My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 171K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
EPILOG

Bagian 43

52.9K 3.2K 85
By jingga_senja_

Pusing banget karena banyak kesalahan dalam penulisan cerita ini, mana terbilang fatal karena nama cast yg salah. Ga enaknya jadi manusia lupaan, apalagi kalo bukan cast utama, alias cuman seliweran bentar kek hantu, dahlah alamat lupa namanya. Dari Harry, Septa, sampe Septian, ngaco banget astaga! Saking lupa siapa namanya dan terlalu males cek part awal². Sorry banget🙏

Beloved Staff•

Tahu bagaimana rasanya hidup, tapi tidak seperti hidup?

Ya, itu yang Lova rasakan saat pertama kali ia membuka kedua matanya setelah waktu yang begitu lama. Badannya terasa begitu berat dan sulit untuk digerakan, bahkan untuk membuka mulut pun dia tak mampu hingga akhirnya menyerah dan memilih diam, dengan harapan seseorang akan segera menemukannya.

Orang pertama yang melihatnya sadar adalah seorang wanita berpakaian khas seorang perawat dan Lova tahu bahwa dirinya tengah berada di rumah sakit. Tidak tahu apa yang dokter bicarakan dengan seseorang yang mengakui diri sebagai walinya, sampai akhirnya Lova memahami bahwa kini kondisinya tidak sama seperti dulu lagi.

Hal yang masih ia syukuri adalah, dia masih dapat mengingat hal terakhir meski butuh waktu beberapa lama dari waktu sadar. Mengenali orang yang menjaganya dan juga adik-adiknya, meskipun tubuhnya tidak dapat bergerak dan juga kesulitan berbicara.

Entah Lova beruntung atau justru ini adalah hukuman baginya.

"Bagus 'kan, pemandangannya?" Lova menatap lurus ke depan, kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali.

Harry membawanya keluar dari ruangan untuk menghirup udara segar setelah begitu lama. Taman rumah sakit terlihat indah dengan bunga-bunga serta beberapa ekor kucing yang terlihat bermain di sana. Lova setuju, pemandangannya sangat bagus.

"Kamu gak usah khawatir. Mulai sekarang saya yang akan urus semuanya. Kamu, dan adik-adik kamu. Jadi, fokus pada penyembuhan, ya?" Pandangan Lova tertuju pada tangannya yang tengah digenggam oleh Septa, pria yang dia anggap tidak lebih dari seorang hidung belang yang membayarnya sama seperti pria-pria lainnya.

Saat kecelakaan, Lova sudah ikhlas kalau pun kehidupannya harus terhenti sampai disitu. Toh, dia merasa sudah menyiapkan cukup tabungan bagi adik-adiknya, setidaknya mereka tidak akan begitu kesulitan, kan?

Dilempar ke dalam neraka pun Lova tidak akan mengeluh karena telah menafkahi kedua adiknya dengan hasil haram, yang dengan polosnya hanya mereka ketahui jika kakak mereka bekerja keras secara halal. Lova sudah sepasrah itu.

Tapi ternyata usianya masih harus terus berlanjut dan tanpa bisa ditebak yang datang untuknya justru pria ini.

Lova menatapnya dengan lekat. Berbagai pertanyaan kini bermunculan dalam benaknya.

Mengapa Septa mau melakukan ini?

Apa alasan pria tua itu mau repot mengurus dan bertanggung jawab atasnya?

Apa dia tidak membenci Lova yang sudah sering menghinanya?

Yang sayangnya semua itu hanya dapat Lova lantunkan dalam hati tanpa mendapat jawaban apapun.

Di hari berikutnya, Lova kedapatan tamu yang tidak pernah dia sangka-sangka kehadirannya. Malahan Lova pikir dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang tersebut, namun melihatnya berdiri tepat dihadapannya dalam kondisi baik-baik saja, muncul kelegaan dalam sudut hatinya paling dalam.

"Gue seneng karena lo memilih gak nyerah. Selamat datang kembali, Lova." Suara itu seperti alunan melodi menyedihkan yang menyayat hati bagi pendengarnya, hingga mau tak mau cairan bening mengalir begitu saja melalui sudut matanya.

Mima, wanita itu berjongkok dihadapan Lova yang duduk tak berdaya di atas kursi rodanya. Tangannya terulur menggapai tangan kurus Lova dan menyalurkan kehangatan pada gadis itu.

