My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.6M 193K 3.2K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 9

58.4K 4.8K 69
By jingga_senja_

Setelah mengetuk pintu sebanyak dua kali dan dipersilahkan untuk masuk, Mima mendorongnya agar terbuka dan sedikit terkejut saat melihat bahwa Arlan tidak sendiri didalam ruangan tersebut. Sebelah alis Mima terangkat saat melihat Lova yang nampak mempertanyakan alasan kehadirannya disana, tatapan menginterogasi gadis itu membuat Mima mengangkat dagunya dengan congkak. Apakah Lova pikir dirinya akan bisa dikalahkan oleh bocah ingusan seperti dia?

Sambil tersenyum, Mima berjalan masuk dan berdiri tepat didepan meja Arlan ---lebih tepatnya di samping Lova.

"Kamu bisa keluar sekarang, Lova. Saya ada urusan penting dengan Jemima." Suruhan bernada usiran tersebut membuat Mima mengulum senyumannya, melirik Lova yang tampaknya tidak senang namun tetap mengangkat kaki dan meninggalkan mereka hanya berdua saja.

Mima pun merubah raut wajahnya saat hanya tersisa dirinya dan Arlan saja disini. "Ada apa, Pak?" tanyanya tanpa berniat basa-basi.

Arlan terlihat menarik laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam. Kening Mima mengernyit saat melihat secarik undangan berwarna keemasan yang terlihat mencolok. "Hari Minggu nanti saya harus menghadiri pernikahan kerabat. Saya mau kamu nemenin saya," ungkapnya dan berhasil membuat Mima semakin terkejut.

"Saya?" Tunjuknya pada diri sendiri dan tanpa ada keraguan, Arlan mengangguk mantap. "Kenapa saya?"

"Karena saya mau. Kenapa? Kamu keberatan?"

Tentu saja Mima keberatan. Kenapa dia harus setuju untuk menemani Arlan ke acara pernikahan orang lain sedangkan mereka tidak punya hubungan apa-apa? Terlebih jika itu kenalan Arlan dan apesnya ada yang Mima kenal, bisa-bisa rumor tentang mereka akan semakin memanas. Mima tidak mau itu terjadi.

"Bapak naksir saya, ya?" Wanita itu tiba-tiba bertanya demikian disertai kedua mata yang menyipit.

Sebelah alis tebal Arlan terangkat. "Apa?"

"Bapak naksir saya 'kan? Ayo, ngaku aja. Kenapa Bapak terus cari cara buat ketemu saya bahkan minta saya nemenin ke acara yang terbilang pribadi kalau menyangkut kerabat?" Arlan menatap wanita didepannya dengan tak habis pikir. Iya, karena bisa-bisanya tanpa malu Mima menanyakan hal semacam itu kepada dirinya.

Melihat Arlan yang masih diam disertai raut bingung, Mima berdeham dan mengusap ujung rambutnya centil. "Ya, gak masalah sih kalo misalnya Bapak naksir saya. Secara saya kan cantik, terus saya gak malu-maluin amat juga kalo diajak ke acara formal. Saya tau manner dan juga pandai berkomunikasi. Gak heran kalo banyak cowok yang naksir saya," ucapnya panjang lebar dengan self-confidence yang sangat tinggi.

Arlan refleks mengusap wajahnya sambil menghela napas berat. Energinya serasa dikuras setiap kali berhadapan dengan Mima.

"Jadi, kamu mau apa tidak, Jemima?"

"Maunya Bapak gimana?" Astaga, sepertinya cepat atau lambat Arlan bisa terkena hipertensi kalau begini caranya.

"Kalo kamu gak mau gakpapa, saya gak akan maksa juga. Cuman, sayang sekali sepertinya handbag Dior akan tetap jadi pajangan---"

"Saya mau!" Arlan memiringkan kepalanya sambil menatap Mima yang sedang melotot ke arahnya. "Saya gak bilang gak mau, lho. Saya mau nemenin Bapak, kok." Sudut bibirnya seketika terangkat.

"Fine!"

Mima menipiskan bibirnya mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik badan, senyumannya merekah seketika. 'Handbag Dior! Tunggu Mommy!' pekiknya dalam hati dan berjalan riang saat keluar dari ruangan Arlan, meninggalkan pria yang saat ini sedang cekikikan melihat tingkahnya.

•Beloved Staff•

Sesuai dengan rencana mereka, pagi-pagi Mima sudah bangun dan langsung mandi. Dia malah sengaja berendam dalam sabun yang sangat jarang Mima pakai ---karena lumayan mahal dan hanya Mima pakai untuk hari-hari tertentu saja--- namun khusus untuk menemani Arlan, Mima harus membukanya supaya badannya lebih segar dan harum. Kurang totalitas apa lagi Mima?

