Dikejar Jodoh

By killmill77

288K 45K 5.4K

Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah u... More

Rumah Jodoh Series
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Enam
GIVEAWAY ALERT!
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
Limabelas
Enambelas
Tujuhbelas
Delapanbelas
Sembilanbelas
Duapuluh
Duapuluhsatu
Duapuluhdua
Duapuluhtiga
Duapuluhempat

Lima

9.7K 1.5K 192
By killmill77

Walau sangat enggan, tetapi menolak perintah Arsenal adalah hal yang tidak akan Mili lakukan. Maka dari itu, ketika pukul 5 tepat Mili langsung menutup pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Dia takut kalau Arsenal sudah tiba lebih dulu di lobi dan menunggunya. Oh, itu tidak boleh terjadi. Mili tidak mau melakukan sesuatu yang bisa membuat Arsenal membahas sesuatu yang salah, atau bahkan lelaki itu yang kesal padanya.

Namun, meski sudah terburu-buru pulang bahkan meninggalkan Kiara yang masih bekerja, Mili tetap mendapati Arsenal tiba lebih dulu. Lelaki itu tengah duduk di salah satu kursi tunggu sembari memainkan ponselnya. Dengan sedikit berdebar, Mili pun melangkah mendekat. Tangannya sudah bertaut di depan tubuh saking groginya.

Dia membuat kesalahan.

Dia membuat Arsenal menunggu.

"Mas," panggil Mili pelan. Gadis itu berusaha menutupi kegelisahannya. "Maaf Mili baru datang." Dia putuskan untuk meminta maaf.

Arsenal tentu saja langsung mengalihkan tatapan dari ponselnya. Menatap Mili yang berdiri di hadapan lelaki itu sedikit jauh. Arsenal juga bangkit dari duduknya dan memasukkan ponsel pada saku celananya.

"Langsung berangkat?" Lelaki itu bahkan tidak menyahuti permintaan maaf Mili sama sekali.

Mili semakin gelisah di tempat. Namun begitu, dia tetap mengangguk dan membiarkan Arsenal berjalan di depannya lebih dulu dan gadis itu yang mengekor di belakang. Bibirnya digigit lagi. Kegelisahan semakin melandanya. Dia akan menghabiskan waktu di mobil menuju rumah lelaki itu hanya berdua. Dengan kondisi suasana Arsenal yang mungkin saja tidak baik karena menunggunya terlalu lama.

Mili menatap jam tangannya.

17.15

Artinya, Arsenal kemungkinan menunggunya lebih dari lima belas menit. Mili memang tadi langsung menutup laptop jam 5 tepat. Namun dia tentu harus berbenah sedikit juga melakukan finger print dan melapor sebentar pada Tamara yang sudah kembali ke kantor pukul 3 sore. Tamara menahannya beberapa menit bertanya soal pekerjaan yang Mili lakukan hari itu sebelum membiarkannya pergi. Kemudian di lift, Mili juga harus menunggu antrean agar bisa turun ke bawah.

Mili kini mengeratkan pegangannya pada tali ranselnya. Sebelum kemudian terpaksa harus dilepasnya saat dia harus masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang depan dengan Arsenal yang langsung masuk ke kursi pengemudi. Diberanikannya diri menatap pada lelaki itu yang wajahnya masih seram seperti biasanya.

"Maaf ya, Mas. Mili turunnya lama." Mili membuka suaranya lagi. Masih tidak enak hati perihal keterlambatannya.

Arsenal yang sudah mulai melajukan mobil hanya meliriknya sekilas. "It's okay. Aku juga baru sampai."

Napas lega baru bisa terembus dari bibir tipis gadis itu. Sedikit tenang meski tidak tenang-tenang sekali. Tentu saja, Mili tidak akan bisa tenang kalau berada berdua seperti ini dengan Arsenal. Apalagi, kini dia juga harus memikirkan bahwa mereka akan berangkat menuju rumah lelaki itu. Bertemu dengan keluarga Arsenal, bertemu dengan Ibu Adis.

