ARCHETYPE

By Jane_byme

25.5K 4.1K 3K

Dalam lanskap intrik dan kekuasaan, Ana terjerat dalam belenggu Arkha, seorang dominan bajingan tak terkalahk... More

Archetype: Prolog
Part 1: Explanation
Part 2: Reprimand
Part 3: Take
Part 4: Approval
Part 5: Burden
Part 6: Confession
Part 7: Present
Part 8: Reverse
Part 9: Dropped
Part 10: Arkhatama
Part 11: Business
Part 12: Drunk
Part 13: Inception
Part 14: Krypton
Part 15: Nobody
Part 16: Better Than Me?
Part 17: Swim Smile
Part 18: Eclipse
Part 19: What are we?
Part 20: Ana
Part 21: Oncoming
Part 22: That Day
Part 23: Prove
Part 25: Control
Part 26: Enough
Part 27: Abscond

Part 24: Shade

648 153 138
By Jane_byme

Hello semuaa!! Selamat membaca yaa, karena besok aku up lagi mohon kerjasamanya lagi yaa 100 vote 100 komen, okay? Thank you. ❤️

____

Azura membeku, membaca dokumen itu saksama. Matanya melebar saat ia menyerap setiap kata tertera di atas kertas, kemudian dia menoleh ke arah Arkha dan Ana, yang masih mengatup bibir rapat-rapat.

Kenyataannya Azu tampak kecewa, memperdaya Ana telak napasnya hampir hilang.

"Mama?" Suara lirih itu memecahkan kesunyian, Ana melirik di mana suara berasal.

Shea, dia mengerjap, amatannya memancarkan takut lantaran merasakan tensi yang ada.

"Tell the truth, Ana," hardik Arkha menohok. "I bet you."

Lelaki itu pergi keluar, disusul Azu yang tak sedikitpun buka mulut dan pergi begitu Arkha mendapati air matanya jatuh penuh kilah. Arkha tidak bisa apa-apa.

Jantung Ana berdebar kencang saat Shea mulai kebingungan. Tilikan polosnya menusuk Ana, menyadarkan dirinya akan keputusan sulit yang harus dihadapi. "Shea..." Dia berjalan mendekati ranjang, meraih tangan Shea dengan halus. Rambut hitam tampak kusut itu ia usap perlahan.

"Mama mau ngomong sebentar, boleh?"

Shea mengangguk. "Tapi Shea janji jangan marah sama Mama." Ana meminta, karena jujur ia tak akan mampu menghadapinya. "Janji?"

"Janji." Shea memberikan kelingkingnya serya tersenyum kecil.

Ana menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Namun, dia justru makin sesak dan air mata jatuh bagai mengalir.

"Mama, kenapa? Kok Mama nangis?" Shea mengelapnya, sejenak menumbuhkan kegelisahan tak tertampung.

"Shea, sebelumnya Mama minta maaf sama Shea. Ada kesalahan yang Mama buat. Seharusnya Mama gak pernah bohongin Shea."

Shea serius mendengarkan, wajahnya mulai menekuk pertanda bingung.

"Papa Bayu bukan Papa Shea, tapi uncle Arkha," parau Ana bersama bibir bergetar. "Mulai sekarang Shea panggil uncle Arkha Papa, ya?"

Beberapa detik Shea diam, menjalankan otaknya guna mencerna perkataan Ana. Namun, dia tidak mampu untuk itu. "Shea gak ngerti ... Shea bingung..." gumamnya diiringi air mata yang mengarungi pupilnya. "Kepala Shea sakit, Ma..."

Ana kalut, tak bersaya menahan isak tangis begitu ia meraih kedua tangan mungil itu. "Hey, sayang ... Mama salah dan Mama minta maaf, itu semua untuk kebaikan Shea. Shea gak perlu khawatir, yang penting sekarang ada Papa Shea yang bakal sayangin Shea."

"Mama kok jahat?"

Ana tertegun, menelan ludahnya kasar tepat menyaksikan air mata Shea turun ke pipi. "Kenapa Mama bilangnya Papa Bayu itu Papanya Shea? Mama juga bohong kalau Papa sebenarnya gak pernah pergi? Mama memang gak mau sama Papa Shea yang beneran?"

"Mama bukan sendirian, tapi Mama mau Shea gak punya Papa selamanya makanya Mama bohongin Shea?!"

Ana diam, bibirnya seperti terdapat perekat, memikirkan betapa sulitnya menjelaskan situasi ini pada putrinya. "Shea..."

