Our Destiny . JoongHwa

By WinterCreamm__

5.7K 893 494

Ketika takdir kembali mempertemukan. Akankah kisah cinta ini bisa dilanjutkan? . "Kau kenal aku?" "Kamu tidak... More

Satu - Ingatan
Dua - Tunangan
Tiga - Hari Pertama
Empat - Hari kedua
Lima - Hari ketiga
Enam - Hari Keempat
Tujuh - Hari kelima
Delapan - Hari keenam
Sembilan - Perpisahan
Sepuluh - Hongjoong dan San
Sebelas - Jawaban
Dua belas - Ingatan
Tiga belas - Pilihan
Empat belas - Takdir yang sudah digariskan
Lima belas - Reuni
Enam belas - Pembicaraan
Delapan belas - Hari pernikahan (last)

Tujuh belas - Kembali ke Pulau

270 43 19
By WinterCreamm__

Satu bulan berlalu sejak pertunangan Hongjoong dan San dibatalkan, San masih sesekali berkunjung, Hongjoong pun sebaliknya, tetapi akhir-akhir ini San tengah sibuk meniti karirnya ke jenjang yang lebih luas.

Lukisannya telah diakui bahkan mempunyai galery yang pengunjungnya meningkat setiap tahun, tetapi San ingin mengembangkan sayapnya lebih jauh lagi sampai ke tahap internasional, sehingga San berencana bersekolah di luar negeri sembari memperkenalkan lukisannya.

Hongjoong dan Seonghwa pun ikut membantu, ada salah satu seniman terkenal yang berasal dari pulau, Seonghwa telah memperkenalkannya pada San. Seniman tersebut pun mengakui kemampuan San dan memberinya beasiswa untuk bersekolah di Institute Seni pribadinya. Rencananya, San akan bertolak pergi lusa nanti.

Hongjoong dengan Seonghwa saat ini tengah melakukan hubungan jarak jauh, Seonghwa telah kembali ke pulau seminggu selepas pertunangan Hongjoong dan San dibatalkan. Hongjoong sendiri ada rencana kembali ke pulau minggu depan.

Tidak bisa dadakan karena di sini ia memiliki kehidupan, orang tua, juga pekerjaan, tidak bisa ia tinggalkan begitu saja, harus ada prosedur perpindahan dan izin berhenti bekerja.

Sejauh ini, ia dan Seonghwa berhubungan lewat panggilan video, Hongjoong telah mendapatkan ponsel buatan pulau sehingga mudah berhubungan. San yang ingin berhubungan dengan Seonghwa pun didaftarkan nomor seri ponselnya, sebagai ponsel buatan luar yang legal dan bisa berhubungan dengan warga pulau.

Ini merupakan hak istimewa yang diberikan kepada orang-orang tertentu saja, dengan pengawasan ketat tentunya, jika ada aktifitas mencurigakan sedikit saja yang akan menyebabkan informasi pulau tersebar, akan langsung terputus koneksinya dan hilang semua bekas percakapan, foto, atau apa pun yang bisa dijadikan bukti.

Yang artinya tak ada privasi, semua aktivitas dipantau dua puluh empat jam, San tidak keberatan dan menerima semua syarat tersebut, sehingga meskipun ponselnya bukan buatan pulau, San tetap bisa berhubungan dengan Seonghwa.

Jika ada yang bertanya kenapa tidak diberikan ponsel pulau saja? Jawabannya karena San bukan penduduk pulau dan tidak ada kerabat yang tinggal di pulau, serta tak ada alasan bagi San untuk menjadi penduduk pulau, sehingga pemberian ponsel dilarang, karena barang tersebut dikhususkan untuk penduduk pulau saja.

Namun, jika pun suatu hari nanti San ingin menjadi bagian dari pulau, berpindah negara, dan memiliki rumah di sana, maka semua hak-hak penduduk pulau akan diberikan pada San.

📱📞"Semua persiapan sudah selesai, kamar dan kebutuhan San di sana, semuanya sudah tersedia," lapor Seonghwa, "bagaimana dengan San, apa sudah selesai berkemas?"

Hongjoong mengangguk. "Aku baru saja pulang setelah memebantunya berkemas. Semua barang penting sudah dikemas rapi, mungkin hanya tersisa beberapa barang tambahan atau snack untuk di perjalanan."

📱📞"Aku ada rencana bertolak ke Korea untuk mengantarnya, tetapi dengan kondisi kita itu cukup sulit, satu bulan belum lama, aku tak ingin kehadiranku merusak hubungan baik yang berusaha kalian pertahankan,

📱📞"Untuk itu, aku hanya mengirimkan hadiah untuknya, seharusnya besok sudah sampai. Tolong beritahu aku apakah nanti San menyukai hadiahku atau tidak,

📱📞"Sejujurnya aku agak gugup, bingung memilih hadiah apa yang sekiranya berguna, semoga pilihanku benar."

