FREYANA

Від urlemona

23.6K 2.2K 258

Primrose Violet favoritku, Freyana. Більше

Prolog
Chapter 1. Keren
Chapter 2. Rencana Dinas
Chapter 3. Ayam
Chapter 4. Insiden
Chapter 5. Meminta Maaf
Chapter 6. Kecewa
Chapter 7. Adik Ipar
Chapter 8. Orang Penting
Chapter 9. Ulang Tahun Rumah Sakit
test
Chapter 10. Ulang Tahun Rumah Sakit (2)
#PojokCerita (1)
Chapter 11. Kesal
Chapter 12. Keberangkatan Dinas
Chapter 13. Mirip
Chapter 14. Kangen
#PojokCerita (2)
Chapter 15. Liburan
Chapter 16. Bali
Chapter 17. Bali (2)
Chapter 18. Bali (3)
#PojokCerita (3)
Chapter 19. Mabuk
Chapter 20. Salah Paham
Chapter 21. Perang Dingin
Chapter 22. Sesuatu Terbuka
Chapter 23. Harus Jujur
Chapter 24. Curahan Hati
test
Chapter 26. Yang Kembali
Chapter 26. Figura Foto
Chapter 27. Bertemu

Chapter 25. Seorang Pasien

392 64 11
Від urlemona

Pasien lanjut usia berjalan tertatih-tatih menuju toilet di rumah sakit seorang diri. Freya yang kebetulan lewat di koridor itu membantu menuntun wanita paruh baya tersebut ke toilet. Senyum sumringah dan ucapan terimakasih di lontarkan oleh sang pasien setelah Freya mengantarnya. Ketika ia berbalik badan, gadis manis dengan tarikan di tiap sudut bibir dari wajahnya menyapa Freya. Sejenak, Freya merasakan desiran di dadanya melonjak naik saat mendapati wajah familiar yang pernah ia jumpai sebelumnya.

"Selamat pagi, Dokter"

Freya sedikit terguncang namun berusaha untuk terlihat tenang di hadapan perempuan yang telah lama tidak bertemu dengannya itu.

"Flo, apa kabar?", sapa balik Freya dengan ramah.

Perlahan senyum Flora sedikit memudar, tetapi gadis itu berkedip beberapa kali sambil tersenyum lebih lebar agar tak nampak. Flora mengangguk sembari menawarkan telapak tangannya. "Baik. Kamu?"

Freya tertegun sebentar. Ia tanpa pikir panjang membalas salam dengan jemarinya yang menyentuh telapak tangan Flora dan menggoyangkannya pelan. Freya tidak ingin terlihat seperti menghindari tatapan dari gadis cantik dan manis yang ada didepannya tersebut. Namun, entah mengapa ia merasa jika Flora mengamatinya begitu dalam hingga terasa sedikit mendebarkan.

"Aku b-baik. Selalu baik apalagi dengan pekerjaanku yang sekarang ini"

Flora terkekeh, ekor matanya mengisyaratkan Freya untuk melakukan sesuatu setelah kegiatan sapa menyapa ini selesai.

"Ah, mau ke kafetaria? Kita bisa ngobrol lebih banyak disana"

Flora langsung menggeleng, "Hm, gak usah. Aku sudah dari sana nih"

Ia menunjukkan kopi dingin yang baru dibelinya dari sana.

"Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Kamu sibuk banget sih"

Freya menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan canggung. Ia hanya bisa mengangguk dengan ragu karena merasa tidak enak dengan penolakan secara halus khas Flora yang membuatnya nostalgia. Dulu tidak pernah ia secanggung ini untuk ngobrol dengannya, sekarang rasanya sangat berbeda dan ia menjadi bingung untuk sekadar membangun percakapan.

Flora berpamitan setelah mengatakan hal tersebut. Ia melambaikan tangannya di udara sambil menggoyangkan badannya begitu menggemaskan hanya untuk mengucapkan perpisahan. Nafas Freya menjadi sedikit berat setelah melihat kepergian perempuan itu.

¤¤¤¤¤

"Hei, bisa gak jangan ngelamun. Aku lagi curhat nih"

Aku yang menoleh dengan bibir cemberutku itu menghadap Jessi yang menunjukkan ekspresi kecewanya kepadaku. Dengan tangannya yang merangkul bungkus keripik kentang kesukaannya, aku merasa bahwa gadis melodrama di depanku ini tak terlihat sedang galau seperti yang sedang ia ceritakan padaku sekarang.

"Ah, Fiony mah ga asik sekarang. Masa aku dikacangin gini"

"Yaudah ulang-ulang. Maaf deh, habisnya kamu cerita itu udah di chat, di call, curhat di x, posting story di ig, second account, tiktok-"

Jessi menutup mulutku dengan jemarinya yang asin karena bekas memakan keripik. Aku mengelak dengan paksa sambil memperagakan mulutku yang ku tepis dengan tanganku beberapa kali.