"Mama jahat!" Shea tiba-tiba memekik, tangisnya pecah dengan kerasnya. Dada Ana sesak, Shea membalikkan badan membelakanginya begitu saja.

Arkha mendengar suara teriakan Shea berinisiatif masuk, pemandangan pertama adalah Ana yang masih sama kacaunya dan tangisan Shea yang mengisi ruangan.

Ana bisa merasakan napasnya tersangkut saat melihat Arkha mendekati Shea dengan langkah berat. Dengan hati-hati, ia beranjak dari sisi ranjang dan memilih duduk di sofa, memberi ruang bagi Arkha untuk mendekati putri mereka.

"Shea..." Panggil Arkha sehalus mungkin, tetapi Shea tetap bersembunyi di balik bantal, menangis kencang.

"Talk to me, please..." parau Arkha dan Shea masih bungkam.

Setelah beberapa menit yang terasa lama, Shea akhirnya menunjukkan wajah sembabnya. Mata itu memancarkan rasa sakit saat ia bersirobok.

"Uncle ... kenapa Uncle gak tau kalau Uncle itu Papa Shea?" tanya Shea terpecah-pecah.

Arkha membasahi bibir, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Sulit dijelaskan. Bila dijelaskan Shea bakal sedih, breaking your small heart, and I don't want to let you."

"Ada satu pembelajaran yang harus Shea tau, bahwa tidak hanya anak kecil yang bisa melakukan kesalahan, tapi orang dewasa pun bisa. Orang tua juga tidak sempurna, dan kami membuat kesalahan. Kita semua perlu belajar dari kesalahan agar tidak mengulanginya di masa depan."

Air mata Shea dihapus hati-hati oleh Arkha, ia mengecup kedua kelopak itu penuh cinta.

"Papa minta maaf, Shea," lanjut Arkha dengan suara teramat dilingkupi penyesalan. Dan untuk kali pertama, dia menyebut dirinya 'Papa', terkutip penghargaan baru di hati terdalam.

Selepas itu, Arkha merengkuh Shea sejuta kasih, membayangkan banyaknya momen tertinggal hingga tubuh Shea sudah sebasar sekarang. Andai Arkha tahu keberadaannya, dia akan memberikan dunia sejak kali pertama, tanpa terlewat.

"Shea gak mau ngomong sama Mama," bisik Shea, membuat hati Ana terasa seperti hancur berkeping-keping.

"Ya, Papa paham," sindir Arkha juga.

"Besok Shea bisa pulang. Shea akan tinggal di rumah Papa," kata Arkha, mencoba menawarkan sedikit kepastian pada putrinya.

"Sama Mama?" tanya Shea.

"Mungkin tidak bersama Mama. Papa yang akan menjaga Shea."

Akan tetapi, wajah Shea langsung mencerminkan ketidaksetujuan. "Nanti Mama sama siapa?" katanya dengan suara rapuh. "Shea mau sama Mama juga..."

Sejenak Arkha menghentak napas. Memang sulit memisahkan seorang anak dengan ibunya. Alhasil, Arkha berdeham, "Alright."

"Mama," panggil Shea membuat Ana lekas menoleh. "Mama tidurnya di sini." Shea menepuk sisinya, lekas Ana menghapus air mata dan mendekapnya erat, sementara Arkha tidak perlu berkomentar lalu pulang.

***

Azura menangis terisak-isak di sudut sofa, di depan Gadion yang diam dan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Azura. Pasalnya waktu Gadion hendak menjenguk Shea dan menyusul Azu, gadis itu melarang. Saat tiba di rumah, Azu tampak berantakan dan menangis. Kini, Gadion paham apa yang terjadi.

"Mereka sering apa gimana? Terus ngelakuinnya di mana, dah?" tanya Gadion dengan nada penasaran.

"Gak tau... aku gak nyangka juga," jawab Azura, suaranya terputus-putus oleh isak tangisnya. "Kasian Mbak Ana..."

Gadion menjilat bibir bawahnya. "Kasih tau Ayah gak sih?"

"Gila kamu, ya?" balas Azura, menatap tajam.

"Makanya udah nangisnya, mata lo sembab gitu," usul Gadion, bahan agar Azu takut. Mau bagaimanapun juga mereka satu rumah dengan ayah, jika ayah melihat Azu seperti ini, maka tamatlah riwayat semua orang.

"Aku gak tau harus lebih kecewa sama siapa, Kak..." Azura mencoba merangkai pikirannya yang kacau.

