Ruang dan Waktu

By sirhayani

217K 17.2K 875

Dalam keluarga besar itu pun tahu bahwa Kalila hanyalah anak angkat yang ditemukan di depan rumah saat anak l... More

pratinjau
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9,5
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Cerita Lain: Make Them Fall in Love with You
33
34
35
37
38
39.a
39.b|
40
41
42
43
44
45.a
45.b|
46

36

2.1K 210 111
By sirhayani

36

"Kak?" Kalila menggigit bibirnya, menahan isaknya yang tak bisa berhenti. "Please, jangan bercanda."

Jiro menahan tawa, lalu tawanya tak bisa berhenti saat dia menjauh dari Kalila dan mengguling tubuhnya ke samping sambil memegang perut.

"Tuh, kan!" Kalila memukul Jiro yang memunggunginya. Diambilnya bantal empuk di atas tempat tidur itu, lalu dia pukulkan ke Jiro dengan membabi buta. "Jadi aktor aja, Kak! Nakutin tahu! Ish!"

Jiro memegang kedua pergelangan tangan Kalila dan cowok itu masih tertawa kecil. Kalila berdecak dan berusaha menjauh saat Jiro membawanya ke dalam pelukan. Meski berkali-kali Jiro mengucap kata maaf sambil mencium puncak kepalanya, tetapi Kalila masih kesal. Dia sampai menangis karena keisengan cowok itu.

"Bercanda lo kelewatan, Kaaak!" Kalila memukul Jiro dengan sekuat tenaga, berharap Jiro kesakitan dan mau melepasnya. "Ngapain bercanda kayak gitu coba?"

"Pengin buat lo nangis aja," jawab Jiro dengan wajah tanpa dosa saat cowok itu memandang wajah Kalila. "Gue suka bikin lo nangis, Kalilaaa. Terus nenangin lo dengan cara meluk gini."

"Psiko!" seru Kalila. "Enggak jadi nonton drama zombie, ah." Kalila mengambil remote dan sedikit kesusahan karena Jiro masih tak mau melepas pelukannya. Dibanding drama yang memakan waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya, maka kali ini Kalila memilih film dengan genre aksi dan subgenre komedi.

Ketika film dimulai, Kalila malah tidak fokus dan memikirkan hal lain. "Gue penasaran, ruangan rahasia Kak Jiro." Kalila menoleh pada Jiro yang masih memeluknya dari samping. "Nggak mau ngasih tahu gue?"

"Belum saatnya." Jiro mencium puncak hidung Kalila. "Tapi yang jelas, lo yang akan gue kasih tahu pertama kali."

Kalila mengangguk kecil. Dia harusnya bisa mengerti. Seberapa besar pun rasa penasarannya, Kalila tetap tak boleh melewati batas yang telah Jiro buat. Kalila kembali fokus pada film yang berlangsung. Suara percakapan disertai iringan musik dari film itu memenuhi ruangan ini.

Namun, Kalila tak tahu bagaimana mereka berakhir berciuman karena terlalu terbuai oleh Jiro yang kini memegang rahangnya dengan perlahan, menggerakkan wajahnya agar menghadap cowok itu. Kalila memejamkan mata dan mengalungkan kedua tangannya di leher Jiro saat Jiro mulai bergerak lebih mendekat. Tangan Jiro masuk ke bagian dalam kaos Kalila dan mengelus perut Kalila.

"Kak!" Kalila tersentak dan tak sadar berteriak, tetapi Jiro tak merespons sama sekali. Itu artinya situasi sekarang adalah pertanda bahaya. Jiro sudah tak bisa menahan diri. Jiro sendiri yang pernah mengatakan untuk menghentikan cowok itu jika mulai khilaf. Kalila harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membuat Jiro menjauh. "Tunggu! Hei, berhenti, Kak. Sadar!"

"Hm?" Jiro menjauh dan memandang Kalila lekat-lekat dengan mata sendunya. Hanya gumaman kecil tak jelas yang dia ucapkan. Cowok itu sama sekali tidak segera menjauh dan kembali mendekat dan mencium leher Kalila hingga membuat Kalila terkejut geli.

"Tunggu! Tunggu!" Katanya, jika laki-laki sudah tidak bisa menahan diri, maka dia tak akan bisa berpikir secara jernih. Dan pihak perempuan yang akan paling dirugikan di sini. "KAK JIRO! SADAR, HEIII?!"

Tidak. Teriakannya tak berhasil membuat Jiro berhenti. Cowok itu malah menarik celana Kalila dan berusaha menurunkannya hingga Kalila panik. Untung saja, ikatan tali training itu Kalila ikat dengan kuat.

Sebuah panggilan terdengar dari nakas. Kalila melirik dan menghela napas lega. "Handphone Kak Jiro bunyi. Siapa tahu penting?"

