My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 172K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 14

50.4K 4K 52
By jingga_senja_

Mima meringis pelan saat merasakan sensasi dingin yang berasal dari plester penurun panas didahinya. Iya, benda penurun demam khusus anak-anak itu kini menempel diatas kepalanya dan siapa lagi yang bukan berani melakukannya jika bukan Arlan.

Setelah perdebatannya yang cukup sengit dengan Bella, Arlan ternyata membawa Mima ke ruang kesehatan dan mendudukkannya begitu saja sebelum akhirnya menyuruh salah seorang OB untuk membeli plester pereda demam, karena tidak tersedia disana.

Sampai saat ini Arlan masih diam, raut wajahnya tidak seseram tadi tapi tetap saja Mima masih agak takut kalau harus mengajaknya bicara. Maka dari itu ia memilih untuk diam sambil berbaring diatas ranjang ruang kesehatan, lumayan bisa istirahat juga sebentar.

"Saya pernah ada rasa sama dia." Mima yang sedang memunggungi Arlan sontak terkejut ketika mendengar suara pria itu, terkesan tiba-tiba makanya Mima kaget. "... Dulu, sewaktu saya masih kerja sebagai karyawan biasa disini dan dia sudah mulai sibuk dengan karirnya sebagai model. Saya dengan percaya diri nembak Bella, karena saya pikir visi dan misi kita sama. Kita bisa sama-sama berkembang dengan karir kita, selain itu kita juga udah mengenal sangat lama. Tapi ternyata saya salah." Terdengar helaan napas yang begitu berat dari arah belakang, dimana Arlan berada.

Mima masih mendengarkan tanpa berniat menyela. Karena jujur saja ia jadi penasaran kalau Arlan sudah cerita begitu, padahal sebelumnya Mima bodo amat.

"Bella gak mau. Dia bilang dia gak cinta sama saya dan anggap saya gak lebih dari seorang teman. Ya, alasannya sih begitu tapi dua hari kemudian saya malah dengar kabar kalau dia jadian sama salah satu petinggi yang urus acara fashion week di luar negeri. Dari situ saya sadar, kalau sebenernya dia nolak saya bukan karena kita teman. Tapi, karena Bella gak mau kita berproses bareng. Dia pengen seseorang yang bisa menguntungkan buat kerjaannya dan mempermudah jalan jenjang karirnya." Arlan tersenyum tipis, mengingat kejadian lampau yang sempat membuatnya merasa begitu rendah sebagai seorang pria.

"... Sebenarnya Bella gak salah dan dia berhak untuk lakuin itu. Yang ngebuat saya ngerasa kesal adalah, kenapa dia justru bersikap seolah dia suka sama saya setelah apa yang dia lakuin? Bahkan kejadian itu udah lima tahun yang lalu. Meskipun saya coba buat balikin hubungan pertemanan kita, tetep aja gak bisa. Rasanya kayak, harga diri saya tergores---"

"Itu bukan salah Bapak." Suara Arlan tercekat ketika mendengar Mima menimpali. Dia pikir wanita itu tidur.

Perlahan Mima bangkit dan merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah Arlan, keduanya saling memandang satu sam lain. "Emang bener itu hak Bu Bella dia mau memilih berproses sama Bapak atau justru bersama dengan pria yang sudah siap menunggunya diatas. Tapi, ketika dia memilih salah satu diantara itu maka seharusnya dia juga siap dengan resiko yang akan dia dapatkan. Ya, dengan sikap Bapak yang gak bisa lagi seperti dulu." Kalimat yang terurai dari mulut Mima berhasil memberikan ketenangan bagi Arlan.

"Menurut kamu begitu? Apa itu gak kekanakan?" Mima tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya.

"Enggak. Itu kan masalah hati, dan yang ngerasain sakitnya kayak apa Bapak sendiri bukan orang lain. Jadi, Bapak berhak mau menerima Bu Bella lagi atau enggak. Bapak juga berhak marah kalau merasa self space Bapak diganggu," jawabnya tanpa mengalihkan sedetikpun tatapannya dari sepasang obsidian milik Arlan.