"Makasih," ucap Mima dengan nada lirih. "Makasih karena udah mencoba selamatin gue. Meskipun hubungan kita gak pernah baik, makasih karena udah jadi musuh yang gak nyerang disaat gue lemah. Gue ... udah maafin lo."

Kedua mata Lova terpejam, membiarkan aliran air mata merembes ke pipi hingga lehernya.

Andai bisa Lova ulang waktu, banyak hal yang ingin ia rubah. Salah satunya adalah, menjadi manusia yang tidak pernah menyakiti siapapun.

•Beloved Staff•

Berdamai dengan keadaan maupun diri sendiri itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Banyak orang bilang, sebagai manusia tugas kita hanya perlu bersyukur dan tidak banyak mengeluh, sedangkan terkadang bahan untuk bersyukur itu sendiri sedang tidak berada dalam genggaman mereka.

Banyak hal sebenarnya jika kita lebih memerhatikan terhadap detail sekecil apapun, jika kita mulai memahami fase cara dunia bekerja, maka hati kita akan merasakan lebih banyak legowo ---karena sudah paham bahwa begitulah hidup. Tidak menaruh banyak harapan namun juga tidak menghapus harapan tersebut sepenuhnya. Segalanya memerlukan kadar yang pas, karena sesuatu berlebihan itu tidak pernah membawa kebaikan apapun.

Orang yang sekarang sudah dapat tersenyum penuh kelegaan bukan berarti hidupnya baik-baik saja. Coba tanyakan apa saja yang sudah direnggut dari mereka sehingga mereka sampai dititik ikhlas dan percaya pada apapun jalan Tuhan. Tidak ada guru tanpa murid, segalanya pernah merasakan kepahitan sebelum akhirnya dapat tersenyum tenang.

Apa yang datang, maka ada yang pergi. Ada yang hilang, maka akan tergantikan.

Dan Mima mulai menerapkan itu dalam hidupnya. Dia belajar untuk menjadi manusia yang lebih ikhlas terhadap apapun yang ia dapatkan, baik itu memuaskan atau tidak, Mima sudah bertekad dia tidak akan mengeluh, karena tandanya memang miliknya hanya sebesar itu.

Mima telah kehilangan banyak hal berharga dalam hidupnya. Kehangatan keluarga, cinta, dan juga sahabat. Namun Tuhan memberikan ganti yang jauh lebih baik.

Kehangatan itu dia rasakan saat berada di lingkaran keluarga Arlan, bersamaan dengan cinta pula yang Mima dapatkan. Ia dicintai secara tulus dan lebih baik. Pun Mima masih memiliki sahabat yang selalu ada untuknya serta nama Rosa akan tetap abadi dalam hatinya, meskipun raganya telah pergi.

Saat Mima melepas semua rasa sakitnya, merelakannya dengan lapang dada, maka ketenangan perlahan-lahan dia rasakan dan Mima bisa menjalani hidupnya secara bebas tanpa terbebani apapun.

"Cantikan warna pink yang ini deh menurut Mama. Itu terlalu gonjreng pinknya, Mima!" Berbelanja dengan ibu-ibu itu terkadang lebih ribet dari apapun, bisa dibilang level ribet Mega berpuluh-puluh tingkat diatas keribetan Mima ketika berbelanja.

Selain itu ternyata Mima baru sadar kalau mempersiapkan pernikahan bisa sangat semelelahkan ini, bahkan berat badannya berhasil turun tanpa dia melakukan diet apapun setelah mengerjakan beberapa urusan. Kebanyakan yang memakan berat badannya adalah banyak hal yang Mima pikirkan, karena masukan dari berbagai pihak jadinya isi kepala Mima selalu bentrok setiap harinya.

Seperti sekarang ini contohnya. Beli bahan untuk seragaman keluarga saja Mima sampai debat pendapat beberapa kali dengan mamanya, tahu begini tadi Mima pergi sendiri saja.

"Ini gak gonjreng, Ma. Ini namanya rosegold. Warnanya cakep begini kok, gak norak!" sanggah Mima ketika Mega lagi-lagi tak menyetujui idenya.

Namun Mega nampaknya tetap keukeuh pada pilihannya. "Menurut Mama bagusan ini. Sekarang tuh lagi musimnya warna coquette begini loh, Mama lihat di sosial media."

"Kalo yang musiman berarti banyak yang pake, Mama. Aku gak mau!"

"Mima, percaya deh sama orang tua. Pilihan orang tua tuh gak pernah salah! Udah, ini warna paling oke." Raut wajah Mima semakin kecut, moodnya terlanjur jelek sehingga tak lagi bersemangat seperti awal-awal hendak memilih bahan pakaian.