Meski hanya sebagai pendamping, Mima mengusahakan penampilan terbaiknya karena bagaimana pun dia pergi dengan atasannya, selain itu acara yang diadakan di salah satu ballroom hotel bintang lima menandakan bahwa kerabat Arlan berasal dari keluarga menengah ke atas, tamu yang datang sudah dipastikan bukan orang sembarangan. Mima tidak boleh mempermalukan diri sendiri dan Arlan yang membawanya.

Dengan dress satin biru muda dipadukan blazer berwarna krem, Mima tersenyum menatap penampilannya didepan cermin. Sambil bersenandung ia memasang aksesoris pada jari, pergelangan tangan, leher, dan juga kedua kupingnya dengan perhiasan berkilauan.

"Cantik sekali, Mima. Good job!" gumamnya memuji diri sendiri, lalu mengatupkan bibir untuk meratakan lipstick yang telah dioleskan sebelumnya.

Arlan akan menjemput jam 9 dan Mima masih punya cukup waktu untuk mengambil foto ---entah itu ber-selfie atau mirror, mumpung dia sedang cantik-cantiknya dan akan diposting di sosial medianya nanti.

Satu pesan masuk dari Arlan yang mengabari bahwa pria itu telah sampai dan menunggu di parkiran basement, Mima langsung menyambar Sling bagnya dan memakai Stiletto putih yang sudah disiapkan didepan pintu sejak tadi.

Bunyi ketukan sepatu yang terdengar tegas mampu menarik perhatian Arlan, pria yang sedang bersandar pada body range rovernya sambil memainkan ponsel, mengangkat kepala dan terpaku pada satu titik seolah semua disekitarnya mendadak buram seketika.

Mima berjalan melenggok dengan begitu manis, senyuman manis yang selalu terpasang di wajah itu kali ini memberikan pesona yang berbeda, membuat Arlan tak dapat mengalihkan perhatiannya pada lain hal. Rambut panjang kecoklatan yang biasanya selalu digerai, kali ini tersanggul rapi menunjukan leher jenjangnya. Cantik sekali.

"Selamat pagi, Bapak!" Sapa Mima dengan riang, ia sudah mewanti-wanti bahwa khusus untuk hari ini akan bersikap memuliakan Arlan. Karena pria itu adalah kunci untuk handbag Dior-nya.

Arlan mendeham dan mengangguk. "Udah siap? Gak ada yang ketinggalan?"

"Gak ada. Gimana penampilan saya? Sudah dipastikan gak akan membuat Bapak malu, 'kan?" Pria itu sontak memerhatikan penampilan Mima dari atas hingga bawah, ia akui jika wanita itu sangat pandai dalam menjaga penampilan.

Mima tahu betul apa yang dibutuhkan tubuhnya dan pantas dia pakai. Apalagi karena tinggi tubuhnya yang terbilang dibawah rata-rata, perlu kehati-hatian dalam memilih outfit agar tidak membuatnya terlihat semakin petite.

"Cantik." Kedua pipi Mima seketika bersemu, padahal dia yang bertanya tapi dia yang salah tingkah sendiri.

"Terima kasih."

Arlan hanya diam tak lagi menjawab sebelum akhirnya bergerak membukakan pintu mobil untuk Mima. "Silahkan masuk. Kita harus segera pergi." Mima mengangguk dan melirik Arlan sejenak sebelum mendudukkan bokongnya dengan nyaman pada kursi penumpang, mobil Arlan.

Sebelumnya mereka pernah berada dalam satu mobil, namun bukan mobil Arlan melainkan milik Mima. Ini adalah pengalaman pertama bagi Mima duduk dan disetiri oleh atasannya itu, yang mana sangat jelas perbedaan antara dua kendaraan mereka jika dibandingkan. Bukan aroma pengharum apel seperti dalam mobilnya, tetapi parfum mahal yang tercium.

Jangan salah, Mima itu cekatan kalau soal barang-barang mahal. Matanya langsung hijau seketika.

"Saya disana ... Harus ngapain?" Setelah cukup lama mereka terdiam, Mima pada akhirnya menjadi orang pertama yang memecah keheningan.

Arlan meliriknya sekilas. "Gak perlu ngapa-ngapain," jawabnya dengan pelan membuat Mima mengernyit.

