Ruang dan Waktu

By sirhayani

209K 16.8K 866

Dalam keluarga besar itu pun tahu bahwa Kalila hanyalah anak angkat yang ditemukan di depan rumah saat anak l... More

pratinjau
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9,5
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Cerita Lain: Make Them Fall in Love with You
33
34
36
37
38
39.a
39.b|
40
41
42
43
44
45.a
45.b|

35

2.3K 218 16
By sirhayani

info:☝️ (berlaku selama keterangan ini masih ada)

Cerita Perjalanan Waktu yang dibukukan hanyalah Can I Meet You Again? yang bisa kalian dapatkan hanya di toko shopee: rxdflowerbooks (sekarang diskon 30%, jangan lupa pakai voucher gratis ongkir apalagi untuk yang daerahnya jauhh, ada di atas tulisan checkout)

selamat membaca <3

__⏳__


35

Kenapa Jiro hanya diam? Kenapa Jiro tak langsung menjawab pertanyannya? Kalila menggigit bibirnya kuat-kuat. "Apa Kak Jiro enggak bisa untuk enggak ngasih harapan ke Kak Ashana? Sulit, ya?" Kalila mengerjap ketika sebuah pemikiran terlintas. "Atau ... Kak Jiro udah mulai ada rasa sama dia sampai sulit banget untuk jaga batasan?"

"Enggak, Kalila." Jiro menggeleng sembari memandangnya lekat. Cowok itu mengusap lembut pipi Kalila dengan ibu jarinya. "Di jam pelajaran terakhir, guru enggak hadir dan semuanya belajar sendiri. Gue datengin Ashana yang lagi serius baca materi. Kita ngobrol bentar. Ngobrol biasa aja. Tentang suasana kelas di SMA yang bentar lagi enggak kami rasain karena udah kelas dua belas. Terus, Ashana cerita kalau kelas ramai enggak kayak rumahnya yang sepi. Sejak kecil dia sendirian. Gue jadi kepikiran nemenin dia healing bentar, sebagai teman, karena keinget masa kecil gue, tapi gue enggak bilang soal masa kecil gue ke dia."

Kalila menggigit bibirnya lagi. Kali ini tak keras. Dia hanya tak menyangka bahwa Jiro akan menjelaskan sedetail itu. "Masa kecil Kak Jiro...."

"He'em." Jiro mendekatkan wajahnya pada wajah Kalila. "Iya, masa kecil gue. Cuma lo yang boleh tahu perasaan gue saat itu. Gue kesepian di rumah Paman dan Bibi. Gue iri sama kalian bertiga yang hidup di rumah yang ramai. Gue merasa dibuang Ibu, dibuang Bapak. Dan dulu, gue benci banget sama lo karena gue mikir lo udah ambil tempat yang seharusnya buat gue."

Mata Kalila memanas. "Kak...," panggilnya dengan suara serak. "Maaf, karena gue—"

"No. Lo enggak salah. Waktu itu gue masih kecil. Sekarang yang terpenting, gue enggak benci lo. Sebaliknya, gue sayang banget sama lo, Kalila."

Bibir Kalila mengerucut. Dia mengusap rambut Jiro yang masih sedikit basah. Tangannya berhenti di rambut Jiro dan memandang cowok itu dengan tatapan dalam. "Tahu nggak kenapa gue khawatir Kak Jiro dekat dengan Ashana?" Jiro menaikkan alis. "Karena kalau Kak Ashana dan Kak Jiro dekat, pasti keluarga besar bakalan setuju-setuju aja. Sementara, hubungan gue dan lo rumit, Kak. Gue selalu khawatir hubungan kita bakalan ke mana? Berakhir kayak gimana? Bagaimana respons Ibu, Bapak, Trey, Adam, Nenek, dan lainnya kalau tahu hubungan kita? Gue ada bayangan, gue bakalan dibenci, tapi kenapa gue malah tetap bertahan di hubungan kita yang terlalu berisiko?"

"Entahlah." Jiro mencium puncak kepala Kalila. "Karena gue juga sering bertanya-tanya. Pasti ada jalan. Biar gue yang mikirin jalan keluarnya. Lo nggak perlu mikir apa-apa."

Kalila menurunkan sedikit tubuhnya, lalu menaikkan tangan kirinya di atas pinggang Jiro, memeluknya dengan perlahan. Dada Jiro adalah tempat favorit Kalila untuk bersandar. "Temenin gue sampai gue tidur, boleh?"

Jiro mengangguk. "Sampai subuh juga boleh."

"Apa Kak Jiro enggak takut kalau Kak Jiro keluar kamar terus ada yang lihat? Atau misal Kak Jiro telat bangun?"