Arlan menarik tiap sudut bibirnya hingga membentuk kurva manis. Akhir-akhir ini, mendengar kalimat bijak yang tercetus dari mulut Mima memberikan reaksi tersendiri pada perasaan Arlan. Wanita itu tahu bagaimana cara menenangkan orang lain tanpa menghakimi pihak manapun. Rasanya seperti candu mendengar suara Mima untuk waktu lebih lama lagi.

"Mima?"

"Ya, Pak?"

Mima menautkan sebelah alisnya saat Arlan tak kunjung bicara dan hanya memperhatikannya. Sampai akhirnya pria itu berdiri lalu secara tiba-tiba memeluknya dengan erat. Tindakan yang terkesan mendadak itu membuat tubuh Mima mematung, pria itu bahkan tak izin dulu.

"Saya lagi butuh pelukan. Izinin saya meluk kamu bentar, ya?" Keinginan mengomel Mima seketika lenyap setelah mendengar ucapan Arlan. Pada akhirnya wanita itu mengangguk dan dengan ragu membalas pelukan Arlan.

Merasakan sebuah usapan hangat dipunggungnya, Arlan semakin melebarkan senyuman dan menelusupkan wajahnya pada rambut Mima.

•Beloved Staff•

Peluncuran produk terbaru berjalan dengan lancar dan sejauh ini tidak mengalami masalah yang serius. Kondisi kantor semakin sibuk setelah peluncuran produk karena tahap pemasaran dan promosi jauh lebih sulit dari yang dipikirkan, karena diwaktu-waktu itu adalah penentuan apakah produk dapat diterima konsumen atau tidak. Setidaknya mereka harus menunggu selama sebulan sampai menerima hasil yang maksimal.

Iya, sejauh ini sih tidak ada masalah serius kecuali ...

"Ma, bukannya itu kayak totebag punya lo, ya?"

Mima menatap datar Lova yang terlihat seru sekali mengobrol dengan Bella. Setelah mulai bekerja di kantor, Bella memang terbilang paling dekat dengan Lova. Entah mengapa mereka berdua bisa se-klop itu, tapi terkadang kombinasi keduanya itu bisa sangat menyebalkan ---terutama bagi Mima.

Melihat sebuah tas yang familiar dipandangannya, Mima lantas menunduk hanya untuk melihat totebag yang kebetulan sedang dia pakai jari ini.

Ya, sampai detik ini drama cocokologi style antara dirinya dan Lova masih terus berlanjut.

Awalnya Mima tidak mau terlalu ambil pusing dan ia juga tidak berhak untuk mengatur orang lain mau memakai barang apa 'kan? Kesannya malah jadi mengatur. Tapi lama kelamaan dan banyak yang sadar, Mima semakin tidak bisa merespect gadis tengil itu.

Kalau benar selama ini Lova mengikuti gayanya, apa alasannya? Apakah Lova fansnya?

"Udahlah, biarin aja!" Rosa menghela napasnya dan berjalan beriringan memasuki lift.

"Tapi lama-lama gue ngerasa keganggu tau. Untung aja tinggi badan kalian beda jauh, coba kalo sama. Pasti banyak yang keliru bedain antara lo sama si Lova," ujarnya membuat Mima terdiam sambil mencerna apa yang baru saja Rosa katakan.

"Jadi, maksud lo gue pendek gitu?"

Rosa mendelikan matanya. "Ya, emangnya kapan lo tinggi? Sesekali lo kasih dia teguran gakpapa kali, Ma. Biar gak keenakan dia," sarannya. Tapi Mima hanya diam sambil memikirkan kira-kira menu makan siang hari ini dengan apa.

Itu jauh lebih bermutu bagi Mima.

Ketika Mima pergi ke toilet, kebetulan sekali ia bertemu dengan Lova yang sedang mencuci tangannya. Kelihatannya gadis itu juga tengah re-touch make up ---padahal ini masih jam sepuluh dan tidak terlalu panas, make up-nya pasti belum luntur.