"Tentu, aku akan memberitahumu nanti, jangan khawatir, San pasti akan menyukai hadiah apa pun yang kamu berikan," hibur Hongjoong, ia berkata jujur, selama hadiah itu dari orang yang San sayang, apapun bentuknya, pasti akan disimpan, dirawat dan digunakan dengan baik.

📱📞"Aku sangat lega mendengarnya. Aku ... juga tak sabar menunggumu pulang."

"Maaf selalu membuatmu menunggu, semua persiapan sudah selesai, Ayah dan Ibu pun bersedia untuk ikut, pekerjaan terakhirku juga sedikit lagi selesai. Minggu depan, aku akan pulang." Hongjoong menyentuh layar laptop, melakukan gerakan seolah tegah membelai pipi Seonghwa.

Diseberang sana Seonghwa terkekeh senang.

📱📞"Tidurlah, sudah sangat larut kan di sana? Selamat malam, Hongjoong."

"Selamat malam." Panggilan terputus, Hongjoong bergerak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum ia pergi tidur.

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Hongjoong sekeluarga sudah naik kapal pesiar yang Mingi siapkan, sudah setengah jalan, berkat saudara Sirenian yang ikut membantu mendorong kapal.

Padahal Hongjoong tak masalah walau hanya menggunakan tenaga kapal, tapi sepertinya Mingi sudah sangat tak sabar ingin ia segera tiba di pulau, sampai-sampai mengirimkan saudara Sirenian untuk mempercepat laju.

Hongjoong saat ini tengah duduk santai bersama kedua orang tuanya, mengobrol ringan selepas makan malam. "Terima kasih sudah bersedia ikut denganku, Ayah, Ibu," ujarnya,

masuk ke dalam topik yang lebih serius. "Aku senang terlahir kembali dari rahim Ibu, aku sangat senang menjadi bagian dari keluarga kecil Ayah yang hangat. Aku juga senang menjadi salah satu sumber kebahagiaan untuk Ayah dan Ibu.

"Aku sangat bahagia dapat merasakan kasih sayang kedua orang tua yang sebelumnya hanya sebentar aku rasakan. Umur tujuh aku harus berjuang sendirian di antah berantah.

"Tapi di kehidupan ini, aku memiliki Ayah dan Ibu yang selalu menyayangiku, memastikan aku tumbuh dengan baik, memastikan aku mendapatkan pendidikan yang terbaik, dan memastikan aku selalu bahagia.

"Terima kasih banyak. Jasa Ayah dan Ibu tak akan bisa aku balas dengan cara apa pun," Hongjoong mensyukuri semua kehidupannya, dan berterima kasih pada takdir yang memberi kesempatan untuknya kembali merasakan kasih sayang kedua orang tua yang dulu direnggut paksa darinya.

Ibu Hongjoong tersenyum teduh sembari mengusap pelan pipi Hongjoong. "Ayah dan Ibu juga bahagia memilikimu, Hongjoong. Keajaiban yang takdir berikan untuk melengkapi hidup kami.

"Kami akan selalu berada di sisimu, menyayangimu. Datanglah pada kami jika kamu butuh tempat mengadu, kami akan selalu ada untukmu walau kamu sudah menikah nanti. Kami sangat menyayangimu, Hongjoong." Pelukan hangat, ia berikan untuk putra semata wayangnya.

Ayah Hongjoong pun memberikan pelukan mengayomi di sisi Hongjoong yang lain.

|

"Yang Mulia Ho—maksud saya, Tuan Hongjoong, kita hampir sampai," ujar salah satu pelayan pada Hongjoong yang tengah membaca buku di kabin.

Hongjoong menoleh pada jendela kecil kapal, gelapnya malam digantikan cahaya terang karena perbedaan waktu. "Terima kasih, aku akan keluar untuk melihat," balasnya.

Walau masih belepotan, tetapi Hongjoong bersyukur mereka berusaha tak lagi memanggilnya 'Yang Mulia', tiba-tiba sekali, tentu saja itu membuatnya tak nyaman, apa pula yang membuat mereka tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan seperti itu?

Menutup buku, Hongjoong berjalan keluar, awan hitam pekat dengan petir menyambar-nyambar langsung menyambutnya. "Wuah," komentarnya, ini kekuatan Mingi, ia yakin, awan badai yang sama ketika perang dulu.

Walau saat itu netranya sedikit buram karena kehabisan banyak darah, tetapi ia tetap tahu sedahsyat apa kekuatan awan tersebut. "Aku masih tidak menyangka pulau ternyata ada wilayah bermuda," monolognya, cukup kaget ketika mengetahui fakta akan segitiga bermuda yang selama ini dianggap misterius ternyata berisi pulau tempatnya tinggal dulu, yang kini menjadi rumah bagi Manusia dan Bangsa Duyung.

Semakin dekat, awan-awan badai terlihat semakin menakutkan, tetapi di saat yang bersamaan juga membawa perasaan hangat yang menenangkan. Mungkin ini yang dirasakan semua penduduk pulau ketika akan melewati awan badai yang melindungi kerahasiaan pulau.

