The Bodyguard and His Lady

By elvabari

5.1K 623 64

Ini akan menjadi cerita awal Ellana bertemu dengan Kalandra, si bodyguard yang pernah dia yakini akan berakhi... More

[00] Sang Nona dan Pengawalnya
[01] Kalandra, si Pengawal Baru
[02] Ellana, si Nona Keras Kepala
[03] Ellana, dan usahanya melarikan diri
[04] Kalandra, si Bodyguard Pemberani
[05] Ellana, dan kemarahannya
[06] Kalandra, dan amukannya

[07] Ellana, dan ketidaksadarannya

586 73 6
By elvabari

[The Bodyguard and His Lady]

"Papa nggak boleh marah! Aku lagi sakit!"

Ellana tetaplah Ellana. Si putri manja yang tidak mau disalahkan sefatal apapun perbuatannya.

Dan akan selalu mencari alasan yang akan menyelamatkan diri. Seperti sekarang ini; mengacungkan tangannya sebagai tanda konkrit keadaannya kini yang harus menjalani opname.

Rajendra sampai harus mengabaikan pekerjaannya, pun menolak pertemuan gasik bersama beberapa petinggi perusahaan yang dijadwalkan hari ini. Hanya demi menjenguk putrinya yang harus dilarikan ke rumah sakit pagi tadi.

Gadis itu bahkan belum sepenuhnya sadar ketika sudah menangis kesakitan sampai bergulingan di kasur. Bibi Diah yang tengah memeriksa keadaan sang nona tentu panik bukan kepalang dan langsung mencari pertolongan.

"Kamu nggak akan sakit kalau nggak coba-coba nakal lagi!"

Rajendra memijat pangkal hidungnya demi mengenyahkan pening melanda. Ini bukan perkara beliau harus merelakan banyak hal. Ini merupakan reaksi natural atas kecemasan memuncak karena putrinya ini.

"Papa sudah bilang untuk tidak lagi menyentuh tempat apalagi minuman semacam itu, Ella. Bukan karena Papa anggap kamu ini anak kecil tetapi kamu memang nggak seharusnya menyentuh minuman keras karena keadaan kamu! Kamu bahkan hampir—"

Rajendra tidak sanggup melanjutkan ucapannya kalau saja tidak mengontrol diri. Bisa-bisa suaranya semakin meninggi dan putri manjanya ini menangis lagi sebagai bentuk pertahanan diri lantaran merasa dibentak.

Ellana di tempat tidur hanya bisa cemberut seraya memainkan ujung selimutnya. Meratapi tangannya yang harus ditancap jarum infus seakan sudah menjadi hal tak asing lagi baginya.

Tentu saja, ini bukan lagi kali pertama Ellana dilarikan ke rumah sakit. Ini sudah menjadi riwayatnya. Jadi kalau dipikir-pikir, dia ini merepotkan juga, ya?

"Sekali lagi kamu mencoba melarikan diri seperti ini, Papa benar-benar nggak bisa memaafkan kamu. Enggak ada lagi alasan buat kamu nanti, ya! Ini peringatan terakhir dari Papa! Atau—"

"Papa bakal buang aku?!"

"Biar kamu tahu rasanya jadi gelandangan di luar sana."

"Ish! Jahat banget!"

"Kalau begitu jangan buat papa kamu ini jadi jahat. Kamu selalu tidak mau dengarkan Papa dan lihat akibatnya sekarang! Setelah kejadian ini, kamu beneran nggak boleh pergi ke mana-mana kecuali untuk kuliah!"

"Papa, ih!"

"Papa sudah nggak percaya lagi sama teman-teman kamu itu. Jadi kamu cuma boleh ditemani Kalandra atau semua fasilitas buat kamu nggak Papa kasih sama sekali. Kamu cari sendiri uang buat foya-foya, sana!"

"Ish! Papa kok tega banget!"

Rajendra mengesah cepat mendengar suara Ellana mulai bergetar. Jurus andalan si putri manja kalau sudah sangat terpojokkan.

Akan selalu menjadi gertakan saja. Sebab tentu Rajendra tidak sampai hati melakukan hal kejam kepada putrinya sendiri. Walau begitu, melihat Ellana yang selalu merengek agar dibebaskan, Rajendra harus memperingati secara tegas agar Ellana mengerti.

