MENJADI KISAH SEMPURNA UNTUK...

By _missdandelion

267K 23.2K 2.2K

"Bunda, cerita tentang Ayah, dong." More

Secuil Kisah
MKSUK 1
MKSUK 2
MKSUK 3
MKSUK 4
MKSUK 5
MKSUK 6
MKSUK 7
MKSUK 8
MKSUK 9
MKSUK 10
MKSUK 11
MKSUK 12
MKSUK 13
MKSUK 14
MKSUK 15
MKSUK 16
MKSUK 17
MKSUK 19
MKSUK 20
MKSUK 21
MKSUK 22
MKSUK 23
MKSUK 24
MKSUK 25
MKSUK 26
MKSUK 27
MKSUK 28
MKSUK 29

MKSUK 18

7.1K 601 64
By _missdandelion

Chapter selanjutnya, nunggu rameee

"Terima kasih banyak, Mbak. Aku sudah ngerepotin banget, nih."

Naina tengah berbicara dengan seseorang di sambungan telepon. Memenuhi keinginan Amalia untuk ikut ke Jakarta membuatnya harus mengambil keputusan—tinggal di Jakarta. Awalnya, dipikirnya pengobatan tak akan memakan waktu lama, jadi ia bisa menitipkan Aluna pada Bulik Yem selama dirinya tak ada. Namun, anaknya menolak.

"Opo seh. Jangan begitu, Nai. Selama aku bisa, pasti tak bantu. Nanti dokumen kepindahan Aluna tak titipin Bulik Yem, ya."

Dita—lah yang Naina percaya untuk mengurus semua urusan kepindahan sekolah Aluna ke Jakarta. Waktunya begitu mepet. Bahkan, urusan pemesanan kue pun terpaksa diberhentikan. Naina meminta Bulik Yem ke Jakarta untuk membantunya.

"Sekali lagi terima kasih. Mbak sudah banyak bantu aku selama di sana," ucap Naina.

"Yowes, sama-sama. Padahal aku ya senang banget bisa bantu kamu. Keadaan Ibu piye, Nai?"

"Alhamdulillah Mama sudah jauh lebih baik, Mbak. Sekarang kondisi jantung Mama yang sedang dalam pemantauan karena sempat kena serangan jantung," jawab Naina. "Mama juga sudah mulai pelan-pelan belajar jalan."

"Alhamdulillah. Aku ikut senang dengarnya. Semoga Ibu lekas pulih, ya. Nanti kalau sudah ada waktunya, aku main ke Jakarta. Ehm, Nai—" ujar Dita yang seketika tertahan selama beberapa detik. "Proses perceraian masih terus jalan, kan?"

Naina terdiam.

"Nai?" tegur Dita pelan. "Kok diam?"

"Jadi, Mbak. Tinggal tunggu panggilan sidangnya aja. Bantu doanya ya, Mbak. Doakan semua prosesnya lancar dan selesai dengan baik," jawab Naina. "Mbak, nanti kita sambung lagi. Dokternya mau visite."

"Iya, Nai. Salam untuk Ibu dan Luna, ya."

Bhumi memegang ucapannya. Sebelum jadwalnya dimulai, ia selalu datang demi memastikan kondisi sang Mama baik-baik saja. Di sela waktu istirahat pun laki-laki itu akan kembali hanya sekadar memeriksa isi piring berkurang dan obat yang harus Amalia minum.

"Sudah bosan di rumah sakit ya, Bu?" tanya Dokter Irawan—dokter senior yang merawat Amalia. Dokter dengan rambut hampir seluruhnya putih itu tersenyum melihat respons Amalia yang mengangguk. "Kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi, jantungnya masih harus dipantau. Kalau nanti sewaktu-waktu merasa sakit di dada kiri, segera ke rumah sakit."

"Kapan boleh pulangnya, Mas?" tanya Amalia.

"Baru dua minggu, lho. Kamu sama sekali nggak berubah," sahut Dokter Irawan yang disertai tawa renyah. "Aku belum kasih tau Hanum kalau sekarang kamu sudah kembali ke Jakarta. Dia pasti senang banget."

"Sudah lama ya, Mas," sahut Amalia.

"Sangat. Kami sama sekali nggak dapat kabar dari kamu," ucap Dokter Irawan. "Oh, iya. Kamu sudah boleh pulang hari ini."

Naina dan Aluna yang duduk di dekat Amalia bahagia mendengar kabar ini. Akhirnya mereka bisa meninggalkan rumah sakit. Dua minggu sudah mereka tinggal di sini.

"Kita pulang ke mana, Bunda?" tanya Aluna polos. "Pulang ke Malang?"

