Sementara itu, di tukang bubur langganan kakak-adik Dharmawan, Nabila juga tidak kalah kepo-nya dengan Syarla.
"Jadi....Kapten Renner ganteng ya kak?" tanya Nabila seraya mengecapi buburnya.
"Ya, ganteng." jawab Sabila singkat.
"Baik nggak?"
"Baik."
"Sopan, nggak?"
"Sopan."
"Santun, nggak?"
"Santun."
"Suka, nggak?"
"Suk- heh!!" ujar Sabila akhirnya, melayangkan tangannya ke lengan Nabila.
Nabila tertawa terbahak-bahak.
"Lagian, ngedip kaliiii. Tadi pas mereka jalan ke mobil, Kak Sabila malah kayak patung ngeliatin."
Sabila akhirnya menceritakan kejadian di ruang IGD tadi malam, dari mulai kejadian brankar dan apa yang Renner sampaikan sebelum Sabila menutup pintu.
Nabila menyimak seksama, ada rasa haru campur sedih yang ia rasakan. Ia tahu kakaknya ini memang perempuan hyper-independen. Meski diadopsi secara legal, dan bahkan setuju memakai nama keluarganya, Sabila tidak pernah sekalipun meminta uang untuk keperluan sekolah. Dari SMP hingga lulus kuliah, Sabila selalu berhasil mendapatkan beasiswa. Padahal Ayah Ibunya akan dengan senang hati membayar biaya pendidikan, tapi Sabila selalu mengusahakan beasiswanya. Menurut Sabila, rumah keluarga Dharmawan, baik fisik dan kasih sayangnya, sudah lebih dari cukup. Ia tak mau merepotkan Ayah-Ibu Dharmawan lebih lanjut.
"Nab? Kok malah bengong?" tanya Sabila memecah lamunan Nabila.
"Eh- Iya Kak. Aku setuju sama Bang Renner. Kakak tuh, harusnya lebih sering minta tolong." jawabnya.
"Loh kok bahas kesitu. Orang aku bilang, profesi Renner tuh bahaya banget. Makanya kubilang dia cuma bisa dikagumi, tapi nggak bisa dibersamai."
Nabila menatapnya heran.
"Lah, bukannya cocok? Kak Sabila mengobati, kalo Bang Renner tersakiti. Kalian sama-sama jarang di rumah, kerja hampir 24 jam 7 hari seminggu, gaji gede tapi nggak pernah dipake. Udahlah, bisa beli rumah 3 tahun lagi." ujar Nabila panjang lebar.
"Hah. Kau ini. Mulutnya emang asal. Untung profesimu fotografer. Kalau news anchor, udah dipecat dari lama."
Mereka tertawa bersama. Menghabiskan bubur masing-masing dan segera menjalani hari.
⏳⏳⏳
Keesokan harinya, Sabila kembali ke RS untuk menjalankan shiftnya. Hari ini, IGD tidak terlalu sibuk. Sabila bersyukur, bisa berfokus ke pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan kemarin.
Menjelang sore, Sabila melihat seorang pemuda dengan bantuan satpam rumah sakit masuk ke IGD.
"Dokter, tolong Mas ini keserempet motor di depan RS," ucap pak satpam.
Wajah laki-laki itu tampak cemas, memegang sebelah tangannya yang memar dan berdarah.
Sabila mendekat, "Ayok cepet Pak bawa ke brankar."
Dengan sigap, Sabila memeriksa luka lecet dan memar di tangan dan kakinya. Meskipun cederanya tergolong ringan di kaki, tapi tangannya cukup parah. Ketika Sabila membebat perban di bagian pergelangan tangan, ia agak mengerang kesakitan.
"Kayaknya mesti di X-Ray deh ini. Ada kemungkinan ada retakan di pergelangan tangan. Saya order dulu X-Raynya ya. Nanti ada suster yang kesini untuk bantu administrasi." jelas Sabila.
Pemuda itu mengangguk, tidak banyak bicara.
