Hanna

נכתב על ידי luckybbgrl

1.3M 98.4K 2.1K

18+ Kayla tidak tahu, bagaimana bisa prolog yang ia baca dengan yang teman-temannya baca dari salah satu web... עוד

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas🔞
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua

dua puluh dua

28.5K 2.6K 91
נכתב על ידי luckybbgrl

"GUE GAK GILA, REGAN!"

Hanna berteriak murka setelah mendengar kalimat halus Regan mengenai ia yang lebih baik menemui psikiater.

"Lo kira gue gila?" Hanna menatap berang Regan yang menatapnya serba salah.

"Enggak, Sayang. Gak gitu. Kam-"

"Kalo emang enggak, terus ngapain nyuruh gue ketemu psikiater?" Hanna semakin menatap tajam Regan yang kalimatnya harus terpotong akibat ucapannya.

"Hanna, dengerin dulu penjelasan aku," Regan memegang lengan Hanna, berusaha menenangkan gadis itu.

"LEPAS!" Hanna menepis tangan Regan, ia memilih menidurkan kembali tubuhnya dan segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Ia tidak ingin diganggu.

Hanna merasa kesal sebab baru beberapa saat ia bangun, ia dipaksa untuk makan. Tak berselang lama, cowok itu malah menyuruhnya untuk pergi menemui psikiater.

Ia tidak gila.

Ia hanya ingin kembali ke dunianya. Kembali ke tubuh Kayla dan bertemu orang tua serta kakaknya.

"Hanna, aku nyaranin kamu ketemu psikiater bukan karena nganggep kamu gila, enggak. Aku takutnya kamu ada masalah yang gak berani atau gak pengen kamu ceritain baik ke aku atau Bunda. Seenggaknya, dengan kamu ketemu psikiater kamu bisa cerita masalah kamu tanpa ngerasa khawatir. Aku takut kamu stres karena banyak pikiran, Han," Regan menatap sosok berbalut selimut itu sendu.

"Aku gak sanggup kalo harus lihat kamu berusaha nyakitin diri sendiri apalagi liat kamu mau ngehilangin nyawa kamu sendiri, Han," Hanna di balik selimut itu sedikit goyah mendengar perkataan Regan yang terdengar putus asa.

Cowok yang senantiasa menatap selimut yang bergerak halus pertanda bahwa di dalamnya ada sosok manusia itu menghela nafas.

"Emangnya kamu mau mendem semua masalah kamu sendirian terus?" Regan masih berusaha terus membujuk.

"Kalau enggak, kamu cerita aja ke aku atau Bunda. Gak usah ke psikiater. Gimana?"

Hanna menghela nafas, sedari tadi ia menimbang apakah memang perlu ia bertemu dengan psikiater?

Ia memang ingin bebas menceritakan hal yang ia alami pada seseorang. Tentunya Regan adalah list terakhir yang menjadi pilihannya mengingat cowok itu adalah karakter yang berbahaya untuk Hanna asli.

Meski cowok itu tampak baik padanya, ia tidak tahu di dalamnya bagaimana.

Tapi, ia takut jika psikiater yang ia temui bukannya mempercayainya malah menganggap ia gila.

Karena ia tahu, apa yang ia alami adalah satu hal mustahil yang sulit diterima nalar manusia.

Dengan perlahan, Hanna mendorong selimutnya hingga menampakkan bagian atas tubuhnya. Ia melirik ke arah Regan dengan waspada.

"Iya, aku mau," gumamnya pelan.

Regan yang tidak cukup jelas mendengar gumaman itu mengerutkan keningnya penasara.

"Kenapa?"

"Iya, aku mau ketemu psikiater," lirihan yang lebih jelas terdengar, mengundang senyuman lega di bibir Regan.

••••

"Hanna?"

Gadis yang baru saja masuk ke dalam ruang psikiater anak dan remaja itu tersenyum menanggapi kala namanya disebut.

Melihat itu, sosok dokter berumur 26 tahun–Hanif mempersilahkan duduk.

"Iya, Dok," gadis itu menjawab setelah duduk di kursi konsultasi.

"Apa ada yang mau kamu ceritakan?" pertanyaan kelewat ramah bak sudah kenal sebelumnya mengundang kerutan di dahi Hanna.

