My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 170K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 12

50.5K 4.1K 46
By jingga_senja_

Makan siang kali ini Mima sedikit terlambat karena tidak tepat waktu menyelesaikan laporannya, sehingga saat datang ke kantin makanannya tersisa sedikit dan beberapa wadah terlihat sudah habis hanya menyisakan bumbu. Mima jadi makan seadanya.

Sambil mencari meja kosong, dia mengedarkan pandangannya ke segala arah mencoba mencari tempat yang menurutnya nyaman untuk dipakai makan. Kedua temannya sudah selesai lebih dulu, memang bukan kawan sejati karena tidak menunggunya untuk makan bareng.

Tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan sepasang obsidian milik Arlan, pria yang sedang menikmati makanannya itu tidak sendirian melainkan bersama Lova yang duduk di sampingnya.

Tidak ingin mengganggu, Mima memilih untuk berlalu begitu saja namun apes, Arlan malah memanggil namanya dengan cukup keras hingga menarik beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Wanita itu memejamkan matanya menahan malu.

Mau tak mau ia berbalik lalu tersenyum ke arah Arlan yang justru menyeringai, sepertinya puas karena berhasil membuatnya kesal. "Duduk disini. Makan sama saya," katanya seraya menunjuk kursi kosong didepannya. Kentara jelas pria itu berusaha untuk mengabaikan Lova.

"Saya cari tempat lain aja, Pak."

"Masa makan sendiri? Biasanya juga makan bareng saya, kok." Apa katanya?

Apa maksud Arlan barusan? Mereka hanya makan bersama beberapa kali saja. Mima memicingkan kedua matanya, karena bisa-bisanya Arlan berbicara yang justru dapat menggiring opini dari orang-orang.

Tak ingin membuat suasana semakin buruk, Mima lantas berjalan ke arah meja Arlan dan duduk dihadapan mereka. Lova hanya menatap tanpa ekspresi sambil melanjutkan makan siangnya.

Arlan menatap Mima sambil tersenyum. Ada perasaan senang tersendiri dalam hatinya ketika melihat wajah merengut Mima, apalagi kalau bibirnya sudah memanyun. Mima jadi kelihatan mirip anak ayam. Lucu sekali.

Dengan inisiatif yang muncul dalam kepalanya, Arlan mengambil potongan ayam Krispy yang belum dia sentuh sama sekali lalu memindahkannya ke wadah makan Mima. Tindakan tersebut berhasil membuat Mima dan Lova sama-sama terkejut.

Mima menatap Arlan dengan matanya yang melebar, seolah meminta penjelasan apa maksud dari yang barusan ia lakukan. "Kamu cuman makan sayur dan tempe. Makan ayam saya aja. Kamu suka ayam goreng, 'kan?" Tanyanya dengan nada enteng seolah tingkahnya barusan bukanlah apa-apa.

"T-tapi ... Ini kan punya Bapak."

"It's okay. Saya udah kenyang. Lagian saya gak begitu suka daging ayam, jadi kamu bisa makan. Belum saya cicipi, kok." Mima mengerjapkan matanya beberapa kali.

Ditatapnya potongan ayam krispy tersebut dalam diam. Dirinya memang sangat suka makanan olahan ayam, tapi dari mana Arlan tahu ---dan kenapa harus melakukan ini didepan Lova?

Apakah sebenarnya pria itu sengaja ingin memanasi Lova? Sepertinya berhasil karena wajah gadis itu sekarang kelihatan sangat merah.

Lova berdeham pelan, dia melemparkan senyuman pada Arlan. "Kalau begitu saya duluan, Pak Arlan. Permisi." Gadis itu bahwa tidak mau repot-repot berpamitan pada Mima seolah tidak menganggapnya ada.

Mima tersenyum sinis. Sangat tidak sopan!

Arlan mengulurkan tangannya dan menarik kembali kepala Mima agar fokus pada makanannya. "Lanjut makan. Biarin dia pergi, dari tadi dia ganggu saya." Wanita itu melayangkan tatapan membunuhnya pada pria dihadapannya.