"Enggak takut." Kalila mendongak setelah mendengar Jiro menjawab demikian. "Karena gue tahu kebiasaan orang rumah bangun jam berapa. Gue juga bisa bangun di waktu yang gue pengin. Misalnya gue mau bangun jam 4 subuh, cukup gue bilang ini sebelum tidur, bangun jam empat subuh. Berulang kali."

"Waaah, gue juga mau coba!"

Jiro tersenyum miring. "Nah. Lo udah tahu cata gue bangun, kan? Kasih gue imbalan, dong."

Kalila mengernyit. "Imbalan?"

"Misalnya, ciuman?"

Kalila mendelik tajam. "Enggak mau!"

Namun, Kalila tidak bisa menolak saat Jiro mendaratkan bibirnya di atas bibir Kalila tanpa permisi dan mereka berciuman cukup lama sampai Kalila tertidur karena rasa kantuk yang tak bisa dia hindari.

***

Kalila menggenggam erat tangan Jiro saat mereka berdiri di halaman kecil sebuah rumah minimalis bertingkat dua yang terletak di perumahan elit. Kalila masih mengenakan seragam sekolahnya, pun dengan Jiro, karena Jiro langsung membawa Kalila ke sini setelah pulang dari sekolah. Katanya, ada yang ingin cowok itu tunjukkan dan ternyata sebuah rumah. "Ini ... rumah siapa, Kak?"

"Coba tebak?" Jiro menoleh dan tersenyum. "Rumah siapa?"

Awalnya Kalila tak bisa menebak, tetapi melihat bagaimana Jiro tersenyum penuh arti membuat Kalila mendapatkan sebuah tebakan yang paling memungkinkan. Dia pun menoleh pada Jiro. "Rumah ... Kak Jiro?"

"Tuh, tahu."

Kalila membelalak. "Serius? Kok bisa?"

"Pemberian dari Nenek waktu umur gue 17 tahun." Jiro mendekatkan telunjuk ke bibirnya sendiri seraya tersenyum miring. "Ssst. Jangan bilang siapa-siapa, ya?"

Kalila mengerjap. "Nenek?!"

Jiro mengangguk. Cowok itu menarik Kalila menuju teras yang terdapat dua kursi kayu dan meja kecil di tengah-tengahnya. Jiro mengambil kunci di dalam tas cowok itu. Kalila melihat sekeliling dengan takjub. Dia tak pernah mendengar cerita apa pun tentang Nenek yang menghadiahkan properti. Bahkan hadiah-hadiah seperti mobil maupun motor, tak ada satu orang pun yang mendapatkannya dari Nenek. Nenek terkenal dengan sikapnya yang tegas dan tak memanjakan para cucu dengan hadiah-hadiah mahal. Sementara Kakek selalu bergantung pada apa pun pilihan Nenek. Kalila menyadari itu dari dulu bahwa Nenek lebih mendominasi di rumah sementara Kakek terkesan lempeng. Mungkin karena Nenek ada dalam garis keturunan orang kaya. Di usia sekarang, Kakek bahkan lebih sering duduk di kursi goyang sembari membaca koran dengan kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya, menikmati masa tua dengan nyaman. Sementara Nenek masih sering keluar masuk negeri karena tak bisa tenang jika tidak bekerja. Katanya, dari dulu Nenek adalah seorang workaholic.

"Ayo, masuk." Jiro menarik pelan tangan Kalila setelah mereka membuka sepatu masing-masing. "Gue jarang ke sini, terakhir gue bersihin kemarin. Nah, lihat-lihat aja sepuas lo. Kecuali pintu yang enggak bisa dibuka."

Kalila melihat sekelilingnya. Perabotan rumah ini lengkap. Sofa empuk. Lukisan-lukisan seperti di museum yang menggantung di dinding ruang tamu. Kalila melepaskan genggamannya dari Jiro. Dia berlari menyusuri ruang demi ruang. Terakhir, dia menaiki tangga dengan buru-buru dan langsung memasuki kamar luas yang pintunya sedikit terbuka karena langsung dia tebak bahwa kamar itu merupakan kamar Jiro. Ada sebuah televisi berukuran 100 inci yang membuat Kalila membelalak. Televisi itu lebih besar dari televisi yang ada di rumah. Sama besarnya dengan televisi di ruang keluarga Nenek yang luas. Untuk ukuran kamar ini, pasti menyenangkan menonton film dan pasti ada atmosfer seperti menonton di bioskop.

"Lo mau nonton film? Drama?"

