My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 172K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 29

49.1K 3.7K 24
By jingga_senja_

"Idih! Kesambet bidadari dari mane lo, ha? Sampai dengan berbesar hati ngomong begitu sama si cecunguk?"

"Namanya Lova, Vi, ah! Lo mah sering banget ngatain orang sembarangan!"

Via mendelikan matanya ketika Rosa menegurnya. Apa pedulinya? Terserah dia mau memanggil orang dengan apa saja.

Tatapannya kembali fokus pada Mima, dimana saat ini mereka bertiga tengah menikmati dua box ayam goreng di apartemen wanita itu. Katanya itu sebagai traktiran karena Mima sudah resmi berpacaran dengan Arlan. Mima tidak lupa jika kesuksesan dalam menjalin hubungan sampai berhasil gol, ada bantuan dua sahabatnya juga.

Meskipun Via sempat julid, katanya pacar kaya kok traktirannya cuman ayam goreng, tapi dia makan paling banyak. Dasar busung lapar tak tahu malu dia.

Mima meletakan tulang ayam kesekiannya pada plastik. "Gini-gini gue tuh masih mikirin masa depan orang. Lagian gue juga baik-baik aja. Si Lova gue liatnya dia masih muda, masih panjang masa depannya. Kasian kalo ada gelar mantan narapidana," terangnya pada dua sahabatnya itu, terutama Via yang ngotot tidak terima dengan tindakan Mima yang begitu mudah memaafkan Lova.

"Tapi lo nyaris mati digigit tikus, Ma! Jelas itu bukan hal sepele!" Rosa mencuri ayam dari tangan Via dan langsung melahapnya ketika si pemilik masih sibuk mendumal.

"Konyol banget kesannya gue kalo mati digigit tikus! Si Lova lakuin itu juga bukan atas kemauan dia juga, tapi disuruh tuh sama si Nyi Blorong!" Via dan Rosa saling memandang satu sama lain disertai kernyitan dalam di dahi mereka.

"Nyi Blorong?"

"Bu Bella! Waktu itu gue sempet debat sama dia. Dia nyuruh gue buat jauhin Pak Arlan, mana mau lah gue. Orangnya posesif gue! Mungkin karena itu dia marah terus mancing Lova yang pada dasarnya udah gak suka sama gue, buat lakuin itu. Jadi, gak sepenuhnya salah si Lova, kan?"

"Gue baru inget kalo Bu Bella itu kenal Pak Arlan udah lama, kan? Mereka pernah ada something atau apa gitu? Keliatannya mereka kayak canggung juga sekarang," seloroh Rosa membuat Mima terdiam sejenak.

Kalau Mima menceritakan bahwa pernah ada cerita kurang enak diantara Arlan dan Bella, rasanya kurang etis. Itu kan sudah ranahnya Arlan kalau mau menjelaskan. Lebih baik dia pura-pura tidak tahu saja.

"Gak tau. Gue gak peduli juga!" celetuknya dan menggragas ayam goreng pedasnya lalu bergumam penuh kenikmatan.

"Jangan sok gak peduli-peduli gitu lo, bisa aja Bu Bella itu akan jadi bibit-bibit pelakor lo di masa depan!"

"Enggak ya! Gue lebih percaya sama Pak Arlan."

Via mengangkat sudut atasnya dan bereaksi seolah dia ingin muntah. "Sekarang aja bilangnya lo percaya, lupa lo kemaren nangis-nangis gegara Pak Arlan gendong si cecunguk? Sini gue getok pala lo pake remot!" Mima terbahak, kalau diingat-ingat lagi juga Mima malah malu sendiri.

Tapi kan sekarang sudah lain ceritanya. Dan fiks, bahwa itu hanya kesalahpahaman semata.

Bel berbunyi saat Mima mengangkat sampah makanan bekas dia dan kedua temannya, yang sekarang sudah pulang ke rumah masing-masing setelah membuat kekacauan di apartemennya. Dalam sekejap letihnya hilang ketika mendapati Arlan datang mengunjunginya sambil tersenyum lebar, dan merentangkan tangannya membuat Mima langsung berhambur ke pelukannya.

"Eh, tapi aku kotor---"

"It's okay ... Aku juga baru pulang dari kantor. Aku gak nyangka bakalan sekangen ini!" Mima tertawa geli mendengar ucapan Arlan, pria itu sampai mencium ubun-ubunnya kuat, seperti vacum cleaner.

Mima lantas menarik pria itu untuk masuk, sehingga Arlan disuguhkan dengan pemandangan yang berbeda dari terakhir dia datang ke apartemen Mima. Posisi sofa dan meja yang berubah, serta beberapa tumpuk kardus berisi barang-barang wanita itu menjadi pusat perhatiannya.

