H
A
P
P
Y
R
E
A
D
I
N
G
Cuss absen dulu, suka amat baca gak vote dan komen sedih aku tuh:(
****
Thalita sudah pulang kerumahnya tetapi ia masih mendiami keluarganya. Karena tadi di rumah sakit Thalita kembali membujuk tapi masih tetap tidak boleh. Thalita masuk ke dalam rumah terlebih.
"Denger kata dokter tapi di larang, emang pengen anaknya mati ya" sindir Thalita lalu melenggang masuk ke dalam.
Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing, "Edgar mau kita bahas ini, emang Daddy sama mommy mau kalo Thalita bersifat kayak gini terus sama kita? Kalo Edgar sih nggak, Edgar rindu Thalita yang ceria" ucap Edgar memulai pembicaraan.
"Baik, kita ke ruangan Daddy".
Sesampainya di ruangan Ken, mereka duduk di sofa yang ada di sana.
"Kita izinin aja ya Dad, kasihan Thalita" bujuk Edgar.
"Tapi mommy khawatir, mommy takut kalo Thalita ketemu sama keluarganya".
"Mom, Edgar udah bilang kalo udah waktunya pasti Thalita akan tau. Kalo pun beneran Thalita ketemu sama keluarga kandungnya, aku yakin mereka gak akan tanda. Karena dari bayi Thalita udah sama kita" jelas Edgar.
"Tapi-"
"Sayang, Edgar bener. Mereka gak akan tau kalo Thalita anak kandung mereka, lagian kita juga gak tau siapa orang tua kandung Thalita"
Semua yang ada di ruangan tersebut terdiam, termasuk gadis yang berada di ambang pintu.
****
Thalita misuh-misuh tidak jelas setelah tiba di kamar, ia meraba kantung celananya dan cardigan yang ia pakai namun sialnya ia tidak menemukan benda pipih yang ia cari. Ah Thalita baru ingat kalo tadi di mobil, ia menyuruh Edgar memegangnya.
Thalita keluar dari kamar menuju kamar Edgar namun ternyata orang yang ia cari tidak ada. Thalita pikir mereka masih di bawah dan Thalita pun turun, ternyata juga tidak ada. Thalita hendak berjalan ke dapur tetapi ia samar-samar mendengar suara mommynya.
Thalita pun mendekati sumber suara itu dengan perlahan, dan ternyata suara itu dari ruangan kerja Daddy nya. Thalita berdiri dan tidak masuk untuk mendengarkan apa yang mereka ucapkan. Sampai, sesuatu kenyataan menampar Thalita.
"Sayang, Edgar bener. Mereka gak akan tau kalo Thalita anak kandung mereka, lagian kita juga gak tau siapa orang tua kandung Thalita"
Deg
Kedua mata Thalita memanas, jantungnya seakan berhenti. Seperti ada sesuatu benda berat menimpa dadanya sehingga terasa sesak. Perlahan ia masuk.
"Maksud kalian aku bukan anak kalian?"
"Thalita"
Thalita masuk, "maksudnya apa? Aku bukan anak mommy sama Daddy?"
Mereka bertiga terdiam tanpa menjawab pertanyaan Thalita, Ellen sudah menangis.
"Thalita nanya, maksudnya apa?!"
"Duduk dulu Thalita biar Daddy jelaskan" putus Ken.
"Mas" Ellen menggeleng lemah.
"Mungkin udah waktunya, mom" ucap Edgar.
Thalita duduk di sofa single di sana, "jelaskan dad".
Ken menghela napas panjang, "benar kamu bukan anak kandung Daddy dan mommy".
Air mata Thalita turun saat itu juga, "terus aku anak siapa?".
Ken menggeleng, "Daddy tidak tahu, waktu itu..."
Flashback on
Ken dan istrinya sedang dalam perjalanan pulang , mereka baru saja pulang membawa Edgar dari rumah kakeknya agar bocah itu terhibur. Tetapi sepertinya mereka sia-sia karena Edgar belum tersenyum.
"Edgar sayang, kamu kenapa?" Tanya Ellen kepada Edgar yang menunduk.
Edgar mendongakkan menatap ke mommy nya yang duduk di depan, "Edgar mau punya adik, kalau ada adik kan Edgar mainnya sama dia bukan mommy sama Daddy yang kadang sibuk".
Ellen terdiam bingung harus menjawab apa, sebenarnya ia sangat mau memberikan Edgar seorang adik, tapi tuhan belum mengizinkan nya. Ken melirik istrinya yang berjubah menjadi sedih.
"Edgar kalo mau adik berdoa dong biar di kabulin" ucap Ken.
"Aku udah berdoa Daddy, tapi gak terkabul" cetus bocah itu.