Tunggu!

Bertemu dengan Ibu Adis.

Arsenal ... tidak membicarakan apa pun soal masalah Mili tempo hari, kan?

Mili kembali gelisah. Beberapa prasangka buruk sudah mampir di kepalanya. Bagaimana kalau dia dipanggil ke sana karena mau membahas masalah itu? Bagaimana kalau nanti Ibu Adis melaporkan pada keluarganya di kampung? Bagaimana kalau Mili akan langsung dijemput paksa dan dinikahkan dengan Irul?!

"Mas!" Mili langsung menoleh pada Arsenal, sedikit menyeru yang membuat Arsenal terlihat terkejut.

"Kenapa?"

Melihat kekonyolannya barusan, juga wajah Arsenal yang terkejut dan kebingungan, Mili langsung mengatupkan bibirnya.

"Kenapa, Mili?" tanya Arsenal lagi.

Mau tidak mau, Mili kembali menoleh. Tentu dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya barusan. Meski kini kembali menggigit bibir dan memilin-milin tangannya di pangkuan.

Kenapa dia selalu mati kutu di hadapan Arsenal, sih?!

"Em ... itu ..." Mili sedikit tergagap. "Ibu sehat, kan?"

"Kamu tanya aja sendiri nanti kalau udah di rumah."

Mili menghela napasnya pelan-pelan. Pertanyaan barusan mungkin saja terdengar begitu konyol. Pada akhirnya, Mili memilih untuk tidak lagi membuka mulutnya. Dia akan diam sama sampai nanti tiba di rumah Arsenal dan menghadapi apa pun yang harus dihadapinya.

Termasuk kalau ternyata benar Arsenal membocorkan masalahnya pada Ibu Adis.

*__*

"Atuh Eneng, kok tambah kurus? Jarang makan di kos, ya? Kebanyakan kerja?"

Pertanyaan beruntun itu datangnya dari Ibu Adis yang baru saja Mili salami. Ibu kandung Arsenal itu tampak mengernyit dalam menatap Mili sedikit tidak senang.

"Pasti ini kebanyakan kerja makanya jadi kurusan begini," kata Ibu Adis lagi.

Mili hanya tersenyum canggung saja. Sebenarnya, dia kurusan bukan karena jarang makan apalagi sibuk kerja, tetapi karena memang Mili sempat diet. Dia memang menyengajakan untuk lebih mempercantik diri. Bahkan, si gadis pelit ini rela merogoh kocek untuk perawatan setiap bulannya.

Untuk apa?

Tentu saja untuk mendapatkan jodoh.

Sayangnya, jodoh Mili itu entah berada di mana.

Namun setidaknya Mili senang Ibu Adis mengatainya kurusan. Itu artinya, diet Mili memang berhasil.

"Mama, diajak masuk dulu dong, Milinya. Masa ngobrol di depan pintu begitu?"

Suara barusan asalnya dari Bapak Arham Bakri. Suami Ibu Adis yang tidak lain adalah Ayahnya Ar. Beliau baru saja keluar dari rumah turut menyambut Mili yang buru-buru Mili salami. Dari wajah dan pembawaan, Bapak Arham ini sekilas mirip dengan Arsenal. Tampak dingin dan seram. Namun, berkat keramahannya dan juga bagaimana beliau sesekali mengeluarkan guyonan pada Mili, gadis itu mulai bisa sedikit merelakskan sendi-sendi. Tidak setegang hubungannya dengan Arsenal.

"Ayo masuk-masuk. Ibu tadi masak sayur asem. Enak pisan. Kamu harus cobain."

Mili pun pasrah saja dirangkul masuk ke dalam rumah. Membiarkan lagi kakinya menginjakkan kaki di rumah yang pernah ditempatinya hampir sebulan saat awal-awal Mili datang ke Jakarta.