"Memang rumit. Ayah gak boleh tau. Ya ... walau harus tau itu urusan mereka. Masalahnya ini tentang Anderson juga. Gavin bisa cap kita sebagai pengkhianat, apalagi si nenek lampir Megan. Gak kebayang serusak apa keluarga ini nanti, terutama hubungan ayah sama Arkha," tambah Gadion, mempertimbangkan dampak dari semua yang telah terjadi.

Faktanya ini bukan sekadar masalah biasa. Ini masalah untuk selamanya.

***

Pagi menyingsing, Arkha bersama supirnya, yakni Javas Umbara, penjaga setianya, datang menjemput Shea tepat pukul delapan pagi. Meskipun Ana merasa sedikit canggung dan tidak sepenuhnya terlibat dalam keputusan Arkha mengenai Shea, tetapi kekhawatirannya tetap menghantui.

Ketika mereka sampai di rumah, Ana disambut oleh Ratih, seorang wanita paruh baya yang katanya datang jika perlu.

Begitu masuk ke dalam kamar, Ana terkesima melihat persiapan yang telah dilakukan oleh Arkha. Lemari dipenuhi pakaian-pakaian baru untuk Shea, rak mainan tertata rapi, bahkan laci diisi dengan beragam alat lukis.

Akan tetapi, di luar kamar, Ana mencatat adanya kehadiran asisten Arkha dari kantor, serta dua staf lainnya. Ini menimbulkan kecurigaan.

Ana hendak mencari Arkha, tetapi kebetulan mereka berpapasan di depan pintu.

Awalnya Arkha hanya ingin berpamitan pada Shea, tetapi tampaknya ia memiliki kewajiban memberitahu Ana yang kini was-was di depannya.

"Saya harus pergi ke Semarang untuk konferensi antar industri sekaligus mengontrol cabang untuk alokasi."

Ana menelan ludah, arah pandangnya berganti-ganti lantaran Arkha seperti akan mencekiknya. "Berapa lama?"

"Tiga hari."

Ana tertegun, merasa tidak enak hati menetap di tempat tanpa tuan rumah. "Arkha, aku harus kerja. Sebaiknya aku dan Shea pulang saja, Lintang bisa membantu. Aku—"

"Alasan. Kamu lupa siapa saya?" Arkha mendesis, mengusung Ana menurunkan kelopak mata. Arkha adalah atasannya, tentu punya kuasa atas Ana.

"Shea tetap di sini, tidak berubah," tekan Arkha sembari melekatkan tilikan. "Kamu bisa minta tolong Ratih atau Javas. Keperluan yang harus dibeli minta saja pada Javas, kamu harus stay di rumah."

Arkha masuk guna melantaskan tujuan utama, Ana masih mematung memperhatikan Arkha melakukan pecakapan kecil yang disudahi dengan kecupan di kening Shea. Arkha juga tidak bisa membiarkan Shea jika saja ayahnya tidak mengutusnya.

Tepat saat Arkha sudah di depan Ana, lelaki itu berbisik, "Kamu tidak bisa membawa Shea kemana pun selagi berada di rumah ini. Saya tetap memantau." Dia melangkahkan kaki guna mendekatkan bibirnya dengan telinga Ana. "Jangan harap urusan antara saya denganmu tuntas."

Arkha sangat tegas dalam pernyataannya, telat suasana tegang terasa di udara ketika dia meninggalkan ruangan. Ana tak akan tenang, ada sesuatu yang tidak selesai, kegelisahan akan nanti merayap dalam pikirannya.

Ana duduk di tepi tempat tidur, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Bayu belakangan ini semakin sering menanyakan keberadaannya juga menambah beban pikiran Ana. Maka Ana memutuskan memblokir Bayu.

Dia merasa seperti sebuah pion yang berada dalam permainan catur besar yang tidak bisa dia kendalikan.

Akan tetapi, lamunannya terputus ketika Ratih datang membawa nampan berisikan makan malam untuknya dan Shea.

"Silakan, Nyonya," ucap Ratih ramah.

Ana membetulkan posisi duduknya. "Eh jangan panggil Nyonya, Mbak. Cukup Ana."

"Tidak, itu tidak sopan..."

Ana mengerutkan keningnya, agak heran dengan kekakuan Ratih. Namun, pembicaraan itu membuatnya sadar akan hubungan rumit antara dirinya, Shea, dan Arkha.

"Pak Arkha apa dia bilang saya datang?"