"Mau!" seru Kalila pada Jiro yang ada di belakangnya. "Tapi, Kak. Dengan sifat Nenek yang kayak gitu, rasanya enggak mungkin ngasih Kak Jiro dengan cuma-cuma."

"Memang enggak ngasih cuma-cuma." Jiro merangkul Kalila. "Bisa dibilang, rumah ini sebagai uang muka dari Nenek untuk pekerjaan gue di masa depan. Sekarang, sih kerjaan gue santai-santai aja."

Kalila mendongak ke sampingnya. "Hm, pasti pekerjaannya rumit untuk upah sebesar rumah ini dan seisi-isinya."

Jiro menaruh telapak tangannya di ubun-ubun Kalila sambil tersenyum kecil. "Bener. Pekerjaannya rumiiit banget. Ini juga demi lo. Gue kerja di usia belia supaya bisa punya rumah buat kita berdua dari sekarang."

"Kita ... berdua?" Kalila menahan senyum.

"Iya." Jiro menunduk sedikit. Tangannya yang bebas menyentuh pipi Kalila dengan lembut. "Buat masa depan kita, Kalila."

"Argh!" Kalila menjauh dari Jiro. Dia tak sanggup melihat senyum yang memperlihatkan lesung pipit Jiro. "Kita masih SMA. Jangan mikir tentang masa depan dulu." Kalila menyambar remote televisi yang ada di atas meja, lalu dia naik ke tempat tidur dan bersila di sana. "Gue mau nonton. Ini nyala, kan."

"Iya, ada internetnya, kok." Jiro memasuki kamarnya dan membuka lemari. Dia mengambil kaos oblong berwarna hitam beserta training hitam. Dia menaruhnya di dekat Kalila. "Nih. Ganti pakaian dulu. Takutnya tangan gue jadi ke mana-mana kalau lo pakai rok sekolah."

"Ih!"

Jiro mengangkat kaos dan training untuk dirinya sendiri saat dia berada di luar pintu sambil memegang kenop. "Gue juga mau ganti baju. Sekalian ngambil snack dan minum. Jadi, kalau gue datang lo harus udah selesai ganti bajunya. Oke?"

"Oke!" Kalila mendekatkan ujung ibu jari dan telunjuknya. Jiro menutup pintu dan Kalila segera mengganti seragam sekolahnya dengan kaos dan training milik Jiro. Kaos Jiro jadi kebesaran di tubuhnya. Sementara di training terdapat tali yang bisa Kalila ikat hingga dia tak perlu takut celana itu melorot. Celana yang bahkan melewati kakinya itu dia gulung berkali-kali hingga beberapa senti di bawah lutut.

"Selesai!" seru Kalila, lalu dia naik di atas tempat tidur, menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya dengan nyaman. Kalila mulai mencari-cari tontonan. Dia melihat judul-judul entah itu film maupun drama yang menarik perhatian. Sebuah drama tentang zombie muncul dalam salah satu daftar. Drama itu adalah salah satu drama yang pernah Anggini rekomendasikan. Kalila memilihnya dan belum mulai memutarnya sebelum Jiro kembali.

Pintu kamar terbuka dan Jiro muncul, memegang nampan dengan satu tangan. Di atas nampan terdapat dua botol air mineral kecil dan stoples kaca berisi camilan kesukaan Kalila. Kalila berlutut di atas tempat tidur sambil bertepuk tangan. "Yeeey!"

"Belum mulai?" Jiro menyimpan nampannya di atas nakas. Kalila kembali ke posisi semula, menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. Jiro naik ke atas tempat tidur setelah mematikan semua lampu dan menutup gorden, lalu mengangkat bagian atas stoples berukuran sedang itu, membawanya ke dekat Kalila. "Mau fokus makan atau fokus nonton atau dua-duanya?"

"Dua-duanya, dong!" Kalila paling suka jika matanya fokus pada sebuah tayangan menarik sementara tangan dan mulutnya aktif bergerak. Jiro membuka stoples dan memegangnya, lalu dia arahkan pada Kalila. Saat tayangan yang Kalila pilih sudah mulai, tangannya langsung masuk ke stoples untuk mengambil camilan. "Nonton film zombie aja boleh, kan?"

"Iya, terserah Kalila maunya apa." Kalila langsung mencubit lengan Jiro hingga cowok itu mengaduh. Jiro menoleh bingung. "Kok nyubit?"

"Enggak usah nyebut nama gue langsung gitu. Geli."

"Oh." Jiro terkekeh, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Kalila. Jiro mengambil remot dan menekan jeda.

"Kenapa, Kak?" tanya Kalila bingung.