Mima berdiri didepan wastafel dan menyalakan keran air sebelum membasuh kedua tangannya, hingga tanpa sengaja ia melihat lip produk yang baru saja Lova keluarkan. Bukan hanya itu saja, bedak, dan parfumnya pun ternyata sama dengan punyanya.

Refleks Mima menegakan bahunya lalu menoleh ke arah Lova. "Lo pakai parfum itu juga, Lov?" tanyanya, menunjuk parfum botol kaca yang Lova pegang.

Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Mima melanjutkan, "Wah ... kebetulan banget gue juga pake merk sama. Wanginya juga sama. Pantes aja tiap lo lewat, bau parfum lo gak asing."

Raut wajah Lova langsung kelihatan lebih tegang dari sebelumnya, gadis itu langsung memasukan botol parfumnya ke dalam pouch. "Aku dari lama suka pakai parfum itu, kok, Mbak." Mima ber-oh ria lalu tersenyum tipis.

"Lip produk sama bedak kita juga sama lho, Lov. Gue gak nyangka kalo kita satu selera."

Kedua kelopak mata Lova melebar, tangannya yang sedang menggenggam pouch seketika mengerat. "Maksud Mbak, aku ngikutin Mbak gitu?" Mima melirik Lova yang sedang menatapnya terang-terangan dengan sinis, ia pun menautkan alisnya.

"Lo ngerasa?" Mima melempar tissue bekasnya ke dalam tempat sampah dan merapikan rambut coklatnya. "Gue awalnya gak mau peduli sih, tapi lama kelamaan orang lain pada nyadar juga dan bikin gue ngerasa gak nyaman. Rambut, style, tas, dan make up. Besok, apa lagi?" Pertanyaan tersebut terlontar dengan begitu saja dari mulut Mima, kalau bukan karena Lova memasang wajah menantang, Mima ogah meladeni.

Lova meletakan pouch-nya secara kasar ke atas wastafel. "Aku gak nyangka kalo Mbak ternyata sekekanakan itu. Cuman perkara mirip pun Mbak sampai nganggap itu sebuah masalah. Bukannya wajar ya, Mbak kalo kita punya barang mirip? Apa itu berarti aku ngikutin Mbak?" balas Lova membela diri, kentara jelas bahwa dia tidak mau kalah.

Mima melipat kedua lengannya didepan dada yang membusung. "Sebenernya gue gak masalah kok, tapi dari nada bicara lo yang kedengeran sewot saat gue nanya baik-baik. Gue pikir ada baiknya gue ngasih tau lo. Terserah mau lo ngatain gue kekanakan atau apapun itu, gue gak peduli. Tapi jangan ngelunjak! Gue juga punya batas kesabaran." Lova mengepalkan kedua tangannya, dadanya naik-turun karena emosi yang berhasil Mima pancing.

"... Gue awalnya cukup respect sama lo karena lo anaknya seru. Tapi gak tau kenapa sekarang hilang gitu aja setelah lo bersikap gak sopan, gue bukan orang yang gila hormat, kok. Cuman harusnya lo tau gimana adab yang bener saat bersikap sama orang yang lebih tua dari lo. Kalo lo merasa nyaman 'mengikuti' gue silahkan, gue gak keberatan. Tapi, lo jangan lupa kalo yang original jelas lebih baik dibanding tiruan." Mima menggedikan bahunya sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Lova yang berhasil ia buat bungkam di tempat.

Detik berikutnya gadis itu menjerit dan melempar pouchnya ke sembarang arah hingga isinya berhamburan.

•Beloved Staff•

"Pantau terus, dan jika ada masalah langsung kabari ke pusat. Sejauh ini permintaan produk cukup stabil, tapi kita gak bisa puas gitu aja. Perjalanan produk ini masih jauh dan saya harap kita semua selalu kompak untuk kedepannya."