"Sebut aja semua", kali ini ia terlihat begitu sensitif.

"Becandaaa. Maaf, serius. Kamu keliatan sedih di sosmed, tapi kenyataannya disini ngabisin 3 bungkus keripik. Ya aku jadi kurang percaya"

Jessi menggeram, "Itu namanya galau, Fiony. Galau.. aku galau banget. Segalau itu sampe keripik yang enak ini habis dalam sehari padahal harusnya untuk 3 hari"

Sungguh. Aku makin tidak percaya.

"Kamu mau datang bulan kali"

Ia terdiam sejenak saat aku mengatakan hal tersebut. Entah dari gerak-geriknya, tatapannya, bahkan sepertinya ia berhenti bernafas.

"Gak ngaruh sih. Aku tetep galau", cecarnya dan meraup keripik itu lagi.

Aku sedikit mengerang, "Muthe ngapain lagi ke kamu deh? Apa kamu di marahin? Di tampar? Di pukul?"

Jessi mulai memberikan tatapan penuhnya kepadaku. Ia meletakkan bungkus keripik kentang disampingnya, membersihkan sisa makanan di jemarinya menggunakan tisu.

Kebetulan kami sedang berada di taman dekat poli rumah sakit jiwa. Minggu-minggu ini kami sering ditugaskan untuk mengecek keadaan sekitar karena katanya ada pasien yang perlu pemantauan khusus. Cukup membosankan karena agak jauh jaraknya dengan kafetaria dan aku sering menahan lapar jika sedang berjaga seperti ini. Apalagi jika di minta se-shift penuh hanya untuk duduk dan mengamati sekitar.

"Ini lebih menyeramkan. Dia diemin aku. Diemin lama banget. Aku bingung. Apa ucapanku waktu itu bikin dia sakit hati banget ya?"

Ah, ternyata si sekretaris itu mendengarkan ucapanku ya. Aku lumayan bangga karena bisa menjadi penasihat hubungan yang baik. Meski tidak untuk hubunganku sendiri. Oke, aku sedang malas membahasnya dan mengapa setiap kali ada kalimat yang men-trigger-ku selalu teringat pada sosoknya. Aku menghela nafas dan mengaturnya agar tidak terbawa emosi kembali. Lalu fokus kepada Jessi lagi.

"Mungkin? Kamu harus minta maaf kayaknya"

Jessi mengangguk seakan menyetujui pendapatku yang selaras dengan pemikirannya.

"Oh, mungkin kamu juga belum tau. Perawat Ashel pindah ke Tangerang tau"

Aku cukup terkejut mendengar berita itu. Pantas saja aku tidak merasakan hawa-hawa panas dari makhluk ber-heels keramat yang suka berhenti tiba-tiba di ruang resepsionis. Untunglah ia akhirnya pergi meskipun aku tak yakin dia akan pergi selamanya dari sini. Mengingat bahwa Tangerang adalah Rumah Sakit tempat Dokter Adel berasal, aku mengerti pola mengapa gadis itu bisa ada disana.

BRAAAAKKKKK

"MATI KAU SIALAN, AKU GAK MAU BAYAR HUTANG!!!"

Kami sontak berdiri dan mencari arah sumber suara yang sangat keras tertuju pada koridor poli rumah sakit jiwa. Aku melihat seorang pasien paruh baya dengan kedua lengannya yang nampak seperti habis di ikat sehingga meninggalkan bekas yang sangat terlihat. Dia pasti pasien yang di maksud. Tangannya menusuk perut seorang dokter berkali-kali dengan raut wajah penuh amarah yang menyelimuti.

Namun..

Yang membuatku lebih kaget lagi..

Dokter itu adalah Freyana.

"Freyana!"

Aku berlari dengan sangat kencang meninggalkan Jessi yang sudah pasti menyusulku sekarang. Jantungku berdetak tak karuan sambil melerai pertikaian itu. Aku dengan sekuat tenagaku menarik pergelangan tangan wanita paruh baya tersebut agar berhenti menyakiti Freyana. Satpam dan tenaga medis lainnya mulai mengelilingi dan menarikku serta pasien. Aku menolak untuk di evakuasi atau dijauhkan dari keramaian. Aku menerobos lagi dan melihat kondisi Freyana saat itu juga.

Ia memegangi perutnya sambil merintih kesakitan. Aku begitu shock dan mulai menangis melihatnya terluka dengan darah yang merembes hingga terkena jas putihnya. Seorang dokter pria menjauhkanku dengan paksa ketika Freyana mulai di bimbing untuk menuju IGD.

"Fre- aku mau lihat Freyana... Freyana.."

Seketika itu juga aku tetap berusaha mengikuti rombongan itu meski berkali-kali dokter dan tenaga medis lainnya membentakku untuk menjauh. Jessi akhirnya menghentikan langkahku dan menyadarkanku bahwa tak selayaknya aku berada pada kerumunan itu. Badanku melemas melihatnya mulai menghilang dari pandanganku dan bersyukur sekali Jessi langsung menahanku sembari mengusap-usap punggungku.

