Rayuan Si Gaun Merah

By Vidiaeonni

1.6K 181 12

"Kamu masih perawan?" Mataku melotot. Menatap wanita yang kini sedang mendudukkan diri di atas pangkuanku. Ga... More

01 - Miss Red
02 - Naraya Santoso
03 - Bercinta
05 - Dendam Yang Tak Usai

04 - Hidup Yang Pahit

262 30 1
By Vidiaeonni

dr. Naraya Santoso.

***

"Bercinta?" Bibirku menggumam. Kedua alisku terangkat. Pak Baskara adalah atasanku yang baru. Yang di hari pertamaku kerja langsung datang dan mengeluh sakit kepala. Wajah beliau pucat, namun sejak tadi, aku juga memperhatikan gelembung di balik celananya yang kelihatan sesak. Ternyata, pusing itu adalah akibat hasrat meroket yang tak dapat tersalurkan. Aku mengukir senyum kecil dan menggelengkan kepala. "Bapak sepertinya memang butuh istirahat."

Punggung tanganku yang dia tangkup di permukaan dadanya buru-buru dia lepaskan. Pria itu menghela napas dan membuang wajah, kembali menutup matanya dengan lengan. Aku melihat wajah dan kulit lehernya memerah. Reaksi alami yang sering terjadi jika seseorang sedang menahan malu.

"Pergi," sepatah kata yang sanggup membuatku berdiri. Aku mengangguk meskipun Pak Baskara mungkin tidak melihat. Balik badan menuju mejaku sendiri dan menarik kursi. Aku duduk di sana, kedua mataku menyipit mengamati tubuh besar nan tinggi yang kini sedang berbaring di atas sofa yang bahkan terlalu kecil untuk menopang tubuhnya.

Semua kata yang keluar dari bibir pria itu terdengar seperti orang yang terkena ekstasi. Melantur dan selalu menggumamkan nama 'Miss Red'. Namun suhu tubuhnya yang tinggi membuat aku memaklumi, Pak Baskara terserang demam, dan jelas ucapannya yang melantur serta mengajakku bercinta hanya sebatas igauan belaka.

Aku menyatukan jemariku untuk menyangga dagu. Kedua mataku menyipit. Seandainya saja Libya tahu apa yang dikatakan oleh suami tercintanya mengenai hal ini. Dia pasti akan marah besar. Namun nanti, aku sedang menikmati semua yang terjadi di sini. Tatapan mataku mengarah ke bawah, bungkus rokok berwarna putih dengan label Raya Sentosa itu terpampang jelas di sana.

Tanganku meraih kotak itu, menatapnya lebih dekat. Setiap melihat kotak ini, atau orang-orang yang mengepulkan asapnya dengan asal tanpa peduli dengan kesehatan orang lain, dadaku terasa panas. Rasa ingin menghancurkan kotak ini—terlebih si empunya terlampau besar. Namun aku harus tetap menahan diri, menjaga emosi agar segala rencana yang sudah aku jalankan begitu lama dapat berakhir sempurna.

Napasku terhela, aku menyandarkan punggungku pada kursi hitam yang mulai sekarang menjadi milikku. Mataku terpejam dengan sendirinya. Isi dalam benakku melayang, kepada seluruh penderitaan yang membuatku akhirnya bisa sampai sejauh ini. Kepada seluruh kesengsaraan yang berhasil mendorongku duduk di posisi yang nyaman.

Namun, semua itu sama sekali tidak mudah. Begitu banyak pengorbanan, begitu banyak hal yang aku tinggalkan. Semua tangis dan sesak di dada sudah tak terhitung seberapa banyaknya. Air mata yang mengalir pun rasanya sudah kering. Luka di dada yang basah pun berakhir busuk dengan taburan garam yang menambah proses nyerinya. Yang satu itu belum menghilang. Luka yang aku punya justru kian dalam.

"Jangan membenci siapapun, Nak ...." Kata-kata yang ibu ucapkan di akhir hayatnya kembali muncul di kepala. "Apa lagi ayah kamu. Meskipun sekarang dia udah ninggalin kita, jasanya untuk hidup kita jelas udah banyak sekali."