Rumah Arsenal ini cukup besar dengan terdiri dari dua lantai. Namun, hanya Ibu Adis, Bapak Arham, Arsenal dan satu ART-lah yang meninggali. Arsenal sendiri sebenarnya memiliki dua saudara lagi. Satu kakak perempuannya yang sudah menikah bernama Adira, juga satu adik laki-laki yang sedang berkuliah di Bali bernama Arvian. Mili hanya pernah bertemu dengan Adira sekali ketika wanita itu berkunjung kemari. Dengan Arvian, Mili sama sekali belum pernah bertemu.

Mili sebenarnya tidak mengerti di mana garis kekerabatannya dengan Arsenal secara jelas. Intinya dia hanya tahu kalau nenek dari ibunya dengan ibunya Ibu Adis adalah sepupu jauh. Jauhnya sampai mana Mili tidak tahu. Namun, neneknya Mili dan neneknya Arsenal itu cukup dekat sampai kemudian Ibu Adis juga mengenal Ibunya.

Berbeda dengan Ibu Adis yang sunda asli, Bapak Arham justru memiliki darah campuran Manado-Surabaya. Itu artinya, darah Arsenal sudah lebih gado-gado dari ayahnya. Dia memiliki tiga suku sekaligus. Mungkin karena itu juga, karena dia bukan asli sunda dan apalagi lahir dan tinggal besar di Jakarta, Arsenal enggan dipanggil dengan sebutan 'Aa'. Atau mungkin, dia merasa itu terlalu kampungan?

Mili tidak tahu. Tidak bertanya juga. Tidak berani. Dia hanya mengikuti saja perintah Arsenal, mencari jalan aman.

"Pokoknya Neng mah di sini jangan makan sedikit. Makan yang banyak." Di meja makan, Ibu Adis menuangkan berbagai makanan ke dalam piring Mili.

Gadis itu tersenyum kaku. Meski sudah tidak sedang diet, Mili masih harus tetap menjaga berat badan. Dia tidak mau pipinya sampai semakin menggembung lagi dan berakhir menjadi cemoohan seperti bagaimana Mili bertemu dengan laki-laki dari dating app lalu dikatai terlalu banyak makan makanya pipinya terlalu berisi.

"Sok, dimakan. Jangan malu-malu. Nanti tambah lagi," kata Ibu Adis lagi sebelum wanita itu duduk manis di tempatnya dan kini mengalihkan pandangan pada anak lelakinya yang juga sedang menuang makanan. "Ar nih pasti jarang ngejenguk Mili, kan? Sekali-sekali dong, Ar, Milinya dilihat. Diajak makan. Kalian kan satu kantor. Masa Mili dibiarin kurus banget begini?"

Mili duduk semakin kaku di tempatnya. Namun begitu, dia tidak berani membuka mulutnya sama sekali meski kini sudah sangat tidak enak hati pada Arsenal yang malah disalahkan.

"Neng juga mentang-mentang udah kos, jarang main ke sini." Ibu Adis tampak cemberut. "Pokoknya hari ini harus nginep ya?"

"Tapi Mili besok kerja, Bu," jawab Mili, mengajukan penolakannya. "Mili enggak bawa baju.

"Halah, gampang baju, mah. Nanti pinjam bajunya Adira. Masih banyak baju-bajunya Adira di lemarinya. Nanti Neng juga tidur di kamar atas aja di kamar Adira, udah Ibu beresin. Kamar tamu AC-nya lagi rusak."

*__*

Meski masih tidak nyaman, Mili coba tetap menyamankan diri.

Berada di dalam kamar tidur Adira tentu saja membuatnya sangat tidak nyaman. Kamar Adira ini sampingan-sampingan dengan kamar Arsenal, bahkan menempel. Membuatnya benar-benar sangat berhati-hati bahkan untuk bernapas sekali pun.