Meeting ditutup dengan tertib, setelah dua jam berkutat saling memberi pendapat dan masukan mengenai peluncuran produk akhirnya para karyawan bisa keluar dari dalam ruangan ber-AC tinggi tersebut. Arlan merenggangkan dasi di lehernya sembari berjalan menuju ruangan, hari ini dia tidak menemukan Mima di ruang meeting dan hanya melihat Rosa saja.

Mau bertanya tapi masih banyak orang dan wanita itu keburu pergi sehingga ia tidak sempat menanyakan dimana keberadaan Mima.

Setelah kejadian di ruang kesehatan hari itu, mereka tidak lagi berkomunikasi cukup intens seperti biasa karena sama-sama sibuk untuk peluncuran produk baru. Sesekali diskusi hanya untuk membahas hal penting saja, setelah itu kembali ke kegiatan masing-masing.

Dan entah kenapa Arlan terus memikirkan Mima. Rasanya seperti ada yang kurang dan mendadak ingin bertemu. Apakah ini yang dinamakan rindu?

Langkah Arlan mendadak terhenti ketika matanya tanpa sengaja menangkap kehadiran sosok yang sejak tadi mengganggu pikiran. Mima, wanita itu sedang sibuk dengan mesin printer yang sedang mencetak, dan ia seorang diri.

Senyumannya tertarik, sambil bersandar pada daun pintu Arlan memerhatikan Mima dari samping ---dimana ia bisa melihat lekukan wajah cantik itu dengan jelas.

Sampai akhirnya Mima mulai menyadari kehadiran orang lain di sana dan tampak terkejut saat melihat Arlan tengah mengawasinya. "Pak Arlan?" Arlan melambaikan tangan, berjalan masuk untuk menghampirinya dan mengambil secarik kertas yang baru selesai mencetak file.

"Kenapa gak ikut meeting?" tanyanya pada Mima, mempertanyakan ketidakhadiran wanita itu padahal biasanya Mima selalu diutus untuk hadir di setiap pertemuan diskusi.

Mima hanya menggelengkan kepalanya. "Kan ada Rosa," jawabnya singkat sambil tersenyum tipis.

Arlan menyerahkan sebuah map kosong pada Mima membuat si wanita mengernyitkan dahinya. "Masukin kesini biar gak berantakan."

"Makasih."

Arlan terus memandang setiap jengkal wajah Mima, mencoba mencari arti dari ekspresi wanita itu saat ini. "Kamu gak lagi ada masalah, 'kan?" Pertanyaan kali ini berhasil membuat Mima tersentak.

Mima menatap Arlan dengan bingung. "Gak ada. Kenapa Bapak mikir sampai kesitu?" Pria itu menggedikan bahunya.

"Cuman kepikiran aja. Kamu kelihatan gak seceria biasanya." Mima menipiskan bibirnya, mencoba untuk tidak salah tingkah saat mendengar jika Arlan memikirkannya.

Wanita itu sontak tertawa kecil. "Siapa yang gak tertekan kalau tiap hari terus disuruh kejar target, Pak? Coba kalau dikasih bonus, tapi senyum tiap hari saya." Pengakuan Mima sukses membuat Arlan ikut tertawa.

"Jadi, kamu kecapekan?"

"Capek aja."

"Mau jalan sama saya?" Kedua kelopak mata Mima melebar. Melihat Arlan yang tersenyum sangat manis ke arahnya setelah mengatakan itu, memicu reaksi detakan kencang pada jantungnya.

Sedetik kemudian Mima menarik tiap sudut bibirnya hingga membentuk kurva manis, kedua sudut matanya berkerut. "Mau!" Ya, tidak ada alasan lagi bagi Mima untuk menolaknya.

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

174K 13.1K 33
[Lengkap] Di saat matahari tidak lagi menampakkan dirinya. Entah matahari itu hanya bersembunyi atau memang hilang. . . . โš ๏ธDon't PLAGIAT!! Start...
Miss Rempong By UNI

General Fiction

3.9M 518K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
4.9M 459K 37
Nayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik yang membuat siapapun terpesona. Namun, di...
118K 13.7K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...