"Jadi Bapak jadiin saya tameng buat usir dia gitu?" Arlan menggeleng.

"Enggak, kok. Saya emang tulus ngasih kamu ayam itu," jawabnya membuat Mima mendengus dan menggigit potongan ayam tersebut sekaligus.

Arlan melebarkan senyumannya, diusapnya puncak kepala Mima sampai membuat sang empu tersentak. "Makan yang banyak, Jemima!" Usapan yang terasa lembut dari telapak tangan lebar Arlan memberikan dampak tak terduga pada Mima.

Rasanya hangat dan ajaibnya kehangatan tersebut mengalir hingga ke kedua pipinya, lalu turun ke hati. Tidak pernah ada yang melakukan itu kecuali papanya, saat kecil Mima sering mendapatkan usapan tersebut saat sedang bersama sang papa, beranjak dewasa sampai papanya menikah lagi pun beliau masih sering melakukannya meski Mima jadi agak malu karena sudah besar. Lalu sekarang pria lain justru melakukannya.

Mendadak Mima serasa tuli, keadaan di sekitar seperti sunyi dan hanya detak jantungnya saja yang terdengar.

Ketika ia mendongak, Mima dihadapkan dengan Arlan yang masih tersenyum. Kerutan khas di pangkal hidungnya tiap kali pria itu senyum memberikan kesan manis di wajahnya. Sekarang Mima setuju dengan apa yang Via katakan; kalau Arlan itu tampan dan menarik diwaktu yang bersamaan.

•Beloved Staff•

Mima berlari menyusuri koridor lantai 3 sambil sesekali menoleh ke belakang, seperti sedang menghindari seseorang. Raut wajahnya kentara sekali kalau wanita itu terlihat cemas, ia bahkan sampai tidak sadar mengabaikan beberapa orang yang menyapanya.

Mima berbelok ke sebuah kamar mandi dan menutup salah satu bilik sebelum akhirnya menghembuskan napas lega karena berhasil menghindar dari Arlan. Ya, sejak tadi dia mati-matian menjauh dari pria itu karena Arlan mengajaknya untuk pergi ke ruangan bersama, namun Mima menolak dan alhasil kabur saat Arlan tidak sadar.

Bukannya apa-apa, tapi kondisi jantung Mima kembali tidak baik-baik saja setiap ada didekat Arlan. Apalagi kalau sampai Arlan berlaku aneh-aneh, seperti tersenyum atau menyentil keningnya. Jantungnya suka sekali berulah dan memberi tanda kemerahan di pipi, Mima takutnya Arlan menyadari kalau dirinya sedang salah tingkah. Kan bahaya!

Mima tidak mau dan tidak mau peduli dengan reaksi aneh yang dirinya rasakan, yang jelas untuk saat ini menghindar dari Arlan adalah hal yang tepat sebelum nantinya mereka kembali bertemu. Karena Mima yakin jika rasa yang muncul itu hanya datang sesaat dan akan hilang dengan sendirinya.

Logika saja, wanita mana yang tidak akan salah tingkah kalau diusap kepalanya seperti tadi?

Sedang asyik merenung sendiri, suara seseorang tiba-tiba terdengar melintas di telinga Mima. "Apa sih hebatnya dia? Letak cantiknya dimana? Masih mendingan gue kemana-mana. Cuman karena dia gue jadi dicuekin, sakit emang matanya!" Kening Mima berkerut ketika suara tersebut terdengar tak asing di indera pendengarannya. Sedangkan orang itu terus mendumal dari luar.

Mima lantas berinisiatif untuk sedikit membuka pintu bilik, mendapati sosok Lova yang sedang berdiri didepan cermin. Gadis itu nampak sibuk berbicara sendiri.

"Gue udah coba segala cara buat bikin perhatian lo balik ke gue, tapi ternyata di Jemima boncel itu udah tutup mata lo. Gak tau diri! Bahkan prestasi dia di kantor ini pun gak ada tapi bisa-bisanya Pak Arlan suka sama dia!" Seperti ada benda tajam yang menikam dada Mima, wanita itu terhenyak setelah apa yang Lova katakan.