"Hongjoong, apa ini baik-baik saja?"

"Ah, Ibu." Hongjoong tak menyadari jika kedua orang tuanya terbangun dan ikut berdiri di sampingnya, mungkin terbangun karena suara guntur. "Jangan khawatir, Ibu. Ini kekuatan adikku, kita semua akan tetap aman ketika melewatinya."

Sesuai perkataan Hongjoong, awan badai sama sekali tak menyentuh kapal, justru memberikan jalan tanpa membuat seisi kapal basah. Pemandangan menakjubkan menyambut ketika awan badai dilewati.

Air lautnya lebih jernih, memantulkan cahaya matahari dengan begitu indahnya. Jelas perairan di sekitar pulau dirawat dengan baik, tak ada sedikitpun jejak pencemaran.

Jauh di depan sana, pulau mulai terlihat, tentu saja jauh berbeda dari yang Hongjoong ingat. Namun, tetap memberikan perasaan nyaman dan hangat, memberikan rasa familier bahwa itu tetap pulau yang sama. "Aku pulang," gumamnya.

|

Sampai di dermaga. Beberapa orang datang untuk menyambut, termasuk Mingi dan Yunho, tetapi Hongjoong tak melihat adanya Seonghwa. Ingin bertanya,

tetapi Mingi tengah sibuk memberi arahan pada orang yang membantu membawakan koper Ayah dan Ibu. Lagi pun, Seonghwa pasti memiliki alasannya sendiri kenapa tak ada di sini.

"Kak Hongjoong," panggil Yunho. "Ayah dan Ibu akan langsung di antar menuju rumah," jelasnya, "sekarang, Kakak ingin melihatnya, bukan?"

Hongjoong tersenyum, mengangguk, dan mengusap pelan surai Yunho.

Selepas selesai memberi arahan, Mingi ikut bergabung, dan meminta Hongjoong untuk mengikutinya, menuju tempat di mana perahu yang biasa Hongjoong gunakan untuk menangkap ikan terikat pada pasak kayu besar.

"Ini ... " kaget Hongjoong, "mirip ... sekali."

"Tak hanya mirip, ini memang perahu yang sama," balas Mingi, menarik tangan Hongjoong, memintanya untuk naik, ia pun melakukan hal yang sama dan meminta saudara manusia untuk bantu melepas tali perahu dari pasak dan mendorongnya menjauhi tepi pantai.

Setelah perahu cukup jauh dari tepi pantai, Mingi menyalakan mesin dan membawa perahu menuju daerah tepi pantai lain di mana rumah mereka yang dulu ada di sana. Tak butuh waktu lama untuk sampai, karena rumah lama mereka dan pelabuhan memang tak jauh.

Hongjoong semakin dibuat terkejut akan apa yang ada di depannya, ia sampai tak bisa berkata-kata, turun dari perahu dengan terburu ketika mesinnya dimatikan.

Berjalan mendekat. Netranya semakin melebar, rumah lamanya, masih sama persis seperti dulu, tak ada satu pun dari kayunya yang lapuk, semuanya masih berdiri kokoh persis terakhir kali ia meninggalkannya.

Bahkan kayu bakar di samping rumah pun posisinya masih sama, semuanya masih sama, tak ada yang bergeser sedikitpun, sama persis seperti terakhir kali ia ingat. "Apa saudara Sirenian yang melakukannya? Pada perahu dan rumah kita?"

Mingi mengangguk. "Benar, aku meminta saudara Sirenian yang memiliki kemampuan memanipulasi waktu untuk tetap membuat rumah ini sama seperti dulu, berdiri kokoh seperti sedia kala, sama seperti terakhir kali Kakak melihatnya,

"agar ketika Kakak kembali, akan terasa seperti benar-benar pulang ke rumah. Juga, karena aku tak ingin kenangan indahku bersama Kakak di rumah ini menghilang begitu saja," jawab Mingi, "selamat datang kembali, Kakak."

Hongjoong sangat terharu, rasanya ia ingin menangis, ia pikir semuanya sudah banyak berubah, termasuk rumahnya yang hancur dimakan usia, tetapi ternyata ia salah, semuanya masih tetap sama.

Berjalan lebih dekat, Hongjoong membuka pintunya. Kehangatan yang ia rasakan, kesederhanaan yang membahagiakan, semuanya masih sama persis. "Aku pulang," ujarnya.

Dengan cepat melepas alas kaki, masuk ke dalam rumah, merasakan dingin dan lembutnya pasir sebagai lantai, menyentuh dinding kayu yang juga terasa dingin, masuk semakin dalam, Hongjoong tersenyum melihat kolam buatannya di ruang tengah.