"Kamu tahu gimana khawatirnya Papa semalam karena mendengar kamu hilang? Semua orang di rumah panik mencari kamu. Papa akan lebih merasa bersalah kalau kamu terlambat ditemukan, Ella."

Ellana termangu di bawah tepukan lembut di kepala dari sang papa. Menyaksikan sendiri bagaimana beliau begitu mencemaskannya. Bahkan dari dekat sini, Ellana mampu melihat gurat-gurat lelah menghiasi wajah sosok yang sudah merawat sekaligus membesarkannya sepanjang 22 tahun hidupnya ini.

Seorang diri....

"Di luar sana tidak selalu sebaik yang kamu bayangkan, Ella. Itulah mengapa Papa selalu mewanti-wanti kamu untuk tidak sembarangan pergi sendiri. Papa meminta maaf kalau ini terkesan terlalu mengekang kamu. Papa hanya ingin menjaga kamu, putri satu-satunya milik Papa."

Satu usapan cepat Ellana lakukan demi tidak membiarkan air matanya mengalir. Meski begitu bibirnya semakin melengkung sedih menatap papanya seraya berkata penuh pelas, "Tapi jangan buang aku ya, Pa...?"

Menjadi kesempatan Rajendra tersenyum seraya memeluk Ellana penuh kasih. Memberi kecupan sang ayah untuk putri semata wayangnya. "Mana mungkin Papa membuang satu-satunya harta berharga Papa? Asalkan dengar perkataan Papa, ya? Papa lakukan ini pun karena Papa nggak mau kehilangan kamu, Ella."

Juga menjadi kesempatan Ellana untuk membalas pelukan Rajendra. Merengek layaknya anak kecil yang meminta perlindungan sekaligus merasakan hangatnya dekapan sang papa—yang sudah Ellana abaikan entah berapa lama....

Karena bagaimanapun juga, Ellana masihlah putri kecil yang akan memerlukan banyak perhatian dari orangtuanya. Dan sebagai satu-satunya yang tersisa, Rajendra selalu berusaha kerahkan segala yang dia miliki hanya untuk Ellana.

Walau sudah pasti kenyataan tidak selalu semudah angan.

Kehangatan itu perlu diselesaikan kala seseorang masuk ke dalam kamar inap ini. Kalandra menunduk memberi salam sebelum menyerahkan berkas kepada Rajendra yang lekas berdiri.

"Ini surat permohonan maaf dari kedua orangtua Arsatya Irawan. Dikatakan bahwa mereka bersedia menarik putera mereka dari kampus dengan catatan untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum demi tetap terjalinnya hubungan baik."

"Mereka bicara begitu karena memikirkan reputasi di kursi parlemen," tukas Rajendra tidak senang. "Kamu sudah pastikan bahwa itu memang ganja?"

"Menurut hasil tes darah memang terdeteksi adanya mariyuana di tubuh Nona Ellana," sesaat Kalandra melirik gadis yang sudah memalingkan wajah. "Walau dosisnya sangat sedikit, mengingat efek yang terjadi semalam, Nona Ellana tetap harus menjalani rawat jalan hingga dinyatakan sepenuhnya bersih. Mereka juga berjanji untuk membawa Arsatya Irawan melakukan rehabilitasi. Maka dari itu—"

"Maka dari itu tetap harus ada konsekuensi. Saya tidak mau melihat anak itu berada di sekitar Ella lagi." Rajendra mengesah panjang seraya membetulkan kacamatanya. "Kita bicarakan ini di kantor saya nanti. Untuk sementara tolong jaga Ella. Saya harus menghadiri rapat satu jam lagi."

"Baik, Pak. Satria sudah menunggu Bapak di bawah."

Rajendra mengangguk sebelum kembali menghampiri Ellana untuk pamit. Memberi kecupan di kening putrinya, tidak lupa memperingati agar tidak berulah yang hanya mendapat anggukan dari Ellana.

Kini tersisa mereka berdua. Dan untuk pertama kalinya, Ellana merasa gugup berada di dekat Kalandra.

Pasalnya setelah insiden kemarin malam yang masih samar-samar diingat, sekaligus kejadian di pagi hari tadi, sudah sebanyak dua kali dia merasakan berada di gendongan pria itu.

Kira-kira, adakah perlakuannya nyeleneh yang dia kerahkan dan tidak dia sadari? Mengingat dia bahkan tidak dapat dikatakan setengah sadar semalam.