Gadis muda itu, yang sering bersikap manis didepannya seolah seorang teman, kali ini sedang menjelekkan dirinya?

"... Jemima! Lo cuman bisanya nyuruh-nyuruh gue doang kayak kacung, padahal lo gak bisa ngapa-ngapain disini. Liat aja, gue bakal bales lo kalo gue keterima jadi pekerja tetap disini."

Mima tersenyum tak percaya. Emosinya langsung naik ke ubun-ubun begitu tahu seperti apa pandangan Lova kepadanya selama ini, bahkan Lova tidak segan mengatakan hal yang lebih buruk.

Gadis itu sudah memupuk kebencian sejak lama dan semakin menjadi-jadi semenjak dirinya dekat dengan Arlan. Apa itu juga alasan mengapa Lova mengikuti gayanya?

Ini tidak bisa dibiarkan!

Mima nyaris menendang pintu bilik jika seseorang lain diluar sana tidak datang dan membuatnya mengurungkan niat tersebut. Sebelah alisnya terangkat ketika melihat punggung orang tersebut dari belakang.

"Kamu tahu dimana ruangan Pak Arlan?" Orang itu berbicara dengan suaranya yang terdengar begitu lembut.

"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Mima berdecih ketika menyadari perubahan image Lova dalam sekejap mata. Lova memang sudah manipulatif sejak dulu, dianya saja yang baru sadar.

"Bisa antar saya ke ruangan beliau? Saya ada perlu dengan Pak Arlan."

"Mari!"

Dua wanita tersebut pergi dan Mima benar-benar sendiri sekarang. Perlahan ia keluar dari tempat persembunyiannya dan berdiri menatap cermin yang memantulkan bayangan setengah tubuhnya. Kedua tangannya terkepal kuat saat kata-kata Lova kembali terngiang.

Mima tidak suka ketika orang lain menganggap dirinya lemah, atau membiarkan siapapun menjatuhkan harga dirinya. Ia sudah pernah merasakan bagaimana menyakitkannya ditindas dan kali ini tidak lagi, Mima tidak akan memaafkan siapapun yang berusaha menjatuhkannya setelah sudah payah ia bangkit seperti sekarang.

Memangnya Lova pikir dia siapa? Apa pengaruhnya di tempat ini sehingga ia bisa seenaknya menganggap orang lain rendahan?

"Sialan!"

•Beloved Staff•

Lova tersentak saat melihat setumpuk file yang baru saja Mima letakan ke atas mejanya, dia bahkan menduga kalau terdapat lebih dari 10 file dalam bentuk fisik yang ada didepan matanya saat ini. Gadis itu melemparkan tatapan tak mengertinya ke arah Mima.

"Ini ... apa, Mbak?" tanyanya sambil tersenyum kaku.

Mima mengusap debu yang menempel di kedua telapak tangannya dari file-file tersebut. "Yang harus lo kerjain. Lo catat ulang semua tanggal produksi produk yang ada disana, harus catat tangan, ya. Nanti kalo udah selesai kasih ke gue, soalnya mau dipake buat bahan perbandingan produk baru." Ia menjelaskan sambil memasakan senyuman lalu sebelum pergi menepuk pelan bahu Lova, mendelikan matanya dan tak menaruh simpati atas apa yang Lova dapatkan.

Itu mungkin tidak setimpal, jika Lova memiliki niatan buruk padanya maka Mima akan lebih dulu bersenang-senang dengannya. Setidaknya Lova harus melakukan hal berguna sebelum masa magangnya habis.

Sesaat setelah Mima menghantamkan bokongnya ke atas kursi, Rosa langsung mendekat dan bertanya, "Lo kenapa, sih? Tumben ngasih kerjaan banyak sama tuh anak?" Membuat Mima menatap ke arahnya dan menggeleng.

"Pengen aja. Lagian Bang Firda juga bilang supaya gue minta bantuan anak magang kalo lagi sibuk, itu mah sedikit kali!"