Ratih tersenyum mesem. "Gak bilang, tapi saya senang toh. Pantesan Sheanya cakep orang Mamanya cantik, Papanya ganteng."

Tersimpul kaku, Ana tidak menyahuti lagi. Setelah Ratih pergi, ia berniat untuk menyantap makanannya, tetapi kedatangan Javas dengan tumpukan kantong belanjaan membuatnya terurung.

"Tuan menyuruh saya membeli beberapa potong pakaian. Semuanya sudah dicuci dan bisa digunakan," jelaskan Javas.

Sejujurnya Ana terkejut, tetapi ia hanya mengangguk, berterima kasih atas pelayanan Javas. Dia memilih menyelesaikan urusan tersebut sendiri, perlu menyendiri sejenak untuk merenungkan segala yang telah terjadi.

***

Ana menghela napas penat, tiga hari begitu lama berlalu. Meski Azura dan Gadion menjenguk Shea, ia masih segan dan malu untuk menampilkan wajah.

Dalam ruangan tenang, aroma buku-buku menguar lembut. Ana duduk di ujung tempat tidur bersama Shea yang bersandar di pangkuannya Di tangannya, Ana memegang buku cerita yang telah disiapkan oleh Arkha, sebuah kisah tentang ibu peri akan selalu menjadi favorit Shea. Baru saja selesai membacakannya.

"Shea bisa ikut berenang lagi kapan, Ma?" celetuk Shea, bertepatan Ana meletakkan buku di atas nakas.

"Memangnya Shea gak takut?"

Anak itu menggeleng mantap. "Nggak, malah sekarang Shea maunya berenang sama Papa."

Tadi pagi saat dokter datang Ana sempat menanyakan itu. Dokter bilang dua minggu yang akan datang Shea sudah bisa ikut kelas bila ingin, tetapi Ana masih khawatir. "Bulan depan, ya?"

"Lama banget, Maaa..." rengek Shea. "Shea gak ikut jalan-jalan perpisahan sekolah, gak boleh berenang juga. Terus Shea ngapain dong?"

Seharusnya perpisahan sekolah Shea diadakan dua hari setelah perlombaan dan untuk jalan-jalan bertepatan hari ini. Ana pun mengelus rambutnya saat shea mulai bersandar di dada tatkala ia mengajaknya berbaring untuk tidur.

"Bisa melukis, makan, tidur, istirahat. Nanti kita buat kue kalo udah pulang ke rumah."

"Kenapa pulang, Ma?" Shea mendongak. "Kita tinggal di sini aja sama Papa."

"Gak bisa Shea," ucap Ana secara otomatis. Ana tidak mau ada di sini. Ia masih tahu diri.

"Tapi Shea bisa 'kan? Shea mau tinggal di sini aja sama Papa."

Hatinya terasa hancur ketika Shea menyuarakan keinginannya. Ana berjuang menahan air mata yang sudah menggenang, mencoba tegar di depan putrinya yang tidak bersalah ini.

"Shea... Mama kecewa kamu ngomong gitu."

"Maaf, Shea gak tau itu bikin Mama sedih," tutur Shea ikut berkaca-kaca. Namun, saat Shea merangkulnya erat-erat, Ana merasa air mata tak terbendung lagi.

"Shea sayang Mama Papa."

Arkha baru saja keluar dari mobil, memerintahkan Javas membawanya masuk ke dalam rubanah. Sesampainya di Jakarta pukul 7, kemudian lanjut menbenahi segala urusan kantor yang harus segera diselesaikan. Jadi, tibalah Arkha di rumah pukul 11 malam.

Ia melepas jas, melonggarkan dasi lalu melepasnya seiring langkah menuju kamar Shea lebih dulu. Rumah begitu sunyi, mengakibatkan pijakannya terdengar di setiap ketukan.

Arkha melebarkan pintu yang menampilkan celah, memasuki ruangan. Hatinya berdebar saat melihat pemandangan begitu memikat di depan mata. Shea tertidur tenang di pelukan Ana, wajahnya dipenuhi kedamaian yang memancarkan kehangatan.

Arkha mengecup kening Shea sebelum pandangannya berpaling kepada sosok Ana terbaring di samping, tubuhnya terbungkus gaun malam tipis yang menyoroti setiap lekuknya dengan keanggunan yang memikat.

Gairah yang telah lama terpendam di dalam dirinya seakan meletup seperti api bergelora, memenuhi setiap serat dalam tubuhnya dengan keinginan yang ganas.

