KUMPULAN CERITA SENI GAY (21+)

By reading4healing

108K 685 30

Cerita Dewasa More

(21+) Suami Yang Digilir Cowok Macho Spanyol
(21+) Si Pemuas Satu Kos
(21+) Si Pemuas Satu Kos 2
(21+) Pemuas Suami Si Bos Bule
(21+) Pacarku Sang Pemuas Satu Geng
(21+) Driver Ojol Arab Plus - Plus
(21+) Tubuh Kekar Suamiku Dijadikan Mainan Lima Atasanku
(21+) Disetubuhi Teman Macho Istriku di Pesta Pantai Binal (1)
(21+) Disetubuhi Teman Macho Istriku di Pesta Pantai Binal (2)
(21+) TUBUHKU DIPINJAMKAN PACARKU DI PESTA LIAR
(21+) BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (1)
(21+) BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (2)
(21+) BODYGUARD "PLUS-PLUS" MODEL GANTENG ITALIA (3)
(21+) Piala Bergilir Pesta Seks Tokyo (1)
(21+) Piala Bergilir Pesta Seks Tokyo (2)
(21+) Di-Double Penetration Di Depan Istri Hamil (1)
(21+) Di-Double Penetration Di Depan Istri Hamil (2)
(21+) PEMUAS PARA PREMAN JALANAN
(21+) Memperawani Suami Muda Tetanggaku
(21+) Lubang Pemuas Pria - Pria Beristri
(21+) Gigolo Biseks Simpanan Mama
(21+) Pesta Bujang Liar Sang Pengantin Pria
(21+) Skandal Besar Menjelang Pernikahan
(21+) Disewa Lionel
(21+) Malam Liar Sang Budak Korporat
(21+) Takdir Seorang C*mdump
(21+) Service Plus-Plus Barber Straight Turki
(21+) Bule Online, Perebut Keperjakaanku
(21+) Salah Kamar, Aku Dapat Sugar Daddy
(21+) NAPAS BUATAN DARI PAPA SAHABATKU
(21+) MENGERJAI DADDY KEKAR BERISTRI
(21+) MENJEBAK SOPIR STRAIGHT BAD BOY
(21+) Menjajal Kejantanan Masseur Impor Rusia
(21+) Legenda Si Otong Monster
(21+) Mesin Pemuas Mantan Dan Gebetan
(21+) SI PEMUAS SEKAMPUNG
(21+) Pemilik Tubuh Indah Si Pembantu Ganteng
(21+) PEMUAS DUA GADIS LUGU DI RUMAH
(21+) PELEGA DAHAGA SAHABAT PAPAKU
4 PEREMPUAN DI RUMAHKU BISA DIP4K4I SEMU4

(21+) PELARIANKU SEORANG PRIA KEKAR BERISTRI

1K 15 0
By reading4healing



PELARIANKU SEORANG PRIA KEKAR BERISTRI

by Jeremy Murakami

Aku kenal Ko Maverick saat usiaku 17 dan dia 19 tahun. Secara singkatnya, saat itu kami berdua adalah hormon berjalan: dua orang lelaki muda belasan tahun yang horny dan selalu memikirkan seks di kepala kami. Ditambah lagi, Ko Maverick adalah pria paling tampan yang pernah aku lihat saat itu-kulitnya indah, alisnya tebal, dan badannya sangat berotot untuk pria usia belasan tahun. Selain itu, dia adalah ciuman pertamaku... Iya, hari itu aku mencoba hal yang berbau seksual pertama kali...

Kami bertemu di sebuah pesta Sweet 17th teman sekelasku, Lolita. Maverick adalah kakak kandungnya.

Ilustrasi: Maverick

"Ini Kokoku, Max..." ucap si Lolita memperkenalkan saat aku masuk ke dalam rumahnya. "Maverick namanya... Dia dua tahun di atas kita... Kuliah di UPH Jakarta, sama kayak kamu nantinya..."

Ini memang sebuah pesta rumahan. Namun, meskipun lokasinya di rumah, acaranya jauh dari kata sederhana. Soalnya, rumah Lolita dan Ko Maverick ini besar sekali, bergaya klasik, dan berada di salah satu perumahan paling mewah di Surabaya, tepatnya di Graha Famili. Sajian makanannya juga lengkap. Ada berbagai macam pasta, pizza, steak, dan juga sushi. Aku belum sempat makan banyak ketika Lolita menarik tanganku dan memperkenalkan aku ke Koko-nya.

"Saya Max, Ko..." ucapku sambil menyalami Ko Maverick.

Ilustrasi: Maximilian

"Enjoy the party ya, Max... Aku menyambut anak-anak lain dulu..."

Aku sih cuma mengangguk-angguk bodoh. Lolita meninggalkan aku berdua dengan Ko Maverick. Jantung malangku pun berdegup kencang... Saat itu, aku tahu aku gay. Aku juga tidak buta: Ko Maverick ganteng banget! Dia gagah bukan main untuk pria usia 19 tahun... Memakai tuxedo mewah, badannya yang berotot terpampang nyata dengan segala kemachoannya di depanku. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil, dan alisnya yang tebal membuat kesan sensual mematikan padaku. Belum lagi, tubuhnya yang berbulu membuat dia semakin seksi di mataku. Aku tahu aku menginginkan dirinya... Tetapi, aku tidak tahu aku harus bagaimana...

"Ngapain kamu kok lihat Koko segitunya, Max?" tanya Ko Maverick sambil terkekeh.

Gawat, aku ketahuan!

"Eh, enggak, Ko..." jawabku malu-malu. "Maaf... Itu... Tuxedo-nya bagus..."

"Kirain kamu lihat Koko, Max..." ucap Ko Maverick pura-pura memasang muka kecewa. "Padahal Koko tadi sudah seneng..."

"Apa?" tanyaku kebingungan.

"Kamu suka sama Koko apa suka sama baju Koko, Max?" ucapnya sambil mengedipkan satu mata.

"Ba-baju, Ko..." ucapku malu bukan main.

"Kalau begitu, kalau bajunya Koko lepas, kamu enggak mau lihat Koko lagi dong?" ucapnya sambil menyeringai nakal.

"Hah?! Apa?"

Ko Maverick terkekeh pelan. Dia segera menarik tanganku.

"Main ke kamar Koko aja, yuk..."

"Lho..." ucapku kebingungan. "Nanti kalau dicari Lolita gimana, Ko?"

"Aduh, Lolita aja aslinya enggak mau undang kamu... Kalian cuma kebetulan sekelas aja, kan? Aslinya enggak deket, kan? Yang paksa Lolita undang kamu itu, Koko..."

"Apa?" tanyaku kebingungan.

Ko Maverick cuma terkekeh pelan.

"Sudah, ngobrolnya nanti aja... Habis kita keluar..."

"Keluar?" tanyaku bingung. "Keluar kemana, Ko?"

Ko Maverick cuma terkekeh dan terus membawaku ke lantai dua ke kamarnya. Di dalam kamarnya, aku tidak berkutik lagi...


[ ... ]


Ilustrasi: Ko Maverick


Begitu masuk kamar, Ko Maverick memepetkan tubuhku ke tembok dan memagut bibirku lembut. Detik itu juga aku terbuai dan membiarkan pria tampan di depanku itu melakukan semuanya.

Bibir Ko Maverick lembut... Kecupannya kenyal dan lembap... Rasanya mulutnya juga begitu menyegarkan... Seperti oase di padang pasir yang kering... Ketika bibirnya mengajariku berpagutan, aku bisa mencium aroma napasnya yang segar dan berbau mint itu. Ini ciuman pertamaku... Aku tidak merencanakannya... Tetapi, aku tidak kuasa menolaknya juga... Ciuman pertama harusnya dengan seseorang yang spesial... Aku tidak kenal Ko Maverick sebelumnya, tetapi setidaknya dia pria yang memiliki penampilan spesial... Dia ganteng bukan main... Rasa mulutnya enak-meskipun aku tidak sepenuhnya yakin juga. Aku tidak punya perbandingan. Ini yang pertama buatku... Dan tubuh Ko Maverick sungguh kokoh dan nikmat untuk dipeluk.

Dari berciuman bersandar tembok, Ko Maverick terus memagut bibirku sambil pelan-pelan melucuti setiap helai garmen yang melekat di tubuhku. Tahu-tahu semua kain yang melekat di tubuhku sudah terlepas, dan aku sudah tampil polos tanpa ditutupi sehelai benang pun di depan Ko Maverick dalam kepasrahan. Selagi menikmati bibirnya yang kenyal dan lembut, aku tidak sadar aku kini sudah telanjang bulat di depan pria seksi di depanku ini. Di hadapanku, kini dia mundur satu langkah, memastikan aku bisa melihat apa yang akan dia lakukan. Ko Maverick pun melucuti pakaiannya satu per satu. Tidak sensual seperti stripper, tetapi dia berhasil membuat hatiku bergejolak. Tanpa waktu lama, dia telah berdiri telanjang di depanku, menampilkan segala kegagahannya. Ko Maverick segera menarik tubuh polosku dan membaringkan tubuhku di kasur. Dia mengecup bibirku lembut sambil memainkan putingku. Sesekali, tangannya menari-nari dan meloco kemaluanku. Ini pertama kalinya seseorang menyentuh tubuhku seperti itu...

"Ko... Max mau keluar..." kataku jujur.

Ko Maverick segera menghentikan permainan tangannya di kontolku. Dia terkekeh, lalu mengecup bibirku lembut sekali.

"Koko sudah tertarik sama kamu sejak saat Koko jemput si Lolita ke sekolah, Max..."

Kami berbincang-bincang dalam keadaan telanjang bulat di atas kasur kamar Ko Maverick di lantai dua. Ko Maverick tidak membiarkan aku keluar lebih dahulu.

"Koko pernah lihat Max sebelumnya?" tanyaku kaget.

"Iya lah... Sering banget dari mobil malahan..." ucap Ko Maverick sambil terkekeh. "Kalau enggak, mana mungkin Koko bisa naksir sama kamu?"

"KOKO NAKSIR SAMA MAX?" tanyaku kaget luar biasa.

"Iya... Makanya, Koko paksa si Lolita kenalin kamu ke Koko..." ucapnya terkekeh. "Apalagi, Koko cukup yakin kamu gay..."

"Memangnya Max ngondek banget ya, Ko?" tanyaku khawatir.

"Enggak, sayang..." ucapnya terkekeh. "Tetapi, Lolita kan kenal sama kamu... Koko tanya-tanya ke dia... Dia tahu kamu enggak pernah dekat sama cewek... Padahal, lihat sendiri diri kamu ini..."

Ko Maverick lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia membelai pipiku dan memandang mataku penuh kekaguman.


I

lustrasi: Maximilian



"Kulitmu putih mulus... Alismu tebal kayak kaisar Tiongkok... Hidungmu mancung... Imut sekali kamu itu, Max," ucap Ko Maverick sambil terkekeh, lalu mengecup bibirku. "Bikin gemes aja... Tetapi, kata Lolita, kalau ada cewek yang mendekati, kamu malah enggak mau..."

Ko Maverick kembali mengecup bibirku sambil meraba-raba dadaku dan menggelitik-gelitik perutku.

"Dan, benar kan insting Koko? Waktu kamu lihat Koko, Koko yaki kamu tertarik juga... Buktinya, kamu beneran langsung mau waktu Koko cium..."

Aku cuma diam saja sambil membungkuk malu.

"Enak enggak ciuman sama Koko?" tanya Ko Maverick terang-terangan sambil mengarahkan wajahku berhadapan dengan wajahnya.

"Apa sih, Ko? Max kan malu..." ucapku dengan wajah merah seperti tomat.

"Gemesin banget sih kamu..." balas Ko Maverick sambil terkekeh.

"Ko, Maverick mau turun... Nanti enggak enak sama Lolita..." jawabku malu-malu, padahal pikiranku sudah kalut bukan main.

"Lolita mah memang pengen bantu jodohin Koko sama kamu, sayang..."

"Lolita tahu Koko gay?" tanyaku kaget. "Dia juga tahu kalau Max gay?"

"Iya... Santai saja... Lagian, kamu belum dikeluarin lho..." jawabnya terkekeh. "Sudah, kamu enggak usah ke bawah... Enggak akan ada yang ingat kamu di sini... Lolita juga tahu Koko mau ajak kamu ke atas... Papa sama Mama juga enggak ada di rumah kok... Mereka lagi ke luar negeri... Ulang tahun si Lolita kan minggu lalu... Ini acara khusus anak muda saja..."

"Max laper..." jawabku ngasal karena malu berdua sendirian dengan Ko Maverick sambil telanjang begini. "Max mau turun..."

"Koko sudah siapin makanan di sini!"

Ko Maverick menunjuk sebuah tray yang penuh dengan pizza, lasagna, bahkan steak yang berada di pojok kamar. Ada juga satu pitcher jus jeruk dan soda.

"Kamu sudah tidak ada alasan lagi mengelak..." ucap Ko Maverick sambil terkekeh.

"Jangan, Ko..." ucapku ketakutan saat Ko Maverick segera mengecup bibirku lagi.

"Jangan kenapa sih?" tanya Ko Maverick agak tidak sabar. "Koko kurang cakep ya? Koko kurang kekar? Kamu tidak suka sama Koko?'

"Bukan begitu, Ko..." ucapku lirih.

"Karena ini yang pertama buat kamu, kan?" tanya Ko Maverick terang-terangan.

Aku segera mengangguk pelan.

"Gimana Koko bisa tahu?" tanyaku malu-malu.

"Koko mengerti lah..." jawabnya sambil membelai-belai rambutku. "Dari tadi, Koko tahu ini yang pertama buat kamu... Makanya, Koko memperlakukan kamu dengan sangat hati-hati... Koko tidak akan melakukan hal yang membuat kamu tidak nyaman, Max..."

Ko Maverick meraih tanganku dan meletakkannya di atas kontolnya yang menegang. Aku melotot merasakan kontolnya yang besar itu berkedut-kedut di depan mataku. Ko Maverick tertawa melihat reaksiku.

"Tenang aja, sayang... Koko enggak akan entot kamu..."

"Entot?" tanyaku dengan tubuh bergidik.

"Tapi, Koko mau rimming kamu!"

Ko Maverick segera mendorong aku terlentang. Dibuatnya kakiku mekangkang ke atas. Lidahnya segera menjilat-jilat liang pantatku. Aku mendesah keenakan...

"Ohhh... Kooo..." erangku tertahan.

Tidak berhenti di sana, sambil wajahnya ditenggelamkan ke liang senggamaku, kedua tangan Ko Maverick menggelitik kedua puting mungilku. Aku cuma bisa menahan geli bercampur nikmat.

"Jangan, Ko..." kataku malu-malu sambil berusaha mendorong kepala Ko Maverick. "Kotor lho..."

"Koko pengen semua 'rasa' yang ada di tubuh kamu, Max..." ucap Ko Maverick sambil menaikkan jilatannya ke atas. "Semuanya..."


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA


Malam itu, aku menghubungi orang rumah kalau aku menginap di rumah temanku. Aku bermalam di rumah Ko Maverick...