"Terserah Mama, deh! Capek aku!"

"Kok terserah Mama? Kan yang mau nikah kamu, bukan Mama."

"Orang dari tadi pendapat aku gak didengerin juga, percuma! Ya udah, Mama aja nikah lagi sama Om Theo sana!" Mega melototkan matanya pada sang anak, malu karena dilihat pegawai toko karena mereka malah terus adu mulut.

"Jadinya mau yang mana?"

"Kan Mama maunya yang itu!"

Mega mendengus. "Kamunya gak mau dengerin Mama." Mima mengacak rambutnya frustasi.

"Ya terus aku harus gimana? Ya udah deh, gak jadi aja!" pekik Mima lalu menyambar tasnya dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan mamanya yang dibuat tercengo.

"Loh kok malah pergi? Jemima, Mama gak suka, ya ---astaga, anak itu. Maaf ya, Mbak!"

Mima menghentakkan kakinya berkali-kali hingga bunyi heelsnya terdengar terkesan dramatis. Peduli amat dia dengan omelan yang nantinya akan didapat, yang jelas sekarang dia kabur supaya emosinya tidak meluap.

Setidaknya Mima masih takut akan jadi anak durhaka kalau sampai marah-marah pada ibunya sendiri.

Saat berangkat tadi dia pergi dengan mobil mamanya jadi Mima memesan taksi dan langsung meminta sang sopir untuk mengantarnya ke alamat apartemen. Dia butuh waktu untuk meredakan amarah saat ini.

Kemarin mereka berdebat masalah WO, lalu sekarang bahan untuk seragam, besok-besok apalagi yang akan didebatkan. Kalau terus harus begini Mima menyerah, lebih baik dia menyerahkan semuanya pada dua orang tua kalau memang harus terserah mereka. Tidak salah kalau ada acara yang lebih repot itu orang tua daripada anak sendiri, Mima merasakannya sendiri sekarang bagaimana menghadapi mamanya yang sangat tidak ingin kalah.

Nada dering ponsel yang terdengar berhasil memecah lamunan Mima. Saat melihat nama kekasihnya di sana, rasanya Mima ingin menangis detik itu juga.

"Mas Arlan!"

•Beloved Staff•

Arlan menutup pintu dan melangkahkan kakinya memasuki apartemen Mima. Hanya keheningan yang menyambutnya ---tidak seperti biasa dimana Mima akan terlihat sedang berkutat di dapur, ketika Arlan datang. Dia sempat khawatir karena Mima mengangkat teleponnya sambil menangis, karena itu Arlan berjanji akan datang lebih awal dibanding biasa. Toh mereka sudah akan menikah ini jadi tidak masalah mau Arlan keluar dan masuk apartemen kekasihnya setiap hari pun.

"Sayang?" panggilnya sembari mengetuk pintu kamar. Wanita itu tidak dilihat dimanapun, jadi Arlan menebak Mima sedang ada di kamar.

Ketika Arlan menekan kenop pintu, ternyata tidak dikunci oleh si pemiliknya. "Sayang, aku masuk, ya?" Setelah itu dibukanya dengan lebar-lebar dan menemukan Mima dalam balutan selimut seperti lemper.

Arlan pun tersenyum geli melihatnya.

"Aku bawa makanan loh, yuk makan dulu!"

Gumpalan selimut itu bergerak, tak lama kemudian kepala Mima menyembul dan menatap ke arah Arlan, menunjukan mata sembabnya. Melihat itu, Arlan semakin mendekat lalu duduk di sisi ranjang.

"Kenapa, hm?" tanyanya seraya menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Mima.

Wanita itu masih berbaring dengan kegalauannya. "Aku gak mau urusin persiapan nikah lagi ... capek!" Tiba-tiba dia mengeluh membuat Arlan mengernyitkan dahinya.

"Ada masalah?"

"Tiap aku ngasih pendapat yang aku mau, pasti ada aja yang didebatin sama Mama. Padahal aku udah mikirin semuanya matang-matang dan aku juga izin sama kamu, tapi Mama selalu ada cara buat nyanggah pendapat aku. Mama keukeuh banget mau semuanya sesuai rencana dia, yang nikah kan aku!" terang Mima, dia tidak menangis namun dari nada bicaranya terdengar masih sedih.

