat bertatapan dengan Upih. "It's okay, santai saja. Silakan pakai dulu kamarnya, saya ada urusan di sini sebentar," katanya sambil memberikan acces card kamarnya ke Wita.

Dipapah Wita dan Suta, sementara di belakang meraka ajudan Wita mengikuti dan ada beberapa yang memimpin jalan—Upih menolehkan kepalanya ke arah belakang, ke Handjoko yang tampak mengobrol dengan kru iklan yang dibintanginya.

"Di mana tadi? Bisa saya diantarkan ke sana?" Samar, Upih mendengar suara Handjoko sebelum dia mendengar suara Wita yang menyebalkan.

"Jangan yang mikir aneh-aneh dulu, deh, Pih..." 

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 657 7
Bagi Kaia, dia tahu di dunia ini dia paling menyukai baking. Ah, dan tentu saja Tyaga. Dia bahkan ingin menikahinya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sedang bagi Tyaga, dia ha...
1M 50.6K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
14.5K 1.8K 12
Windry tidak pernah beruntung dalam dunia percintaan. Latar belakangnya juga membuatnya mulai terbiasa dengan narasi bahwa dia akan selalu ditinggal...
53.3K 8.2K 20
Once upon a time, I love Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat meliha...