"Enggak ada yang lebih penting dari ini."

Kalila membelalak dan memukul-mukul dada Jiro. "Kak Jiro!"

"Hah." Jiro bangun dengan kesal. Dia duduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi murung. Tanpa melihat siapa yang menelepon, cowok itu langsung saja menyentuh warna hijau pada layar. "Ya?"

"Eum, Jiro. Gue ganggu nggak?" Jiro mengerjap mendengar suara Ashana, lalu menoleh dan menatap Kalila yang bingung.

"Enggak...," balas Jiro dengan pelan.

"Gue bisa minta tolong enggak?"

Jiro kembali menghadap lurus ke depan, membelakangi Kalila yang sedang memakan camilan. "Minta tolong apa?"

"Gue em..., ketabrak mobil...."

Jiro sontak berdiri. "Kena tabrak? Lo di mana sekarang?"

"Ah, enggak parah, kok, tapi sekarang di rumah sakit, sih. Tadi gue minta tolong ke temen gue, tapi temen gue telat datangnya. Jadi, maaf ya, yang ada di pikiran gue cuma lo. Lo bisa datang ke sini?"

"Ah, iya. Di rumah sakit mana?"

Alis Kalila nyaris menyatu. Dia bisa mendengar suara cewek, tetapi entah siapa. Perkataannya juga kurang jelas. Namun, Kalila langsung terbayang wajah Ashana. Karena itu juga, wajah Kalila langsung muram. Kenapa juga Jiro terlihat panik? Apa Ashana sedang terluka parah?

Ah, sungguh. Kalila berusaha untuk tidak cemburu buta. Toh, wajar saja jika Jiro khawatir karena temannya baru saja kena tabrak.

Setelah selesai berteleponan dengan Ashana, Jiro mendekat pada Kalila yang duduk murung di tempat tidur. Jiro duduk di tepi dan memegang pipi Kalila yang wajahnya memperlihatkan ekspresi tak senang.

"Kayaknya lo udah duga gue ditelepon siapa, ya?" tanya Jiro. "Ashana sendirian. Orang tuanya sibuk. Temennya juga telat datang. Jadi, gue ke sana dulu. Mau ikut bareg gue?"

Kalila membuang muka. "Enggak usah. "

"Serius enggak mau ikut?"

Kalila mengangguk dengan wajah kesal. "Enggak usah. Beneran. Enggak apa, kok," katanya, meski ekspresinya tidak mengartikan bahwa dia benar tak apa-apa.

Namun, Jiro malah berdiri dan menjauh setelah mencium puncak kepala Kalila. Bukannya memaksa Kalila untuk ikut bersamanya.

"Oke. Gue pergi dulu, ya? Tunggu di sini. Bentar, kok. Lo juga udah gue kasih lihat password dan ngasih kunci pintunya, kan?" Jiro bicara sambil membuka lemari untuk mengambil pakaian baru. Cowok itu lalu keluar dari kamar. "Habis ganti baju gue langsung pergi. Soalnya buru-buru banget."

Jiro menutup pintu kamar dan kamar itu kini hanya ada suara tembakan pistol dari film yang masih berputar. Ah, Kalila sama sekali tak tahu jalan ceritanya. Dia mengambil remote dan mengulangnya dari awal. Bibirnya dia gigit kuat-kuat. Belakangan ini dia cengeng jika cemburu. Kali ini, dia berhasil meredam cemburunya karena akhirnya bisa terbawa dengan alur film yang membuatnya tertawa.

Setelah film selesai, Kalila langsung murung lagi. Camilan yang Jiro siapkan sudah habis dimakan Kalila sendirian. Kalila menjatuhkan diri ke tempat tidur, lalu memejamkan mata. Dia menghela napas panjang lalu berdiri dan keluar dari kamar itu setelah mematikan televisi.

Saat Kalila kembali ke kamar karena selesai mengelilingi rumah Jiro untuk mencari kesibukan, ponselnya yang ada di dalam tas berbunyi. Dia mengambil tasnya di sofa kamar, lalu menerima panggilan dari Jiro. Entah apa yang akan Jiro katakan, tetapi perasaan Kalila sudah tidak enak.

"Halo, Kak?"

"Kal, gue pulang agak malam, kayaknya. Mumpung ini masih sore, lo pulang langsung aja, ya, ke rumah? Nanti Ibu nanya-nanya gue disaat kita enggak bareng gimana?"

"Pulang malem? Kira-kira jam berapa? Enggak bisa gue tungguin aja, Kak?"

"Enggak. Ini. Ashana harus pakai gips—"

"Ya. Gue bakalan langsung pulang." Kalila langsung memotong ucapan Jiro. "Udah, ya, bye."

"Kalila."

"Apa?" tanya Kalila, ketus.

"Lo jangan marah, ya?"