Ini bukan sekali atau dua kali Mima mengeluh, tapi Arlan biasanya menanggapi tidak terlalu serius karena berpikir bahwa sebagai orang tua, mama Mima ingin turut andil dalam persiapan pernikahan anaknya. Arlan sangat mengerti itu, karena mamanya pun di rumah juga demikian.

Tidak setiap pergi selalu dengan mamanya memang, kalau kebetulan Arlan ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, maka Mega akan menemani atau kadang-kadang Windy selaku calon ibu mertua. Tapi setiap pulang setelah pergi dengan Mega, ada saja yang Mima keluhkan tentang kelakuan ibunya sendiri. Kalau sudah sampai menangis-nangis begini itu tandanya sudah masuk ke dalam kategori masalah serius, kan?

"Mama emangnya kenapa?" Arlan bertanya dengan lembut, mencoba untuk memahami Mima yang akhir-akhir ini sangat sensitif.

Mima perlahan menyingkap selimutnya dan bangkit, ia duduk bersila dihadapan Arlan. "Jadi kan kita udah sepakat ya mau adain seragaman keluarganya pake warna rosegold, sama kayak gaun aku buat resepsi."

"Em-hem? Terus masalahnya dimana?"

"Nah, kata Mama warnanya gonjreng. Mending warna yang lagi booming sekarang, aku kurang suka karena biasanya yang booming itu suka banyak yang make, terus kurang cocok buat acara formal begitu. Aku maunya warna yang ekslusif. Tapi Mama gak mau kalah. Aku kesel banget!" Mima menceritakannya dengan menggebu-gebu, mengingat bagaimana keukeuhnya sang ibu membuat kekesalannya malah muncul lagi.

"Terus, jadinya warna apa?"

"Gak jadi! Akunya keburu kesel terus pulang!" Arlan menatap lekat wajah Mima yang kecut lalu menghela napasnya.

Pria itu menarik tubuh Mima dan mendekapnya hangat. "Kita pake yang kamu mau aja. Kan dari awal kita udah setuju mau pake warna dari kamu, keluarga kita juga udah dikasih tau."

"Tapi nanti Mama malah marah!"

"Kan kita yang mau nikah." Mima menipiskan bibirnya sembari menatap wajah Arlan sungguh-sungguh. "Pendapat orang tua emang penting dan dibutuhkan, tapi kalo misalnya ada yang berlawanan dan gak cocok dengan keputusan kita, gak masalah untuk nolak. Aku gak mau pas hari H nanti kamu malah sedih karena ada yang gak sesuai keinginan kamu, sedangkan sejak awal kita udah sepakat untuk lakuin semuanya sesuai keinginan aku dan kamu. Kalo aku udah jelas, kemauan kamu ya aku kabulin karena itu buat aku seneng juga. Gimana?"

Arlan mengusap lembut puncak kepala Mima, melihat kekasihnya sangat stress mengurus semua persiapan pernikahan membuatnya merasa sangat bersalah, karena jujur saja dibanding dirinya sepertinya Mima memiliki andil lebih besar dan Arlan hanya menemani lalu menyetujui setiap pendapat atau apapun yang kekasihnya inginkan, sesekali memberi masukan dan saran namun tetap saja dia lebih sibuk dengan pekerjaan sampai William pernah meledeknya kalau Arlan itu calon pengantin yang tidak seperti calon pengantin.

Kebanyakan para wanita memiliki pernikahan impian sejak mereka masih sangat muda, hal terkecil seperti ingin gaya make up saja mereka sudah pikirkan, sedangkan pria ---mungkin tidak semua tapi Arlan yakin tidak memikirkan akan menikah seperti apa dan bagaimana, apalagi kalau misalnya pasangannya belum ada. Maka dari tidak heran kalau saat menjelang menikah, pihak wanita lebih besar terkena stress. Karena jika tidak sesuai harapannya, ya ... Wassalam!

"Aku mau semuanya kayak rencana sejak awal." Setelah cukup lama berpikir akhirnya Mima bersuara.

Arlan tersenyum. "Nanti biar aku yang bilang sama Mama kamu, ya? Kedepannya aku akan nemenin kamu, aku janji!" Karena Arlan tidak ingin Mima sampai benar-benar tak merasa bahagia menjelang pernikahan mereka.

Mima mengangguk lalu melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Arlan dan memeluknya dengan erat. Wanita itu hirup dalam-dalam aroma parfum yang masih menempel di kemeja kerja kekasihnya, merasakan kenyamanan tiap kali berada didekatnya.