Ibu yang terlalu baik, ibu yang naif. Kalimat lembutnya yang memintaku untuk memaafkan justru menjadi pacuan telak yang membuatku enggan mundur sampai sekarang. Dendam itu kian membara setiap harinya. Tawa ayah dan keluarga yang muncul di layar televisi justru bagaikan siraman bensin yang tiada habisnya.

Ya, ayahku adalah orang dari pemilik merk rokok ini. Raya Sentosa. Aku membenci nama yang dia pilih untuk benda kotor yang selalu aku hindari. Benda yang sanggup mematik penyakit untuk banyak orang namun dengan bodoh orang-orang itu justru menyerahkan diri. Namaku adalah nama yang bagus, nama dengan arti yang penuh makna. Aku tidak suka ayahku mengambilnya begitu saja untuk merk sebuah merk dagang yang menyebar penyakit.

Dan atas semua kesalahan yang dia lakukan di masa lalu, meninggalkan aku dan mengkhianati ibu demi keluarga baru yang bisa memberinya modal hingga sampai sesukses sekarang, seumur hidup, aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan. Dendamku kepada Sudjatmiko Santoso sudah mendarah daging dan tak akan pernah luntur dari aku kecil.

Kesengsaraan yang luar biasa, kehidupan yang pahit membentuk dendam tak berkesudahan dan mencipta ambisi pasti yang harus aku raih. Dan menghancurkan Sudjatmiko Santoso adalah misi utama. Aku sudah menyusun rencana sejak lama.

"Dokter," panggilan dari Rara membuatku gelembung lamunanku pecah. Aku mendongak dan menyunggingkan senyum manis sambil meletakkan jari telunjukku ke depan bibir. Memintanya untuk jangan berisik karena sang bos besar sedang terlelap di atas sofa setelah igauannya berhasil berhenti karena ditenangkan oleh obat. "Ini, saya bawa berkas yang dokter mau."

Rara masuk pelan-pelan, ngasih aku beberapa lembar kertas berupa data pasien dan berbagai macam penyakitnya yang sering masuk ke dalam klinik ini. Ya karena ini adalah klinik milik sebuah perusahaan dan bukan rumah sakit, jelas gejala yang dimiliki oleh orang yang datang adalah gejala kecil biasa. Seperti asam lambung, pusing akibat kurang istirahat dan sebagainya. Namun aku butuh untuk mengeceknya lebih teliti supaya ketika orang itu datang lagi aku bisa mengingatkan apa saja yang boleh atau tidak boleh dia lakukan untuk menjaga kesehatan.

"Makasih ya, Ra." Aku menjawab.

Rara mengangguk. Dia melirik ke arah tubuh Pak Baskara dengan takut-takut sebelum membungkuk dan berbisik pelan. "Itu nggak mau disuruh pindah aja di ruang sebelah, dok, yang ada kasurnya? Nanti pas bangun pasti badannya sakit-sakit. Badannya besar gitu tidur di sofa sempit."

Aku ikut melirik. Benar, kalau terus dibiarkan, Pak Baskara bisa bangun dengan tubuh yang malah tambah sakit. "Nanti saya bangunin, deh. Kamu siapin aja dulu ruangan sebelah," kataku. Rara mengangguk dan keluar dari ruangan ini.

Aku kembali berdiri. Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan jika Pak Baskara memang ingin untuk tidur di sini. Namun, benar kata Rata, tubuhnya akan semakin sakit ketika dirinya terbangun nanti.

"Pak," aku berjongkok. Tepat di depan tubuhnya yang terkulai terlentang. Dengkur halus itu terdengar dan aku memanfaatkan waktu ini untuk mengamati wajahnya lebih dalam. Ternyata, Pak Baskara memang jauh lebih tampan dari pada yang sering aku lihat di televisi. Wajahnya bersih, ada sedikit berewok tipis yang justru membuat penampilannya lebih manly. Dan belahan dagunya itu ..., terlihat seksi.