"Iya, iya. Gue enggak marah." Kalila mendongak dan menghela napas. "Kasihan Kak Ashana enggak punya siapa-siapa dan cuma punya Kak Jiro. Gue juga enggak mungkin ngelarang Kak Jiro buat bantuin Kak Ashana yang baru aja kecelakaan, kan? Iya, kan?"

Kalila tak sadar dia terlalu emosi. Meskipun dari ucapan dia mengatakan tak apa, tetapi intonasi suaranya bertolak belakang dengan perkataannya itu.

"Serius. Gue enggak apa-apa, Kak. Ikhlas, kok," kata Kalila saat dia menunduk dalam-dalam. "Udah, ya, Kak? Gue mau pesen driver online sebelum maghrib."

"I love you, Kalila."

Kalila menggigit bibir. "Love you too, Kak," balas Kalila, lalu dia mengakhiri panggilan itu.

"Haha. Yes, gue enggak nangis." Kalila tertawa. Pada kenyataannya dia menangis dalam hati. Dia bersyukur air matanya tak keluar. Dia tak perlu menangisi hal yang seperti ini. Tujuan Jiro jelas. Ingin membantu seorang teman yang tak punya siapa-siapa untuk datang dengan cepat.

Kalila menghela napas panjang. Dia bersandar di dinding kamar sambil memandang sebuah nomor baru yang sedang menghubunginya. Kalila menaikkan alis. Suasana hatinya sedang tidak baik. Dia tak mau bicara dengan siapa pun, tetapi bagaimana kalau seseorang menghubunginya karena hal penting?

"Halo?" sapa Kalila setelah menerima panggilan dari nomor kontak yang tak dia ketahui itu.

"Ini gue Kala."

Kalila memutar bola mata. "Gue pikir siapa. Apaan? Kenapa ngehubungi gue? Dapat nomor gue dari mana?" Kalila mengernyit. Terakhir kali, yang dia tahu adalah Kala tak punya ponsel. "Katanya lo enggak punya handphone?"

"Dapat nomor lo dari Fritzi," balas Kala. "Ini juga handphone bekas Fritzi yang katanya udah enggak dia pakai. Dia ngasih ke gue karena katanya masih bagus. Jadi gue bisa berkirim pesan sama dia."

Tak punya ponsel. Tak punya uang. Hah. Jika bukan karena diusir dari rumah, mungkin saja Kala adalah anak orang kaya yang segala akses ke rekeningnya diblokir.

"Kenapa lo ngehubungin gue?"

"Laper."

Kalila melotot. "Heh? Kenapa lo ngomong ke gue seolah-olah kode supaya gue ngasih lo makanan?"

"Memang."

"Dih, emang gue nyokap lo?"

"Iya, kok. Lupa? Lo kan ibu gue."

Anak siapa, sih? Orang tua mana yang telah membesarkan Kala hingga jadi tak sopan begini? Andaikan Kalila tak punya perasaan, maka dia sudah terang-terangan bertanya seperti itu pada Kala.

"Bapak di mana? Aku minta makan sama dia aja kalau Ibu enggak megang uang."

Kalila kembali memutar bola mata. "Nggak usah sandiwara di situasi gini. Mood gue udah rusak dan lo nelepon jadi makin rusak."

"Aku kelaparan, Ibuuu."

"Gue bukan Ibu lo!"

"Beliin makanan, hiks."

"Demiii?" Kalila menghela napas. Sabar. Kata Ibu, dia harus berbuat baik pada orang yang mungkin saja butuh pertolongan. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kala. Bisa saja Kala kabur dari rumah, atau diusir dari rumah karena melakukan kesalahan, atau mungkin dia baru saja menjadi yatim piatu? Atau dia terlahir di keluarga yang hancur? Broken home?

Kalila jadi tak tega. Mungkin, begini perasaan Jiro saat mau tak mau membantu Ashana sebagai seorang teman.

"Ya udah. Lo di mana sekarang?" Kalila menarik ranselnya dan segera memakainya. "Gue ke posisi lo."

"Seriusan, Ibu?"

Kalila langsung melotot. "Jangan panggil gue Ibu atau gue enggak ngasih lo makan?"

"Baik, Bu."

"Ck, terserah lo, dah."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Continue Reading

You'll Also Like

FADELA By sf

Teen Fiction

180K 11.9K 33
Apa jadinya kalau dua orang yang namanya mirip-miripan selalu dikait-kaitkan? Ini tentang Cameo Fadel dan Camellia Fadeela, cowok dan cewek yang sali...
79.3K 6.2K 38
Sebab hujan butuh langit karena langit hampa tanpa hujan. Start : April 2019 Finish : December 2019 HIGHEST RANK : #13 dalam #hujan 190912 #4 dalam #...
71K 4K 33
Bagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan me...
2.9M 164K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...