Ilustrasi: Ko Maverick


Akhirnya, keesokan paginya, Ko Maverick membangunkan diriku dengan sebuah kecupan lembut di bibir saat sinar matahari menembus jendela dan menghangatkan wajahku. Wajah Ko Maverick yang disinari matahari tampak tampan sekali di pagi hari... Kami masih telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh polos kami. Ko Maverick terus menghujaniku dengan pagutan lembut di bibirku. Kecupannya yang lembut membangkitkan kontolku kembali. Dia benar-benar seksi... Ko Maverick benar-benar seorang pria yang diharapkan setiap pria penyuka sesama jenis-dia tampan, macho, dan berbadan seksi... Dia juga pencium yang handal... Bahkan, di pagi hari begini, tidak ada morning breath yang bau atau semacamnya... His breath smells like roses.

"Ko, Max mau dientot..." ucapku tertahan di dalam kecupan lembutnya.

"Yang benar?" tanya Ko Maverick kaget, lalu melepaskan kecupannya. "Kamu sudah siap?"

"Max pengen coba..."

"Kamu jangan paksain diri lho..." balas Ko Maverick menjelaskan. "Koko ini bukan maksud pengen ewein kamu aja, Max... Kalau Koko sange'an, itu memang benar. Tapi, Koko beneran suka sama kamu... Koko mau kenal kamu baik-baik... Kalau kita memang sama-sama cocok, Koko mau pacarin kamu..."

Kata-kata itu melelehkan hatiku... Itu malah membuat diriku semakin bersemangat untuk disetubuhi Ko Maverick... Meskipun aku yakin aku akan menyesalinya.

"Lakuin aja, Ko..." kataku pelan-pelan. "Max yang mau, kok... Max pengen coba..."

"Kamu yakin?" tanya Ko Maverick berusaha meyakinkan.

"Iya..." bisikku pelan.

"Aduh!" sahut Ko Maverick tampak sebal dan memukul kepalanya sendiri. "Koko lupa beli kondom!"

"Kan Max bukan cewek, Ko... Max enggak mungkin hamil!"

Ko Maverick menablek kepalaku pelan.

"Kamu ini ngawur kok!" sahut Ko Maverick tampak kesal. "Kamu dengerin Koko, ya... Kondom itu bukan cuma mencegah hamil, ya! Kondom juga mencegah penyakit menular seksual... Salah satu paling bahaya adalah HIV/AIDS! Dan kita, para pelaku seks sesama lelaki merupakan kelompok orang paling berisiko... HIV/AIDS itu paling gampang menjangkit para pelaku anal seks!"

Pagi-pagi begini, aku masih belum bisa mencerna informasi baru berbobot dari mulut pria yang sangat membuatku bernafsu begini.

"Koko beli kondom ke Indomaret dulu, ya..."

"Ah, kelamaan, Ko!" ucapku tidak sabar. "Lagian, Koko dan Max kan sama-sama sehat... Langsung aja enggak pake kondom, ya? Please... Sekali ini saja!"

"Lancang!" jawab Ko Maverick sambil memukul kepalaku ringan. "Dari mana kamu tahu Koko sehat? Kamu tidak boleh langsung percaya hal begitu... Kalau tidak dites, mana mungkin kita bisa tahu?"

Aku bingung dan terdiam saja.

"Koko kebetulan baru saja tes tiga hari lalu... Hasilnya negatif," ucap Ko Maverick sambil meraih ponselnya dan menunjukkan hasil tes VCT dari gallery foto. "Ini... Kamu bisa lihat, kan?"

Aku mengangguk setelah memastikan ada nama Maverick Setiawan, sama dengan nama belakang Lolita, di sana.

"Kamu juga perjaka, kan? Jadi, ini pertama kalinya kamu akan berhubungan badan, kan?"

Aku hanya membalas mengangguk.

"Dengarkan aku, Max!" ucap Ko Maverick setelah menaruh ponselnya di meja dekat kasur, lalu meraih wajahku dengan kedua tangannya. "Kedepannya, kamu jangan pernah mau diminta hubungan badan tanpa kondom... Ini sangat tidak aman... Tetapi, berhubung Koko baru tes dan hasilnya negatif, lalu kamu juga masih perjaka, kita bisa melakukannya tanpa pengaman... Tetapi, hanya kali ini saja ya tanpa pengaman... Koko nafsu banget soalnya lihat kamu pagi-pagi begini... Koko juga enggak tahan pengen entotin kamu sekarang juga..."

Aku pun cuma mengangguk. Setelahnya, aku sudah tidak punya kendali akan tubuhku. Ko Maverick bangkit dan memagut bibirku sambil tangannya meraba-raba setiap permukaan tubuhku yang bisa diraba. Aku hanya bisa tenggelam dalam nikmatnya kecupan bibir pria tampan itu... Tubuhku pun menjadi lemas, dan aku siap mengeksplorasi lebih lagi mengenai kenikmatan-kenikmatan yang bisa aku dapat dari tubuhku...


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA


Kala itu, Ko Maverick pulang ke Surabaya selama enam bulan karena magang di sebuah perusahaan di Jakarta. Enam bulan pun berlalu, aku dan Ko Maverick hampir bertemu setiap hari. Hubunganku dengan Lolita juga semakin dekat. Setiap akhir pekan, aku menginap di rumah mereka dan tidur bersama di kamar Ko Maverick. Aku jadi mengenal orangtua mereka dengan baik juga. Di weekdays, Ko Maverick selalu mengunjungiku di rumah setelah dia pulang magang. Orangtuaku juga suka kepada Ko Maverick karena dia ramah dan pandai berbicara bersama orangtua. Tak jarang juga Ko Maverick mengajakku ke kafe, mall, menonton bioskop, ataupun bermain di Timezone. Malamnya, aku mengerjakan PR dan belajar bersama Lolita karena kebetulan dia adalah bintang kelas. Dan setelah belajar, sebelum mengantarku pulang, Ko Maverick menyetubuhiku setiap harinya,

Mulanya, ada ketakutan dari dalam diriku bahwa Ko Maverick adalah pria yang cuma menginginkan seks saja dari diriku... Aku seorang penyuka sesama jenis dengan liang senggama perawan... Aku takut sekali, setelah Ko Maverick mendapatkan kesucian liang senggamaku, dia akan meninggalkanku. Ternyata, dia terus meminta lebih. Tetapi, maksudku bukan hanya seks. Dia meminta segalanya-tubuhku, jiwaku, serta cintaku. Kami pun saling menyampaikan rasa cinta kami dan menjadi pasangan kekasih...

"Max, Koko mau bicara..." ucap Ko Maverick setelah selesai menumpahkan cairan kejantanannya ke liang senggamaku.

"Ada apa, Ko?" tanyaku sambil berusaha mengatur napasku setelah mengalami orgasme bersamaan dengan Ko Maverick tadi.

Ko Maverick mencabut kontolnya yang masih berkondom itu dari dalam pantatku. Dia membuka kondom yang membungkus kejantanannya itu, lalu menyandarkan dagunya ke dadaku yang penuh peluh. Dia mengecup dadaku, lalu segera menghadapkan wajahnya ke wajahku. Ko Maverick gantian mengecup dahiku. Dia lalu tersenyum... Namun, kali ini senyumnya seperti menampilkan rasa grogi...


Ilustrasi: Ko Maverick


"Ada apa, Ko?" tanyaku agak bingung, melihat wajah grogi Ko Maverick untuk pertama kalinya.

"It might come as a surprise to you... Koko tahu Koko sange'an... Tetapi, Koko tidak pernah bermaksud langsung mengajakmu berhubungan badan pada hari pertama hingga saat ini, Max..." ucapnya sambil mengelus-elus belahan dadaku, tidak berani memandang wajahku. "Pertama Koko melihat kamu, Koko pikir kamu imut sekali... Lalu, saat menghabiskan waktu di kamar Koko pertama kali, Koko merasa kamu anak baik-baik... I love being around you... I love your lips... I love your body..."

Ko Maverick tampak grogi bukan main. Aku bingung sekali kenapa... Tetapi, aku tahu kata-kata yang keluar dari mulutnya ini sangat jujur.

"Tetapi, Koko sama sekali tidak berpikiran untuk menyetubuhi kamu pagi itu hingga ketagihan setiap hari seperti ini... Koko serius lho..." tambahnya lagi.

"Iya, Ko..." jawabku malu-malu juga, mengingat aku yang mengemis-ngemis minta dientot sama dia waktu itu. "Max tahu... Max yang meminta... Itu bukan salah Koko..."

"Tetapi, Koko tidak bisa memungkiri kalau Koko sangat menikmati ini semua, Max..." sahut Ko Maverick, tidak memberikan aku kesempatan untuk bicara. "Selama enam bulan terakhir, Koko merasakan kebahagiaan... Koko bangun pagi berpikir tentang kamu... Waktu magang, Koko tidak sabar ingin cepat-cepat pulang dan bertemu kamu... Saat bertemu kamu, Koko senyum-senyum terus seperti orang sinting... Itu menurut si Lolita juga, lho... Pokoknya, Koko bahagia sekali setiap sama kamu..."

"Lalu?" tanyaku kebingungan.

"Koko mau bilang, ini semua bukan cuma masalah seks saja, Max... Koko benar-benar punya perasaan yang mendalam sama kamu... Koko serius pengen menjalin hubungan sama kamu... Koko pengen jagain kamu..."

Jantungku seakan mau copot karena saking bahagianya...

"Sebentar lagi, kamu akan pindah ke Jakarta. Kita bakal satu kampus... Koko mau mengajak kamu tinggal sama Koko di apartemen Koko..." ucapnya semakin mantap. "Koko pengen kita bisa selalu bersama... Koko tidak mau terkesan selama ini Koko mendekati kamu cuma masalah selangkangan..."

Aku cuma terdiam mendengar ucapan Ko Maverick.

"Koko mencintai kamu, Max..."

Mataku terpana. Jiwaku terpaku dengan kata-kata dari mulut Ko Maverick.

"Kamu mau menjadi pacar Koko, Max?" ucapnya lagi, kali ini dengan suara bergetar. "Koko mau kita tinggal sama-sama di Jakarta... Koko akan jagain kamu..."

Aku cuma memandangnya dengan mata berair.

"Ya Koko tahu kalau kita masih kuliah... Belum bisa cari uang sendiri... Tetapi, kita jalani saja, ya?" ucapnya menambahkan. "Pokoknya, Koko cuma mau bilang Koko cin..."

Aku segera mengecup bibir kenyal Ko Maverick sebelum dia menyelesaikan kata-katanya... Kusedot lidahnya... Kurasakan rasa liurnya di mulutku... Nikmat... It feels like home... Aku mengangguk-angguk. Ko Maverick tersenyum dan ikut meneteskan air mata... Ko Maverick memagut bibirku... Kami menari-narikan lidah kami, saling bertukar ludah... Ko Maverick diam-diam menindih tubuhku, membuat tubuh kami berhadapan dalam posisi missionary. Dia tersenyum padaku.

"Sekarang, karena kamu sudah jadi pacar Koko, Koko boleh kan minta jatah lagi?" ucapnya sambil mengedipkan satu matanya.

"KOKO!" teriakku pura-pura marah. "KATANYA TIDAK MELULU SOAL SEKS?"


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA



Usiaku 17 dan Ko Maverick 19 tahun saat kami mulai hubungan kami. Pindah ke Jakarta, kami tinggal di apartemen yang disewa keluarga Ko Maverick untuk melanjutkan kuliahnya. Aku datang bersama Ko Maverick untuk memulai semester. Saat itu juga, kami menjadi sepasang kekasih. Selain kuliah, aku juga bertugas memuaskan nafsu kekasihku, Maverick Setiawan. Siang dan malam, ketika kami ada waktu, kami tidak henti-hentinya bercinta.

Usiaku 19 dan Ko Maverick 21 tahun, Ko Maverick lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan sebagai account officer di sebuah bank asing ternama. Usiaku 21 dan Ko Maverick 23 tahun saat aku lulus kuliah dan Ko Maverick mendapatkan promosi menjadi relationship manager untuk nasabah prioritas. Dua tahun lamanya aku menganggur dan menjadi pengurus apartemen baru kami di SCBD. Usiaku 23 dan Ko Maverick 25 tahun saat aku mendapatkan pekerjaan sebagai social media manager dan Ko Maverick menjadi kepala bagian relationship manager. Usiaku 28 dan Ko Maverick 30 tahun, aku memiliki sebuah perusahaan media dengan lima staff yang cukup sukses dan Ko Maverick menjadi kepala cabang termuda di bank tempat dia bekerja. Kami berhasil mencicil sebuah rumah di Pantai Indah Kapuk dan membeli apartemen di SCBD yang kami miliki.

11 tahun kami bersama. Cinta kami tampaknya semakin kuat. Atraksi seksual tetap terjaga... Kami masih saja kasmaran... Seks yang panas tetap kami lakukan minimal tiga kali seminggu. Kami pun tidak pernah memulai pagi hari tanpa ciuman. Tatapan mata kami masih tetap penuh cinta seperti saat kami memulai hubungan ini. Tetapi, suatu sore setelah meeting bersama klien, itu semua berubah...

Aku mengunjungi apartemen kami karena ingin mengecek kondisi apartemen. Aku selalu memastikan mendatangi apartemen setidaknya sekali tiap dua minggu agar apartemen kami tidak teralu kotor. Ketika kubuka pintu depan, aku mendengar suara musik keras dari dalam master room. Penasaran, aku berjalan ke dalam kamar dan membuka pintu.

Lututku lemas... Kakiku jatuh ke lantai. Mataku tidak percaya apa yang baru kulihat... Ko Maverick sedang melakukan hubungan seksual...dengan seorang wanita... Di ranjang kamar kami... Ranjang tempat kami tidur bersama setiap harinya di saat kami masih struggling...sebelum kami mampu membeli rumah di Pantai Indah Kapuk.

"Ko Maverick..." ucapku rintih. "Ko Maverick... Ko...."

Kurasa tatapan mataku kosong... Mataku cuma terpaku di depan sosok Ko Maverick yang masih sibuk menyetubuhi memek wanita itu... Tubuh kekarnya yang bertelanjang dan berkeringat itu tampak bersemangat sekali menggempur wanita seksi di depannya. Pantatnya yang besar dan bundar, yang sangat gemar kuremas saat dia gempurkan untuk menyetubuhiku, tampak begitu keasyikan menggenjot tubuh wanita itu.

"Max..." Ko Maverick baru sadar saat dia menoleh ke arahku. "Max... Tunggu, Koko jelaskan!"

Ko Maverick pun segera menarik batang kejantanan tegangnya dari dalam memek wanita itu. Dia langsung berjongkok di depanku dan memegangi lenganku.

"Maafin Koko, Max..."

Mataku pedih... Kukoyakkan sentuhan tangannya dari lenganku. Aku merasa jijik dengan Ko Maverick... Sebelas tahun, aku memberikan segalanya padanya... Aku membenci Ko Maverick... Segera saja aku berdiri dan meninggalkan tempat itu tanpa kata-kata lagi.

Ko Maverick tak bisa mengejarku... Dia masih telanjang... Dia cuma berteriak memanggil namaku... Kudengar tangisan di suaranya... Aku tidak peduli...

Aku langsung mengemudi mobilku ke rumah cepat-cepat... Segera ku-packing beberapa pakaian dan kutinggalkan mobilku di rumah. Aku memesan Grab ke bandara...