"Beneran? Tapi muka Lo pas nyamperin dia tuh kayak ada sesuatu gitu. Lo gak nyembunyiin sesuatu, 'kan?" tuding Rosa disertai kedua mata menyipit, seolah mengendus bahwa ada yang temannya sembunyikan darinya.

Sedangkan Mima hanya tersenyum simpul dan membalas dengan acungan jempol. "Aman, kok." Iya, Mima tidak akan bilang karena masalah ini adalah menyangkut pribadi. Mima akan menyelesaikannya sendiri.

Lova menghampiri meja Mima saat jam sudah mendekati waktu pulang, ditangannya terdapat beberapa kertas yang berisi catatan tangannya. "Mbak, ini catatannya baru setengah gakpapa, 'kan? Besok aku lanjut lagi sisanya."

Mima yang sedang menikmati kopinya seketika menghela napas dan menerima catatan tersebut lalu memeriksanya. "Ya udah. Oh, iya kalo bisa ini pinggirannya pake garis, ya? Soalnya gak enak aja kalo gak rapih." Lova terlihat menggembungkan pipinya dan menggaruk tengkuk.

"Maaf, Mbak. Biasanya gakpapa kalo gak pake garisan, jadinya saya gak ambil dulu."

"Iya, emang gakpapa tapi ada bagusnya kita lebih teliti lagi aja. Kan gak perlu disuruh. Hal sepele kayak gini gak perlu gue ingetin, 'kan?" Nada bicara Mima yang ketus dengan raut wajah terkesan dingin membuat Lova sedikit terkejut, karena pertama kalinya Mima bersikap demikian.

Memang Mima bukan tipe yang kelewat ramah, tapi juga bukan senior galak setahu Lova.

"Maaf, Mbak. Aku ngerti." Mima hanya mengangguk dan membiarkan Lova kembali ke mejanya, mengabaikan tatapan yang gadis itu terus layangkan padanya.

Mood Mima sudah terlanjur rusak sejak siang sehingga masalah sekecil apapun jadi terlihat menyebalkan di matanya. Mima tahu itu salah dan akan sangat tidak profesional jika ia menyangkut pautkan masalah pribadi di tempat kerja, tapi ada kalanya ia juga kesulitan mengendalikan diri.

Saat memasuki parkiran basement dan hendak mendekati Arlan untuk pulang mengingat saat berangkat mereka bersama, langkah Mima berubah pelan ketika mendapati bahwa pria itu tidak sendiri.

Arlan nampak bersama seorang wanita yang Mima lihat kemarin. Tapi, kenapa dia ada disini? Pikirnya.

"Pak Arlan?" panggilnya, membuat sepasang manusia itu sama-sama menoleh ke arahnya.

Arlan langsung bangkit dan menghampirinya dengan raut wajah sulit diartikan. "Kita pulang sekarang. Tapi, dia ikut gakpapa, 'kan?" Mima mengernyit. Ia melemparkan senyuman tipisnya dan mencuri pandang ke arah Bella.

"Itu kan mobil Bapak, Bapak berhak ajak siapapun. Kenapa minta pendapat saya?"

Arlan menghela napasnya kasar. "Saya cuman takut kamu gak nyaman." Dengan cepat Mima menggeleng.

"Saya bisa pulang naik taksi kalo Bapak ada keperluan." Dengan cepat Arlan mencekal lengan Mima seolah menahan wanita itu untuk pergi.

"Kamu pulang bareng saya. Saya akan antar sampai apartemen kamu." Tidak ada yang bisa Mima lakukan selain mengangguk.

Mima tidak mau tahu ada apa hubungan antara Arlan dan Bella, untuk sekarang. Mima hanya ingin segera sampai ke apartemen lalu beristirahat.

Kali ini ia duduk di kursi belakang karena Bella lebih dulu menempati kursi didepan ---tidak masalah asalkan bukan di bagasi, Mima baik-baik saja.