Karena Ellana sungguh tidak ingat jelas apa yang terjadi selain kali terakhir memori saat dia dipaksa minum sesuatu oleh Arsatya, yang ternyata mengandung obat terlarang.

"Buburnya kenapa nggak dihabisin?"

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Kalandra berhasil menyentak Ellana. Matanya melirik pada semangkuk bubur bersama sup yang baru Ellana coba sebanyak dua suap, juga buah pisang yang sudah tersisa kulitnya.

"Nggak ada rasanya."

"Bukan berarti kamu jadi nggak makan. Perut kamu belum diisi apa-apa sejak pagi tadi."

"Ish! Kalau nggak nafsu makan, mau gimana?! Masa dipaksa makan?!"

"Memang harus dipaksa."

Baru saja Kalandra duduk seraya mengambil mangkuk berisi bubur itu ketika Ellana menyergah cepat, "Aku nggak mau makan!"

"Makan pelan-pelan, Ellana. Buka mulut kamu."

"Nggak mau! Kamu kok, maksa! Aku kan lagi sakit! Wajar kalau nggak nafsu makan! Lagian kenapa kamu jadi makin nyebelin gini, sih?!"

Melihat Ellana membekap mulutnya dengan tangan juga menggeleng-geleng cepat, Kalandra lantas meletakkan kembali bubur itu ke tempat semula kemudian bersedekap. Membalas sorot penuh kesal sang nona dengan manik tajamnya.

"Aku udah pernah bilang, kalau nggak mau aku ngelawan, coba dengerin aku sebentar. Kenapa kemarin kamu kabur dari rumah?"

Perubahan topik yang terlalu cepat dan Ellana tidak siap untuk menjawab. Gantinya, dia memalingkan pandangan ke manapun asalkan bukan pada Kalandra yang sudah memasang mode menginterogasi.

"Kalau aja Satria nggak lihat lokasi kamu semalam, aku mungkin nggak akan pernah tahu kalau kamu mau diapa-apain sama pacar kamu itu."

"A-aku cuma mau main sama Arsatya!"

"Main di klub malam?"

Ellana menggeleng-geleng cepat. "Dia janji mau ngajak aku nonton. Tapi dia bilang ada yang mau dikerjain sebentar makanya aku datang ke sana."

"Dan kamu percaya gitu aja sama dia?"

"Dia pacar aku! Masa iya aku nggak percaya sama dia?!"

"Tapi dia ngejebak kamu. Bukan cuma pakai alkohol tapi juga narkoba. Sekarang kamu paham kenapa papa kamu nggak suka sama dia?" Kalandra membalas tak kalah tajam. Juga penuh menekan ketika dia melanjutkan, "Dia udah jadi mantan kamu sekarang. Kalau kamu masih mau temui dia, kamu tahu apa yang bakal papa kamu lakuin."

Tentu Ellana tidak mampu menjawab. Entah karena Ellana yang terlalu polos atau dianya saja yang terlalu bodoh untuk mengabaikan peringatan yang sebenarnya sudah berkali-kali dia dengar.

Sepanjang berhubungan Arsatya, Ellana sering mendengar desas-desus mengenai lelaki itu. Ada yang mengatakan bahwa dia bukanlah anak baik-baik, sering mempermainkan hati perempuan, hingga ada yang mengatakan bahwa Ellana akan berakhir dipermainkan juga. Tetapi Ellana selalu abai dengan itu.

Ellana mengakui bahwa dia lebih memilih menyuapi egonya hanya agar dirinya dikagumi banyak orang. Ingin menjadi orang yang mampu mendapatkan banyak hal termasuk seorang Arsatya yang sering dielukan banyak orang di samping rumor-rumor buruknya.

Ellana juga tahu bagaimana teman-temannya memandangnya. Si tuan putri yang terlalu banyak mau dan narsistik. Merasa bahwa dia adalah pusat perhatian sehingga tidak mengherankan bahwa mereka mencekoki banyak pujian di depan mukanya tetapi berbagai makian di belakangnya.

Hingga detik ini, Ellana tidak mendapatkan satupun pesan dari mereka di saat seharusnya mereka tahu akan ketidakhadirannya di kampus. Tidak ada yang berbasa-basi menanyakan kabar. Tidak ada yang mengingat dirinya.