Aku mengerjap. Berhenti untuk memikirkan hal yang aneh-aneh dan membuat horny. Kadang ketampanan seseorang memang bisa membuat wanita seperti ku lupa diri. "Pak Baskara ....," aku memanggil namanya sekali lagi. Dan ajaibnya, meskipun panggilanku tidak keras dan tidak pula disertai goyangan pada lengan, kedua mata dengan bulu mata tebal itu seketika terbuka.

"Miss Red ...?" Dia belum selesai dengan halusinasinya ternyata. Ketika menatap wajahku, matanya kembali mengerjap beberapa kali. "Miss Red."

"Saya Naraya, bukan Miss Red." Aku menjawab cepat. "Bapak harus pindah ke kamar sebelah supaya bisa tidur dengan nyenyak. Sofanya terlalu sempit. Sulit untuk menampung tubuh Pak Baskara yang besar. Ayo bangun, biar saya bantu."

"Kamu ngusir saya?" Pertanyaan itu berubah sinis. Laki-laki itu meringis ketika tiba-tiba saja dia beranjak duduk sambil memegangi kepalanya yang sudah pasti sakit. Dia demam, suhu tubuhnya tinggi. Dan aku sudah memberinya dosis untuk meredakan panas dan sedikit obat penenang agar dia bisa tidur nyenyak dan beristirahat.

"Bukan. Rara sudah menyiapkan kamarnya, ada kasur yang lebih nyaman untuk Pak Bas beristirahat. Supaya tidurnya juga lebih optimal." Aku mendekat, bergerak buat menyangga lengannya dan membantu tubuhnya yang besar untuk berdiri. Luar biasa, dia memang berat sekali. Aku sampai hampir ikut tumbang seandainya sama Pak Bas sendiri tidak berusaha menyangga tubuhnya dengan dipaksakan.

Namun untungnya, ketika kita keluar, Rara dengan sigap ikut membantu. Bebanku atas tubuh Pak Bas jadi sedikit berkurang. Dia kami baringkan di ruangan yang ada telat di sebelah ruanganku. Dengan ranjang yang lebih besar tentu saja. Sprei sudah diganti dan sarung bantal juga bersih dan wangi. Laki-laki itu mendesah ketika kepalanya akhirnya sudah mendarat sempurna di atas busa empuk.

"Jangan pergi dulu." Pak Bas menahan lenganku. Rara yang masih berdiri sempat mengernyitkan kening. Tatapan curiga itu jelas dia layangkan. Namun tahu kalau dirinya tidak akan selamat jika bertanya sekarang, akhirnya Rara memilih undur pergi dan keluar dari ruangan. Aku mengernyit sambil memandang tangan Pak Bas di lenganku, yang seketika langsung beliau lepaskan. "Kalau kamu mengenai istri saya ..., berarti kamu tahu kan, kamu nggak bisa asal ngasih tahu mengenai hal yang saya katakan tadi ke dia?"

Aku bisa menebak ke mana maksudnya. Namun karena aku sedang ingin mempermainkan seseorang, kedua alisku seketika terangkat. "Mengenai ..., hal apa ya, Pak?"

"Jangan pura-pura bodoh. Kamu pasti dengar apa yang saya bilang tadi." Beliau mendengus. Memijit kepalanya lagi yang sepertinya dari tadi tidak berhenti merasa sakit. "Jangan bilang apapun sama Libya mengenai ajakan bercinta saya ke kamu. Kalau sampai dia melapor dan bilang kalau kamu ngasih tahu dia, kamu tahu apa akibatnya."

"Oh, mengenai itu." Aku mengangguk. Langsung pura-pura baru mengerti. "Bapak mengigau akibat habis minum obat. Jangan khawatir, saya juga nggak menganggap ajakan Bapak itu serius."

Dan Pak Baskara langsung pucat. Dia mendesah sambil memejamkan mata. Senyum kecil ku terbit. Kadang, laki-laki yang sedang terjerat dengan nafsunya sendiri itu memang lucu, ya. Mereka lupa diri, lupa posisi, lupa situasi. Namun tidak masalah, karena di sini, aku akan terus menarik ulur hatinya supaya dia tidak kesepian lagi. Siapa tadi dia bilang? Miss Red? Aku bisa menjadi siapapun yang dia inginkan.