"Berdoa sekali gak ngaruh Edgar, kamu harus berdoa berkali-kali untuk membujuk Tuhan"
Edgar terdiam, "baik Daddy"
Tiba tiba mobil yang mereka naikin oleng, Ken Segera menepikan mobilnya.
"Kenapa mas?" Tanya Ellen.
"Aku cek dulu ya" Ken keluar dari mobil untuk mengecek.
Ellen mendengar suara bukaan pintu dari belakang dan ternyata Edgar keluar dari mobil. Ellen pun menyusul. Ia melirik Edgar yang melihat sekeliling, tempat ini sangat sepi dan rumah sangat sedikit karena selebihnya hutan.
"Jangan kemana mana ya Edgar" ucap Ellen memberitahu, Edgar mengangguk.
Ellen pun mendekati suaminya. Edgar samar-samar mendengar suara tangisan bayi, tidak kuat namun sedikit jelas. Ia pun melihat ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara, Matanya tertuju ke arah tempat sampah yang sedikit jauh dari mobil mereka.
Seolah lupa dengan ucapan Ellen, Edgar pun berjalan menuju lobang sampah itu.
Ken melirik ban mobil mereka yang bocor, sedangkan tempat ini jauh dari bengkel dan perkotaan.
"Aku udah telepon Bejo untuk jemput kita".
Ellen mengangguk, "aku bilang ke Edgar dulu".
Ellen berjalan ke belakang mobil, namun tidak melihat Edgar.
"Edgar dimana mas" panik Ellen.
Ken langsung menatap sekeliling, matanya tertuju pada Edgar yang berdiri menatap lobang sampah dengan terkejut.
"Itu Edgar, ayo samperin"
Ellen dan Ken pun menghampiri Edgar.
"Kamu ngapain disini, mommy bilang jangan kemana mana" marah Ellen.
"Mommy lihat" Edgar menunjuk dalam lobang sampah seorang bayi, tadi bayi tersebut menangis namun saat Edgar datang bayi tersebut berhenti menangis.
Ken dan Ellen terkejut, siapa yang tega membuang anak yang masih bayi di tempat seperti ini, pikir Ellen. Ellen menggendong bayi tersebut dengan senyum, dan air mata. Bagaimana pun ia seorang ibu, ia sangat iba dengan bayi di gendongan ini.
"Siapa yang tega membuang nya" ucap Ken tidak habis pikir.
"Tidak tahu mas, aku mau rawat dia"
Ken mengangguk setuju, ia menatap putranya. "Kita rawat adiknya ya, kamu mau punya adik kan doa Edgar terkabul"
Edgar tersenyum senang dan mengangguk serta berlompatan.
"Yeahh Edgar punya adik!!"
Dari situ mereka langsung pindah ke London, dan membesarkan kedua anaknya di sana.
Flashback off
Thalita menggelengkan kepalanya tidak percaya, ia langsung berlari keluar dan masuk kedalam kamarnya.
"Biarin dia butuh waktu" ucap Ken.
****
Seperti biasa, hari Senin kembali. Rasanya hari Minggu tidak terasa. Lihatlah Alora menguap mendengar guru matematika menjelaskan, ia sungguh bosan dan suntuk. Siapa sih yang menyusun mata pelajaran, kenapa matematika di letakkan di hari Senin?.
"Lo paham?" Tanya Alora kepada Grey yang terlihat fokus mendengarkan guru di depan menjelaskan deretan angka berserta x dan y itu.
Grey menoleh ke Alora lalu menyengir, "kagak".
Alora mendengus,"kirain paham, soalnya serius kali Lo".
Grey menggelengkan kepalanya,"gue cuma liatin, dengerin sih dengerin tapi gak paham kayak masuk kuping kanan keluar dari kuping kiri, gak paham sama sekali".
"Yaudah sama" ucap Alora.
"ALORA, GREY! KELUAR KALIAN DARI KELAS SAYA DARIPADA BERISIK!"
Alora dan Grey saling tatap, lalu menatap guru tersebut dan mengangguk.
"Baik bu terima kasih"
Alora dan Grey keluar dengan tangan saling bergandengan. Ayna yang melihat itu ingin ikut, tapi ia harus belajar mau bagaimana pun ia bisa di sekolah ini karena beasiswa.
"Ya ampun akhirnya bebas, ada untungnya juga Lo ajak gue ngomong Ra" ucap Grey, kini keduanya lebih baik menuju kantin, menguasai kantin yang masih sepi.
"Sialan Lo!"
Sesampainya di kantin keduanya duduk di pojok, mereka tidak memesan makanan hanya minuman saja, kalau makanan menunggu Ayna dahulu.
"Lo kayaknya ngantuk banget Ra" ucap Grey yang sedari tadi di kelas hingga sekarang Alora beberapa kali mencoba untuk tidur.
"Gue gak bisa tidur tadi malem" jawab Alora.