[ ... ]

Saat itu, aku tahu aku tidak mau pulang ke rumah orangtuaku. Ko Maverick akan bisa mudah menemukanku di rumah... Malang adalah satu-satunya tempat yang kupikirkan untuk kunjungi... Aku pernah tinggal di Malang sebelum pindah ke Surabaya. Akhirnya, kuputuskan untuk memesan penerbangan paling awal ke Malang. Aku blokir nomor ponsel Ko Maverick dari kartu SIM serta What'sApp-ku.

Setiba dari Bandara Abdulrahman Saleh di Malang, aku memesan taksi dan mengunjungi area tempat tinggalku yang lama di daerah Kasin untuk nostalgia. Aku memutuskan menginap di sebuah hotel di dekat rumah lama kami yang dulu yang kebetulan dioperasikan oleh TNI Angkatan Laut. Hotelnya sebenarnya fasilitasnya cukup lengkap. Selain sebagai sebuah hotel, kebetulan disini juga ada mess untuk para taruna muda. Alhasil, orang yang menginap di hotel ini tak jarang bertemu dengan para prajurit yang berseliweran.

Meskipun salah satu mess para prajurit Angkatan Laut yang resmi, tempat ini hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi para prajurit yang memiliki keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan. Keterangan di atas aku terima dari petugas resepsionis hotel, Bu Mira, ketika aku tengah menyelesaikan urusan administrasi berkaitan dengan rencana menginapku di hotel ini. Bu Mira ini orangnya sangat ramah. Kami berbincang-bincang seperti orang yang sudah lama kenal saja. Saat ini mess sedang kosong dan baru minggu depan akan ada program pendidikan baru. Selain itu, aku juga satu-satunya orang yang menginap di hotel ini. Iya, cuma aku doang...

"Mas Maximilian apa cuma sendirian?" tanya Bu Mira ramah.

"Panggil Max aja, Bu," jawabku sopan. "Iya, saya sendirian saja ini..."

"Tumben lho ada cowok masih muda dan ganteng begini menginap sendirian," ucap Bu Mira sambil berseloroh.

"Ah, Ibu bisa saja..." jawabku membalas basa-basinya.

"Beneran lho," jawab Bu Mira bersikeras. "Biasanya di sini itu yang menginap para langganan yang sudah berkeluarga. Kalau anak muda kan mana suka menginap di daerah perumahan yang sepi begini... Biasanya, anak-anak muda menginap di daerah-daerah ramai yang dekat tempat makan dan mall."

"Hotelnya kok bisa sepi begini ya, Bu?" tanyaku terus terang ke Bu Mira. "Padahal, hotelnya bersih. Harganya juga oke. Kok bisa enggak ada yang menginap, ya?"

"Soalnya pimpinan enggak masukin ke Traveloka atau Agoda sih, Mas Max... Kan disini kami tidak mengejar profit," ucap Bu Mira terkekeh. "Kami cuma melayani orang yang datang on the spot saja... Kami punya banyak para pelanggan yang sudah bertahun-tahun menginap di sini setiap ke Malang. Nanti Mas Max bisa simpan nomor saya. Setiap kesini bisa pesan langsung ke saya, ya..."

Karena Bu Mira punya waktu kosong, dia juga mengajakku berkeliling dan mengobrol mengenai fasilitas hotel. Di hotel ini ada dua kolam besar yang biasa dipakai latihan renang para taruna. Sebagai pengunjung hotel, aku bisa berenang secara gratis di kedua kolam renang tersebut. Awalnya sih aku pengen renang untuk menghilangkan rasa stress. Sayangnya, kolam renangnya cukup ramai karena terbuka untuk umum juga. Aku jadi malas karena tempat itu penuh dengan anak-anak yang les berenang. Selain itu, ada juga fasilitas lapangan tenis. Di sana, tampak ada beberapa pria paruh baya, sepertinya para prajurit veteran TNI, sedang asyik bergantian bermain tenis. Halaman hotel juga sangat luas dan tersedia puluhan tempat parkir mobil. Namun, karena tidak ada pengunjung, hanya terisi beberapa mobil dan beberapa sepeda motor pengunjung kolam renang saja. Di dekat tempat parkir, ada sebuah taman bermain luas yang berisi ayunan, perosotan, dan permainan anak-anak lain.

"Mas Max boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini kapan saja," kata Bu Mira ketika selesai berkeliling dan aku berpamitan untuk kembali ke meja resepsionis.

Check-in pukul tiga sore, aku memutuskan untuk menggunakan waktu berikutnya buat tidur siang. Satu jam kemudian, aku terbangun. Aku ingin bersantai tapi tak mau sekedar duduk-duduk saja. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk melakukan sedikit exercise. Awalnya, aku ingin bermain tenis. Tetapi, tentu saja aku tidak punya lawan main. Mau berenang juga malas kalau ramai pengunjung umum. Aku pun akhirnya memutuskan untuk jogging. Segera kuganti pakaianku dengan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Untung aku tak lupa membawa sepatu olahraga. Hampir tiga kali aku mengitari kompleks mess sebelum akhirnya berkeliling di sekitar kolam renang yang rupanya mulai sepi pengunjung.

"Sore, Dek!" ada suara agak berat menyapaku dari belakang.

"Sore..." jawabku agak ragu sambil menyambut tangan seorang bapak-bapak yang menyapaku itu.

Ilustrasi: Pak Aswin

Pria yang menyapaku itu gagah dan wajahnya ganteng, terutama karena senyum dan kumisnya yang membuat dia luar biasa macho. Bajunya juga ketat, menampilkan tubuhnya yang masih fit di usia yang tidak muda lagi. Dari postur tubuhnya, aku yakin dia sudah berumur di kepala lima.

"Dek Max, ya?" katanya sopan sambil tersenyum ramah.

Entah kenapa, melihat senyumnya, aku merasa déjà vu. Aku yakin aku pernah mengenal pria ini.

"Masa lupa sama Bapak?" tanyanya masih dengan raut wajah ramah. "Saya Aswin... Dulu saya tetangga keluarga Dek Max waktu tinggal di Malang. Lalu, Dek Max sekeluarga pindah di Surabaya..."

"Oh, Pak Aswin!" kataku langsung sumringah begitu mengingat sosok yang berdiri di depanku ini Pak Aswin, seorang pria yang aku kenal dulunya.

"Dek Max sudah besar, ya... Dulu Bapak biasanya gendong-gendong Dek Max... Sekarang sudah jadi pria dewasa," ucapnya sambil tersenyum senang. "Badannya berotot... Gagah sekali... Bapak pangling... Sekarang Dek Max sudah jadi pemuda yang gagah dan ganteng... Papa sama Mama sehat-sehat?"

Ilustrasi: Maximilian

Kami lalu berbincang-bincang ringan dengan perasaan penuh nostalgia. Aku banyak mengingat Pak Aswin dari cerita-cerita Papa dan Mama. Beliau adalah seorang prajurit TNI yang tinggal bersama istri dan anaknya yang seumuran denganku. Hubungan kami dulu dekat sekali, dan Pak Aswin sering menggendong-gendong diriku waktu kecil.

"Papa dan Mama baik, Pak Aswin... Keluarga Bapak bagaimana?"

"Saya kangen sekali dengan Dek Max dan keluarga..." selanya cepat-cepat tanpa menjawab pertanyaanku. "Mereka ikut ini? Saya boleh ketemu?"

"Wah, sayangnya saya lagi menginap sendirian, Pak..."

Kami pun terus mengobrol untuk membicarakan masa lalu. Pak Aswin saat itu tampaknya juga sedang berolahraga. Kaosnya tampak basah oleh keringat. Dia juga membawa handuk kecil yang sesekali diusapkan ke leher dan dahinya yang berpeluh. Terus terang, ada sesuatu pada diri Pak Aswin yang membuat gelisah pikiranku. Pak Aswin harusnya seusia dengan Papaku dan dia dulu dekat dengan keluargaku... Tetapi, kenapa aku terangsang, ya?

Jujur, aku tidak terlalu mengingat fisik Pak Aswin secara gamblang sebelumnya. Tetapi, sejak keluargaku pindah ke Surabaya di usiaku yang menginjak delapan tahun, aku selalu ingat Pak Aswin sebagai seorang laki-laki yang memiliki daya tarik secara fisik karena kegagahannya sebagai seorang prajurit TNI. Waktu kecil, aku sempat bermimpi menjadi seorang tentara karena beliau. Saat ini, karena usia dan kematangannya, rupanya daya tarik Pak Aswin semakin memancar. Meski pakaian olahraga yang dia pakai agak kebesaran, ketegapan tubuhnya tak bisa disembunyikan dari pandanganku. Mungkin karena beliau adalah seorang prajurit TNI.

"Dek Max olahraganya apa?" lamunanku dibuyarkan oleh suaranya yang kebapakan itu. "Sepertinya nge-gym, ya? Dari badannya kelihatan..."

"Apa saja, Pak... Yang penting bisa mengeluarkan keringat," lanjutku menjelaskan. "Tapi yang paling sering ya fitness dan renang..."

"Wah, renang, ya? Itu olahraga wajib di TNI Angkatan Laut sini lho. Apa enggak pengen masuk TNI?" katanya sambil tertawa renyah.

Cara tertawanya benar-benar menawan.

Sore itu, kami belum sempat ngobrol banyak karena sudah keburu petang. Pulangnya, kami berjalan kaki lewat belakang memutari lapangan. Kebetulan, motor Pak Aswin diparkir dekat pintu kamarku. Dia juga ada urusan sebentar di kantor. Aku bilang kalau aku masih menginap sekitar tiga malam. Waktu pamitan, dia janji akan mampir ke tempatku kapan-kapan. Tangannya menepuk punggungku dengan akrab dan hangat sebelum pergi.

"Duluan ya, Dek..." dia berpamitan sebelum berlalu meninggalkanku

"Mari, Pak.."

Sesampai di kamar, aku langsung mandi karena keringatku sudah lengket dari tadi. Malamnya, aku memesan Go-Food untuk makan. Setelah itu, aku pun membaca novel yang aku sempat beli di bandara. Tidak sampai satu jam kemudian, kudengar suara ketukan pintu. Aku bergegas membuka pintu, dan ternyata Pak Aswin!

Dia datang memakai pakaian yang lebih santai, lebih tepatnya lagi singlet serta celana training panjang. Ada jaket yang dia balutkan di perutnya, sepertinya yang dia pakai saat berkendara motor tadi. Pak Aswin tampak gagah sekali... Otot bisep dan trisepnya besar sekali... Aku sampai agak gelagapan menyapanya.

Ilustrasi: Pak Aswin

"Maaf nih Dek Max, Bapak bertamu malam-malam," katanya masih di ambang pintu. "Apa lagi sibuk?"

"Wah, enggak papa, Pak. Kebetulan saya juga bingung mau ngapain. Mau keluar juga males," kataku meyakinkan dia agar tak mengurungkan niatnya untuk bertamu.

Aku mempersilahkan Pak Aswin masuk di dalam kamar. Kami segera duduk di atas kasur dan larut dalam obrolan kesana kemari, terutama masalah kedua orangtuaku. Dari pembicaraan mengenai orang tuaku, pembicaraan kami jadi berkembang kemana-mana. Wawasan Pak Aswin cukup luas. Dia termasuk pembicara serta pendengar yang baik. Pak Aswin ini orangnya sabar, mudah akrab, dan humoris.

"Dek Max sekarang sudah menikah?" tanya Pak Aswin tiba-tiba.

"Belum, Pak..."

"Lho, kenapa?" tanya Pak Aswin kaget. "Usia Dek Max sama seperti anak Bapak... Sudah usia 28 tahun, kan? Sudah usia siap untuk berkeluarga..."

"Ya kalau belum ketemu jodohnya, gimana dong Pak?" kataku mengelak. "Gimana kabar Gunawan, Pak? Sekarang kerja di mana?"

"Tapi, masa iya selama 28 tahun cuma buat kencing doang?" ledeknya sambil tertawa ngakak.

Aneh juga sih... Kok setiap aku menanyakan keluarganya, Pak Aswin seperti menghindar, ya? Aku agak kaget dengan guyonannya yang menjurus itu. Tetapi, sejujurnya aku malah suka dengan omongannya yang mulai nyerempet ke masalah selangkangan itu.

"Pak Aswin sendiri dulu kawin umur berapa, Pak?" tanyaku mengikuti arah pembicaraan.

"Kalau 'kawin' sih sudah saya lakukan sejak SMA, Dek Max..." jawab Pak Aswin sambil kembali ngakak.

Tadinya aku kurang paham dengan maksud kata-katanya. Tetapi, karena kata 'kawin' sengaja diucapkannya dengan nada tertentu, aku baru paham dan jadi ikut tertawa.

"Dek Max kapan mulai kawin?" tanyanya menimpali.

"Ya, nanti kalau ketemu jodohnya, Pak..." jawabku santai.

"Maksud Bapak 'kawin', lho... Bukan nikah..." jelas Pak Aswin sambil senyum-senyum mesum.

Semula aku agak kaget juga. Apalagi, omongan Pak Aswin tampaknya semakin mengarah ke arah seks. Tentu saja, aku siap menanggapi karena topik ini menarik juga.

"Maksud Pak Aswin, mengenal seks?" tanyaku nekad memperjelas maksud pertanyaannya tadi.

"Ya iya, Dek..." jawabnya sambil mengangguk-angguk malu-malu.

"Kalau itu sih, enggak secepat Pak Aswin, lah," jawabku sambil terkekeh. "Di awal usia dua puluhan."

"Habis itu, pasti berlanjut rutin ya?"

"Enggak juga."

"Ah masa?" tanya Pak Aswin penuh curiga. "Dek Max kan mukanya ganteng. Badannya gagah... Kulitnya putih mulus seperti bintang Korea. Pasti juga masih kuat gairahnya dalam bercinta..."

Ilustrasi: Maximilian

"Ya tapi kan enggak bisa sembarangan juga, Pak," jawabku sambil tersenyum masam.

"Orang seganteng Dek Max kan pasti banyak yang suka. Tinggal pilih saja. Apalagi, nonik-nonik Surabaya kan terkenal dengan ceweknya yang... Hmmm..."

Pak Aswin tak melanjutkan kalimatnya, tetapi memberi isyarat dengan jempolnya. Aku hanya senyum-senyum saja mendengar asumsi-asumsi Pak Aswin tentang diriku. Sebenarnya, aku agak bingung menjawab pertanyaannya tentang pengalaman seksku. Bukannya tidak nyaman dengan Pak Aswin yang menanyaiku hal-hal bersifat pribadi. Namun, rasanya tak mungkin kuceritakan bahwa aku tidak pernah tidur dengan perempuan dan hanya bercinta dengan sesama laki-laki.

"Bapak dulu termasuk playboy, lho," tanpa kutanya, Pak Aswin memulai bercerita.

Sebenarnya aku tidak kaget dengan omongannya itu. Pak Aswin memang laki-laki yang menarik. Pasti, waktu mudanya dia banyak digilai oleh gadis-gadis. Dari tampang dan postur tubuhnya kelihatan kalau dia punya bakat playboy. Senyum dan sorot matanya mempertegas hal itu. Belum lagi, wanita mana yang tidak klepek-klepek melihat tubuhnya yang gagah itu.

