"Freyana! Udah, nanti di lihat orang!", sahut Fiony dari kejauhan mengejar Freya yang menyeret Adel menuju ujung koridor.
Untunglah mereka tidak sedang berada di tempat yang ramai pasien berlalu lalang. Meskipun begitu, Fiony tetap takut jika seseorang tak sengaja menangkap basah mereka yang sedang bertengkar. Daerah yang aman dari CCTV terkadang tidak selalu menguntungkan, karena justru petugas kebersihan akan sering melewati bagian ini.
Adel menampakkan raut muka tidak suka ketika Freya mulai menarik kerah jasnya, "Kembali ke ruang resepsionis, Fiony". Ujar Freya sangat formal untuk menandakan bahwa ucapannya adalah perintah.
Adel seketika terkekeh dan melepas paksa tangan yang mencengkram kerah yang menempel di lehernya tersebut. Menyadari Fiony sudah pergi, Adel kini membalas perlakuan kasar Freya sebelumnya. Gadis berambut pendek itu mendorong tubuh kecil Freya dan menekannya ke arah tembok. Tenaganya yang tidak sebanding dengan Freya membuat dokter berkacamata itu merasa terancam dan berusaha melepaskan diri.
"Lu pikir dengan sering mukul gua, lu jadi paling kuat? Lu tuh paling lemah disini"
Adel memicingkan matanya dengan tajam, kali ini dia mengatakannya dengan serius. Freya tambah naik pitam mendengar cercaan yang baru saja di lontarkan perempuan yang ada didepannya itu.
"Mau berantem, huh? Ayo. Gaya apa? Yang kata lu bukan berantem gaya cewe kaya pas jaman dulu? Ayo", Freya memegang leher Adel dengan spontan. Ia benar-benar berniat untuk menyerang.
"Yang menang dapetin Fiony? Pffftt, gua bukan lo wahai Freyanashifa Jayawardhana"
Adel meringis dan berbangga diri dengan ejekan yang berhasil membuat Freya benar-benar masuk ke dalam jebakannya. Selama ini ia telah merencanakan banyak hal untuk membuat gadis berkacamata itu goyah dengan pendiriannya dan membawanya kembali pada sosok Freya yang ia kenal dulu. Freya yang berantakan, sembarangan, dan selalu berani melawannya dalam kondisi apapun.
Freya merasa sangat kesal hingga tidak mampu lagi menahan diri untuk memulai pertikaian. Namun, jas yang kini ia pakai serta tempat yang sedang ia pijak membuatnya terus mengurungkan niat dan menyumpahi diri sendiri untuk tidak hilang kendali.
"Kalo sampai lo bikin hubungan gua berantakan.. jangan harap lo bisa baik-baik aja, Del", Freya menguatkan cengkramannya.
"Ugh, balik ke setelan awal lo sana. Gak seru deh keliatan pura-pura di depan Fiony. Gak malu apa?"
"Lisan lo konyol, provokator parah"
Adel mengerutkan dahinya, "Ya lo sampah banget sekarang. Suruh Fiony jadi milik gue aja gamau"
Freya menarik nafas kuat-kuat, atmosfer sekitar malah semakin mendukungnya. Ia menghentakkan kakinya dan berganti posisi dimana ia mendorong tubuh Adel ke tembok dan melepaskan cengkramannya begitu saja.
"Lo yang pikirannya rusak. Gatau siapa yang ngerusak"
Freya pergi meninggalkan kawan lamanya itu tanpa mempedulikan tingkahnya yang mungkin cukup melukai Adel pada bagian kepalanya. Tidak sangat keras, tidak. Ia hanya mengancam dan berusaha memberitahu agar Adel berhenti mengusik hubungannya dengan Fiony yang semakin hari semakin memburuk. Entah dari salah paham, atau gerak-gerik Adel yang membuatnya menarik nafas setiap ia menggoda pacarnya mau di rumah sakit atau di tempat lain.
Adel memegangi kepalanya sambil melihat kepergian Freya dari koridor rumah sakit menuju ruang periksa. Dalam lubuk hatinya, ia tidak akan jera untuk terus melakukan apa yang ia inginkan.