Teringat perjuangannya menggali ketika mengetahui ada patahan di bawah rumah, bekerja siang malam sampai akhirnya air keluar dari dari dalam patahan. Semua kerja kerasnya terbayarkan ketika melihat Mingi menikmati kolam barunya, persis seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

Masuk lebih dalam, melihat dapurnya yang juga sama sekali tak berubah, ada beberapa benda yang bergeser, mungkin berubah tempat ketika Mingi kembali untuk mengambil beberapa barang ketika ia terluka selepas diculik para Merman. "Terima kasih, Mingi. Sudah menjaga semua ini untukku, aku benar-benar merasa seolah-olah kembali ke rumah setelah perang usai. Aku senang."

Hongjoong akhirnya meneteskan air mata, ia benar-benar bersyukur diberi kesempatan untuk melanjutkan hidupnya, kembali melihat adik-adiknya, kembali melihat ... belahan jiwanya.

"Aku juga senang, Kakak akhirnya pulang," balas Mingi, mendekat, dan memeluk erat Kakaknya. Rasa putus asanya ketika itu, begitu menusuk relung jiwa, kehilangan orang yang sangat berharga baginya, rasanya begitu menyiksa, tetapi kini, Kakaknya ada di sini, kembali bersama dengannya, ia diberi satu lagi kesempatan. 'Terima kasih, Kak Seonghwa.'

Ketukan di pintu, menginterupsi kegiatan emosional dari dua kakak beradik yang tengah berbahagia penuh haru.

"Bukalah, Kakak," ujar Mingi sembari melepas pelukan.

Hongjoong mengangguk mengerti, dengan cepat ia berjalan ke depan, membuka pintu dengan terburu. "Aku pulang, Seonghwa."

"Selamat datang kembali, Hongjoong."

Menarik Seonghwa lembut, Hongjoong membawa kekasih hatinya ke dalam pelukan hangat penuh kerinduan, berbagi kehangatan, berbagi kasih sayang tak terucapkan.

Setelah mengunjungi rumah kedua orang tuanya, dan memastikan mereka nyaman, Hongjoong berjalan kembali menuju rumah Seonghwa, rumah di mana mereka akan tinggal bersama.

Selama perjalanan, Hongjoong membalas sapaan orang-orang pulau yang berpapasan dengannya. Walau sedikit bingung bagaimana mereka bisa tahu jika ia adalah Hongjoong, karena ia yakin sebagian besar penduduk pulau terutama manusia tak akan ada yang tahu siapa ia. Orang-orang yang kenal dengannya pasti telah banyak yang sudah meninggal dunia mengingat umur manusia tidaklah panjang.

Hongjoong hanya dapat menyimpulkan jika Mingi memberitahu akan kedatangannya kepada penduduk pulau, dan karena ia satu-satunya orang yang memiliki wajah asing, mereka pasti menebak dengan tepat jika ia Hongjoong yang dimaksud.

Astaga, ia agak malu, tetapi juga senang karena para penduduk pulau sangat ramah. "Aku pulang," ujarnya ketika membuka pintu. Pulau berubah menjadi tempat bak surga, tak perlu khawatir akan kejahatan, karena semua itu tak akan pernah bisa terjadi di sini, sehingga, meskipun pintu dilengkapi keamanan, pintu rumah jarang dikunci.

Semuanya hidup damai tanpa ada rasa penasaran untuk mencampuri urusan orang lain. Dunia pasti akan membaik jika semua orang berpikiran luas seperti para penduduk pulau.

"Selamat datang, Hongjoong. Aku buatkan sarapan," balas Seonghwa dari dapur.

Ah, padahal ia baru saja makan malam pukul tujuh, satu jam kemudian mereka sampai di pulau, dan di sini matahari baru saja bersinar, alias masih pukul delapan pagi karena perbedaan waktu dua belas jam.

Masuk ke dalam dapur, rasa kenyang pada perut Hongjoong langsung hilang ketika menghirup aroma harum masakan Seonghwa. Ia langsung keroncongan, dan mendekati Seonghwa dengan cepat. "Aromanya harum sekali, aku jadi lapar," jujurnya.

Seonghwa terkekeh pelan. "Sebentar lagi matang, duduklah dulu."

Menurut, Hongjoong duduk sembari memperhatikan punggung Seonghwa yang masih sibuk dengan masakannya. "Cantik," gumamnya. Semua yang ada dalam diri Seonghwa, sangat cantik di matanya, baik fisik, mau pun hatinya.

Tak berselang lama, apa yang Seonghwa buat telah matang, memindahkannya ke dalam wadah dan membawanya menuju meja makan, menata satu persatu makanan yang ia buat, tak lupa mengambil nasi dan air untuk Hongjoong.

"Ini masakan perdanaku selain ikan kuah asap, semoga Hongjoong menyukainya," ujarnya seraya duduk di depan Hongjoong. Seonghwa sangat gugup, seratus tahun belajar memasak apakah sudah cukup baginya?

"Lebih percaya dirilah, Seonghwa. Dari harumnya saja aku sudah tahu masakanmu pasti sangat lezat," balas Hongjoong, dan memasukkan sesuap penuh makanan ke dalam mulut. Seketika netra Hongjoong melebar, gila, ini lezat sekali, bahkan kualitas rasanya mengalahkan koki profesional di restoran terkenal yang seringkali ia coba.