"Wah, boleh dong bagi-bagi ilmunya, Pak," kataku memancing.

"Wah, sebenarnya Dek Max sendiri sudah punya modal untuk jadi playboy, lho," jawabnya menunjuk ke tubuhku.

Pak Aswin lalu bercerita bahwa dulu dia punya senjata andalan: kumisnya. Menurutnya, banyak gadis-gadis yang tertarik dengan kumisnya yang cukup tebal itu dan minta dicium. Dia juga pamer kalau dia jago sekali berciuman dan membuat wanita klepek-klepek.

"Kalau sudah pernah Bapak cipok sekali, biasanya gadis-gadis mendatangi Bapak buat minta dicipok terus," ucapnya sambil penuh kebanggaan. "Akhirnya, biasanya minta Bapak tiduri semuanya, Dek... Pengen merasakan kejantanan Bapak..."

Aku sih percaya dengan Pak Aswin. Setiap omongannya masuk akal buatku. Pak Aswin memang berbadan gagah. Dia seorang tentara yang notabene macho banget. Wajahnya juga tampan, bahkan di usianya yang sudah hampir setengah abad seperti sekarang. Memang, sejak awal melihatnya, harus kuakui bahwa bagian yang paling menarik dari wajah Pak Aswin adalah kumisnya. Kumis penuh wibawa khas pejabat militer. Dan di mataku, kumis itu kelihatan seksi sekali. Itu pun juga membuatku ingin melumati bibirnya. Apalagi, para wanita muda, ya?

"Tapi, masa mereka hanya tertarik sama kumis?" tanyaku berusaha menyelidik sambil memancing kata-kata mesum keluar dari mulut Pak Aswin. "Pasti ada rahasia lain yang membuat Bapak diperebutkan para wanita, kan?"

Pak Aswin tersenyum mendengar komentarku sambil telunjuknya bergerak-gerak ke arahku, seolah-olah paham arah pertanyaanku.

"Maksud Dek Max soal beginian?" katanya sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah. "Itu sih rahasia perusahaan. Tapi, yang jelas, tak ada wanita yang tak pernah puas main dengan Bapak..."

Aku hanya tersenyum saja mendengar penuturannya. Pancinganku ternyata sudah mulai mengena. Aku sudah penasaran ingin mendengar omongannya lebih mengarah lagi ke hal-hal yang lebih sensitif dan vulgar.

"Yang jelas, perempuan itu lebih bernafsu kalau kita punya barang yang gede..." katanya setengah berbisik, seolah menjawab apa yang tengah jadi pikiranku.

"Kalau gitu, punya Pak Aswin gede dong?" tanyaku sambil tidak sadar menahan nafasku sendiri.

"Ha... Ha... Haa... Ha..." ucapnya tanpa bisa menahan tawa sambil meninju bahuku. "Sebenarnya, yang penting bukan ukuran. Tetapi, cara kita menggunakannya..."

Pak Aswin melanjutkan pembicaraan secara diplomatis sambil tawanya makin berderai-derai.

"Tapi kan harus ditunjang dengan fisik yang kuat juga ya, Pak?" kataku berusaha menambahkan untuk terus menyambung ke pembicaraan ini.

"Oh iya, itu pasti. Makanya harus rajin-rajin olahraga."

"Pak Aswin waktu itu olahraganya apa?" tanyaku penasaran.

"Dulu, Bapak hampir suka semua olahraga, terutama voli dan renang."

"Renang di kasur nih..." selaku sekalian mencoba mencandainya agar terus menjurus ke arah seks yang lebih vulgar.

"Bisa saja Dek Max ini..." ucap Pak Aswin sambil tertawa manis. "Oh ya, katanya Dek Max suka berenang juga? Besok jam lima saya punya rencana mau berenang. Lebih enak ketika kolam renang tutup untuk umum. Jadi, nanti semuanya lebih sepi..."

Aku diam saja, tidak sempat menjawab.

"Kenapa? Enggak bawa celana renang? Bapak punya beberapa. Bisa dipinjam kalau Dek Max mau."

"Saya ada celana renang kok, Pak," jawabku pelan. "Lagian, kalau pakai punya Pak Aswin, kan belum tentu pas ukurannya..."

"Kenapa? Wah, punya Dek Max pasti ukurannya lebih gede, ya?" katanya menggodaku sambil matanya sengaja mengarah ke bagian depan celanaku.

Aku pun tertawa terpingkal-pingkal dengan gurauan Pak Aswin. Gara-gara dipandangi seperti itu, kontolku diam-diam langsung ngaceng. Aku segera mengajak berganti topik. Akhirnya, pembicaraan kami berhenti sampai pada rencana untuk berenang besok. Pak Aswin lalu pamitan, dan besok sore dia janji akan mampir ke sini lebih dahulu sebelum ke kolam renang.

[ ... ]

Pukul 17.10 keesokan harinya, Pak Aswin datang dengan hanya bersandal jepit, bercelana renang, dan bertelanjang dada. Aku pun termangu. Pak Aswin seksi sekali... Di usia lima puluhan, dia masih bisa menjaga six pack di perutnya. Lalu, otot bisep dan trisepnya tetap menonjol luar biasa. Belum lagi, dadanya yang bidang dan montok sekali itu.

"Ayo! Jadi ikut renang, kan?" ajak Pak Aswin akrab riang..

"Sebentar ya, Pak." kataku sambil masuk ke kamar.

Segera aku ganti celana pendek jeans yang kupakai dengan celana renang, lalu aku rangkap dengan celana pendek training warna hitam.

"Mari, Pak.." ajakku kemudian sambil menutup pintu.

Kami langsung menuju kolam renang. Ada beberapa taruna tengah berenang di sana. Tapi, mereka segera menghambur keluar dari kolam renang begitu kami berdua masuk.

"Lho, kok sudah selesai?" sapa Pak Aswin ramah pada para taruna muda itu.

"Sudah dari tadi, Pak... Kami mau segera bilas," jawab salah satu dari mereka penuh hormat.

Pak Aswin tanpa sungkan-sungkan memelorotkan celana pendeknya, hingga tubuhnya kini hanya bercawat renang saja. Seksi sekali bapak-bapak ini, pikirku. Cawat yang dipakai pun cukup bergaya: model bikini bergaris-garis vertikal warna biru muda.

Tanpa canggung-canggung lagi, Pak Aswin melakukan pemanasan. Gerakan pemanasan yang dilakukan Pak Aswin tak urung membuat dadaku semakin berdesir. Setiap posisi dan gerakan pemanasan yang dia lakukan semakin memperjelas garis lekukan dan tonjolan otot yang ada di beberapa bagian tubuhnya. Sebenarnya, aku agak kikuk melihatnya, mengingat antara kami berdua memiliki ikatan dari keluarga kami. Terangsang pada orang yang menggendongku sejak aku kecil itu terasa tidak benar. Aku pun segera berusaha untuk tidak memperhatikannya lagi.

Segera kubuka pakaianku dan berusaha menahan diri untuk tetap tak terangsang oleh aksinya. Untuk kesempatan ini, aku sengaja memakai celana renang model boxer sehingga sebagian pinggulku agak tertutup, jadi agak lebih sopan. Bukan apa-apa, aku tak mau menyolok.

Pak Aswin ternyata memperhatikanku selama aku melucuti pakaianku. Tapi, pandangannya santai dan senyumnya ringan-ringan saja. Aku saja yang mungkin gede rasa. Tapi, pikiranku jadi kembali kepedean ketika dia tiba-tiba mengacungkan jempolnya sambil memandangi tubuhku, seolah-olah ingin mengatakan bahwa aku punya tubuh yang bagus.

Pak Aswin lalu mengajarkan aku untuk melakukan gerakan pemanasan seperti yang dilakukannya tadi. Setelah pemanasan tadi, dia berlari-lari kecil mengitari kolam renang. Gerakannya cukup gesit dan atletis. Dari seberang kolam renang aku jadi lebih bebas mengamati segala gerak-geriknya. Tubuhnya yang setengah telanjang itu meliuk-liuk membentuk siluet tertimpa sinar matahari sore. Dengan hanya bercelana renang, ketegapan tubuhnya makin terlihat nyata dari kejauhan. Sialan, aku jadi terpengaruh juga akhirnya. Kurasakan bagian depan celana renangku mulai mengeras.

Ilustrasi: Pak Aswin

Beberapa saat kemudian kami berdua sudah berada di air. Kami sempat beberapa kali melakukan renang sprint bolak-balik sekitar satu jam. Lumayan capek juga. Lima menit kemudian, kami sepakat untuk menyudahinya begitu sampai di tepi kolam sebelah timur yang terkena sinar matahari.

Ketika aku menyentuh pinggiran kolam, ternyata Pak Aswin sudah sampai duluan dan sudah duduk melepas lelah di bagian tepinya. Salah satu kakinya masih berada di air dan yang satunya lagi diangkat ke atas tepian kolam, sehingga posisi duduknya agak mekangkang. Sebuah pemandangan yang menakjubkan untuk dinikmati.

Dari bagian tepi kolam, aku bisa dengan jelas melihat pemandangan yang mengejutkan itu. Garis batang kemaluan Pak Aswin jadi tampak jelas menonjol di balik celananya yang basah. Tampak juga bulu-bulu halus yang tumbuh di sekujur pahanya bagian dalam.

"Capek, Dek?" tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.

"Lumayan, Pak," kataku tak kalah ngos-ngosan karena tarikan nafasku terganggu oleh detak jantungku yang makin tak karuan menghadapi pemandangan yang terpampang persis di depan wajahku itu.

Pak Aswin lalu menarik nafas panjang sambil menyeka rambutnya yang basah ke belakang.

"Aaahhh..." terdengar dia membuang nafas panjang dengan seksi.

Lalu pelan-pelan, dia merebahkan punggungnya ke lantai di pinggir kolam, sementara kedua kakinya kini dijuntaikan masuk ke dalam air. Kini, dengan posisi rebahan seperti itu, tonjolan kemaluan Pak Aswin makin terlihat jelas. Dan aku dengan leluasa dapat menikmatinya tanpa takut ketahuan karena posisi Pak Aswin tak memungkinkannya untuk melihatku ke bawah.

Punyaku sendiri sudah tegang dari tadi. Makanya, aku sengaja tidak segera naik ke tepi kolam. Di samping takut ketahuan, aku juga tak mau melewatkan pemandangan yang menggairahkan yang ada di depanku saat ini.

"Dek Max..." sapaannya tiba-tiba mengejutkan konsentrasiku.

"Ya, Pak?"

"Bapak duluan ke kamar mandi, ya..."

"Oh, silahkan Pak. Nanti Max menyusul."

Dia lalu bangkit dari rebahannya, mengambil handuk dan peralatan mandinya, lalu masuk ke kamar bilas yang ada di sudut area kolam renang ini. Aku sendiri masih berusaha menenangkan kontolku yang masih tegang di bawah air.

Ketika aku naik ke tepi kolam dan duduk sebentar di situ, pikiranku dipenuhi oleh bayangan tubuh Pak Aswin. Haruskah aku tertarik padanya? Akankah semua ini hanya berhenti pada ketertarikan saja dan tak terjadi apa-apa? Bertepuk sebelah tangan, kah?

"Hei, Dek Max..." tiba-tiba kepala Pak Aswin nongol dari balik pintu kamar bilas dan tangannya memberiku isyarat untuk segera menyusulnya.

Aku agak kaget juga mendengar teriakannya. Segera kusambar handukku dan dengan sedikit mengendap-endap aku masuk ke kamar bilas, takut sekaligus berharap bisa menjumpai sebuah pemandangan yang menggairahkan. Apalagi, berdasarkan pengalaman, tempat berbilas di kolam renang umum seperti ini biasanya tanpa sekat-sekat. Tapi, lagi-lagi aku terlalu berharap. Pak Aswin tidak sedang telanjang. Celana renangnya masih utuh melekat.

"Bapak ingat-ingat tadi, Dek Max enggak bawa sabun untuk mandi, ya? Gantian pakai punya Bapak saja," katanya sambil menyodorkan kotak peralatan mandinya.

Aku baru sadar kok aku bisa lupa bawa peralatan mandi.

"Pak Aswin sudah selesai berbilasnya?" tanyaku sopan.

"Belum.." katanya sambil tertawa. "Sudahlah, gabung saja dengan Bapak di sini."

Semula aku agak kikuk. Tapi, melihat Pak Aswin dengan santainya membilas tubuhnya di bawah shower, aku pun mengambil tempat di salah satu shower yang berada di situ.

"Kalau pas lagi ada program pendidikan, sore-sore setelah kolam ditutup umum, biasanya banyak siswa yang berenang di sini. Maklum, prajurit AL kan harus bisa renang..."

Pak Aswin bercerita di sela-sela acara berbilasnya.

"Biasanya rame dong, Pak?" kataku menanggapi basa-basi.

"Oh ya, apalagi kalau sedang ada di kamar bilas ini..."

"Kenapa?"

"Biasa, namanya juga anak muda... Mereka suka bikin acara berbilas menjadi acara kontes gede-gedean burung," kata Pak Aswin santai sambil terus menggosok tubuhnya dengan busa sabun.

"Jadi, mereka pada telanjang bulat bareng-bareng di sini, Pak?" tanyaku penasaran.

"Enggak semua, sih. Tergantung orangnya. Ada yang cuek; ada juga yang malu-malu..."

"Pak Aswin sendiri ikutan kontes juga?"

"Enggak lah, ya," katanya sambil tertawa. "Bapak hanya mengawasi mereka dari luar. Jadi, cuma bisa mendengar suara ribut dan tawa mereka yang rame itu..."

"Kalau Pak Aswin ikut, pasti menang ya, Pak?" candaku sambil sengaja melihat ke arah selangkangannya.

"Ukuran saya sih sedang-sedang saja kok, Dek," katanya sambil memegangi lalu mengelus-elus sendiri tonjolan di bagian depan celana renangnya.

Dugaanku, sepertinya Pak Aswin mempunyai ukuran penis yang cukup besar meskipun aku belum pernah melihatnya.

"Kayaknya, punya Dek Max lebih gede dari punya Bapak..." katanya gantian melihat ke bagian depan celanaku.

Terus terang, dalam kondisi begini, apalagi waktu melihat Pak Aswin mengelus-elus kontolnya tadi, sulit bagiku untuk menahan rangsangan yang timbul. Meskipun belum sepenuhnya tegang, celana renangku yang basah tak mampu menyembunyikan milikku yang mulai membesar. Padahal, aku sudah berusaha menutupinya dengan membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di sekitar daerah selangkanganku. Sementara itu, kulihat milik Pak Aswin tampaknya tak bereaksi apa-apa. Ukurannya tak menunjukkan perubahan yang berarti.

Kulihat Pak Aswin masih asyik menyabuni badannya dengan sabun dan air berulang-ulang. Dan sekarang, dia tampak sibuk menyabuni bagian perutnya yang masih six pack itu, lalu tangannya tiba-tiba turun ke bawah menelusup masuk ke celana renangnya. Dia kemudian dengan cueknya menyabuni daerah itu. Celana renangnya tampak sedikit tersingkap oleh gerakan tangannya, dan sekilas aku bisa melihat sebagian batang kemaluannya dan bulu-bulu hitam yang ada di sekitarnya.