"Lahh kenapa?" Tanya Grey.
Alora menggeleng pertanda tidak tahu padahal ia berbohong. Karena Varro ada di kamarnya lah ia tidak bisa tidur, bagaimana mau tidur kalo Varro terus mencoba mengajak Alora bicara hal random dan tidak berguna sampai tengah malam.
Varro berbicara kehidupan mereka setelah menikah alias menghalu. Alora tersenyum mengingat semalam bagaimana wajah Varro menghalu tentang kehidupan mereka kedepannya. Dan yang bikin Alora tidak bisa tidur alasan terkuat nya adalah lagi lagi ia di tampar bahwa mereka beda dunia.
"Gapapa tapi senyum senyum sendiri, gila Lo Ra"
Alora menatap sinis Grey, "makanya cari cowok biar tau rasanya senyum senyum sendiri tuh gimana" cetusnya.
"Heh gini gini walaupun gak punya cowok, gue sering di baperin sama banyak cowok, sama cowok fiksi , cowok Drakor, cowok K-Pop, cowok China" sungut Grey.
"Lo lebih gila"
"Gapapa gila karena cowok fiksi daripada karena cowok real, udah bikin gila, sakit batin, mental, hati, udah lah lengkap penderitaan nya"
Alora menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Grey, namun sedetik kemudian ia tersadar dari ucapan Grey. Benar Varro selalu memperlakukannya seolah ratu, dan memanjakan dirinya seolah anak kecil. Tidak mau menyakiti Alora dan selalu perhatian dengannya, selalu memahami Alora. Siapa pun pasti ingin Varro di dunia nyata.
Karena hal baik yang Alora lakukan, perhatian kecil yang Alora lakukan, malah di balas lebih oleh Varro. Kasih sayang cowok itu sangat tulus, Alora bisa merasakan dari gimana khawatir nya Varro semalam, pedulinya Varro dan manjanya Varro.
Ah Alora tidak mau membayangkan bagaimana tiba-tiba mereka berpisah, berpisah tanpa pamit, dan tanpa menjelaskan apa pun. Apa Alora lebih baik memberi tahu siapa dirinya? Dia bukan pemilik tubuh, hanya jiwa yang nyasar dari dunia nyata.
"Varro boleh gue minta untuk terus di samping gue, gue gak mau pisah sama Lo" batin Alora.
Grey melotot, sedari tadi ia membiarkan Alora melamun namun kenapa tiba-tiba cewek itu mengeluarkan air mata. Grey jadi panik sendiri.
"Ra are you okay?"
Alora tersentak kaget, ia langsung mengelap air matanya . Sial! Seharusnya ia tidak memikirkan ini di sekolah.
Alora mengangguk, "gue gak sengaja kepikiran hidup gue aja".
Grey memeluk Alora dari samping,"Lo kan hebat gak mungkin Lo gak bisa jalaninya, semangat dong" ucap Grey menenangkan, Alora tersenyum dan mengangguk mereka tidak sadar bel istirahat sudah berbunyi dan kantin mulai ramai.
"Oh gitu, cukup tau kalian seperti itu" pekik Ayna mendramatis.
Keduanya melepaskan pelukannya, "iri aja Lo met" ejek Grey.
Ayna duduk di sebelah Alora dan gantinya memeluk Alora, "suka aku dong gil"
"Gil?" Tanya Grey.
Ayna melepaskan pelukannya, ia mengangguk "iya orgil".
Alora refleks tertawa, ntah kapan kedua manusia itu akur tanpa adanya perdebatan. Tapi jujur Alora terhibur dengan perdebatan itu.
****
Thalita mengunci dirinya di kamar, tangisannya tidak mau berhenti mengingat kata yang menyakitkan tadi terdengar. Di tempat sampah? Ia di buang oleh keluarga nya sendiri?
"Kenapa mereka buang gue"
Thalita menangis, hingga tertidur. Di alam bawa sadarnya lagi lagi Thalita bertemu dengan Alora.
"Akhirnya lo tau kalo Lo bukan anak mereka, sedikit lagi tinggal Lo bertemu kembaran Lo yaitu gue, cuma gue yang Lo punya tolong gue, gue tersiksa mereka jahat"
Thalita bangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran, "gue beneran punya kembaran, mimpi kemarin benar. Berarti gue bukan di buang, gue bilang, bisa jadi gue di culik. Alora? Gadis itu kembaran gue, dia kenapa? Apa maksud mimpi itu, dia tersiksa?"
Thalita benar benar bingung, tapi kalau benar Alora tersiksa, Thalita akan membantu nya. Ia harus cepat bertemu dengan Alora, mencari gadis itu.
"Tunggu gue"
*****
Aduh semakin Deket nih pertemuan mereka
Komen banyak banyak, kalo beneran aku up lagi besok!!