"Udah lama banget aku gak liat jalanan Jakarta kayak gini. Kamu ingat gak sih, dulu kita sering bareng motoran sore-sore? Aku kangen banget, deh suasana dulu."

Sepanjang perjalanan, wanita bernama Bella itu banyak sekali bicara sehingga Mima mengetahui kalau dua orang didepannya sudah saling mengenal sejak lama. Karena yang Bella bicarakan kebanyakan masa lalu terus. Mulutnya tidak berhenti bersuara meski Arlan hanya menanggapi dengan gesture, nyaris seperti tidak mau menjawab.

"Dulu tuh ...," Tuh, kan dulu lagi. "... Kamu suka banget bawa aku ke tempat-tempat seru. Tiap aku bilang lagi sedih, pasti ada aja inisiatif kamu buat hibur aku. Aku sadar sekarang seberharga itu masa lalu kita, Ar. Aku beneran kangen." Bahkan tidak peduli bahwa ada orang lain di sekitarnya, Bella memeluk lengan Arlan dan bersandar pada bahunya.

Melihat pemandangan tersebut Mima mendadak kesal. Ia merasa ingin sekali mendorong Bella agar menjauh dan melakban mulutnya supaya berhenti berbicara, karena kupingnya sangat panas sekarang. Apa orang lain juga bereaksi seperti itu ya saat dirinya dalam mode cerewet? Mima jadi bertanya-tanya sekarang.

Didepan, Arlan terus mencuri-curi pandang ke arah Mima melalui mirror view. Wanita itu jadi lebih banyak diam dan wajahnya nampak murung dari terakhir kali mereka bertemu, padahal biasanya selalu ada saja yang Mima bicarakan.

Apa Mima tidak suka Bella ikut? Apa wanita itu merasa terganggu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengganggunya dan memberikan sebuah gelenyar ketakutan aneh bagi Arlan.

"Bel, aku lagi nyetir!" tegurnya, agar Bella berhenti bergelayutan pada lengannya, dan berhasil membuat wanita itu sontak melepaskan pegangannya.

"Sorry, aku udah lama banget gak ketemu kamu, Ar. Aku kangen---"

"Jemima, kamu mau cari makan dulu?" Bella mengernyit, melirik pada wanita lain yang sejak tadi duduk terdiam di kursi belakang. Keningnya mengernyit tak suka.

Jemima menggelengkan kepalanya. "Gak, Pak. Saya langsung pulang aja." Sudah tak tahan juga Mima berada diantara mereka berdua.

"Oke."

Setelah mobil yang mereka tumpangi berhenti di tempat tujuan, Mima bergegas untuk keluar setelah mengucapkan terima kasih, disusul oleh Arlan. "Jemima?" Arlan menarik pergelangan tangan wanita itu, membuat sang empu kembali menoleh.

"Ya, Pak?"

Arlan menelan salivanya, dia mendadak kehilangan suara saat kedua mata Mima menyorot tampak sendu. "Kamu ... Baik-baik aja, 'kan? Apa kamu sakit?" tanyanya seraya menyentuh kening Mima untuk merasakan suhu tubuhnya.

Mima refleks menjauhkan diri membuat Arlan tertegun. "Saya gakpapa, kok, Pak. Bapak mending masuk, tuh yang didalam nungguin. Saya juga mau cepat-cepat istirahat. Hati-hati di jalan, Pak!" cerocosnya lalu melepaskan tangan Arlan dan berlari kecil menuju lift, meninggalkan Arlan yang meratapi kepergiannya dalam gamang.

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

921K 97.7K 29
Dalam setiap kontrak kerja, pihak pertama yang berhak memutuskan kontrak pihak kedua sewaktu-waktu, bukannya pihak pertama yang mohon-mohon supaya pi...
239K 13.9K 47
Alenka seorang yang terlahir dari keluarga sederhana, tapi hidupnya tidak sederhana karena orang tuanya selalu melakukan kekerasan terhadap Alenka. A...
44.9K 2.3K 44
Putusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang geg...
2.2M 33.2K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...