¤¤¤¤¤
Ah, aku ingin segera berendam air hangat dan tidur lebih awal. Hari yang benar-benar membuat kepalaku berasa sedang di pinjam oleh burung dan di bawa terbang mengelilingi bumi. Alias, pusing banget. Semuanya terasa sangat menyebalkan bagiku. Dan aku merasa semakin kesal dengan Freyana yang kembali menjadi perempuan pendiam lagi. Setiap ada masalah serius, ia selalu begini. Aku tahu alasannya yang membuat sikapnya tiba-tiba menjadi dingin dan sibuk sendiri sih. Ku kira cemburu tidak akan membuatnya semarah ini, tetapi sepertinya ia memang butuh waktu untuk menenangkan pikirannya.
Aku mengecek smartphone-ku yang memunculkan pesan singkat dari Jessi. Ia bilang bahwa ia sedang ada di apartemenku dan menungguku pulang. Sebelumnya ia memang mengabariku untuk mampir sih, karena aku harus mengurus beberapa file yang di butuhkan oleh dokter residen lainnya menjadikanku sedikit terlambat untuk pulang.
Mungkin beli dua burger dan cola akan cukup untuk kami yang akan membahas sesuatu. Tebakanku sih tidak akan lama, toh Freyana mengabariku ingin lembur. Meski aku tak yakin dia betulan lembur atau hanya ingin berada di ruangannya sendirian lebih lama.
Sesampaiku di apart, aku merogoh saku rok untuk mengambil kunci. Namun, aku baru tersadar kalau tidak ada disana. Dan aku membuka pintu tanpa kendala, akhirnya aku baru ingat kalau aku menitipkan kunci ke Jessi yang sekalian numpang mandi dan bersih-bersih. Tetapi, saat aku memasuki apartemenku...
"J-Jes.."
"Fio..ny? Ini kalian berdua..?"
Jessi menemukan figura fotoku dan Freyana yang ada di atas meja dengan pose berciuman. Itu adalah foto beberapa tahun yang lalu ketika aku lulus kuliah.
"Sebentar, aku bisa jelaskan..", aku berujung panik dan segera melepaskan sepatu dan menaruh barang bawaanku ke meja dengan sembarangan.
Jessi menggeleng sambil menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kudeskripsikan. Apakah ia kecewa? Apakah setelah ini ia akan membenciku? Atau ia akan memberitahukan ke semua orang tentang hubungan kami? Gawat. Aku baru sadar kalau Jessi adalah satu-satunya orang yang tidak mengetahui hubunganku dengan Freyana.
"Kukira kalian selama ini cuma searah.. ternyata serumah"
Jessi memperhatikan figura itu lagi sambil mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dilihatnya itu nyata.
Aku menelan ludah dengan kesusahan "Jes, maaf.. maaf gak kasih tau. Aku--"
"Jadi semua orang tau ya kecuali aku?"
"Bukan gitu, ini gak seperti itu-"
"Bahkan Freya gak ngasih tau aku?"
Jessi berjalan ke arah sofa dan duduk untuk membuat dirinya tenang. Ia terlihat masih mencoba mencerna dengan apa yang telah terjadi disini. Aku mendekatinya dengan gemetaran. Ada perasaan takut, bingung, tidak tenang, yang membuatku kesusahan untuk berbicara kepadanya sekarang. Begitu kalut hingga tak mampu untuk merespon semua pertanyaan teman Freyana ini.
"Kebetulan ada yang mau aku sampein. Aku pikir aku sendirian"
Aku mengangkat alis bingung.
"Maksudnya?"
Jessi menggaruk kepalanya sembari mengaburkan pandangan ke arah lain dan dengan raut wajah malu-malu.