Belum dikunyah saja, rasa nikmat sudah memenuhi rongga mulutnya, apalagi ketika giginya mulai mengoyak tekstur lembut pada makanan, bumbu yang meresap meruak keluar, nikmatnya menjadi berkali-kali lipat.

Sungguh pengalaman yang sangat mengagumkan, Hongjoong merasa sombong karena ia akan memakan makanan enak ini sepanjang sisa hidupnya. "Ini adalah makanan terenak yang baru pertama kali aku makan. Sempurna. Baik yang membuat atau apa pun yang ia buat," pujinya.

Kedua pipi Seonghwa tentu langsung berubah warna, merah dengan sempurna. "Ho-hongjoong berlebihan—"

"Tidak, itu memang kenyataan. Seonghwa-ku memang berbakat dalam segala hal."

Hongjoong dan segala pujiannya, Seonghwa hanya mampu menutupi wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.

"Ahahaha, gemasnya. Buka mulutmu, Seonghwa."

Seonghwa semakin dibuat terkejut ketika Hongjoong mengulurkan sebelah tangannya dengan sendok berisi penuh makanan. Dengan malu-malu ia menerima suapan yang Hongjoong berikan. Rasa makanannya menjadi berkali-kali lipat lebih enak.

"Setalah ini mau jalan-jalan ke kota?" ajak Hongjoong, teringat akan janjinya seratus tahun yang lalu. "Aku pernah berjanji untuk mengajakmu jalan-jalan ke kota, walau kondisinya sudah tak sama, tetapi mau kah kamu mengajakku jalan-jalan di kota? Untuk menepati janjiku seratus tahun yang lalu?"

"Tentu saja aku mau, Hongjoong."

🏝

Berjalan santai menelusuri berbagai sudut kota, dengan Seonghwa yang menjelaskan berbagai macam gedung dan fungsinya. Sesekali berhenti untuk berinteraksi dengan penduduk pulau, atau masuk ke dalam toko untuk sekedar melihat-lihat.

Hongjoong tak dapat menahan senyumnya ketika melihat Seonghwa begitu bahagia, tertawa menanggapi gurauan yang penduduk pulau lontarkan dan tak ragu membalas ucapan mereka.

Seonghwa-nya sudah banyak berubah. "Kamu mengatasi traumamu dengan baik, Seonghwa. Kamu sudah berjuang selama ini, terima kasih untuk semua kerja kerasnya," puji Hongjoong seraya memberikan usapan lembut pada surai Seonghwa.

Seonghwa pun mengakui ia sudah berjuang keras mengatasi traumanya demi hidup berdampingan dengan manusia, walau masih ada sisa perasaan takut dan tak nyaman jika berinteraksi dengan manusia yang tak berasal dari pulau, tetapi itu adalah kemajuan yang sangat besar.

Kembali bergerak, berjalan berdampingan menelusuri jalanan.

Walau ini hari pertama bagi Hongjoong menginjakkan kakinya di pulau, tetapi ia tak merasa menjadi orang asing, entah kenapa tetapi seolah-olah penghuni pulau tahu siapa dirinya dengan baik.

Semua orang yang berpapasan selalu memberikan sapaan hangat padanya. Ia merasa sudah sangat lama tinggal di sini sampai-sampai semua penghuni pulau tahu siapa ia. Pasti ini ulah Mingi, Hongjoong menebak. "Apakah Mingi memberitahu para penduduk pulau jika melihat wajah asing merupakan diriku? Padahal Mingi tak perlu melakukannya, tetapi aku juga berterima kasih karena tak merasa seperti orang asing walau baru satu hari di sini."

"Uhuk, uhuk." Seonghwa tersedak air yang tengah ia minum.

"Pelan-pelan."

Mengabaikan peringatan Hongjoong, Seonghwa dengan cepat mengusap sisa minuman di bibir dan kembali menatap Hongjoong. "Itu ... bukan itu alasan kenapa mereka semua tahu Hongjoong. Maksudku ... ah, apa Mingi tak memberitahumu?"

"Memberitahu apa?" ujar Hongjoong balas bertanya dengan bingung.

"Itu—"

"Wuaahh benar! Itu Tuan Hongjoong yang asli!"

Suara anak kecil, menginterupsi percakapannya dengan Seonghwa. Hongjoong menunduk, melihat anak kecil yang menatapnya dengan kagum. "Yang asli?" ujarnya semakin bingung.

"Yang Mu—Tuan Hongjoong, bolehkah aku naik ke atas gendonganmu?" tanyanya antusias.

Mengabaikan rasa bingungnya, Hongjoong tersenyum dan membalas permintaan anak kecil tersebut dengan langsung mengabulkannya. "Bagaimana? Apa kau suka digendong olehku?"

Anak kecil itu tertawa senang. "Aku suka! Tuan Hongjoong memang berhati baik."

Hongjoong tertawa senang menanggapinya.