"Aku tadi abis beresin barang-barang. Gabut soalnya gak dibolehin masuk kerja dulu."

Arlan mengelus puncak kepala Mima. "Kan masih belum sehat." Wanita itu mendengus mendengar penuturan Arlan, yang seolah-olah sedang memperlakukan orang sakit.

"Aku baik-baik aja, ih! Aku gak sakit."

"Alright, tapi aku tetep maunya kamu istirahat dulu. Seenggaknya masih syok, kan? Lebih baik tenangin diri dulu, setelah bener-bener tenang, baru masuk kerja lagi. Oke, sweetheart?" Mima mengulum bibirnya menahan senyum, salah tingkah sekali mendengar Arlan memanggilnya begitu.

Arlan menatap Mima dengan lekat untuk beberapa saat, mengusap lembut pipi wanita itu membuat Mima mengembangkan senyumannya. "Kamu gak perlu khawatir lagi sekarang," ucapnya dengan pelan.

"Tapi tetap aja, Pak. Aku rada sakit hati kalo dipikir-pikir lagi. Kok ada orang yang jahat banget sampe perlakuin aku begitu? Ya, aku tahu kalo aku emang suka gosipin Lova, tapi kabar yang aku bawa juga selalu sesuai fakta dan gak sampe buat nama baik orang jadi jelek, kok ---jelek dikit, sih." Mima membalas tatapan Arlan membuat pria itu terkekeh pelan.

"Kamu gak perlu pikirin itu. Selagi ada aku, aku pastiin kamu akan baik-baik aja dan hal seperti ini gak akan terulang lagi. Aku janji."

"Terus, Bu Bella gimana?" Arlan menggelengkan kepalanya.

"Dia juga udah aku urus. Gak usah pikirin dia."

Mima sedikit khawatir sekarang. Bella bukan orang yang akan menerima kekalahannya begitu saja, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang lebih mengerikan lagi?

Menyadari raut wajah kekasihnya yang terlihat cemas sampai menggigit bibirnya sendiri, Arlan langsung menghentikan kebiasaan buruk wanita itu dengan menekan bibir bawah Mima, membuat sang empu menunduk.

"Dia gak akan bisa berbuat sejauh itu. Aku tau dia punya tali kekang yang gak bisa dia lepas, Jemima." Tiap sudut bibir Mima tertarik tipis. Ya, harusnya dia tidak perlu memikirkannya disaat Arlan sudah mengurus hama satu itu kan?

"Terus, Lova gimana?" Arlan menghembuskan napasnya kasar.

"Kamu maunya gimana? Aku ada pikiran buat ngajuin pemberhentian---"

"Jangan!" Potong Mima cepat membuat Arlan menautkan alisnya.

"Why? Dia udah melakukan tindakan kejahatan loh, dan mungkin aja hal seperti terulang lagi." Iya sih, tapi apa tidak berlebihan dengan memberhentikan anak yang sebentar lagi masa magangnya habis?

Mima menggigit bibir dalamnya lalu memasang senyum tipis. "Tapi kan Lova disuruh, Pak. Secara gak langsung dia juga pasti dapat ancaman, 'kan? Misalkan dia dipecat itu gak akan adil karena orang yang nyuruh dia masih berkeliaran di kantor."

"Jadi, kamu gak mau dia diberhentikan? Setelah apa yang kamu alamin?" Mima menggeleng dengan penuh keyakinan.

Melihat itu Arlan hanya bisa pasrah dan menurut. Toh, Mima yang lebih berhak menentukan juga mau diapakan tersangka yang sudah mencelakainya. Kalau Arlan yang menjadi korban, sudah pasti Arlan tak akan mengampuninya.

"Okay. As you wish, Queen!"

Arlan kembali mengecup dahi Mima dan menggesekkan hidung mereka membuat si wanita tertawa geli.

"Bisa stop gak, panggil aku 'Bapak'?"

Kedua alis Mima menukik seketika. "Ya harusnya apa? Aku kan udah kebiasaan manggilnya Bapak," jawab Mima dengan sedikit terbata. Posisi ini masih terasa canggung baginya.

"Tapi aku berasa dipanggil sama anak aku sendiri kalo kamu manggilnya 'Bapak' begitu!" Kali ini Mima dibuat tertawa karenanya.

Perlahan ia memberanikan diri untuk mendongak dan menatap wajah Arlan dengan lebih dekat.

"Terus? Kamu mau aku panggil apa?" Arlan berdeham panjang, terlihat memikirkan panggilan apa yang cocok bagi mereka berdua.

"Apa aja selain 'Bapak'."