Hanya perasaannya saja yang merasa bahwa dokter di depannya ini seolah sudah mengenal Hanna, atau memang seperti ini cara psikiater memulai percakapan sebelum konsultasi?

"Ada, Dok," Hanif mengangguk paham. Ia mengubah posisi duduknya membuat tubuhnya lebih condong ke depan.

"Bisa kamu ceritakan ke saya?" pertanyaan bernada antusias itu terdengar begitu halus di telinga Hanna.

"Dokter, sebelum saya ceritain semuanya, saya cuma mau bilang kalau mungkin cerita saya gak begitu bisa diterima logika, tapi tolong percaya saya dan jangan anggap saya gila," Hanif mengerutkan keningnya bingung mendengarnya.

"Baik, silahkan ceritakan. Saya mau dengar," Hanna menarik nafas mendengar kalimat itu.

"Dokter, saya bukan Hanna. Saya sebenernya Kayla," kening Hanif mengerut, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud gadis di depannya.

"Saya sebenernya Kayla, Dok. Nama saya Kayla Ayu Dewi. Saya suka banget baca cerita online, salah satunya yang terakhir saya baca judulnya 'Agista'. Di cerita itu diceritain bagaimana Regan dan Agista yang saling jatuh cinta. Sedangkan Regan yang udah tunangan sama Hanna, akhirnya lebih memilih Agista. Saya gak baca ceritanya sampai selesai, Dok. Tapi sejauh yang saya baca, Hanna akhirnya mati di tangan Regan karena kesalahpahaman," Hanna menatap dalam Hanif, menunggu reaksi dokter psikolog itu merespon ceritanya.

"Heem, ada lanjutannya lagi?"

"Setelah saya baca sebagian ceritanya, saya jatuh dari tangga. Setelah itu bangun-bangun saya sudah ada di tubuh ini, tubuh Hanna. Saya masuk ke tubuh tokoh novel yang akhirnya mati di tangan tunangan saya, Dok," Hanna menatap Hanif meminta dukungan.

"Oke, baik, Hanna. Eh, apa perlu saya panggil Kayla?" tanya Hanif yang kemudian di jawab gelengen oleh Hanna.

"Hanna aja, Dok."

"Oke, Hanna. Apa bisa kamu menceritakan sedikit lebih detail tentang kehidupan kamu sebagai Kayla?" Hanif menatap penasaran Hanna, yang ditatap mengangguk.

"Saya anak kedua dari dua bersaudara, Dok. Bisa dibilang, saya anak bungsu. Mama sama Papa saya cukup bawel, tapi saya tau kalau mereka sayang banget sama anak-anaknya. Kakak saya cowok, kami selisih empat tahun, kakak agak ngeselin tapi dia perhatian banget sama saya. Temen-temen sering iri sama kondisi keluarga saya yang bisa dibilang keluarga cemara," Hanna terkekeh pelan.

"Kadang kalau teman-teman saya menyebut keluarga saya keluarga cemara, rasanya senang, Dok. Tapi di sisi lain saya ngerasa kasian juga sama teman-teman saya yang mungkin kurang beruntung perihal keluarga," Hanna mengubah raut wajahnya jadi sendu.

"Di sekolah saya punya tiga teman dekat si, Dok. Kami sama-sama suka baca novel dengan genre yang hampir mirip. Saya baca cerita 'Agista' itu juga dari temen saya itu. Terus, selain hobi baca cerita online saya juga suka tidur. Kadang sampe Mama saya ngomel-ngomel kalau saya tidur mulu," Hanna terkekeh pelan lagi.

Perubahan ekspresi Hanna selama menceritakan kehidupannya sebagai Kayla tak lepas dari perhatian Hanif.

Dokter Hanif mengangguk setelah dirasa Hanna cukup menceritakan mengenai kehidupannya ketika menjadi Kayla.

"Jadi Kayla, bahagia sekali, ya?" pertanyaan itu sempat membuat Hanna tertegun.

"Iya, Dok," jawab Hanna akhirnya dengan senyuman sedih.

"Lalu, boleh saya tahu tangan kamu itu kenapa?" Hanna mengikuti arah mata Hanif yang tertuju pada pergelangan tangan bagian dalamnya yang terplester.