Dan entah sejak kapan, Hongjoong sudah dikelilingi banyak sekali anak-anak, dengan terampil ia meladeni semuanya, mereka semua anak-anak yang menggemaskan.

Seonghwa yang melihat pun ikut tersenyum, melihat Hongjoong dengan anak kecil sangat cocok sekali, suatu saat nanti, anaknya dengan Hongjoong lah yang akan berada di gendongan Hongjoong. Tanpa sadar Seonghwa mengusap pelan perutnya dengan pipi yang memerah, pikirannya mulai melantur ke mana-mana.

"Apa yang tengah kamu pikirkan?"

Seonghwa tersentak kaget, dengan cepat ia berbalik, menyembunyikan wajah malunya, bisa-bisanya ia menghayal di siang bolong, mana langsung dipergoki oleh orang yang menjadi objek hayalannya. "Ti-tidak. Anak-anak itu sudah pergi?"

"Iya, mereka semua menggemaskan sekali. Lihat, salah satu dari mereka memberiku permen," balas Hongjoong, tertawa pelan sembari menunjukkan permen lolipop berukuran kecil di telapak tangannya.

Hendak kembali berjalan, tetapi gadis kecil berparas sangat cantik berdiri menghalangi, gadis itu menatap Hongjoong tanpa berkedip.

"Lily," ujar Seonghwa, sirenian kecil berusia dua puluh tahun yang memiliki kemampuan istimewa. Ketika ia di masa paling rapuh dalam hidupnya, Lily datang untuk menenangkannya.

Lily mengulurkan kedua tangannya kepada Hongjoong.

Hongjoong yang menyadari maksud gadis kecil bernama Lily ini lantas mendekat, gadis kecil ini tak minta digendong, hanya meminta ia menyamakan tinggi badan, dan ia menurut, duduk bersimpuh di depan Lily.

"Yang Mulia, Hongjoong," ujarnya. Menangkup wajah Hongjoong, Lily memberikan kecupan di dahi yang lebih tinggi, dan tersenyum bahagia setelahnya. "Selamat datang kembali, sumber kebahagiaan seluruh penduduk pulau," ujarnya dan berlari pergi.

Hongjoong sendiri masih di posisi sama, menatap kepergian Lily dalam diam, menyentuh pelan dahinya dan berdiri dengan pelan. Perasaan apa ini? Begitu nyaman. Seolah-olah energi positif dialirkan dalam dirinya oleh Lily lewat kecupan lembut tadi. "Sirenian?" tebaknya.

Seonghwa mengangguk. "Benar, Lily merupakan Sirenian yang istimewa."

"Usianya?"

"Dua puluh tahun."

"Astaga, masih bayi, menggemaskan sekali."

Seonghwa tertawa menanggapinya. Kembali berjalan, melanjutkan perjalanan menuju pusat kota, di mana ada Istana yang menjadi titik tengah pulau.

"Ngomong-ngomong, aku ingin mendengar penjelasanmu yang sempat terpotong, akan alasan kenapa penduduk pulau tahu aku adalah Hongjoong," pinta Hongjoong kembali pada bahasan awal.

"Alasannya adalah ... " Seonghwa menggantung kalimatnya dan menunjuk Istana yang sudah dekat. " ... karena hal itu."

♪bruussshhhh

Hongjoong menyemburkan air yang berusaha ia minum dan batuk-batuk, ia kembali menatap gambaran dirinya yang berukuran sangat besar itu dengan mulut yang menganga lebar. "Apa maksudnya lukisan besar itu astaga," komentarnya, kelewat shock melihat lukisan dirinya terpajang di tembok depan istana.

Melihat reaksi Hongjoong, Seonghwa tak dapat menahan tawanya. "Astaga Mingi benar-benar tak memberitahumu? Hahaha anak itu, sepertinya sengaja tak memberitahumu," ujarnya dan kembali tertawa, ekspresi Hongjoong lucu sekali.

Ya, semua penghuni pulau tahu siapa itu Hongjoong, dan bagaimana rupanya karena memang sengaja diwariskan dari generasi ke generasi bagi bangsa manusia, juga bagi beberapa bangsa duyung yang baru dilahirkan,

bahkan lukisan Hongjoong terpampang di dalam dan di luar Istana, diakui sebagai anggota kerajaan, Kakak dari Raja Sirenian, dikenal sebagai pahlawan yang melindungi orang-orang yang disayangi tak peduli walau bukan sesamanya.

Manusia istimewa, yang akan kembali ke pulau jika sudah waktunya.

"Pantas saja semua orang tahu siapa aku, bahkan banyak yang memanggilku dengan embel-embel 'Yang Mulia', astaga." Hongjoong menutupi seluruh wajahnya.

Adiknya memang selalu memiliki ide gila, ia malu, tetapi juga sangat bahagia di saat yang bersamaan, Mingi selalu menganggapnya berharga, bahkan secara resmi mengakuinya sebagai Kakak walau waktu yang mereka habiskan untuk bersama hanyalah sebentar bagi makhluk berumur panjang. 'Terima kasih, Mingi.'