Hampir sebulan tinggal di rumah Arsenal, Mili tidak pernah menginjakkan kaki di lantai dua. Kamar tamu berada di lantai satu dan Mili sangat bersyukur akan hal itu. Dia jadi bisa menghindari pertemuan-pertemuan yang tidak disengaja. Bahkan, posisi kamar tamu cukup membantunya karena lokasinya yang cukup menjangkau anak-anak tangga sehingga Mili bisa memastikan kehadiran Arsenal. Kalau lelaki itu turun dari sana, maka Mili hanya akan berada di dalam kamarnya.

Dan kini, tentu tidak bisa.

Mili bahkan menahan keinginannya untuk buang air kecil karena masih mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Kemungkinan Arsenal masih bolak-balik ke luar entah melakukan apa.

Gadis itu berdiri di depan pintu. Memasang telinganya pada papan kayu itu, mendengarkan dengan baik hal apa yang ada di luar. Kamar Arsenal itu berada di paling ujung, kemudian kamar Adira di tengah dan kamar Arvian di sampingnya lagi lalu kamar mandi. Untuk menuju kamar mandi, Arsenal tentu harus melewati kamar Adira lebih dulu, yang mana itu adalah kamar yang Mili tempati saat ini. Dan Mili baru saja mendengar langkah kaki Arsenal juga pintu kamar lelaki itu yang ditutup.

Gadis itu menghela napasnya lega. Itu artinya, dia bisa segera keluar kamar dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk mengosongkan kantung kemihnya.

Pelan, Mili membuka pintu dan keluar dari kamar. Gadis itu juga berjinjit saat berjalan, takut menimbulkan suara. Berhasil masuk ke dalam kamar mandi dan langsung membuka celana duduk di atas kloset. Merasa lega sudah berhasil mengeluarkan apa yang harus dikeluarkan. Baru saja ingin mengambil jet shower, pintu kamar mandi tiba-tiba dibuka.

Mili membeku di tempatnya. Begitu juga si pelaku yang berdiri menjulang tanpa atasan dan hanya handuk yang membalut tungkai bawahnya.

"Nggak lihat." Arsenal langsung memejamkan mata. "Sumpah nggak lihat. Mau ambil HP doang." Tangannya meraba-rabat dinding sebelum kemudian sampai pada kabinet dan menarik ponselnya dari sana.

Lalu, Arsenal keluar dari kamar mandi begitu saja, menutup pintunya dan meninggalkan Mili yang tangannya masih terangkat kaku, membeku, belum bisa membawa kembali kesadarannya.

Yuhuuuu ketemu lagi sama Ar dan Mili!!!

Mili yang udh se-well-prepared mungkin biar gak ketemu Ar, eh malah ketemu di tempat yg tak terduga hahahahaha

KALAU BEGITU KITA BIARKAN MILI JADI BATU DULU SAMPAI HARI SELASA YAAA HAHAHA

Anw, inilah karakter-karakter Rumah Jodoh Series, definisi jodoh saling melengkapi yaaa hihi. Siapa yang udah baca Mengejar Jodoh juga??


Continue Reading

You'll Also Like

943K 149K 53
Sepuluh tahun menjalani pernikahan, Arman dan Mutia adalah pasangan sempurna di mata orang-orang terdekatnya. Arman tampan, dan memiliki karier yang...
391K 42.5K 22
Sinopsis Saling percaya dan menjaga adalah sebuah komitmen rumah tangga yang tentu saja harus hidup dalam hati tiap orang yang sudah mendapatkan gela...
918 162 28
Setia sama cowok yang tidak tahu kalau kamu menyukainya? Bodoh, sih. Sia-sia malah. Anehnya, Mehira betah banget jadi pengagum rahasia Faris, sang as...
202K 30.3K 44
[Angst] He fell first, but she fell harder. Agam mencintai Anin sejak pandangan pertama. Lantas kemudian menjadi cinta pertama. Dipendam, tapi ditunj...