Arlan yang selalu tenang setiap kali menanggapi ceritanya namun tidak menganggapnya sepele, membuat Mima merasa dimengerti. Dan setelah menikah, dia akan menemukan lebih banyak karakter diri Arlan yang lainnya.

Baik dan buruknya, Mima tidak sabar untuk menghadapinya, sebagai seorang istri.

•Beloved Staff•

Seminggu sebelum hari pernikahan, Mima menghabiskan waktunya bersama keluarga sebelum nantinya dia akan fokus pada keluarga barunya sendiri. Meski hidup di era modern, namun kedua orang tuanya masih memercayai beberapa tradisi yang mana calon pengantin wanita mesti dipingit atau tidak boleh bepergian ke luar rumah. Selain untuk berjaga-jaga katanya juga agar fokus melakukan perawatan hingga saat keluar nanti, aura seorang pengantinnya terpancar keluar.

Mima sih tidak masalah ya, toh urusan pernikahan sudah 90% selesai dan sisanya bisa diurus oleh kedua pihak keluarga. Mungkin yang agak susahnya karena Mima harus menahan rindu karena akan cukup lama tidak bertemu dengan Arlan. Malahan mamanya sengaja menyita ponsel Mima supaya katanya nanti pas bertemu, rindunya semakin menggebu-gebu.

Jadinya bukan cuman lelah disiksa rindu tapi juga lelah karena bosan karena hiburan Mima hanya televisi saja saat di rumah mamanya, dan Felix yang rajin mengunjungi kamarnya hanya untuk meminta ditemani main Lego.

"Bentar lagi lo nikah, gue sendirian dong, Ma?"

Khusus hari ini Via datang mengunjungi Mima ke rumah mamanya. Sudah dari lama Via merengek ingin bertemu, karena Mima yang resign dari kantor sejak lama membuat intensitas pertemuan mereka tidak sesering dulu. Paling mereka merencanakan hang out berdua.

Tiba-tiba Via berkata begitu membuat Mima menatap temannya yang saat ini fokus membantu Felix menyusun legonya. "Gue cuman nikah, Vi. Bukan pindah planet. Kecuali kalo Pak Arlan ada rencana pindah ke sana," timpalnya lalu kembali fokus menatap layar televisi sambil rebahan santai di atas karpet. Rambutnya acak-acakan dan hanya memakai daster yang keteknya sudah bolong.

Lihatlah penampilan calon pengantin satu itu!

"Ck, maksud gue tuh kita bakalan jarang ghibah gitu, loh! Gimana pun juga lo nantinya bakalan fokus pada kehidupan rumah tangga lo, mungkin emang sesekali kita ketemu atau jajan seblak bareng. Lo ngerti lah maksud gue, masa iya perlu gue jelasin juga!" Niatnya mau bikin mellow, malah dibikin kesal sendiri.

Mima tertawa pelan lalu mencomot cireng diatas pangkuan Felix. "Gue masih tetep jadi sahabat lo, Vi. Kapanpun lo butuh temen buat jajan, panggil aja gue!"

"Kalo pas gue galau?"

"Gue izin dulu, takutnya lagi bereproduksi sama Pak Arlan."

"Sialan!" Kedua wanita itu sama-sama tergelak membuat Felix yang bocil sendirian diantara para tante-tante itu, hanya memasang raut wajah bingung.

Tawa yang semula memenuhi tiap sudut ruangan perlahan-lahan meredup, Mima termenung dengan pandangan lurus ke depan. "Gue kangen Rosa, Vi." Via menghentikan gerakan tangannya di udara, melirik Mima yang dalam sekejap berubah suasana hati.

Dia pun tersenyum. "Gue juga kangen. Kalo ada, pasti dia bakal heboh juga. Mungkin ... dia juga udah happy nikah sama Fyan. Lo inget gak? Dia pernah ada cita-cita pengen punya anak lima sama Fyan?" Mima terkekeh pahit, hatinya terasa ngilu tiap mengingat kenangan mereka bersama.

Ya, serindu itu mereka pada Rosa. Padahal sebelumnya Mima sudah datang ke pusara Rosa untuk menyampaikan bahwa sebentar lagi dirinya akan menikah, dan disana dia juga bertemu dengan Fyan yang baru saja selesai mengunjungi Rosa juga.

Mima bisa melihat kesedihan yang terdapat dikedua mata pria itu, namun Fyan terlihat jauh lebih ikhlas. Karena katanya Fyan ingin Rosa bisa istirahat dengan tenang tanpa diberati oleh siapapun.