"Kenapa Dek?" tanya Pak Aswin sambil tertawa, mengagetkan pandanganku yang dia tangkap.

"Enggak... Kayaknya Pak Aswin asyik banget mandinya," kataku agak terbata-bata, berusaha menutup rasa maluku.

Pak Aswin hanya tertawa menanggapi komentarku sambil terus dengan santainya menggosok-gosok daerah selangkangannya itu. Coba aku bisa membantunya, pikiran nakalku mulai bicara. Rasanya, aku tak kuat lagi digoda seperti ini.

"Sudah belum berbilasnya, Dek?" pertanyaan Pak Aswin mengagetkanku.

Tampaknya ia sudah hampir selesai.

"Belum Pak. Sebentar lagi..."

"Oke, Bapak tungguin..."

Aku segera menyabuni bagian tubuhku yang belum kubilas. Lalu, tanpa kuduga sama sekali, Pak Aswin tanpa rasa sungkan tiba-tiba melepas celana renangnya. Alhasil, kini aku bisa kulihat dengan jelas alat vitalnya yang menggantung tanpa penutup apapun.

Kontolnya seksi sekali. Urat-urat di batangnya tampak jelas menyembul, dan bagian kepala kemaluannya membulat besar seperti bentuk jambu air. Rambut di sekitar daerah itu cukup lebat meskipun dalam kondisi basah kuyup. Pak Aswin sama sekali tak berusaha menutupi semua kepolosan itu. Tangannya kemudian malah dengan santainya mulai mengeringkan daerah itu dengan handuk. Ekspresinya cuek saja, seolah-olah sengaja membiarkan aku memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dan ketika tangan Pak Aswin tengah mengeringkan bagian atas tubuhnya, gerakannya menyebabkan batang kemaluannya berayun-ayun bagai lonceng.

"Permisi ya Dek Max," ucap Pak Aswin mencoba permakluman atas ketelanjangannya itu.

Aku hanya bisa nyengir menghadapi sikapnya yang makin terbuka.

"Wah, ternyata punya Pak Aswin memang gede ukurannya..." ucapku mencoba mengomentari apa yang aku lihat.

Pak Aswin ketawa lalu memegang kemaluannya dan mencoba mengamatinya sendiri.

"Masa sih?" katanya seolah tak percaya.

Matanya lalu beralih ke arahku.

"Punya Dek Max kayaknya lebih gede... Coba lihat..." katanya seolah menyuruh melepas celana renangku.

Kini gantian aku yang mencoba memegang bagian depan celanaku dan mengelusnya seolah sedang mengukur besarnya.

"Hmm... Sebenarnya, punya Max lagi 'begini'..."

Tanganku mencoba membentuk simbol bahwa aku sedang ereksi. Rasanya, aku tak perlu lagi malu-malu di depan Pak Aswin. Toh, dia juga sedang telanjang di hadapanku. Artinya, ada kenyamanannya di sana, kan?

"Wah, kalau banding-bandingan begini, akhirnya kita jadi kontes burung nih..." kata Pak Aswin sambil tertawa.

"Pak Aswin.. Mau lihat punya Max?" ucapku, mencoba untuk berani menawarkan.

"Boleh juga... Biar adil..." katanya sambil mendekatiku.

Aku lalu melepas celana renangku dan dalam sekejap batang kemaluanku sudah mencuat. Pak Aswin sudah berada di depanku. Dadaku rasanya mau meledak, sampai-sampai harus kutarik nafasku dalam-dalam. Kini, aku seperti menyodorkan tubuhku di depan Pak Aswin.

Ilustrasi: Maximilian

Kulihat Pak Aswin takjub memandangi milikku yang sedang dalam posisi meradang itu.

"Boleh...?" tanyanya sambil tangannya terulur dan mencoba menggenggam milikku.

Aku mengangguk. Segera aku menahan nafas ketika mulai merasakan sentuhan tangan Pak Aswin pada bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Terasa otot-otot kejantanan milikku itu makin membesar dalam genggamannya.

"Ini sih bukan gede lagi, Dek!" komentarnya sambil sedikit memberi remasan. "Ini ukuran kuda!"

Aku menggeliat geli. Tanpa diminta, aku pun lalu menggenggam milik Pak Aswin dan mencoba meremas-remasnya. Semula, dia agak tersentak dengan gerakan tanganku yang tiba-tiba itu. Namun kemudian membiarkan perbuatanku.

"Biar adil, punya Pak Aswin juga harus dibangunkan..." sahutku, seolah-olah memberi alasan perbuatanku.

Kami lalu tertawa bersama. Sore itu warna langit mulai teduh dan kegelapan malam mulai menyelimuti sepenjuru kota. Di kamar bilas ini pun kurasakan suasananya semakin memanas. Karena acara berbilas ini akhirnya telah berkembang jauh. Tangan kami akhirnya saling asyik meremas kontol satu sama lain. Dalam genggamanku, milik Pak Aswin terasa hangat dan kenyal. Meskipun sudah berumur, kontolnya itu masih terasa padat dan kencang. Bagian kepalanya mempunyai ukuran di atas rata-rata. Dan bentuknya indah sekali. Seperti kontol-kontol prostetik yang dijual untuk barang seni seperti di Bali.

Kami sedang berhadap-hadapan dalam posisi wajah dekat sekali sambil menikmati kocokan kontol masing-masing. Jantungku berdegup kencang saat ini. Dari sini, aku bisa melihat ketampanan wajah Pak Aswin dengan jelas sekali. Hidung kami bersentuhan, dan aku bisa mencium aroma mulut dan bau nafasnya... Aku sungguh terangsang...

Ilustrasi: Pak Aswin

"Mau coba pakai sabun, Dek?" tanya Pak Aswin menganjurkan aku untuk berbuat lebih jauh.

Maka sejenak aku melepas kocokanku. Aku buka botol sabun cair milik Pak Aswin, lalu membuat busa sabun sebanyak-banyaknya di telapak tanganku. Segera saja kulumurkan busa itu ke sepanjang batang kemaluannya. Tanganku kemudian mulai melakukan gerakan mengocok lagi. Kulihat Pak Aswin tersenyum melihat ulahku. Tiba-tiba saja tangan Pak Aswin meraih sebagian busa sabun yang meleleh di tanganku, lalu mengoleskannya pada batang kemaluanku. Tangan Pak Aswin yang lain malah ikut memilin-milin puting susuku. Tanpa sadar, aku melenguh kenikmatan. Kembali Pak Aswin tersenyum melihat reaksiku.

Busa sabun itu telah mempercepat reaksi kami. Sesaat kemudian milik Pak Aswin jadi membesar dan semakin mengencang. Milikku yang sudah keras pun makin menghangat dan tampak makin meradang. Tampak sekali kami tak berniat untuk mengakhiri acara saling merangsang ini sebelum puncaknya. Tadinya, kita memang berniat hanya kontes burung saja, saling membandingkan ukuran kontol masing-masing. Namun, kini kedua burung itu sebetulnya sudah siap untuk dibandingkan. Jadi, apakah cukup sampai di sini saja?

"Mau diteruskan?" tanya Pak Aswin seakan-akan bisa membaca pikiranku.

Entah setan apa yang merasuki kami, nyatanya tangan kami masih saling meremas. Mata kami sesekali saling bertatapan dan sesekali melihat ke bawah seolah ingin membandingkan ukuran satu sama lain. Milik Pak Aswin sedikit di bawah ukuranku. Tapi, bagian kepalanya lebih besar dari milikku. Kami masih sempat bercanda ketika membandingkan kedua benda bulat panjang itu.

"Punya Dek Max keras sekali..." komentarnya, memuji kontolku sambil membuat pijatan agak keras di batang kejantanan.

"Punya Bapak bentuknya bagus..." balasku sambil tersenyum malu-malu.

"Batang Adek pejal sekali..." tambahnya sambil telapak tangannya mengurut sepanjang batang kemaluanku.

Aku bergidik kegelian sambil tersenyum malu.

"Kepala kontol Pak Aswin gede banget..." ucapku sambil kupegang dan kuremas-remas pelan kepala kemaluannya yang bulat membesar itu.

Gantian Pak Aswin menggelinjang-gelinjang gara-gara ulahku. Aku lalu mencoba menggenggam kantung pelirnya yang sedari tadi tidak terjamah itu. Kedua testisnya itu terasa padat dan berkulit tebal. Kedua telurnya itu lebih besar dari milikku. Ketika aku mencoba meremasnya, Pak Aswin spontan menarik pantatnya ke belakang. Rupanya dia kegelian. Namun, aku terus berusaha mempertahankan genggamanku di bagian itu. Pak Aswin lalu berusaha membalas meremas buah pelirku juga. Aku menghindar, tetapi hanya pura-pura. Dan kubiarkan tangannya menggenggam dan meremasi kantung kemaluanku itu. Tanpa sadar, kami tertawa seperti dua anak kecil tengah bercanda.

"Ssst... Pak... Gimana nanti kalau ketahuan orang.." ucapku tiba-tiba ketika rasa was-wasku muncul.

Pak Aswin hanya menatapku kocak sambil menahan suara ketawanya yang biasanya lepas itu, "Mau segera diselesaikan aja?"

"Pak Aswin sendiri gimana?" jawabku balik bertanya.

Dia cuma mengangguk-angguk.

"Kita keluarkan bersama ya..." lanjutnya masih dengan nada kebapakan sambil mempercepat gerakan tangannya.

Langit di atas sedang dalam puncak menuju malam. Satu dan dua lampu mess sudah mulai dinyalakan. Kamar bilas itu telah sepi. Hanya terdengar suara kocokan tangan kami yang diselingi desahan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Beberapa kali kudengar Pak Aswin mendesis seperti tengah menahan sesuatu. Matanya memicing terus ke arahku dalam pandangan yang sulit aku mengerti. Keringat mulai membasahi kening kami berdua. Mulut Pak Aswin mendengus, lalu menguncup mendesis. Aku sendiri hanya bisa meringis dan menahan nafas beberapa kali akibat nikmatnya kocokan Pak Aswin.

Ketika erangan yang keluar dari mulutnya makin meracau, kupercepat gerakan tanganku di bawah sana. Tangan kiri Pak Aswin sampai memegangi bahuku seperti butuh penyangga, sementara tangan kanannya tetap aktif bekerja di kontolku untuk membalas kenikmatan yang ada. Semenit kemudian, dia menjerit tertahan dan muncratlah cairan hangat miliknya membasahi perutku.

Crot... Crot... Crot... Crot... Crot... Crot...

Spontan tangannya mendekap tubuhku erat-erat dan membenamkan kepalanya di sela bahu dan leherku. Pantatnya bergerak tak karuan, menyentak-nyentak ke depan, menekan pinggul dan daerah sekitar kemaluanku.

Aku mengimbangi gerakan orgasmenya itu dengan memeluk pinggangnya yang gempal itu dan membuat gerakan sedemikian rupa sehingga batang kemaluan kami saling menggosok. Air mani Pak Aswin membuat gerakan itu jadi licin dan menimbulkan rasa geli yang nikmat. Namun, aku tidak mau berhenti di sana. Tiba-tiba, nafsuku memacu kenekatanku untuk mencari-cari bibir Pak Aswin. Kutempelkan bibirku ke bibir Pak Aswin, dan dia membiarkan aku menciumnya sambil melumat-lumat hebat.

Ilustrasi: Pak Aswin

Rasa bibir Pak Aswin benar-benar sedap... Kumisnya terasa geli, bermain-main di bibirku. Aku tak peduli. Yang ada, aku terus melumat bibirnya sambil merasakan kenikmatan orgasme yang tengah menjalar ke sekujur tubuhku. Tak kusangka, Pak Aswin membalas ciumanku dengan hangat. Lidah kami saling menjulur dan bersentuhan, berbagi kesegaran dari ludah kami.

Oh My God! Akhirnya, aku berhasil mencium laki-laki ini! Dia ternyata dia seorang pencium yang handal! Tampak sekali kalau dia sudah berpengalaman melumat bibir pasangan berciumannya.


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA

It was one of the most magical moments in my life. Selama sebelas tahun, aku mendedikasikan tubuhku untuk Ko Maverick. Dia adalah satu-satunya pria yang pernah menyentuh tubuhku. Hatiku hancur ketika dia menyentuh orang lain-seorang wanita, di ranjang tempat kami bercinta tiap malam selama bertahun-tahun. I can't compete with a woman... Ini sebuah pengkhianatan besar bagiku. Hari ketika aku datang ke apartemennya dan membiarkan tubuhku dinikmati oleh dirinya kala itu adalah hari dimana aku mengubur setiap kesempatan untuk mengenal orang lain di hidupku. Aku mendedikasikan diriku pada Ko Maverick seorang...

Namun, kala itu, Pak Aswin datang... Dia mengecup bibirku dengan lembut dan menyentuh kemaluanku... Kami tidak melakukan penetrasi, bahkan oral seks sekalipun... Tetapi, hari itu aku akhirnya bisa menikmati secercah waktu di mana aku tidak merasakan rasa sakit hati karena pengkhianatan Ko Maverick. Ini semua berkat Pak Aswin, seorang pria dewasa yang tampan nan seksi bukan main. Malam harinya, aku tidak bisa berhenti memikirkan sentuhan Pak Aswin, kecupan bibirnya, hingga bau napasnya saat kami bercumbu. Aku bahkan masih bisa merasakan rasa mulutnya di dalam mulutku. Aku tidak bisa tidur...

Paginya, aku berkeliling ke daerah sekitar kolam renang. Jantungku berdegup kencang, mengharapkan keinginanku untuk melihat sosok Pak Aswin lagi. Dengan was-was aku berharap bisa melihat wajah Pak Aswin tiba-tiba. Tetapi, aku tidak bisa menemukan sosoknya di manapun. Bodohnya lagi, aku tidak sempat meminta nomor ponsel Pak Aswin. Cumbuannya malam itu membuat aku tidak berdaya dan tidak berkutik lagi. Aku benar-benar tidak bisa berpikir tenang setelah orgasmeku akibat kecupan bibir Pak Aswin dan kocokan tangannya ke lambang kejantananku. Alhasil, aku lupa untuk meminta nomor ponselnya.

Setelah makan siang di luar, aku pun kembali berkeliling sekitar fasilitas hotel. Hari itu, selain ada banyak anak-anak les renang bersama para ibu mereka di sekitar kolam renang, rupanya ada kegiatan pelatihan taruna militer. Ada begitu banyak para taruna muda berambut cepak dan berbadan atletis berseliweran dan saling mengobrol di tempat kami. Alih-alih memandangi keindahan fisik mereka, aku terus mencari Pak Aswin. Beliau tidak ada di mana-mana... Aku pun terpaksa kembali ke dalam kamar dengan kecewa.

Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku memutuskan tidur siang. Dua jam kemudian, sekitar pukul empat sore, aku pun bangun dari tidurku. Aku memutuskan berjalan ke sekitar area kolam renang, berharap bisa menemukan Pak Aswin hari itu. Bukannya menemukan Pak Aswin, aku malah bertemu Bu Mira sedang berjalan menyisiri kolam renang.