Sabila meninggalkannya sebentar untuk mengurus X-Ray yang dimaksud.
Ketika kembali, suster jaga IGD telah memberi informasi lengkap ke Sabila. Dari riwayat penyakit dan kejadian kecelakaan barusan. "Oke, dengan Mas Tama ya..? Kalo dari chart harusnya pemeriksaannya udah selesai. Karena tadi jatuh nggak kena kepala kan?"
Laki-laki yang bernama Tama itu menggeleng. Entah mengapa, meski badannya tegap, wajahnya dihiasi jambang serta kumis tipis sehingga terlihat keras, tapi ekspresinya sangat cemas, dan kini badannya sedikit bergetar.
"Saya nggak akan kenapa-kenapa kan Dok?" akhirnya Tama membuka suara.
Sabila menatapnya heran, "Gimana maksudnya? Apa kamu ada keluhan lain selain luka di tangan dan kaki?"
"Eh, hm, saya.. saya nggak akan mati kan?" tanyanya lagi.
Sabila tertegun. Apa mungkin kecelakaan barusan sangat parah kejadiannya?
"Dari lukanya sih enggak ya.." Sabila kemudian duduk di samping brankar, menyejajarkan dirinya dengan lawan bicaranya.
"Mas nggak apa-apa? Ada saudara atau teman yang bisa diminta kesini?" tanya Sabila lembut.
"Ng- Nggak ada Dok. Orang tua udah nggak ada. Saya juga anak satu-satunya." jawabnya dengan suara parau.
Sabila dapat merasakan kesepian mendalam di antara matanya.
"Yaudah disini dulu aja. Nanti saya minta suster ambilkan teh dari dapur ya, sekalian nunggu X-Ray dan hasilnya. Istirahat, ambil nafas dulu, biasanya pasien abis kecelakaan memang suka bingung." jelas Sabila.
Tama hanya mengangguk.
"Dok, dipanggil ke ruangan operasi." ujar salah satu suster yang menghampiri.
"Oke." Sabila pun segera bangkit, "Tunggu sini dulu ya Mas."
"Dok, kalau saya mau mati, dokter mau nolongin saya kan?" tanyanya sebelum Sabila benar-benar pergi.
"Ha-h? Iya pasti." jawab Sabila sambil bergegas pergi.
⏳⏳⏳
Ketika Sabila kembali ke IGD setelah operasi, ia terkejut melihat bahwa Tama sudah tidak berada di brankar yang tadi ia tempati. Penuh kekhawatiran, ia berjalan menuju suster di depan ruang tunggu.
"Suster, pasien atas nama Tama, ada di mana ya?" tanya Sabila, mencoba menahan kekhawatirannya.
"Udah pulang, Dok. Dia maksa pulang tadi. Hasil X-Raynya juga belum diambil. Katanya besok aja." jawab Mbak Ayu, suster jaga IGD sore ini.
"Tapi dia ngasih ini tadi. Katanya buat Dokter Sabila. Dan hanya boleh dibuka sama Dokter." lanjut Mbak Ayu sambil menyerahkan selembar kertas koran yang dilipat membentuk baling-baling ke Sabila.
Sabila menatap kertas itu heran. Sambil berjalan ke break room, berniat untuk beristirahat sejenak, Sabila membuka lipatan itu. Ada dua potongan koran yang dijadikan satu. Salah satunya diberi tulisan. Sabila hampir berteriak ketika membaca tulisan itu. Beruntung ia sudah sampai ruangan break.
Sabila bukan orang yang penakut. Tapi ia juga seorang dokter yang mengenali darah. Tulisan tersebut ia yakin ditulis dengan darah.
Kemudian, di bawah tulisan tersebut, ada gambar simbol lingkaran dan salib.
Tunggu.
Rasanya ia pernah melihat simbol tersebut.
Sabila lama berpikir dan menimbang keputusannya.
Akhirnya, ia berjalan keluar ruangan, menghampiri nurse station di Wing VVIP, "Suster Rini, boleh tolong cari nomor telepon Pak Renner Angkasa?"