"Bekas infus, Dok," Hanif tertawa pelan mendengarnya.

"Saya ini dokter, Hanna. Meskipun spesialis kesehatan mental. Saya tahu jelas yang mana bekas infus dan bukan," Hanna mengulum bibirnya, kemudian menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Self-harm?"

Hanna diam.

"Saya pengen mati, Dok."

"Boleh saya tahu alasannya?"

Hanna mendongak, menatap lurus mata Hanif yang juga menatapnya penasaran.

"Sebelum saya siuman setelah kepala saya bocor, saya bangun di tubuh Kayla, Dok. Saya sempat lihat Mama, Papa, sama Kakak saya," Hanna menunduk merasakan matanya yang memanas.

"Tapi cuma sebentar, hiks. Setelahnya saya ngerasain tubuh saya kejang sebelum akhirnya kembali bangun di tubuh ini, Dok," bahu Hanna bergetar, isakan mulai terdengar.

Perasaan sedih mengingat bagaimana wajah kedua orang tua dan kakaknya yang tampak khawatir kembali menyeruak masuk ke hatinya.

"Saya pikir... hiks. Saya bisa balik ke tubuh Kayla lagi jika saya mati."

Hanif berdiri, tangannya mengelus pelan punggung rapuh gadis itu dengan tangan lainnya yang menyodorkan sapu tangan.

Hanna meraihnya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk mengelap air mata dan juga ingusnya.

"Tenangin diri kamu dulu, Hanna."

Cukup lama hening, akhirnya Hanna kembali tenang. Hanif yang telah duduk di kursinya lagi kini menatap Hanna dengan senyum hangat.

"Apa kamu percaya sebuah kebetulan?"

Hanna yang mendapat pertanyaan tiba-tiba itu mengerut heran.

"Saya... kurang yakin, Dok," Hanif tertawa pelan mendengar jawaban Hanna.

"Saya simpulkan kalau kamu tidak percaya, ya? Jawaban kamu terdengar ragu-ragu. Kalau kamu memang percaya, kamu akan menjawab kalau kamu percaya," Hanna tersenyum canggung mendengarnya.

"Hanna, kamu mau dengerin perkataan saya?" Hanif menatap serius ke arah gadis di depannya.

Hanna yang mendapatkan tatapan serius itu mengangguk ragu.

"Hanna, kamu boleh percaya apa yang kamu alami. Begitu juga saya, saya percaya dengan apa yang kamu ceritakan. Tapi, tolong jangan hanya melihat kondisi yang kamu alami dengan sudut pandang kamu saja," Hanna mengerutkan keningnya mendengar perkataan Hanif.

"Dunia ini bekerja pasti ada alasan dan tujuan di baliknya. Kamu sendiri, tidak percaya pada kebetulan, kan?" Hanif menatap dalam netra Hanna yang tampak bertanya-tanya.

"Begitu juga dengan apa yang kamu alami, pasti ada alasan dan tujuannya, Hanna," Hanif tersenyum penuh makna. "Mungkin untuk sekarang kamu tidak tahu apa alasan dan tujuannya. Tapi, saya yakin jika kamu terus berusaha untuk mencari alasannya, kamu pada akhirnya pasti akan tahu. Semua hanya soal waktu."

Dapat terlihat jelas wajah Hanna menunjukkan kebingungan dan rasa penasaran yang membuncah.

"Pelan-pelan saja. Kamu akan lebih mudah mencari tahunya jika ada di tubuh Hanna. Jadi, tolong hidup yang lama di tubuh Hanna, ya?"

To be continue...

•••••

alhamdulillah wasyukurillah
sy ingat untuk update

beri aplause untuk sy👊🏻
trima kasi, trima kasii

המשך קריאה

You'll Also Like

4.9M 382K 41
-jangan lupa follow sebelum membaca- Aster tidak menyangka bahwa pacar yang dulu hanya memanfaatkannya, kini berubah obsesif padanya. Jika resikonya...
8.3K 558 23
Kannaya Clava Eloise hanya siswi biasa. Tidak populer, tidak begitu pintar, dan tidak begitu cantik. Cenderung suka berdiam diri di perpustakaan samb...
998K 93.9K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
1.7M 88.2K 39
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...