"Ah, tapi sudah ku duga, aku harus tetap membalas Mingi karena tidak memberitahuku hal semacam ini," ujar Hongjoong menggebu.

Sukses membuat Seonghwa kembali tertawa.

|

Sementara itu.

Mingi yang tengah berbicara dengan Miran, "Hatchoooh!!! Tiba-tiba saja aku merinding."

Sebentar lagi waktu makan malam, Seonghwa tengah menyiapkan beberapa bahan untuk masakan yang akan ia buat. Hongjoong belum pulang, selepas makan siang ia pergi untuk melepas rindu bersama Mingi, bernostalgia dengan adik kesayangan, pergi bersama untuk menangkap ayam hutan.

"Aku pulang,"

Suara Hongjoong, membuat Seonghwa seketika menghentikan kegiatan, lekas mencuci tangan, dan pergi ke depan dengan cepat. "Selamat dat—astaga lihat dirimu." Menggeleng pelan, menatap Hongjoong yang berantakan.

Pulang-pulang dengan baju kotor, bahkan banyak lecet dan lebam yang menghiasi permukaan kulit Hongjoong, tetapi semua usaha kekasihnya membuahkan hasil, terbukti dari ayam hutan yang Hongjoong bawa. "Aku tahu kamu sangat bersemangat, tetapi kamu juga tetap harus berhati-hati Hongjoong, jadi luka-luka begini," omel Seonghwa sembari mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan wajah Hongjoong dari lumpur yang menempel.

"Mandilah dulu, aku akan segera menumbuhkan tanaman obat, dan membuat obat untukmu—ah." Seonghwa terdiam, terkadang ia masih terbawa-bawa kebiasaan lama, dan melupakan fakta bahwa kini ia telah menjadi manusia seutuhnya.

Surai dan netranya kini bahkan sudah berubah warna menjadi cokelat. Seharusnya ia bisa lebih berhati-hati, Seonghwa tak ingin Hongjoong salah paham dan menganggap ia menyesali keputusannya untuk menjadi manusia. "Hongjoong, aku—"

Netra Seonghwa melebar, Hongjoong memotong ucapannya dengan memberikan ciuman hangat yang begitu menenangkan.

"Kamu tetap dapat mengobatiku dengan kotak P3K di sana," ujarnya setelah tautan terlepas. "Aku mandi dulu, aku mencintaimu, Seonghwa. Dokter pribadiku yang sangat manis," lanjutnya sembari menggoda Seonghwa dan menghilang dengan cepat di balik pintu kamar.

Meninggalkan Seonghwa yang salah tingkah dengan pipi bersemu merah. Hongjoong selalu bisa menenangkannya, ia harus berhenti berpikir berlebihan. Hongjoong-nya tak berpikiran sempit, tak ada yang harus ia takutkan.

⛵️

Malam hari. Seonghwa sangat gugup, malam pertamanya satu atap dengan Hongjoong. Seratus tahun menanti, apa malam ini ia akan mendapatkan pengalaman kedewasaan? Rasanya gugup sekali.

Seonghwa telah memakai piyamanya, tetapi apakah ini sudah benar? Haruskah ia memakai pakaian yang lebih seksi? Belum selesai berpikir, Hongjoong sudah masuk ke kamar lebih dulu.

"Loh, aku pikir kamu sudah tidur," ujar Hongjoong. Seonghwa pamit masuk kamar setengah jam yang lalu, ia pikir karena Seonghwa sudah mengantuk, tetapi ia salah, Seonghwa masih terjaga, bahkan tampak seperti tengah menunggunya, duduk di atas tempat tidur dengan posisi yang ... "Apa kamu tengah menggodaku?" tebaknya tepat sasaran.

Seonghwa gelagapan, tetapi berusaha tak memalingkan wajah walau kedua pipinya sangat panas. Umurnya memang lebih dari tiga ratus tahun, tetapi ia tak memiliki pengalaman apa pun mengenai hal semacam ini, ia tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Tidak ingin melakukan kesalahan, Seonghwa hanya diam menanti Hongjoong yang mendekat dan perlahan naik ke atas tempat tidur. Pipi Seonghwa semakin memerah kala Hongjoong mendorongnya untuk berbaring.

Seonghwa refleks memejamkan mata ketika Hongjoong mendekatkan wajah, dapat ia rasakan hembusan napas Hongjoong yang teratur, detik berikutnya, bibir hangat Hongjoong menyentuh keningnya dengan lembut, tetapi setelah itu tak ada pergerakan lagi.

Netra Seonghwa kembali terbuka, menatap Hongjoong yang berbaring miring menghadapnya. "Ke-kenapa?" tanyanya takut-takut, tak mengerti kenapa Hongjoong tiba-tiba berhenti. Apa Hongjoong tak ingin melakukan sesuatu padanya? Apa karena ia kurang usaha? Mungkin seharusnya ia memakai pakaian yang seksi.