"Mas Max, selamat sore..." ucapnya menyapaku dengan ramah. "Mau berenang nih?"

"Sore, Bu Mira," jawabku berusaha antusias. "Enggak, Bu... Cuma mau jalan-jalan saja... Ibu mau kemana?"

"Ini, saya mau membersihkan kamar bilas... Kebetulan, yang bekerja membersihkan kamar mandi sedang cuti sakit," ucapnya masih terdengar ramah. "Biasa, Mas Max... Hotelnya kecil... Jadi, para karyawan juga saling membantu masing-masing..."

"Oh begitu, Bu..." ucapku sambil tersenyum untuk tampak sopan.

"Mas Max ada masalah?" tanya Bu Mira, bisa membaca air mukaku. "Ada yang bisa saya bantu? Kok kelihatan celingak-celinguk dari tadi?"

"Oh, tidak, Bu..." ucapku sedikit kagok ketika Bu Mira bisa mengerti aku sedang mencari-cari seseorang. "Bu Mira kenal sama Pak Aswin?"

"Lho, Mas Max kenal sama Pak Aswin?" tanya Bu Mira malah tampak kaget.

"Iya..." jawabku sedikit grogi. "Pak Aswin dulu tetangga saya waktu saya masih kecil, Bu... Sebelum saya pindah ke Surabaya... Kemarin lusa sama kemarin saya sempat ketemu sama Pak Aswin di sini... Eh, hari ini kok tidak kelihatan..."

"Pak Aswin hari ini mendadak izin sakit juga, Mas..." ucap Bu Mira menjelaskan. "Apa dicoba hubungi ponselnya? Mas Max ada nomor ponselnya?"

"Enggak punya, Bu..." jawabku lirih.

"Oh, ini saya kasih nomornya, ya..."

[ ... ]

From : Maximilian

To : Pak Aswin

Pak Aswin sedang sakit, ya? Saya dapat nomor ini dari Bu Mira...

Saya lusa kembali ke Jakarta... Ada kerjaan... Kalau memungkinkan, apa bisa bertemu lagi sebelum saya pulang, Pak?

Pesan itu aku kirimkan melalui What'sApp satu jam yang lalu. Namun, tetap saja tidak ada jawaban dari Pak Aswin. Aku jadi galau memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Aku tidak mood keluar hotel. Seharian sampai malam, aku terus di kamar, mengharapkan jawaban Pak Aswin. Pak Aswin tidak mengaktifkan fungsi status baca pesan di What'sApp. Jadinya, aku tidak bisa tahu apakah dia sudah membaca pesanku atau belum. Dia juga sepertinya tidak mengaktifkan online status-nya. Aku jadi tidak bisa melihat status online-nya juga dan harus bertanya-tanya apakah dia sudah melihat pesanku atau belum.

From : Maximilian

To : Pak Aswin

Pak Aswin, kalau memang sakit, jangan dipaksakan... Max minta maaf, ya...

Semoga lekas sembuh...

Aku pun menulis kembali pesan itu di malam hari pukul sebelas malam. Akhirnya, aku memaksakan diri untuk tidur.

[ ... ]

Pagi hari pukul delapan, aku terbangun. Pak Aswin tidak membalas pesanku. Dengan berat hati, aku pun berpakaian dan memutuskan melakukan jogging di pagi hari. Aku mencuci mukaku dan menggosok gigi. Setelah itu, aku memakai celana lari pendek berbahan parasit dan mengenakan sepatu lari Adidas yang biasa aku pakai berolahraga.

Sekitar empat puluh menit menikmati kejernihan udara pagi kota Malang, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Saat melangkahkan kaki ke depan pintu kamar, aku melihat sosok yang sudah kutunggu-tunggu itu... Pak Aswin berdiri di sana, menatap pintu kamarku dengan nanar... Aku pun mendekat dan memegang pundaknya... Dia berpakaian seragam TNI lengkap hari itu... Pak Aswin gagah sekali... Tak bisa kupungkiri, kontolku pun mengeras.

"Pak Aswin..." ucapku menyapanya dalam kerinduan.

Pak Aswin menoleh kaget ke arahku, lalu memeluk tubuhku. Aku sempat terhenyak ketika Pak Aswin memelukku erat-erat. Sebenarnya, aku merasa sedikit kaget dan risih karena aku masih berkeringat. Tetapi, dia tampaknya sangat membutuhkan sebuah pelukan saat ini. Dan akhirnya aku pun 'terpaksa' pasrah dipeluk olehnya. Diam-diam, aku juga mengharapkan pelukannya...

Ilustrasi: Pak Aswin

"Dek, boleh masuk?" ucapnya lirih, sepertinya tersadar kalau seseorang mungkin bisa melihat kami di depan kamar itu.

"Iya, boleh, Pak..." ucapku berusaha menenangkan diri juga. "Mari, Pak..."

[ ... ]

Kupersilahkan Pak Aswin masuk ke kamarku. Dia segera duduk di atas kasur, sedangkan aku masih berdiri di depannya. Sengaja aku buka kaosku yang basah karena keringat. Tampak Pak Aswin memandangi tubuh mulusku. Namun, dia tidak berkata apa-apa.

"Bapak minta maaf ya, Dek..." ucapnya memulai pembicaraan. "Kemarin, seharian Bapak tidak berani membalas pesan Dek Max..."

Aku bingung harus berkata apa. Alhasil, aku cuma terdiam saja.

"Bapak merasa bersalah..." ucapnya lagi sambil merenung.

"Sudah, jangan dibahas lagi, Pak..." ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Biar kemarin menjadi kenangan kita berdua saja, ya... Tidak perlu ada yang tahu... Baik keluarga Bapak maupun keluarga Max..."

"Donny meninggal, Dek..." ucapnya tiba-tiba.

Donny meninggal...?

"Apa?" tanyaku kaget.

"Anak Bapak meninggal, Dek..." ucapnya lalu menangis. "Tiga bulan yang lalu... Bapak dan istri Bapak masih kebingungan... Menanggapi semua duka ini... Ketika melihat Dek Max, Bapak jadi mengingat anak Bapak... Eh, Bapak malah kelepasan seperti kemarin... Maafkan Bapak sudah memakai Dek Max untuk fantasi Bapak ya, Dek..."

[ ... ]

Donny adalah anak semata wayang Pak Aswin yang seumuran denganku. Kami dulu sering bermain bersama-sama. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, keluargaku sangat dekat dengan keluarga Pak Aswin. Tentu saja kematian Donny membuatku shock dan sedih. Meskipun sudah lama tidak bertemu, aku punya banyak kenangan manis bersama Donny. Dan lagi, aku semakin iba pada Pak Aswin. Dia pasti sedih sekali atas kematian Donny...

Selama hampir satu jam, Pak Aswin menceritakan kecelakaan di pekerjaan yang menimpa Donny. Ternyata, Donny bekerja sebagai operator alat-alat berat di proyek pembangunan. Badannya terlindas traktor bersama dua rekannya saat seorang sopir traktor tiba-tiba mengantuk dalam bekerja dan menabrak rekan-rekannya yang bertugas. Donny dan dua rekannya meninggal seketika dalam kecelakaan tersebut. Pihak perusahaan dan sopir yang bertugas telah dibawa ke jalur hukum, dan sang sopir sudah dipenjara karena kelalaiannya. Perusahaan tersebut juga memberikan uang santunan yang sangat besar pada Pak Aswin dan istri. Tetapi, seberapapun uang yang mereka terima tidak membuat Donny bisa bangkit dari kematian.

Pak Aswin bercerita di atas kasur sambil menangis tersedu-sedu. Kami berdua sama-sama berbaring, dan aku memeluk tubuhnya erat-erat. Pak Aswin menyandarkan kepalanya ke dadaku. Ini benar-benar pemandangan yang langka: seorang tentara dewasa berbadan tegap dan tampak kuat malah menangis tersedu-sedu di dadaku.

"Yang sabar ya, Pak Aswin..." ucapku berusaha menenangkan. "Donny sudah tenang di surga..."

"Berat, Dek..." ucap Pak Aswin tampak sedih sekali. "Bapak sudah berusaha ikhlas... Tetapi, Bapak belum bisa, Dek..."

"Pelan-pelan pasti bisa, Pak..." ucapku, lalu mencium kening Pak Aswin. "Max tahu Bapak orang yang kuat... Andai Max bisa lakukan sesuatu yang bisa bikin Bapak merasa lebih baik sekarang..."

"Bapak kangen sekali sama anak Bapak, Dek Max..." Pak Aswin mendesah lirih sambil memeluk tubuhku erat-erat.. "Boleh Bapak peluk Adek kuat-kuat?"

Dan aku semakin tersentuh. Memalukannya, aku tersentuh bukan karena prihatin dengan keadaan Pak Aswin. Namun, aku benar-benar turned on gara-gara perilaku Pak Aswin.

"Boleh, Pak..."

Pak Aswin pun memeluk tubuhku kuat-kuat. Dia mendesah keras saat memeluk tubuhku... Lalu, Pak Aswin tiba-tiba mengecup bibirku lembut. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia kembali memeluk tubuhku erat-erat. Aku bisa merasakan kerinduannya pada anaknya saat dia memeluk tubuhku...

Kecupan lembutnya di bibirku tadi membuat kepalaku tidak bisa berpikir jernih. Apalagi, suara Pak Aswin membawa satu kehangatan yang seketika mencairkan kebekuan di hatiku akan perselingkuhan Maverick. Dan rasa kesalku yang masih ada seolah mendorongku untuk memasabodokan segala tentang Maverick dan menerima keterbukaan hati Pak Aswin yang telah disampaikannya dengan cara yang sentimentil ini tadi.

Terasa dada kami berdegup kencang. Deru nafas kami yang berat saling beradu. Ada rasa kangen yang sama-sama ingin kami tumpahkan. Dan tanpa kusadari, pipi kami saling bersentuhan lagi. Aku merasakan akan ada sesuatu yang sensual terjadi... Kurasakan bibir Pak Aswin perlahan-lahan bergeser, menyentuh tulang rahangku. Nafasnya yang hangat membuatku merasa nyaman. Dan ketika bibir yang padat itu mulai bergerak dari pipi kiriku ke bibirku, aku merasakan seluruh sendiku melemas. Pak Aswin memagut bibirku lembut dengan bibirnya yang basah. Kali ini, aku merasakan sensualitas dari kecupan bibirnya. Tubuhku terasa seperti melayang-layang. Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang. Tangannya lalu memeluk kepalaku lagi dan membenamkannya ke lehernya yang menengadah. Kudengar dia menarik nafas dan semakin memelukku erat.

Kembali Pak Aswin menatapku. Kali ini pandangannya lebih teduh. Ada senyum tipis di balik kumisnya yang khas itu. Kuberanikan untuk membalas senyuman itu dengan kecupan. Dia pun merespon dengan sebuah kecupan. Dan kami pun tenggelam lagi dalam ciuman-ciuman yang dalam dan lebih lama. Tidak ada permainan lidah yang nakal... Tetapi, ini tidak membuat ciuman ini kurang bergairah... Kecupan bibir Pak Aswin lembut dan menggelitik setiap sendi di tubuhku... Tatapannya yang meneduhkan juga membuat aku ingin memberikan segalanya pada Pak Aswin, terutama tubuhku untuk kenikmatannya saat itu juga.

Ilustrasi: Maximilian

"Habis olahraga ya, Dek?" katanya di sela-sela pagutan bibirnya. "Mau Bapak mandiin lagi, ya? Bapak ingin memanjakan Adek..."

Dimandiin?

Aku hendak menjawab, tetapi mulutku segera dibungkamnya oleh cumbuan Pak Aswin. Kami kembali berpagutan seperti sepasang kekasih yang bertahun-tahun tidak bertemu. Kali ini, dia tidak memberikan kesempatan aku untuk tertawa. Lidahnya pun dia aktifkan untuk menjelajah rongga mulutku. Langsung saja indera perasa dan indera penciumanku menikmati rasa dan aroma mulut Pak Aswin. Dia benar-benar berusaha membangkitkan nafsuku.

"Mau?" tanyanya lagi, kali ini sambil melepas pagutannya dan menggosok-gosokkan hidungnya ke hidungku.

Aku mengangguk, seperti anak kecil yang menuruti perintah bapaknya sendiri. Kami segera melangkah ke kamar mandi. Aku segera melepas seluruh pakaianku. Setelah itu, kuraih handuk putih yang biasa aku pakai dan melilitkan handuk itu ke pinggulku. Pak Aswin segera mengikutiku. Lengan bajunya sudah tersingkap ke atas. Dia lepas setiap baju yang melekat di tubuhnya. Aku memandangnya penuh kekaguman. Tubuh seksinya yang begitu memabukkan itu sudah terlihat polos tanpa sehelai benang pun di depan mataku. Otot-otot di tubuhnya... Six pack yang terpampang di perutnya...

"Ngapain pakai ini segala?" ucapnya terkekeh sambil tangannya langsung menarik handuk yang melilit bagian bawah tubuhku.

Ketelanjanganku pun terpampang nyata di depan mata kepala Pak Aswin. Kontolku menegang di depan tubuh telanjang Pak Aswin untuk kedua kalinya. Tangannya segera menggenggam bagian tubuhku yang mulai terus membesar itu. Dia meremasnya hingga aku mengeluh nikmat. Dan dia terus meremasnya sampai aku tidak bisa menahan erangan kenikmatanku. Aku merintih...

"Pak Aswin..." protesku di sela-sela rintihan akibat permainan nakal tangannya. "Jangan nakal ah, Pak..."

Entah karena dorongan apa, tiba-tiba aku sudah mengambil posisi jongkok, lalu pelan-pelan kukocok kemaluan Pak Aswin di depan wajahku. Pak Aswin sempat kaget, lalu diam saja menunggu apa yang akan kuperbuat. Tanganku langsung mengarahkan batang kontol itu ke mulutku, dan ku akhiri pagutan itu dengan sebuah lumatan.

"Arggghhhh..." erang Pak Aswin kali ini.

Aku tak tahu apakah Pak Aswin pernah diperlakukan begini oleh seorang laki-laki. Tetapi, yang jelas ini lah pertama kalinya aku melakukannya ke Pak Aswin. Dan aku tak peduli lagi dengan konsekuensi ke belakang. Aku tidak peduli aku pada akhirnya akan menjadi santapan pria di depanku ini... Aku mau... Kontol ini enak sekali...


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA


"Sudah lama nggak main begini..." ucapnya di sela-sela aktivitas saling berpagut bibir kami sambil nafasnya terengah-engah.

"Begini bagaimana, Pak Aswin?" ucapku dengan napas yang tidak kalah memburu.

"Main perang kontol dan dihisap..."

"Oh ya?" ucapku tak percaya dengan informasi yang baru kudengar. "Sebelumnya, memang pernah begini, Pak?"

"Istriku tidak mau melakukan oral," katanya menjawab keraguanku, "Tadi Bapak sudah hampir keluar... Dek Max pintar banget melakukannya..."

"Mau dilanjutkan?" tanyaku sambil melepaskan pagutan kami, menawari sambil memandang matanya dalam-dalam.

Pak Aswin memandang mataku tajam, lalu menggeleng.

"Kenapa?" tanyaku lagi dengan muka sedih.