Hingga ada kalimat dari pria tersebut yang membuat Mima merasa tertampar.

"Andai saya bisa putar waktu, saya akan lamar Rosa lebih cepat dan menghabiskan sisa hari kami dengan sebaik mungkin. Saya akan membuat Rosa bahagia dan juga memberi semua yang terbaik buat dia. Saya menyesal karena telah membuang waktu kami yang berharga."

Mima langsung tersadar bahwa tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidup seseorang. Ungkapan waktu adalah emas itu nyata, dan Mima selalu menghargai tiap detik yang ia lalui bersama orang-orang yang dia sayangi.

"Vi?" panggil Mima membuat Via menatapnya dan berdeham. "Lo nikah aja sama Pak Will sana!" Kedua alis Via seketika menukik dengan tajam.

"Maksud lo apa?"

"Biar kita sama-sama jadi nyonya, terus hangout tiap hari ngabisin duit suami. Gue gak mau jauh-jauh dari lo!" Via yang semula hendak terharu, mendadak air matanya kembali tersedot ke dalam.

Malam terakhir sebelum akad, Mima dipanggil mamanya untuk ke taman ---entah mau apa padahal Mima sedang sibuk maskeran dan juga treatment kuku-kukunya. Sesampainya di sana, Mima menemukan Mega yang sedang duduk diatas kursi rotan sendirian.

Taman rumah mamanya itu terkesan indoor dengan atap kaca, biasanya Mega menghabiskan waktu disana untuk termenung ataupun menyelesaikan pekerjaannya. Bisa dibilang itu daerah teritorial Mega yang tidak boleh sembarang orang masuk.

"Kenapa, Ma?"

Paruh baya tersebut menoleh dan melempar senyumannya pada Mima. Mega lalu menepuk spot kosong disampingnya membuat Mima langsung mendekat dan duduk di tempat tersebut.

"Mama udah lama banget gak sisirin rambut kamu. Mama kangen," katanya terkesan tiba-tiba.

Mima juga baru sadar kalau di atas meja ada kotak berisikan aneka aksesoris rambut. Dulu sewaktu Mima masih kecil, Mega senang sekali bereksperimen dengan rambutnya sampai pernah dimarahi papa karena katanya takut rambut Mima rusak.

Lalu sekarang untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, Mega menyentuh rambutnya lagi. Hati Mima langsung berdesir.

Dengan penuh kelembutan Mega menyisir tiap helai rambut Mima. Keheningan menguasai dua wanita tersebut, sibuk dengan isi hati masing-masing. Tanpa Mima sadari kalau mata Mega sudah berair.

"Mama tiba-tiba kangen kamu masih kecil, Nak. Dulu tuh kamu lucu sekali. Gembul, terus suka bikin Mama ketawa sama tingkah kamu." Mima tertawa geli mendengar penuturan sang Mama.

"Emang dasarnya Mama suka ngetawain aku. Aku juga masih inget, pas aku jatoh ke parit gegara dikejar angsa tetangga. Mama bukannya bantu malah ngetawain aku."

Mega tertawa sembari mengusap matanya yang basah. Mereka memang bukan tipe ibu dan anak romantis yang penuh dengan momen menyentuh hati, malahan bisa dibilang Mega itu ibu yang sering menjahili anaknya sampai membuat Mima menangis karena mamanya sendiri. Tapi itulah mereka, saling menyayangi dengan cara sendiri.

"Sekarang kamu udah dewasa, besok malahan udah jadi istri orang. Sekarang Mama ngerasa nyesel." Senyuman di wajah Mima perlahan-lahan luntur mendengar apa yang baru saja mamanya sampaikan. "Mama nyesel, karena Mama gak bisa habisin waktu lebih banyak sama kamu. Mama pernah begitu egois dan lewatin masa-masa remaja kamu tanpa bimbingan orang tua dengan semestinya. Mama nyesel karena gak bisa setiap hari bilang kalo Mama sayang sama kamu, dan sekarang sekalinya ada kesempatan, itu gak lama."

Mega menahan napasnya, sebisa mungkin menekan air mata agar Mima tidak menyadari bahwa dirinya sedang menangis. Diusapnya permukaan rambut sang anak seraya menatapnya dengan penuh perasaan.

"Harusnya aku lebih sering dateng jengukin Mama, ya?" Mega menggelengkan kepalanya.