"Seonghwa, sekarang kamu manusia—"

"Me-memangnya kenapa? Apa karena aku manusia, kamu tak ingin berhubungan intim denganku?"

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" kaget Hongjoong, "kamu sudah memberikan segalanya untukku Seonghwa, aku adalah milikmu, kamu pun adalah milikku yang sangat berharga,

"aku ingin memiliki semua yang ada pada dirimu dengan segera, tetapi karena kini kita berdua adalah manusia, aku ingin kita melewati berbagai acara yang biasa manusia lakukan," jelasnya,

tak ingin Seonghwa salah paham. Ia memang ingin menerkam Seonghwa saat ini juga, Hongjoong mengakui itu, tetapi ia juga ingin Seonghwa merasakan berbagai tradisi yang biasa manusia lakukan.

Hongjoong pun ingin menunjukkan jika ia tulus mencintai Seonghwa, ia ingin menunjukkan jika Seonghwa tak salah memilih, ia ingin menunjukkan sisi gentleman-nya dengan menjaga kesucian pasangan sampai mereka sah untuk melakukannya.

Ia pun berani mengatakan demikian karena Seonghwa kini telah menjadi manusia seutuhnya, jika Seonghwa masih memiliki kekuatan duyung, mau tak mau Hongjoong harus sedikit mengubah pola pikirnya, karena duyung tak pernah mempedulikan acara-acara tak penting seperti pernikahan,

karena bagi mereka, jika saling mencintai, itu sudah lebih dari cukup, mengatakan hal di atas hanya akan membuat bangsa duyung tersinggung karena dianggap tak setia pada pasangan jika tak ada ikatan pernikahan.

Kini Seonghwa telah menjadi manusia, Hongjoong ingin menunjukkan jika tradisi yang selalu dilakukan manusia tak seburuk itu. Ia ingin menunjukkan sisi lain dari acara merepotkan tersebut, kebahagian dibaliknya, ketika dua insan disatukan oleh acara sakral pernikahan.

"Aku mencintai semua yang ada di dalam dirimu, aku ingin segera mengklaimmu menjadi milikku, menandaimu dengan kecupan cinta dan aroma tubuhku. Namun, aku berusaha menahan egoku, aku ingin kamu merasakan betapa mendebarkannya berbagai macam tradisi yang harus dilewati," lanjut Hongjoong.

Sebelah tangannya bergerak untuk membelai lembut surai Seonghwa. "Bertunangan, pernikahan, dan segala tradisi yang biasa manusia lakukan, sampai hari sakral itu tiba, aku ingin menjaga kesucian dirimu. Aku juga ingin menunjukkan sisi kerenku padamu, Seonghwa,"

Mendengar itu, netra songa melebar, teringat akan percakapannya dengan penghuni pulau yang dilahirkan di Amerika, wanita itu mengatakan tak setuju dengan peraturan negaranya yang terlalu bebas.

Langsung meminta berhubungan badan setelah beberapa menit resmi berpacaran, bahkan pernah dikatai pecundang karena menolak berhubungan intim.

Namun, wanita itu tetap kukuh pada pendiriannya, tetap menjaga kesuciannya untuk orang yang benar-benar tepat baginya, sampai wanita tersebut bertemu lelaki idamannya yang berasal dari pulau.

Yang memandang seluruh dirinya tak hanya fisik semata, lelaki yang selalu menjaganya, bahkan ketika wqnita itu memutuskan ikut pindah ke pulau, dan walau sudah bertunangan sekalipun, ia tetap dijaga, sampai setelah menikah barulah ia merasakan malam pertama.

Seonghwa tersenyum bahagia, ia mengangguk mengerti. Hongjoong-nya adalah pria sejati. Jadi, beginikah rasanya dijaga oleh orang yang tepat? Hati Seonghwa seperti padang bunga yang baru saja mekar. "Aku mencintaimu, Hongjoong."

"Aku juga mencintamu, Seonghwa." Kecupan lembut kembali Hongjoong daratkan pada kening Seonghwa, menarik selimut dan menutupi tubuh Seonghwa sampai batas dada. "Tidurlah."

Seonghwa mengangguk, memeluk lengan Hongjoong, dan memejamkan mata, ia yakin, malam ini, ia akan tidur dengan nyenyak dan bermimpi sangat indah.

Apalagi membayangkan wajah tampan Hongjoong yang menyambutnya ketika membuka mata di keesokan harinya, membuat hati Seonghwa semakin berbunga-bunga.


Tbc

Akhirnyaaa busa update juga.
Sebenernya ini sudah selesai sejak kemarin, tapi authan capek banget jadi belum sempet re-read. Alhasil, baru bisa update sekarang, terima kasih untuk kesabarannya.

(*´˘'*)♡

ᴼᵁᴿ ᴰᴱˢᵀᴵᴺᵞ
Minggu, 3 maret 2024
Authan—♥︎

Continue Reading

You'll Also Like

76.7K 7.6K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
469K 46.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
1M 84.5K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
97.1K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...