"Nanti saja, Dek... Sayang kalau dikeluarin sekarang..." ucapnya sambil matanya berkedip nakal untuk menggodaku. "Bapak masih mau bermain-main lama sama Dek Max hari ini..."

Siang itu, akhirnya Pak Aswin jadi memandikan aku. Seluruh tubuhku rasanya tak luput dari jarahan dan keusilan tangannya yang berlumuran busa sabun, khususnya di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Tidak jarang dia menggelitik putingku, mengocok kemaluanku, ataupun menggelitik leher dan ketiakku dengan tangannya yang penuh busa. Pak Aswin juga tidak sungkan-sungkan melumat bibirku atau menyedot lidahku sambil bebas mempermainkan tubuhku seperti boneka mainannya. Aku sampai memintanya untuk berhenti bila di bagian itu dia melakukan gerakan yang tak hanya sekedar membasuh.

"Kenapa berhenti?" tanyanya terdengar tidak senang.

"Sayang kalau dikeluarin sekarang.." kataku meledek mengulangi ucapannya tadi.

Kami lalu tertawa bersama. Pak Aswin pun akhirnya menghentikan aksinya. Kini, dia benar-benar memandikan aku persis seperti seorang bapak tengah memandikan anaknya.

"Sudah selesai, Dek..." katanya sambil melakukan guyuran yang terakhir.

Diambilnya handuk dan dikeringkannya seluruh tubuhku. Kemudian, dia sendiri mulai mengguyur badannya beberapa kali untuk membersihkan cipratan air dan busa sabun. Kini, gantian aku yang membantu mengeringkan tubuhnya. Setelah tubuh kami berdua kering, rupanya Pak Aswin tidak berniat keluar dari kamar dia. Diraihnya tubuhku agar terjerat dalam peluknya.

Pak Aswin lalu menciumku. Aku pun membalas ciumannya. Kami berciuman dengan penuh nafsu. Lumatan kami semakin dalam dan lama hingga kami berdua benar-benar tersapu dalam kenikmatan seksual yang tak terbendung. Kami baru mandi dan masih telanjang sehingga tercium aroma segar yang muncul dari tubuh kami berdua.

"Dek Max, Bapak pengen menghisap punya Adek..." bisiknya lembut di telingaku setelah melepas pagutan bibirnya yang sungguh memabukkan itu.

Dengan senang hati aku segera melebarkan posisi kakiku begitu Pak Aswin mengambil posisi jongkok tepat di tengahnya.


{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


CUPLIKAN SELANJUTNYA

Tiba-tiba dengan tak sabar, tangan Pak Aswin menggelandang tubuh lemasku keluar kamar mandi.

"Sekarang kita ke kamar saja, Dek Max..." ajaknya sambil menarikku keluar dari kamar mandi.

Kini kami berada di dalam kamar. Pak Aswin mengajakku berbaring di kasur dengan napas yang memburu. Apakah karena usia, ya? Apakah Pak Aswin perlu istirahat?

"Capek ya, Pak?" tanyaku hati-hati.

"Enggak kok, Dek..." ucapnya kini memandangku. "Bapak cuma ingin menikmati memeluk tubuh Adek saja... Bapak pengen skinship..."

"Boleh Max tanya sesuatu, Pak?" tanyaku tidak bisa menutupi rasa penasaranku.

"Ada apa, Dek?"

"Sebelumnya, apa Bapak pernah bermain dengan sesama pria?"

Pak Aswin mendesah keras. Sepertinya, dia ingin menceritakan sesuatu yang besar setelah ini.

"Bapak malu mengakuinya..." ucapnya tiba-tiba. "Tetapi, sebenarnya permainan sesama jenis ini bukan hal baru buat Bapak, Dek..."

Akhirnya, Pak Aswin mulai bercerita mengenai masa mudanya. Intinya, sebenarnya dulu dia pernah punya pengalaman oral seks sewaktu tinggal di asrama militer. Tetapi, itu dulu sekali... Dan itu bersama satu orang saja... Itu semua terjadi ketika dia masih bujangan. Tentunya, itu semua dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari teman satu angkatan.

"Cerita ini sudah lama Bapak kubur dalam-dalam, Dek..." ucapnya padaku. "Tetapi, ketika melihat sosok Dek Max yang imut ini, ingatan-ingatan itu kembali bangkit..."

Menurut cerita Pak Aswin, kamar mandi di barak militernya waktu itu dibuat terbuka sehingga para calon perwira biasanya mandi bersama-sama. Dari situlah, Pak Aswin bisa mengenal salah satu temannya yang mempunyai kecenderungan sesama jenis.

"Namanya Aldi... Orang Sunda... Kulitnya putih mulus seperti pria Tionghoa... Wajahnya manis," ucap Pak Aswin seperti menerawang. "Persis seperti Dek Max..."

Awalnya Pak Aswin heran karena setiap kali acara mandi bersama selesai, ada salah satu temannya yang selalu selesai paling akhir. Pria itu adalah Aldi. Pada suatu kesempatan, Pak Aswin sengaja keluar belakangan dari ruang mandi, hingga akhirnya tinggal mereka berdua saja yang di ruangan itu. Awalnya, Aldi merasa risih dengan kehadiran Pak Aswin di situ. Tapi, begitu melihat sikap Pak Aswin yang nampaknya bersahabat, dia akhirnya bersikap biasa.

"Dia santainya coli di depan Bapak... Mulutnya sedikit terbuka dan mengerang-erang tertahan... Wajahnya manis, Dek... Selain itu, badannya putih mulus... Persis seperti cewek, tetapi bedanya dia ini gagah..." ucap Pak Aswin sambil berusaha mengatur kata-katanya. "Enggak tahu kenapa, Bapak suka aja lihatnya... Kontolnya pink bersih... Jembutnya rapi... Gemas saja lihat si Aldi coli gitu..."

Alhasil, Pak Aswin akhirnya tahu bahwa temannya itu ternyata suka melakukan onani seusai mandi karena dia sering terangsang bila melihat tubuh perwira lainnya selama acara mandi bersama. Pantas saja selama ini Aldi selalu mandi dengan tetap memakai celana dalam. Sebenarnya, di barak itu, pada umumnya para perwira mandi bertelanjang bulat, termasuk Pak Aswin. Hanya ada beberapa rekan seangkatannya yang tetap bercelana dalam. Tergantung kebiasaan masing-masing. Lha si Aldi ini selalu memakai celana dalam biar tidak ketahuan ngaceng. Dia terang-terangan bercerita ke Pak Aswin.

"Tanpa Bapak tanya, dia dengan santainya bilang begitu, lho..."

"Sebagai pria straight, Bapak apa enggak merasa risih dan jijik? Bapak enggak langsung ngibrit?"

"Lha itu anehnya... Bukannya jijik, Bapak malah makin penasaran sama si Aldi... Bapak jadi hobi aja lihatin dia coli..."

Dari pertemuan di kamar mandi itulah akhirnya Pak Aswin dan Aldi saling mengenal, dan ternyata mereka mempunyai perasaan yang sama. Mereka nyaman satu sama lain. Maka, mulailah terjadi pengalaman seks di antara mereka.

"Beberapa kali, setiap para taruna lain selesai mandi, kami sengaja berkutat di kamar mandi, menunggu sampai sepi," ucap Pak Aswin dengan senyum simpul. "Di situ deh pengalaman kami dimulai..."

"Enggak ada teman lain yang curiga?" tanyaku penasaran.

"Enggak ada, Dek... Kami harus sangat hati-hati. Karena peraturan di mess sangat ketat," jawab Pak Aswin menerangkan. "Kalau kami ketahuan, kami bisa kena masalah besar..."

"Apa yang mula-mula Bapak lakukan dengan Pak Aldi?"

"Mulanya, kami mulai dari saling bermasturbasi... Saling berhadapan dalam kesunyian, bertatapan dan memainkan kontol masing-masing," jawab Pak Aswin sambil terkekeh. "Seru lho, Dek..."

"Cuma berakhir di situ saja, Pak?" tanyaku mulai bersemangat.

"Ya tidak lah!" jawab Pak Aswin mantap. "Lama-lama, kami makin nyaman... Dari saling onani, rasa kedekatan itu muncul... Kami mulai mencoba berciuman... Dia itu ciuman pertama dan terakhir saya dengan laki-laki, Dek... Sebelum sama Adek tentunya..."

"Bapak suka?"

"Suka banget," ucapnya sambil tersenyum mantap. "Bibir Aldi enak rasanya... Kenyal dan lembap... Enak diajak berpagutan... Belum lagi bau napasnya yang ngangenin... Bapak benar-benar ketagihan..."

"Wah, mendengarnya Max jadi ngaceng lagi, Pak..." jawabku jujur.

Pak Aswin cuma tertawa saja, lalu menggoda dengan meloco kemaluanku lagi.

"Habis itu, kami coba nenen pentil masing-masing... Aduh, itu enak banget... Bapak suka banget dinenen begitu..." sahutnya lalu tersenyum masam. "Sekarang, malu kan kalau minta istri... Kan dia yang punya nenen..."

Aku pun dengan sigap melumat nenen Pak Aswin. Sambil mendengarkan ceritanya, Pak Aswin membiarkan aku nenen di dadanya yang montok. Pak Aswin tersenyum gemas lalu menggosok-gosok kepalaku. Kurasakan napas Pak Aswin agak memburu, merasa keenakan setelah lidah nakalku memainkan teteknya.

Dan itulah pengalaman terakhir Pak Aswin 'main-main' dengan laki-laki. Karena akhirnya mereka harus pisah sesuai dengan penempatan tugas masing-masing. Dan sampai akhirnya menikah, Pak Aswin tidak pernah lagi mempunyai pengalaman seks dengan sesama jenis. Hingga bertemu dengan aku. Di mess ini. Lalu di kolam renang kemarin. Dan di siang hari ini. Hmm...

"Kalau Dek Max sendiri, sejak kapan melakukannya sama laki-laki?" tanya Pak Aswin tiba-tiba.

"Bapak bisa merasakan kalau Max ini gay, ya?" tanyaku kaget.

"Bukan begitu, Dek... Dek Max kan macho dan ganteng... Tidak terlihat seperti gay sama sekali..." jawab Pak Aswin berusaha menjelaskan. "Bapak bisa merasakan kalau Dek Max sudah pernah melakukannya saat kita bercinta tadi... Dek Max seperti mengerti sekali bagaimana memuaskan tubuh pria... Jujur, Bapak keenakan sekali tadi..."

Aku cuma tersenyum simpul mendengar pujian Pak Aswin.

"Sebenarnya, Max sedang menjalin hubungan bersama seorang pria selama sebelas tahun, Pak..."

"SEBELAS TAHUN?" tanya Pak Aswin terkaget-kaget. "Dari kuliah?"

"Dari SMA kelas tiga, Pak..."

"Lalu, kenapa Dek Max mau berhubungan intim dengan Bapak tadi?"

"Max lagi bertengkar sama dia, Pak..."

Pak Aswin sepertinya menangkap kesedihan di raut wajahku.

"Ada apa, Dek?" tanya Pak Aswin sambil berbisik pelan.

"Max kabur dari rumah. Soalnya, Max habis memergoki pacar Max sedang berhubungan intim dengan seorang perempuan..."

Pak Aswin cuma mengangguk, berusaha menjadi pendengar yang baik... Dia memeluk tubuh telanjangku dan berusaha menenangkanku.

"Bagaimana Max bisa melawan seorang perempuan, Pak?" tanyaku sambil merenung. "Sebelas tahun, Max setia sama dia... Max menutup diri dan mendedikasikan diri Max ke pacar. Tetapi, seorang perempuan datang... Seseorang yang bisa memberikan dia keturunan... Seseorang yang secara kodrat memang pantas bersama dia... Max berpikir, apakah sebelas tahun ini tidak ada artinya bagi dia?"

Pak Aswin pun menarik napas panjang, lalu berbisik padaku, "Lalu, Dek Max sudah sempat tanya ke pacar Adek? Apa penjelasan dia?"

"Max langsung lari, meninggalkan dia, Pak... Dia sempat mengejar Max, tetapi gara-gara dia telanjang, dia berhenti di depan pintu..." jelasku berusaha tenang. "Max langsung ambil pakaian dan pergi ke Malang... Kalau pulang ke rumah orangtua di Surabaya, nanti dia bisa menemui Max... Dia kan kenal baik sama Papa dan Mama..."

"Wah, sudah dapat restu dari Papa dan Mama?" tanya Pak Aswin sambil terkekeh.

"Ya namanya sudah sebelas tahun..." jawabku sambil tersenyum kecut. "Ya meskipun sampai sekarang Max belum come out secara resmi ke keluarga, mereka tentunya kenal sama pacar Max... Pacar Max juga pria yang dewasa dan bertanggung jawab... Mereka juga menyayangi pacar Max seperti anak sendiri..."

Dadaku terasa sesak... Napasku tersendat... Air mata turun deras dari kedua bola mataku.

"Dek Max yang sabar, ya..." ucap Pak Aswin, bisa membaca tangisku.

"Max takut, Pak..." ucapku jujur saat tangisku pecah. "Ke depannya bakal bagaimana... Apakah ini semua berakhir, Pak? Max cinta Ko Maverick... Sebelas tahun, kami bersama... Apa itu semua tidak ada artinya?"

Pak Aswin mendesah panjang.

"Jangan dipikirkan dulu, Dek..." ucap Pak Aswin sambil mengecup dahiku, lalu berbisik di dekat telingaku lembut. "Setiap masalah ada waktu penyelesaiannya sendiri-sendiri... Dek Max harus sabar dan kuat dalam menghadapi semuanya... One thing at a time... Setiap masalah pasti ada solusinya..."

Aku terdiam mendengar jawaban Pak Aswin.

"Peluk Max yang kuat dong, Pak..." ucapku ingin bermanja-manja pada Pak Aswin. "Max perlu pelukan yang kuat..."

"Manja banget sih, Dek Max..." ucap Pak Aswin tersenyum, lalu mengecup bibirku.

Sambil dipeluk, aku pun menyentuh-nyentuh tubuh kekar Pak Aswin. Pak Aswin cuma tersenyum melihat kenakalanku.

"Setelah kejadian dengan Pak Aldy itu, kalau Pak Aswin lagi kepingin sama laki-laki, gimana caranya?" tanyaku menyelidik sambil memainkan nenen Pak Aswin yang menggemaskan itu dengan jari-jari tangan serta mulutku.

Agak lama dia terdiam mendengar pertanyaanku itu. Mungkin, menjawab pertanyaan-pertanyaan sulitku itu tidak bisa cepat ketika aku juga memainkan titik-titik sensitif di tubuhnya.

Akhirnya, sambil merem-melek, Pak Aswin menjawab, "Sulit sih memang..."

"Sulit bagaimana?" tanyaku sambil lidahku terus memanjakan puting Pak Aswin.

"Kalau untuk sekedar kebutuhan seks, sebenarnya banyak yang mau. Tapi, Bapak lebih senang dan merasa aman melakukannya dengan orang yang saya kenal... Yang sehat dan bersih serta baik. Ya seperti Dek Max ini..."

Aku terdiam menyimak penjelasannya.

"Lagian, Bapak juga tidak lama kemudian menikah..." katanya lebih lanjut. "Bapak enggak mau cari masalah..."