"Lo bisa sepuasnya ke sini asal sendirian. Jangan kasih tahu siapa-siapa tentang rumah ini karena cuma lo dan gue yang boleh tahu. Ah, Nenek juga sih yang tahu, tapi Nenek enggak mungkin ke sini sebelum ngehubungin gue dulu. Terus...."

Kalila menoleh. Kepala Jiro masih bersandar di bahunya sementara cowok itu terus memandang ke tayangan yang terjeda. "Terus?"

"Lo bebas masuk ruang mana aja, kecuali satu ruangan yang ada di ujung lantai 2."

"Di ruang itu kenapa enggak boleh?"

"Ruang rahasia."

"Jangan-jangan Kak Jiro psikopat terus mutilasi cewek-cewek dan simpan mayatnya di ruangan itu!" Kalila bergidik membayangkannya. Biasanya laki-laki tampan yang kelihatan ramah menyimpan sisi misterius yang paling tak disangka-sangka semua orang. Kalila tersentak dan menoleh, memandang rambut hitam Jiro. "Jangan-jangan beneran? Hiii..., tapi enggak mungkin juga Kak Jiro yang gue kenal adalah seorang psikopat. Lagian, di Indonesia jarang banget ada tragedi seperti ini. Pembunuhan berencana yang biasanya nargetin perempuan-perempuan itu biasanya ada di Barat dan Eropa. Jarang banget kan di Asia?"

"Entahlah." Jiro menjauhkan kepalanya dari pundak Kalila dan menarik Kalila menghadapnya. Kedua tangannya berada di bagian kepala tempat tidur seolah mengurung Kalila dan membuat cewek itu tak bisa ke mana-mana. Kalila mengerjap saat Jiro memandangnya tak biasa. Sebuah senyuman kecil yang sedikit miring. Tatapan mata yang terlihat tersenyum, tetapi menyimpan arti. "Menurut lo? Apa gue terlihat seperti psikopat?"

Kalila tak pernah melihat ekspresi seorang psikopat, tetapi jika psikopat identik dengan atmosfer mengerikan berarti jawabannya adalah iya. Jiro terlihat mengerikan sekarang. Kalila tak bisa memegang stoples dengan baik hingga stoples itu jatuh, mengguling ke bagian kakinya di atas selimut. Untung saja tak jatuh ke lantai dan pecah.

"Tadinya gue enggak mau mutilasi lo hari ini, tapi ternyata intuisi lo tentang gue yang psikopat bagus juga. Rumah ini dari Nenek? Enggak, tuh. Gue adalah pembunuh bayaran yang suka bunuh orang. Kebetulan di keluarga kita ada yang pengin bunuh lo dari dulu dan ada yang bayar nyawa lo dengan harga mahal." Jantung Kalila berdegup kencang saat Jiro mengambil jemari kanan Kalila yang lemas dan menjilat bekas-bekas camilan di sana. Mata Kalila berkaca-kaca. Jika Jiro akting, maka cowok itu harusnya bisa jadi aktor terkenal karena pandai membuat lawannya ketakutan hingga membuat air mata Kalila terjatuh di pipi.

Namun, bagaimana jika Jiro benar-benar psikopat? Kalila belum mengetahui Jiro seratus persen. "Kak...?" panggil Kalila dengan suara bergetar karena rasa takut. "Jangan bercanda, ih."

"Siapa yang bercanda?" Jiro memiringkan kepala dan menatap mata Kalila yang terus mengeluarkan air kristalnya. Tangannya menyentuh pipi lembut Kalila dengan senyum penuh arti. "Hm, bagian mana dulu yang gue iris dengan pisau kesayangan gue? Tapi pisau kesayangan gue enggak ada di kamar ini. Kalau gue pergi ambil, nanti lo berusaha kabur."

"Semua benda bisa gue jadiin alat untuk membunuh. Lo tahu? Gue suka lihat darah berceceran di atas seprai dan selimut putih." Jiro menekan nadi Kalila di leher cewek itu. "Apa gue robek aja bagian ini, Kalila?"

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Continue Reading

You'll Also Like

110K 5.9K 45
Annabelle, remaja berumur empat belas tahun ini, telah menemukan buku seorang penyihir. Buku itu seakan-akan berbicara dengan Anna. Anna pun tidak ta...
2.2M 130K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
70.9K 3.9K 33
Bagi Arora, Ethan adalah satu-satunya cinta. Namun, Ethan hanya menganggap Arora sebagai adik kecil. Jika tidak sanggup menjadi Odette, Arora akan me...
14.7K 1.3K 18
gk bisa buat deskripsi gk pintar nulis ini cerita pertama aku guys