Air mataku tidak berhenti mengalir meski Jessi seribu kali menyuruhku untuk tetap tenang. Pikiranku kacau serta sangat mengkhawatirkan keadaan Freyana yang masih berada di ruang IGD. Aku dan Jessi menunggu di ruang tunggu. Ia menenangkanku dengan sangat sabar. Meski aku juga melihat raut muka paniknya yang juga ikut khawatir.

"Skizofrenia. Pasien itu udah hampir seminggu dapat perawatan di ruangan intensif. Anak beliau yang memasukkannya karena percobaan pembunuhan terhadap tetangganya", Jessi memulai percakapan untuk membuatku setidaknya berhenti menangis.

Aku mengusap air mataku perlahan.

"Dia dapet gunting darimana deh? Harusnya tiap kamar dilarang ada benda tajam"

Jessi hanya menggidikan bahunya, tidak tahu menahu juga alasan sang pasien memiliki gunting yang jika di lihat dengan seksama, itu pasti benda miliknya sendiri. Gunting rumahan, tidak begitu panjang ataupun berukuran kecil. Aku hanya menduga itu terjadi karena kelalaian perawat yang berjaga di kamarnya.

Ruang IGD mulai sepi. Aku masih mengintip di balik jendela untuk memastikan Freyana benar-benar sendiri disana. Jasnya yang terlepas, memperlihatkan kaus putihnya yang berbekas darah meskipun lukanya sudah di jahit dan di lilit perban. Aku dan Jessi diam-diam memasukki ruangan.

"Dokter Freya, sudah mendingan?"

Jessi bertanya karena melihatku hanya diam dan mematung sambil setia menatap bekas luka milik Freyana.

Freyana mengangguk, "Hmm, udah pake antinyeri sih. Semoga aja cepet hilang sakitnya".

Aku kembali khawatir ketika ia menjawab seperti itu. Lagi-lagi Jessi melirikku yang tidak mengucapkan sepatah katapun kepada Freyana. Akhirnya ia memutuskan mengundurkan diri terlebih dahulu dari ruangan dan memberikan waktuku sendiri kepada Freyana di ruangan ini.

Dia pasti menolak infus, dan juga hanya menerima jahitan serta antinyeri saja. Mengapa begitu sok kuat padahal gunting yang melukainya cukup menyakitkan karena ketajaman dari ukurannya.

"Maaf ya"

Aku mendongak.

"Maaf?", tanyaku.

"Maafin aku gak mau jawab semua pertanyaan kamu waktu di parkiran"

Aku menarik nafas kuat-kuat saat mendengarnya mengatakan hal itu. Wajahku memanas dan aku tidak bisa menahan untuk mengatakan sesuatu yang ada di pikiranku saat ini.

"Bisa gak sih sadar sedikit? Kamu lagi sakit! Bisa berhenti bahas soal itu-itu terus?! Apa kamu gak-", Freyana berusaha bangun dan meraihku untuk menenangkanku yang saat itu sudah terbawa amarah. Aku menangis di pelukannya. Aku menangis hingga dadaku terasa sesaknya memikirkan begitu perihnya luka yang sekarang dia rasakan.

Ia masih memikirkanku dan aku benci sekali ia begitu polos. Entah polos atau tidak mengerti sama sekali kalau aku mengkhawatirkannya.

"Kamu luka.. berdarah. Kamu berdarah. Maaf aku bentak.."

Freyana berbisik untuk menenangkanku dan mendekatkan wajahnya kepadaku. Ia menciumi pipiku sambil mengusap air mata yang mengalir dan merusak make up-ku.

Aku tidak melihatnya menahan sakit seperti tadi, wajahnya nampak sangat lega setelah membuatku berhenti menangis. Ia merapihkan rambutku yang pasti terlihat sangat berantakan dan membuatku overthink apakah menangis membuatku jadi sangat jelek sampai dia sadar semua titik lusuhku.

Ia mengecup bibirku sekilas, "Lukanya sembuh"

Aku mengerutkan dahi.

"Kupukul sumpah", sahutku kepadanya dengan ekspresif.

"Pulang ya. Nanti kita beli ayam sebelum ke apart"

Bersambung....

.
.
.

lho kok update?

Продовжити читання

Вам також сподобається

Kagum Від Human

Фанфіки

13K 1.3K 45
"Dia baik, apa aku bisa memiliki nya"
4.7K 572 7
Dia... Seperti apa yang selalu ku nantikan. Aku inginkan. Tentang dua orang remaja yang memiliki sifat bertolak belakang, tetapi sama-sama memiliki r...
5.7K 628 17
Seorang murid pindahan dari Jakarta ke Bandung karena kerjaan orang tua nya, penasaran ceritanya? Silahkan di baca. Perkapalan gen 12 ⪼⪼
5.5K 532 7
Selalu berusaha memberikan cinta dan semangat untuk kalian semua.