"Memangnya Pak Aswin yakin bahwa Max orang yang baik? Dan Max tidak akan menimbulkan masalah?" tanyaku sambil tertawa ringan. "Kan Max juga kenal keluarga Bapak... Kok Bapak nekat banget..."

Pak Aswin menjawab sambil tersenyum, "Sudah pasti kok. Dan Bapak kan bisa melihat dengan mata tua Bapak yang berpengalaman menilai orang ini..."

"Memangnya Bapak sudah tua?" lagi-lagi aku tertawa dan mencoba menggodanya.

"Umur sih boleh tua. Tapi, untuk urusan hasrat dan berahi, boleh dibuktikan!" sahutnya tak mau kalah.

"Kemauan apa kemaluan, Pak?" ucapku meledek sambil semakin menggodanya.

Pak Aswin tergelak-gelak mendengar candaku. Tubuhnya lalu condong ke arahku dan berbisik, "Memang mau dibuktikan lagi, hmm?"

Suaranya pelan dan kebapakan. Aku diam tak bereaksi.

Bibir Pak Aswin lalu menciumku lembut, "Mau dibuktikan lagi?"

Dia mengulang pertanyaannya di sela-sela kecupan. Aku tak menjawab tapi malah membalas sentuhan-sentuhan bibirnya yang hangat itu. Kupeluk lehernya dan kami akhirnya tenggelam dalam ciuman yang mesra...

Pak Aswin langsung beringas dan menaiki tubuhku. Dia mengecup bibirku kasar sambil napasnya menggebu-gebu.

Ilustrasi: Pak Aswin

"Hmmm... Adek jangan meremehkan Bapak gara-gara usia Bapak lho..."

"Lho, bukan begitu, Pak..." kataku sambil tertawa melihat perubahan sikap Pak Aswin yang ingin tampak jantan perkasa di depanku.

"Bapak juga pengen keluar juga... Sama seperti Dek Max aslinya..." ucapnya di sela-sela pagutan nakalnya ke bibirku. "Tetapi, Bapak pikir Adek habis orgasme... Jadi, Bapak kasih waktu istirahat..."

"Max enggak mau istirahat, Pak..." kataku nakal sambil memagut mulut Pak Aswin lebih liar. "Max juga mau pejuh Pak Aswin..."

Aku langsung mengatur diriku sedemikian rupa agar bisa bangkit dan menindih balik tubuh Pak Aswin. Tapi belum juga kuperoleh posisi yang enak, tubuh Pak Aswin yang gempal itu langsung menindih dan menggeluti tubuhku lagi dengan bersemangat. Pak Aswin tampaknya bernafsu sekali... Aku hanya bisa memeluknya erat-erat. Kubelitkan kakiku ke pinggangnya, seolah-olah ingin merengkuh seluruh tubuhnya yang kencang dan padat itu. Lama kami saling bergulat seperti itu. Mulut Pak Aswin benar-benar liar dan nakal. Bibir itu terus menghisap apa saja yang ditemuinya. Lidahnya pun menjilat-jilat bibirku penuh nafsu. Sesekali, dia menggigit nakal di bagian-bagian tertentu tubuhku yang cukup sensitif. Nafasnya ngos-ngosan, tetapi itu tidak berusaha menghentikan serangannya.

Pak Aswin memang termasuk laki-laki yang sudah berumur. Tapi latar belakang kehidupannya yang selalu berhubungan dengan kemiliteran dan olahraga tampaknya telah memberi pengaruh positif pada penampilan fisik dan kebugaran tubuhnya. Penampilannya selalu tampak segar dan energik. Badannya masih tegap dan gagah, serta perutnya yang masih six pack dan membuat aku semakin bernafsu padanya. Untuk orang seumur dia, aku berani memberinya nilai sempurna untuk segi fisik. Belum lagi dia punya wajah yang ganteng. Dia juga menjaga penampilannya dengan memakai parfum setiap aku bertemu dengannya. Kalau bisa cukup beruntung merasakan cumbuannya, Pak Aswin juga memiliki aroma napas yang harum dan menggiurkan.

Kini, kulihat Pak Aswin sesekali mengusap keningnya yang mulai ditumbuhi titik-titik keringat. Sambil memagut bibirku, tangannya tidak henti-hentinya meremas-remas milikku di bawah sana. Remasan tangan itu semakin lama makin terasa lengket, entah karena sudah hilang kelembabannya atau barangkali sudah tercampur oleh lendir bening yang mulai keluar dari kemaluanku dan dirinya. Tapi, kelengketan itu justru menimbulkan sensasi tersendiri. Rasanya kesat tapi nikmat. Ditambah lagi, dengan gerakan jari-jari Pak Aswin yang ternyata cukup terampil dalam memijat-mijat, bibirku tak henti-hentinya dipagut dengan sangat nikmat.

Kedatanganku di sini adalah untuk melupakan perselingkuhan Ko Maverick padaku. Rasa sebalku perlahan-perlahan menghilang. Mungkin, kesedihan mencair karena kemesraan yang diberikan Pak Aswin. Hari-hari kemarin yang penuh emosi untuk sementara dapat aku lupakan. Kulupakan apa yang Maverick lakukan padaku. Kulupakan dia dengan segala keberadaannya untuk sesaat. Kulupakan Maverick karena bibir Pak Aswin kini mulai menelusuri leher dan telingaku. Dan aku makin lupa karena bibir Pak Aswin kini telah sampai ke bagian dadaku dan kemudian menghisap pucuk puting susuku. Aku menggelinjang karena rasa nikmat yang ada.

Dan ketika hisapan itu berpindah ke wilayah sensitif di sekitar bawah perutku, maka segala tentang Maverick pun benar-benar tak bisa kuingat lagi. Karena di benakku kini hanya ada rasa nikmat yang sangat tinggi yang diciptakan oleh mulut Pak Aswin di bawah sana. Apalagi, dia tak hanya mengisap, tapi juga menjilat, dan selalu diakhiri dengan sedotan yang kuat. Suara desahan dan lenguhan protes yang keluar dari mulutku tak digubrisnya. Akhirnya, kubiarkan saja dia melakukan apa saja yang ingin dilakukannya di bawah sana.

Pikiranku kembali berkecamuk bahwa Pak Aswin sudah lama tak melakukan kegiatan oral seks seperti ini. Bukan hanya karena istrinya tak mau melakukan kegiatan itu. Tapi, Pak Aswin juga tampaknya tak pernah atau sudah lama tak melakukannya kepada laki-laki lain. Alasannya, karena saat ini dia tampak sangat lapar dan benar-benar melahap kontolku dengan membabi buta. Kedua kakiku sampai kewalahan karena terus dicengkeram olehnya, agar aku tak menendang-nendang akibat kegelian.

"Sudah.. Pak.. Sudah.." kataku kembali meminta ampun.

Tapi, dia tetap tak menghiraukan. Bahkan, serangannya kini semakin ke bawah, mengarah ke kedua kantung pelirku. Aku tersentak ketika dia mulai mengulumnya. Akhirnya, aku hanya bisa pasrah. Aku cuma berdiam dan menutup mata. Kucoba untuk menikmati dengan khidmat segala yang dilakukan lidah Pak Aswin. Akhirnya, aku hanya bisa memberinya semangat dengan mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Rambutnya yang halus itu tampak awut-awutan dan basah oleh keringat. Aku tak tahu lagi bagaimana wujud kontolku kini selama 'dikunyah-kunyah' olehnya. Batang kebanggaanku itu pasti sudah basah belepotan air liurnya.

"Pak Aswin... Pak... Tolong, Pak..." kataku berusaha mencari perhatiannya.

Pak Aswin segera meninggalkan kulumannya pada kontolku. Dikecupnya selangkangan, perut, hingga dadaku. Lalu, dia memandangku dengan tatapan penuh nafsu. Napasnya menggebu-gebu sambil bibir manisnya mengecup bibirku sekali.

"Ada apa, Dek?" tanyanya dengan lembut nan kebapakan.

"Mari bercinta, Pak..." pintaku sungguh-sungguh.

"Bercinta?" tanyanya dengan lembut dan penuh pengertian. "Adek mau Bapak masukin lubang pantat Adek pakai kontol Bapak?"

"Iya, Pak..." kataku penuh harap, lalu meraih wajahnya ke bawah untuk mengecup bibirku.

"Bapak belum pernah..." ucapnya jujur. "Tapi kalau Adek mau, Bapak bersedia..."

"Adek mau dimiliki Bapak malam ini..." ucapku manja.

Pak Aswin tersenyum lembut. Dia kecup bibirku lagi, lalu kecupannya turun ke bawah. Entah apa maunya, dia sekarang mengecupi pahaku. Kecupan berubah menjadi jilatan, lalu tiba-tiba saja kakiku sudah terangkat. Wajahnya berada tepat di depan pantatku.

"Pak Aswin mau ngapain?" tanyaku bingung.

"Mau jilatin lubang Adek biar licin," katanya sambil memamerkan senyum kebapakan. "Kan lubang pantat itu kecil... Kalau dimasukin kontol, sakit kan pasti? Mau Bapak bikin licin biar sakitnya berkurang..."

"Bapak enggak jijik?" tanyaku merasa tidak enak. "Bapak kan belum pernah..."

"Adek lihat tubuh Adek ini..." katanya sambil menyentuh tubuh mulusku yang sudah polos di depannya. "Putih... Bersih... Wangi... Dari tadi, Bapak benar-benar menikmati setiap menyentuh... Mencium... Menjilat... Sekarang, tinggal pantat Adek yang belum Bapak rasakan... Bapak mau menikmati semua rasa di tubuh Adek..."

Mendengar kata-kata jujur dari mulut Pak Aswin, aku jadi lemas... Aku jadi ingin memberikan semuanya pada Pak Aswin...

"Bapak izin jilat pantat Dek Max, ya?"

"I-iya, Pak..." jawabku sambil menahan gejolak nafsu.

Ilustrasi: Pak Aswin

Aku pun mengantisipasi rasa nikmat yang akan datang dari lidah Pak Aswin. Pak Aswin mendekatkan wajahnya dan menjulurkan lidahnya... Lidahnya yang basah itu mulai menyentuh lubang pantatku... Tubuhku seperti tersetrum... Ternyata, dari sini, rasa nikmat semakin menjadi-jadi saja. Pak Aswin mulai menggelitik lidahnya yang nakal ke lubang pantatku yang haus dipuaskan. Lidah kenyal dan basah Pak Aswin menggelitik-gelitik liang senggamaku, membuat tubuhku bergetar-getar tak karuan.

"Pak... Enak, Pak..."

Kulihat Pak Aswin tersenyum melihat tubuh binalku kelojotan diberi kepuasan oleh lidahnya. Pak Aswin semakin membenamkan wajahnya di pantatku dan menjilati liang senggamaku lebih membabi buta.

"Pak... Arghhhh..." ucapku lirih, tidak bisa menahan rasa nikmat yang ada. "Satui tubuh Max, Pak..."

Pak Aswin segera melepaskan hisapannya dari lubang pembuanganku. Dia segera mendekatkan wajahnya ke wajahku dan melumat bibirku. Lidahku dia masukkan ke dalam mulutnya dan dia hisap. Aku mengerang tertahan. Lalu, dia ludahi tangannya agar basah untuk melicinkan kocokan tangannya. Tak kusadari, aku ikut membuka mulutku, mengharapkan curahan ludah Pak Aswin ditumpahkan padaku. Pak Aswin sibuk mengonani kontolnya agar siap dipakai.

"Ada apa, Dek?" tanya Pak Aswin kebingungan.

"Ludahi mulut Max, Pak..." jawabku dengan binal.

Ilustrasi: Maximilian

Pak Aswin terkekeh melihat tingkah liarku.

"Ada-ada aja Adek ini..." ucapnya, namun tetap mengikuti mauku.

Pak Aswin segera mendekatkan wajahnya ke depan wajahku, lalu meludahkan liurnya di dalam mulutku yang menganga. Ketika curahan liur segar Pak Aswin masuk ke dalam mulutku, aku merasakan kesegaran dan kenikmatan yang tak ternilai. Dadaku bergetar, dan kontolku mengacung.

{ SENSOR }

( UNTUK MEMBACA CERITA LENGKAP TANPA SENSOR, SILAKAN MEMBACA DI KARYAKARSA.COM/READING4HEALING ATAU MEMBELI VERSI PDF DI WHAT'SAPP 0813-3838-3995 / TELEGRAM: READING4HEALING )

[ ... ]


PANDUAN MEMBACA VERSI LENGKAP:

Salam Pembaca yang Budiman,

Jeremy Murakami datang dengan sebuah cerita baru nih. Kalian punya 3 opsi untuk membaca karya ini:

1. Melalui What'sApp ke 0813-3838-3995
Silakan mengirim pesan ke What'sApp tersebut dan melakukan pembayaran langsung via transfer Bank BCA / Mandiri yang akan disampaikan admin. File PDF akan dikirimkan melalui e-mail atau langsung via What'sApp, tergantung permintaan pembaca.

2. Melalui Telegram ke @reading4healing / https://t.me/reading4healing
Silakan mengirim pesan ke Telegram tersebut dan melakukan pembayaran langsung via transfer Bank BCA / Mandiri yang akan disampaikan admin.

3. Melalui KaryaKarsa
Nanti akan ada versi pdf yang wajib kalian download setelah melakukan dukungan, ya. Tolong langsung di-download karena menghindari ketidaknyaman di masa mendatang. Setelah di-download, file PDF itu sudah ada di ponsel Anda dan bisa dibaca kapan pun juga.
Pembaca bisa search di laman pencarian dengan ID: reading4healing.
Kalau pencarian dari aplikasi tidak bisa muncul, kalian harus membuka via web seperti Google Chrome atau Safari, lalu ketik karyakarsa.com/reading4healing dan follow terlebih dahulu. Setelah itu, kalian bisa membuka di aplikasi di bagian orang yang kalian follow.

Nama file di KaryaKarsa adalah: PSPKB_JM

Maaf apabila nama file dibuat singkatan. Ini agar menghindari pemblokiran akun KaryaKarsa terhadap cerita bertema dewasa.

Bila ada pertanyaan, bisa hubungi via What'sApp ke admin Reading4Healing di: 0813-3838-3995

Terima kasih atas dukungan & antusiasme pembaca sekalian dengan karya-karya saya selama ini.
Semoga pembaca sekalian mendapatkan kesehatan dan kelimpahan rezeki dari Tuhan yang melimpah.

Salam sayang,
Jeremy Murakami

Continue Reading

You'll Also Like

51.1K 1.5K 21
🔴Atypical marriage ff "can you massage my foot please its become swollen "---kim seokjin " i am not your servant "---jeon jungkook ❤️Marriage jinkoo...
1.7M 46.1K 91
When Jasmine Cooper runs into a drunk rapist, a man saves her. It is Xavier Ravarivelo, the billionaire Mafia whose bride left him at the altar. Jas...
609K 21.3K 51
For both the families, It was just a business deal. A partnership, that would ensure their 'Billionaire' titles. And to top it all off, they even agr...
580K 19.4K 27
Why were all the so-called normal guys, a**holes? Why couldn't she find a decent guy. Was something wrong with her? She knew her days of youthfulness...