"Aku suka sama Muthe. Kupikir aku sendirian yang begini. Makanya, dari awal aku ketemu dia.. aku pengen kenalan"
Sontak aku menganga mendengar perkataan Jessi yang di luar ekspektasiku. Ku kira ia akan kecewa dan semacamnya karena telah berpacaran dengan Freya tanpa sepengetahuan dia. Jujur, aku sedikit shock karena ternyata tujuan ia ingin mampir dan bermain ke apart adalah ingin curhat soal Muthe. Dan, fakta selanjutnya yang aku ketahui ialah perasaan Muthe rupanya berbalas. Mereka saling menyukai diam-diam.
"Parah banget aku gak di kasih tau juga soal hubungan kalian. Aku bukan temen juga, 'kah?"
Aku langsung menggeleng dan menyakinkannya, "Justru kupikir kamu bakalan gak suka aku ataupun Freyana karena ini.."
"Ya memang pada awalnya aku ngira kalian cuma temen akrab aja. Taunya se-apart"
Aku meringis mendengar Jessi yang nampak agak kesal karena ternyata ia tidak mencurigai apapun sedari awal. Lumayan membuatku terkejut karena kami terkadang terang-terangan di depan Jessi mengumbar romantisme, namun ia tidak sadar. Aku juga tidak berpikir sangat jauh jika nantinya Jessi akan bertanya-tanya soal ini..
"Lalu, sebenarnya mau cerita apa?", tanyaku yang mengalihkan topik.
"Hmm.. aku bingung harus bertindak seperti apa. Rasanya Muthe sekarang menjauhiku dan aku sedih kehilangan dia"
"Udah coba minta maaf?"
Jessi mengangguk sambil menunduk menunjukkan ekspresi yang sedih, "Aku bahkan mengajaknya bertemu setelah shift-ku selesai. Namun, ia gak datang atau bahkan balas chatku"
Nampaknya Muthe terlihat begitu memendam kekesalan yang mendalam soal permasalahan yang terjadi tempo lalu. Mungkin juga Jessi banyak kesibukan yang membuatnya menolak permintaan gadis idamannya untuk menginap. Karena pada kenyataannya, Jessi juga menyukai Muthe. Jadi, pasti ada alasan khusus mengapa ia menolak ajakan Muthe waktu itu.
"Coba besok samperin sambil bawa makanan atau barang kesukaan dia. Kayanya janji doang gak bikin dia yakin"
Jessi langsung mendongak, "Betul juga. Apa aku bawa gula jawa lagi sekilo?"
Aku memanyunkan mulut dan menggeleng.
"Ya bukan gula jawa juga ih. Bunga atau apa gitu yang romantis"
Jessi hanya ber-oh-ria mendengar saranku. Sepertinya ia benar-benar polos dan tidak berpengalaman soal cinta.
Saat aku asyik mengobrol dengan Jessi, smartphone-ku berdering hingga menggetarkan meja yang menopangnya. Aku segera mengecek dan memastikan siapa yang meneleponku, dan sesuai dugaanku bahwa itu adalah Freyana.
Hatiku cukup lega akhirnya ia mau menghubungiku juga setelah sekian jam memilih menyibukkan diri dengan tugas dokternya. Aku izin mengangkat telepon kepada Jessi dan memulai percakapan pada seseorang yang ada di seberang.
In Call
Halo, Freyana?
Eh.. Halo! Fiony bisa minta tolong?
(terkejut karena bukan suara Freya)
F-Flo..?
Ya! Ini aku, Flora. Minta tolong jemput Freya? Dia di apart-ku ini. Anaknya mabuk, abis minum banyak bir kaleng
Di apart-mu?
Iya. Tolong ya. Aku gak bisa nyetir mobilnya
Hm. Aku segera kesana. Sekalian kirim lokasinya ya
Call Ended
Dadaku terguncang seketika saat tau keberadaan Freyana yang ternyata sedang di apartemen Flora. Perempuan aneh itu benar-benar tidak bisa di maafkan. Aku sangat menaruh harapan bahkan begitu besar kepada Freyana kalau aku mungkin bisa mempercayainya lagi. Namun, sekarang... mengapa rasanya aku tidak bisa memberikan hal itu lagi?
Ia melakukan lagi. Ia menyakitiku tanpa aku ketahui sebabnya. Apa selama ini memang benar kalau ia tidak pernah serius padaku?
Bersambung...