"Banyak orang bilang, seorang anak harus bisa berbakti pada orang tuanya. Tapi, banyak orang tua yang juga lupa jika seorang anak butuh untuk dipahami, dan juga diapresiasi. Dan gak semua orang tua bisa melakukan itu karena merasa bahwa yang harusnya memahami orang tua, adalah tugas anak. Sedangkan anak kesulitan memahami kondisi orang tuanya, karena mereka belum pernah merasakan menjadi orang tua." Mima menipiskan bibirnya seraya memeluk erat kedua lututnya yang ditekuk. "Mama gak pernah marah dan mengerti sekali kenapa kamu jarang ke rumah Mama. Pasti gak mudah kan lewatin semuanya sendiri selama ini? Mama gak mau merusak apa yang sudah kamu pertahankan. Tapi, Mama senang karena sekarang kamu bisa punya orang yang membuat kamu merasa bahagia."

Helaan napas berat terdengar dari mulut Mima. Perempuan itu kini ikut berkaca-kaca dan merasakan hatinya penuh dengan berbagai emosi, hingga sulit untuk dijelaskan.

Mega mengikatkan ikat rambut berwarna merah muda diujung kepangan yang dia buat pada rambut Mima. "Setelah menikah nanti, Mama harap kalian selalu menjadi pasangan yang kompak, supportif, dan juga saling mencintai sampai akhir hayat. Jangan seperti Mama dan Papa kamu, ya? Karena kamu bukan kami. Kamu berhak bahagia, dan mendapatkan keluarga utuh yang harmonis. Jangan sungkan minta apa aja sama Mama, oke?"

"Mama!" Mima membalikan tubuhnya dan memeluk Mega dengan erat yang langsung dibalas tak kalah erat oleh sang Mama.

Air mata keduanya kini sama-sama terjatuh.

Mega mengecup puncak kepala Mima berkali-kali. "Mama minta maaf. Mama banyak salah. Mama bangga sama kamu." Isakannya Mima semakin menjadi-jadi.

"Aku juga sayang Mama. Maaf karena belum bisa jadi anak yang baik." Mega hanya tersenyum dan terus mendekap putrinya dengan erat tanpa berniat untuk melepasnya.

•Beloved Staff•

Ketika hari yang ditunggu pun tiba, perasaan antusias yang semula Arlan rasakan perlahan-lahan justru berubah jadi kegugupan yang luar biasa. Tubuhnya mendadak mengeluarkan keringat dingin sampai perutnya serasa mulas tanpa alasan, dan Windy yang menyadari itupun sebisa mungkin menenangkan putranya. Takut kalau tiba-tiba Arlan malah pingsan saking gugupnya.

"Gakpapa. Nanti gugupnya ilang sehabis akad. Tarik napasnya dalam-dalam."

Arlan melakukan apa yang mamanya katakan, mencoba untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Dia juga berhitung sampai seratus supaya fokusnya tidak terpecah belah, namun nyatanya tidak semudah itu gugupnya hilang setelah mereka sampai di gedung dimana acara pernikahannya berlangsung.

"Ma, ini gimana?"

Kedua orang tua Arlan menatap anak mereka yang wajahnya pucat pasi, hal tersebut membuat Chandra mengernyit. "Sakit kamu, Lan?" Arlan mendesah kasar.

"Papa masih bisa bercanda disaat badan aku udah gemetaran gini?"

Windy langsung memukul pelan bahu suaminya. "Pa, ah!"

"Loh, siapa yang bercanda? Orang Papa cuman nanya, kok. Muka kamu pucat sekali kayak yang tipes," celetuknya membuat Arlan mendengus dan mengusap keringat di dahinya.

Chandra pun mendekat dan menepuk kedua bahu Arlan, diberikannya pijatan, tidak terlalu kuat namun cukup untuk membuat Arlan merasakan rileks. "Udah ganteng begini, gak lucu kalo misalnya pingsan sebelum akad." Arlan menegakan kedua pundaknya. Benar juga, dia bisa malu kalau sampai pingsan. "Gakpapa. Gugup boleh, tapi jangan terlalu mendalami juga. Gugupnya ilang setelah liat calon istrimu nanti."

"Setelah akad baru boleh pingsan gitu?"

"Gak gitu juga! Bocah ini!" Arlan tertawa pelan, mukanya sudah tidak sepucat tadi dan dia pun langsung memeluk papanya.

"Makasih ya, Pa."

Chandra tersenyum tipis, diusapnya beskap yang dikenakan sang anak dengan penuh rasa bangga serta haru. "Udah. Ayo, masuk!" Arlan mengangguk dan meregangkan pelukan mereka saat terdengar suara MC yang memulai acara.