Mima mengernyitkan dahinya dalam sebelum akhirnya satu ide muncul dalam otaknya. "Mas? 'Mas' aja gimana?" tawarnya, yang langsung mendapat pertimbangan dari Arlan.

"Mas?" beonya, Mima mengangguk.

"Mas Arlan." Arlan terdiam seraya memandang lekat wajah Mima, panggilan yang baru saja Mima berikan padanya membuat hatinya terasa hangat.

Pria itu lalu mengangguk. "Sound good. Aku suka." Seketika Mima tercengir.

"Okay, aku bakalan manggil kamu Mas Arlan. Tapi, kalo di kantor tetap aja manggilnya bakalan Bapak."

Mata pria itu melotot seketika, "Whyyy?" Arlan bertanya dengan nada merengek membuat Mima mendelik ke arahnya.

"Kenapa enggak? Kita harus tetep profesional dong, Mas!"

Wanita itu memainkan dasi di leher Arlan dan mendengus ketika mendapati wajah cemberut si pria.

Ya Tuhan, apakah sebelumnya Arlan selalu bersikap begini?

"Apa? Kenapa mukanya jelek begitu? Ngambek?" celoteh si wanita membuat Arlan merotasikan bola matanya.

Ketika Mima melangkah menjauh, Arlan pun membuntuti wanita itu. "Padahal gak masalah kalo aku dipanggil Mas di kantor."

"Kan aku bilang, profesional, Mas Arlan! Lagian kalo diluar kantor kan manggilnya biasa lagi," omel Mima.

Arlan hanya menghembuskan napas kasar dan mengangguk pasrah. Setelah meletakan semua mangkuk ke atas meja, Mima lalu berbalik dan memegang kedua pipi Arlan.

"Kamu tau 'kan kalo sekarang-sekarang ini orang di kantor lagi sensitif sama aku?" Sontak Arlan mengangguk. "... Makanya, kita jangan terlalu nunjukin juga kalo kita itu spesial. Bukan menutupi, kalo ada yang tanya kita bisa jawab jujur. Tapi ada baiknya,  kita gak perlu gembar-gembor hubungan ini demi menghindari hal yang gak di inginkan. Aku juga gak mau nanti mereka mikirnya Mas banyak bantu aku karena Mas ada rasa sama aku ---ya, walaupun itu bener. Untuk meminimalisir hal negatif. Ya, Mas?" Mima memasang wajah semanis mungkin sambil mengedipkan matanya dua kali.

Kalau sudah begini mana bisa Arlan merajuk lebih lama. Lagian apa yang dikatakan Mima juga masuk akal, meski Arlan ingin menunjukan pada orang bahwa Mima adalah kekasih, dan tidak boleh ada yang macam-macam. Mereka tetap harus memikirkan kemungkinan buruknya juga.

Setiap sudut bibir Arlan perlahan tertarik dan menghasilkan sebuah senyuman manis, satu hal yang paling Mima sukai dari Arlan adalah senyumannya. Pria itu memegang tangan Mima di pipinya dan mengecupnya.

"Aku ngerti."

Mima tersenyum puas, ia percaya pada Arlan dan pria itu juga bukan tipe yang sembrono dal bertindak. Keduanya saling menatap untuk waktu yang lebih lama, Arlan yang memeluk pinggang Mima dan wanita itu tidak mempermasalahkannya. Toh, sepertinya Mima sudah mulai nyaman dengan love language Arlan yang psychal touch itu. Mereka sudah sama-sama dewasa dan tahu konsekuensinya.

Arlan perlahan mendekatkan kembali wajahnya pada wajah Mima, tatapannya kini mengarah pada bibir plumpy sang kekasih yang terlihat mengkilap karena lipgloss yang sebelumnya Mima pakai.

Apakah rasanya akan semanis kelihatannya?

Kedua kelopak mata Mima tertutup, bersiap untuk menyambut apa yang telah tercetus dalam pikirannya, mengeratkan pelukannya pada leher Arlan untuk bersiap-siap.

"Mima?!" Sebuah suara cempreng yang tak asing sukses mengagetkan sepasang anak manusia tersebut, hingga mereka refleks melepaskan diri satu sama lain dan menatap dengan melebar ke arah seorang wanita paruh baya yang berdiri di seberang.

Mima menelan salivanya yang mendadak terasa keras hingga seperti menelan batu. Sedangkan Arlan yang dilanda kebingungan, menatap Mima dengan mata menyipit.

Hingga satu kata yang lolos dari mulut Mima berhasil membuat jantung Arlan mencelos. "Mama?"

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 9K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
118K 13.7K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...
1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
1.9M 91.7K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...