"Nggak, Sayang." Naina menatap sang putri teduh. "Kita kan sudah cari sekolah untuk Luna. Jadi, Luna sekolah di Jakarta dulu. Uti masih harus bolak-balik pengobatan di rumah sakit."

"Kamu balik ke rumah Bogor?" tanya Dokter Irawan pada Amalia.

"Nggak, Om," serobot Bhumi. "Mama tinggal di rumahku. Rumah Bogor terlalu jauh dari sini. Aku pindahkan Mama ke sini supaya aku bisa memantau Mama."

"Jadi, kalian semua nani tinggal di rumah kamu?" tanya Dokter Irawan. Bhumi mengangguk, meskipun terlihat sedikit ragu. "Ya sudah. Segera kamu urus dokumen kepulangan mamamu."

***

Setelah sekian lama, Naina kembali menginjakkan kakinya di rumah ini. Semua terasa berbeda. Suasanya begitu dingin. Cat dinding diubah, begitu pula seluruh dekorasi dan tata letaknya.

"Ini kamar Mama," ujar Bhumi saat pintu salah satu kamar tamu lantai bawah dibuka. "Aku sudah siapkan kamar ini khusus untuk Mama. Tempat tidurnya juga sudah didesain khusus. Di dindingnya juga sudah dipasang pegangan khusus, jadi Mama bisa belajar jalan."

"Mama mau istirahat," ucap Amalia. "Mama capek."

Ketiganya—Bhumi, Naina dan Aluna meninggalkan Amalia. Pintu kamar ditutup. Sekarang, Naina dan Aluna masih berdiri dengan beberapa koper di dekat mereka.

"Kalian di kamar itu." Bhumi menunjuk kamar tamu kedua. "Aku balik ke rumah sakit. Kalau ada apa-apa sama Mama, hubungi aku."

"Iya," sahut Naina. Dasar kebutuhan membuat Bhumi terpaksa memberikan nomor ponselnya pada Naina. "Hati-hati di jalan, Mas."

Aluna membantu Naina membereskan koper dan memindahkan seluruh isinya ke lemari yang sudah disediakan di kamar tamu. Ada satu set meja belajar di sudut ruangan, lengkap dengan lampu bacanya. Seingat Naina, terakhir kali, hanya ada tempat tidur dan lemari di kamar ini.

"Bunda," panggil Aluna. Naina yang sedang menata isi lemari pun menoleh. "Sampai kapan kita tinggal di sini?"

"Belum tau, Nak. Kenapa?" tanya Naina. Aluna menggeleng. Menyadari ada keresahan yang terpancar di raut wajah dang putri, ia kembali duduk di atas tempat tidur. "Luna nggak senang tinggal di Jakarta? Di sini ada Ayah."

Aluna tak menjawab. Gadis kecil itu beralih membuka koper kecil berisikan baju dan beberapa boneka miliknya. Naina menyarankan untuk tak membawa boneka-boneka itu. Namun, Aluna tak mengindahkan karena katanya itu pemberian dari sang ayah.

"Bunda ke luar sebentar. Luna lanjut beres-beresnya. Kalau butuh bantuan, panggil Bunda."

Naina mulai menjelajah ke seluruh sudut rumah. Dapur adalah yang pertama menyita perhatiannya. Dulu, di sinilah ia banyak menghabiskan waktu untuk mencoba resep-resep baru. Di dapur ini juga wanita itu memasak makanan kesukaan Bhumi. Dulu.

"Kompornya masih sama," ucap Naina seraya mengusap kompor gas di hadapannya. Beranjak beberapa langkah, ia membuka pintu lemari es. "Kulkasnya penuh? Apa Mas Bhumi sengaja belanja karena tau Mama bakal pulang ke sini?"

Naina naik ke lantai atas. Hanya ada satu kamar di lantai dua. Kamar Bhumi dan ... dirinya. Tangannya ragu memutar kenop pintu.

"Nggak dikunci," ucapnya.

Rasanya begitu asing. Suasana lembut yang sebelumnya dipilih berubah kaku. Dinding yang sebelumnya dicat warna cerah digantikan abu-abu muda.

Naina terduduk di atas ranjang. Melihat ke sekeliling ruangan. Semuanya berubah. Tempat tidur, lemari dan rak buku.

Naina mengambil kesempatan yang ada untuk membuka lemari. Berantakan. Semua disusun asal. Tangannya gatal seolah ingin membenahi semua keruwetan itu, tapi ia sadar diri. Ini bukan kapasitasnya lagi.