Karena pada kenyataannya, Ellana memang selalu sendirian dan tak berarti di mata mereka.

"Kalau mau dikasih kebebasan, setidaknya jangan bertindak ceroboh yang bisa celakain diri kamu sendiri. Kamu selalu gegabah dan lebih memilih turutin keegoisan kamu sampai nggak sadar kalau ada jebakan datang di depan mata kamu. Itulah kenapa papa kamu jadi makin protektif sama kamu."

Semua ucapan Kalandra sudah cukup menohok Ellana. Mau mengelak seperti apapun, pada nyatanya semua ini terjadi karena kecerobohan juga egoisnya sendiri. Jadi yang Ellana lakukan berikutnya adalah mengubur wajahnya ke dalam selimut seraya mendumal kesal.

"Kamu jelek! Pergi jauh-jauh, sana!"

Yang tanpa Ellana ketahui bahwa Kalandra menunjukkan senyum geli sebelum mengatakan, "Kamu juga jelek karena susah dibilangin."

Berhasil membuat Ellana mencelat dari balik selimut demi menunjukkan pelototan tidak terima. "Enak aja! Aku nggak jelek!"

"Iya. Kamu jelek."

"Enggak!! Ish! Kamu nyebelin banget!!"

"Makanya jangan bandel biar aku nggak nyebelin."

Sekali lagi, Ellana dibuat terperangah akan perbuatan Kalandra yang mendorong keningnya dengan telunjuk. Meski sangat pelan, tentu saja berhasil membuat si nona manja ini tersungut-sungut.

"Kamu berani noyor aku?! Aku bilangin Papa biar tau rasa!"

"Bilangin aja. Kamu pikir aku takut?"

"Kamu beneran nyebelin! Nggak ada bodyguard yang berani ngomong jelek ke aku kayak kamu, tau! Papa dapet kamu dari mana, sih?!"

"Makanya papa kamu bawa aku supaya jadi ada yang bisa ngelawan kamu."

Tanpa Ellana sadari, bahwa segala sikap merajuknya menjadi hal yang begitu menyenangkan bagi Kalandra.

Bagaimana Ellana membalas segala celetukannya yang sedikit dibumbui rengekan itu adalah pertanda bahwa sang nona mulai menerima kehadirannya.

Tapi sepertinya Ellana tidak menyadari akan apa yang sudah terjadi semalam sehingga gadis itu tidak terlihat malu atau berusaha menghindarinya.

Terlebih mengingat bagaimana pagi tadi gadis itu menangis seraya terus memegangi tangannya akibat rasa sakit luar biasa di perutnya, tergugu takut ditinggalkan sehingga Kalandra harus selalu berada di sampingnya selagi dokter dan beberapa perawat memberi pertolongan pertama, Kalandra menyadari bahwa perasaannya semakin bercampur terlalu aneh.

Haruskah Kalandra bersyukur atau menyesal lantaran sang nona melupakannya...?

•••

Unseen part is available on Karyakarsa
(link on my bio♡)

to be continued

  

Iyaaakk begitulah nasib Ellana setelahnyaa 🫠 bisa-bisanya si Nona malah ga inget padahal Kalandra mulai kepikiran hiyahiyaaa

Terima kasiiihh untuk teman-teman yang masih mau mengikuti kelanjutan kisah merekaa 🥹🫶 hehehe maafin aku karena sekarang update-nya kayak dua minggu sekali hwhwhw semoga kalian masih bersedia menunggu untuk kelanjutannyaa! ><

Oh iyaa! Untuk teman-teman yang sudah pernah membaca cerita ini melalui event Parade Karsa, ga harus purchase unseen part-nya karena isinya sama yaa!

Tapi kalau mau dukung penulisnya di sana juga boleeehh karena aku akan sangat mengapresiasi ituu 🥹💙 hehehe

Sneak peek untuk episode selanjutnyaa!

Apa ga makin kepikiran si Kalan habis ini? ☺️ Hihihi

Aku akan update lagi kalau episode ini sudah dapat 55 bintang yaa! Mudah-mudahan kali ini bisa lebih cepat 🥹💙 timakaciiihh semuanyaaa 💙🩵

Elvabari❣️

February 25, 2024

Continue Reading

You'll Also Like

839K 80.1K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
2.6M 38.8K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
359K 27.8K 59
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
1.1M 47.4K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...