Mata Arkha menyala dengan keinginan yang liar saat melihat Ana, begitu indah dan menggoda dalam gaunnya yang melambai-lambai di atas ranjang. Dia sepenuhnya terpesona oleh kecantikan Ana, ingin meraihnya, menariknya dalam dekapannya yang hangat, dan menyeretnya ke dalam pusaran nafsu yang tak terbendung. Dengan langkah yang mantap, Arkha mendekati Ana, tak bisa lagi menahan diri dari keinginannya yang meluap-luap.

Dua jemari Arkha mengapit pada perpotongan leher Ana, menurunkannya hingga ia dapat jelas melihat belahan dada itu. Kuku Arkha menepi, membentuk garis lembut di atasnya.

Mata Arkha kian berbinar, menampaki tiada kedip setiap kali Ana menarik dan menghembus. Hanya itu saja Arkha merasa tersengat. Namun, lambat alun Ana membuka mata, lekas Arkha menarik tangannya tanpa kepanikan, seolah tak ada yang ia lakukan.

"Kamu udah pulang?" Ana terduduk, menyadari bahwa ia tertidur sekitar sepuluh menit.

Arkha acuh tak acuh, dia mengamati barang-barang yang berada di atas nakas. Seperti buku yang baru Ana baca. Dan ... kurang lebih sepuluh bunga mawar merah berada di dalam vas, tentunya ia berasumsi banyak, tidak pernah ia memberi Ana bunga atau menyuruh seseorang. Siapa yang memberikannya?

"Dari mana ini?" Arkha sudah mengintai Ana. Namun, wanita itu membulatkan matanya.

"Aku minta Mas Javas," jawab Ana jujur. "Vasnya kosong jadi aku minta Mas Javas beli bunga."

"Mas?" Arkha menekukkan alisnya ayal. "Kamu panggil dia Mas?"

Ana hanya menggaruk lehernya yang tak gatal, sejujurnya Arkha menyembunyikan kelegaan dari jawaban itu.

"Sudah makan?" tanya Arkha lagi. Tentu Ana mengangguk pelan, di antara sikap terkejut dan hangatnya tubuh ketika Arkha tak lagi mendiaminya.

Ana tidak tahu mengapa sekarang mereka bersitatap dalam waktu yang lama. Di hatinya, jujur Ana merindukan Arkha meski tak berhak sekalipun.

Tampaknya lelaki itu masih segar, atau memang sehabis mandi karena rambutnya masih terlihat lembab. Irisnya menghantui Ana hingga tak kuat ia memutuskan pandangan, tetapi itu juga salah karena kali ini Ana bisa menampak kokohnya tubuh Arkha di balik kemeja hitam ketatnya, dua kancing terbuka serta lengan tergulung. Tidak tahu diri Ana justru menelan ludah.

Seharusnya itu cukup, tetapi Arkha merasa ada yang harus dilakukan, melihat Ana dengan wajah polosnya mengobrak-abrik kesabaran Arkha sampai habis.

"Jangan dulu tidur. Temui saya sekitar tiga puluh menit lagi," papar Arkha menghentikan pikiran Ana yang berkeliaran. "We need to talk."

Tidak ada yang aneh bila ini bukan jam tidur. Ana membasahi bibir begitu ia berdebar keras.

"Sudah larut, sebaiknya besok pagi saja," dalih Ana sayup-sayup. Namun, agaknya Arkha bersikeras.

"Malam ini. Jangan mengulur waktu."

Ana meloloskan napas kencang sewaktu Arkha menghilang di balik pintu. Ia mengusap kepalanya, seakan tahu apa yang akan terjadi.

###

TBC 🤡🤡

Mohon antusiasnya untuk part ini dan part setelahnya. Karena semakin emosional 😞😞😭😭

intinya semua yang bilang tim Ana dan jarang banget ada yang bilang tim Arkha (doang) aku respect banget karena itu berarti kamu paham sama karakter dan perjalanannya. Love u guys!! But semuanya punya kesalahan. Arkha juga termasuk patriarki apalagi kalo soal Ana. Jadi sama sama gak waras kayak aku 🤣🤣😭

Continue Reading

You'll Also Like

284K 22.1K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
759K 72.3K 42
𝑫𝒊𝒕𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕𝒌𝒂𝒏 J. Alexander Jaehyun Aleron, seorang Jenderal muda usia 24 tahun, kelahiran 1914. Jenderal angkatan darat yang jatuh cinta ke...
71K 6.5K 40
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
34.4K 2.9K 66
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...