"Pemandangannya banyak berubah," gumamnya. Naina berdiri di balik jendela kamar yang baru saja dibuka. Ia akan dengan setia mengintip dari balik jendela setiap harinya. Setelah mendengar deru mesin mobil Bhumi, ia akan berlari dengan semangat dan menyambut kedatangan sang suami. Dulu. "Aku nggak seharusnya ada di sini."

Naina kembali ke bawah. Ia memeriksa keadaan Amalia. Wanita itu nampaknya sudah terjaga.

"Mama sudah bangun?" tanya Naina. Amalia mengangguk. "Mama lapar?"

"Belum. Kamu nggak istirahat?"

"Belum selesai beres-beres, Ma," jawab Naina. "Mama butuh apa? Popoknya sudah penuh? Mau diganti?"

"Nggak, Nai. Nanti Mama bilang kalau sudah nggak nyaman," ujar Amalia. "Bhumi ke rumah sakit lagi?"

Naina menjawabnya dengan anggukan.

"Belum ada surat panggilan sidangnya?" tanya Amalia. Naina menggeleng. "Mungkin ada banyak kasus perceraian yang mengantre. Ditunggu aja."

"Mama, maaf. Maaf karena akhirnya Nai pilih untuk menyerah."

Amalia meraih tangan Naina. Ucapannya seolah mencoba untuk menyampaikan kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Pilihan ada di tangan kamu, Nai."

***

Bhumi segera masuk setelah memarkirkan mobil di garasi. Baru sehari, tapi sudah ada yang berbeda. Biasanya lampu teras baru akan menyala saat dirinya sampai di rumah.

Langkahnya terhenti di ruang tengah. Di sana ada Aluna yang sedang menonton televisi. Sadar akan kehadiran Bhumi di sana, Aluna langsung mematikan televisi. Bhumi tak peduli. Ia akan memebersihkan tubuh di kamarnya lebih dahulu sebelum menemui sang mama.

Tak ada yang aneh saat ia memasuki kamarnya. Namun, embusan angin dari luar membuatnya mengerutkan kening. Seingatnya, ia tak pernah membiarkan jendela kamarnya terbuka semenatra ia tak ada. Siapa yang membukanya?

Tanpa banyak berpikir, Bhumi kembali menuruni tangga. Aluna masih di ruang tengah.

"Di mana Bunda kamu?" tanyanya pada Aluna.

"Di kamar Uti," jawab Aluna pelan.

Bhumi segera berjalan menuju kamar Amalia. Saat pintu kamar dibuka, Naina tengah menyuapi Amalia.

"Makan dulu, Mas," ucap Naina. "Aku sudah masak."

"Keluar dulu. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."

"Sebentar ya, Ma." Naina meletakan piring di tangannya ke atas nakas.

Bhumi sudah menunggunya di ruang tengah.

"Ada apa, Mas?" tanya Naina saat pintu kamar ditutup. "Kamu mau bicara soal apa?"

"Jangan pernah lewati batas privasiku," ucap Bhumi.

"Maksud kamu?" tanya Naina bingung. "Aku nggak ngerti."

"Tinggal di sini bukan berarti kamu bisa seenaknya masuk ke kamarku," jelas Bhumi tegas. "Kamu harus ingat itu."

Naina sadar kalau sang anak tengah mendenagrkan pembicaraannya dengan Bhumi.

"Sayang, Bunda sama Ayah mau bicara dulu. Luna masuk kamar, ya." Aluna hanya mengangguk. "Aku minta maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk mencampuri privasi kamu. Aku cuma—"

"Cuma apa?" sela Bhumi tanpa memberikan kesempatan Naina untuk menjawab. "Jawab!"

"Aku cuma mau memenuhi kerinduanku sama rumah ini."

Hai, maaf baru update.
Aku kehujanan dan akhirnya meriang. Pilek jugaaa. Jadi kmren mau ngetik tuh kepala pusyingggg bgt. Sekali lagi, minta maaf.

Semoga suka sama chapter ini.

Ada hal yang mau aku tanyain. Aku belum sanggup kalo baca ulang ahahahah.

1. Bhumi itu aku kisahkan sebagai dokter spesialis apa, ya? Lupaaaaa. Atau belum aku kasih narasinya?

2. Bapaknya Bhumi siapa namanyaaaa? Aku lupaaaaaaa.

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 195K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.1M 30.7K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
37.8K 1.2K 35
Aretha Velova awalnya merasa kalau hubungan pernikahannya baik-baik saja dengan Ezran Geovano. Pernikahan itu telah berlangsung selama lima tahun de...
122K 7.9K 44
Work ini saya buat untuk memenuhi challenge dari anak-anak #littlebees. Hati Alina hancur berkeping-keping saat pacarnya menghamili sahabat baiknya...