Aku mengulurkan tangan, menurunkan jemari Pak Bas yang semula mengurut keningnya sendiri. Telapak tanganku menangkup di sana, memeriksa suhu badannya yang justru kian tinggi. Alkohol yang laki-laki itu minum semalam pasti di luar batas toleransinya.

"Sebaiknya Bapak berhenti buat mikirin banyak hal dulu. Demam Bapak makin tinggi. Saya bakal ambil es batu buat mengompresnya." Aku berdiri. Pak Bas membiarkan, dia kembali mengurut keningnya lagi sementara aku keluar dan meminta Rara untuk menyiapkan air dingin dan selembar handuk bersih.

"Dokter beneran nggak ada hubungan apa-apa sama dia, kan?" Rara menatapku dengan curiga. Dia menyerahkan baskomnya kepadaku dengan kedua matanya yang menyipit. "Kata dokter Raya sendiri, ini pertama kalinya dokter ketemu sama Pak Bas, kok kayak udah kenal lama gitu?"

"Emang baru pertama kali." Aku langsung jawab. "Tapi dia lagi demam. Dari tadi mengigau terus, tolong bilang ke Kalila buat jaga-jaga kalau demamnya makin marah biar bisa langsung dibawa ke rumah sakit."

"Emang separah itu, dok?" Perhatiannya langsung teralih.

Aku mengangguk. "Saya kompres dulu, nanti kalau misal demamnya belum turun saya kasih informasi ke kamu," kataku. Rara mengangguk dan aku membawa baskom ku ke dalam. Meletakkannya ke atas nakas dengan hati-hati. Aku memeras handuk putih itu dari air dingin, lalu menempelkannya perlahan ke permukaan kening Pak Bas.

Kedua mata Mas Bas terpejam rapat. Napasnya sudah mulai tenang. Dadanya juga naik turun teratur. Obat yang aku kasih tadi sepertinya sudah mulai bekerja lagi. Aku menatapnya sekali lagi, ketika sedang konsultasi, kadang Libya sering menceritakan tentang suaminya yang tampan. Dan ternyata memang benar, ketampanan yang dimiliki oleh Baskara Aji memang sulit ditemui. Wajahnya yang tak berdaya membuatku semakin leluasa.

Banyak sekali hal yang sudah aku rencanakan untuk menjerat laki-laki ini. Target pertama yang sudah aku bidik sejak lama. Baskara Aji adalah menantu dari pemilik pabrik rokok terkenal yang aku benci itu. Menantu dari ayahku. Suami dari Libya yang merupakan putri kandung dari istrinya yang seorang perebut suami wanita lain.

Setelah selesai mengganti handuk untuk yang kedua kali, aku memilih untuk berdiri. Berjalan menuju sisi ruangan yang lain dan menatap jas milik Pak Bas yang sudah terlepas. Tersampir di salah satu sofa yang ada di sana. Tadi Rara yang membawakannya ke mari. Ponsel itu ada di sana, ponsel yang ketika aku ketuk memunculkan wajah seorang anak laki-laki yang tak kalah rupawannya pula.

Nama anak itu Bara. Aku pernah bertemu dengannya ketika Libya membawanya ke rumah sakit tempatku bekerja. Aku meraih ponsel itu, mengangkat alis ketika tahu bahwa ponsel itu tidak ada password sama sekali. Aku mengetikkan nomor ponselku di sana, memberinya nama dr. Nara dan menyimpannya ke kontak. Aku yakin sekali, setelah keluar dari sini, Pak Bas pasti akan menghubungiku.

Aku cukup percaya diri.

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 87K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
901K 38.4K 65
Elena Rosalina Smith memiliki seorang tunangan yang tiba - tiba di rebut oleh saudari tiri nya. Dan sebagai ganti nya, Elena terpaksa harus menikahi...
1.5M 6.7K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
16.9M 748K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...