Jantung Arlan kembali berdetak dua kali lebih cepat sesaat setelah pantatnya menyentuh kursi. Meja tempat akad berlangsung berada di tengah-tengah dalam naungan dekorasi yang penuh oleh bunga mawar putih, para tamu nampak memenuhi ruangan membuat Arlan seperti seekor semut diantara banyaknya manusia. Padahal ukuran badannya sangat tidak cocok disamakan dengan seekor semut.

Setelah begitu banyak kata sambutan dan juga do'a pembuka, saat yang paling mendebarkan pun tiba. Kini Arlan tidak lagi sendirian, dihadapannya sudah ada sosok Bastian dalam balutan beskap coklat serta pihak KUA dan para saksi.

Arlan tahu bahwa ketika ia menarik seseorang ke dalam hidupnya, maka akan ada banyak hal-hal baru disertai resiko-resiko yang sedang menantinya didepan sana. Papanya bilang, pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi juga dua kepala menjadi satu dan dua kepribadian yang tentunya tidak akan selalu berjalan sesuai dengan keinginannya.

Kehidupan setelah pernikahan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari semua pahit dan manis yang belum pernah Arlan hadapi. Serta harus bisa memegang tanggung jawab sebagai suami dan memahami tugasnya.

Ketika tangannya dan Bastian terayun serta para saksi mengesahkan janji sakral tersebut, Mima telah menjadi tulang rusuknya yang selama ini hilang dan mengisi setengah hatinya.

"Mempelai wanita dipersilahkan untuk masuk!"

Kedua bahu Arlan kontan menegak ketika pintu aula terdengar dibuka, perlahan ia menoleh dan bola matanya menunjukan binar tatkala mendapati sosok wanita paling cantik berdiri bak cahaya di kegelapan.

Jemima, wanita itu melangkah dengan penuh keanggunan dalam balutan kebaya putih yang melekat pas di tubuhnya, digandeng oleh mama dan sahabatnya, serta kedua adiknya yang berjalan memimpin sembari menaburkan bunga di tiap langkah wanita itu. Namun atensi Arlan hanya tertuju pada istrinya seorang.

Perlahan Arlan bangkit dan melangkah kedepan, hingga mereka sama-sama bertemu setelah sekian lama tak bertemu, dada Arlan bergetar dengan hebat hingga tak terasa air matanya terjatuh. Hal tersebut membuat Mima tertawa kecil.

Cantik sekali.

Arlan mengusap sudut matanya sebelum mengulurkan tangan ke arah Mima yang langsung disambut oleh si wanita. Kini, keduanya berjalan beriringan bersamaan dengan tepuk tangan riuh para tamu dan kelopak bunga yang berjatuhan dari ketinggian.

Saat menoleh, Arlan menatap lekat tiap lekukan wajah Mima. Wanita itu terlihat begitu bahagia dan berhasil mengusir kegugupan yang sejak tadi memenuhi rongga dadanya.

Ya, karena Mima lah Arlan berani mengambil resiko terbesar dalam hidupnya.

Wanita yang datang tanpa kesengajaan dalam hidupnya dan memporak-porandakan hatinya, bahkan hingga akhir.

•TAMAT•

Finally!

Happy ending kan? Happy dong ya. Karena author ngetiknya juga sambil happy.

Cerita ini aku buat sebenernya pas lagi iseng tapi ternyata mendapat sambutan yang memuaskan dari para pembaca, bahkan belum sebulan udah mencapai seratus ribu pembaca. Makasih banyak untuk semua dukungannya dan semoga aku bisa lebih banyak membuat karya yang menghibur serta menginspirasi untuk kedepannya.

Semoga kalian puas dengan endingnya karena aku pribadi sangat puas tentunya, dimana semua orang menemukan akhirnya yang terbaik masing-masing.

See you di cerita berikutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

923K 97.8K 29
Dalam setiap kontrak kerja, pihak pertama yang berhak memutuskan kontrak pihak kedua sewaktu-waktu, bukannya pihak pertama yang mohon-mohon supaya pi...
241K 14.1K 47
Alenka seorang yang terlahir dari keluarga sederhana, tapi hidupnya tidak sederhana karena orang tuanya selalu melakukan kekerasan terhadap Alenka. A...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
280K 20.9K 32
(Judul sebelumnya Redflag) Ara itu tidak suka cowok kasar. Sebagai pembaca setia dan penikmat novel romansa, Ara sering sekali membaca cerita dengan...