"Terus kalo gak ngapa-ngapain, kenapa Bapak minta saya temenin ke acara itu?" Sudah pasti ada tujuan tersendiri kan kenapa Arlan mengajaknya? Atau hanya dijadikan sebagai pajangan saja?

"Emangnya kamu mau kalo saya nyuruh kamu lakuin sesuatu?" Tanpa ragu wanita itu mengangguk, cukup untuk membuat Arlan terkejut. Tidak menyangka kalau Mima akan menjawabnya dengan cepat.

"Pasti ada alasan kenapa Bapak sampai ajak saya ke sana. Apalagi Bapak juga kasih imbalan yang lumayan. Gak mungkin saya cuman jadi boneka gandengan aja." Wanita itu tersenyum tipis seraya menatap ke luar jendela mobil, melihat jalanan yang sudah lumayan padat di Minggu pagi.

"Well, emang saya gak ajak kamu secara cuma-cuma. Tapi saya gak setuju dengan kata 'boneka gandengan' yang kamu pakai."

"Why? Itu bukan hal yang aneh lagi, 'kan?"

"But you're not a doll!" Sanggah Arlan dengan tegas membuat Mima sontak menatapnya dengan lekat. "Gak pantas manusia disamakan dengan boneka. Apapun alasannya, entah itu persamaan fisik, atau lain-lain. Manusia lebih sempurna dari boneka. And of course, lebih berharga."

Kalimat yang Arlan utarakan bak sebuah mawar yang menancap. Sedikit perih, namun membekas dengan berarti. Mima cukup terkesan dengan pemikiran pria itu yang mana Arlan pandai dalam memperlakukan wanita dengan baik, tidak memprovokasi ataupun menganggap lebih rendah.

Arlan memiliki banyak alasan untuk mengatainya sebagai perempuan matre ataupun tidak tahu malu, tapi pria itu memilih memandangnya dengan cara yang berbeda.

Ah, tunggu!

Jangan bilang kalau Mima baper?

•Beloved Staff•

Sama seperti yang Mima duga, pesta pernikahan yang dia dan Arlan datangi sebagai tamu undangan, sangat-sangat mewah. Bahkan Mima tak henti melihat dekorasinya dengan pandangan berbinar-binar, padahal ini baru di pintu masuk ---belum dalamnya seperti apa.

Para tamu yang datang sebelumnya diperiksa lebih dulu oleh petugas keamanan dengan menunjukan bukti undangan, Arlan tidak ragu mengatakan bahwa Mima adalah pasangannya sehingga keduanya dipersilahkan untuk masuk dan menikmati acara.

Luar biasa, rasanya jantung Mima seperti terhempas dari tempatnya saat melihat nuansa seperti dalam dunia kerjaan ketika memasuki ballroom hotel. Jika tidak mengingat harus menjaga image, sepertinya Mima sudah berjingkrak kegirangan. Alhasil, Mima hanya bisa meremas lengan Arlan yang sedang menggandeng dirinya.

"Pak? Pesta nikahan begini, kira-kira berapa duit, ya?" tanya Mima pada Arlan dengan berbisik membuat pria itu terkekeh tanpa suara.

"Ingat, jangan malu-maluin!"

Mima mendengus sebal. "Saya 'kan cuman nanya, Pak. Siapa tau nanti saya dapat pacar sultan Arab, saya mau nikahannya begini juga." Arlan hanya menggelengkan kepalanya dan mengajak Mima untuk memasuki aula lebih dalam.

"Arlan? Astaga, kamu datang juga ternyata!"

Seorang wanita berusia kisaran 40 tahun datang mendekati mereka ---lebih tepatnya Arlan--- dan langsung memeluk pria itu dengan erat. Melihat reaksi Arlan yang tampak tersenyum manis, Mima menduga jika beliau adalah kenalannya.

"Tante apa kabar? Makin seger ya." Wanita yang dipanggil Tante itu menepuk pelan lengan Arlan.

"Bisa aja kamu. Tante baik. Kamu jarang banget keliatan akhir-akhir ini, Tante pikir udah lupa sama Tante. Eh, ini siapa? Pacar, ya?" Arlan menoleh ke arah Mima yang sejak tadi hanya diam menonton, wanita itu hanya melemparkan senyuman dan membalas salaman Tantenya dengan ramah.

"Perkenalkan, nama saya Jemima, Bu."

Senyuman diwajah wanita tersebut melebar disertai pandangan berbinar, beliau kembali melirik Arlan dengan seringaian jahil. "Bisa banget nyari ceweknya. Jangan panggil ibu, panggil Tante aja. Nama Tante, Mona, bibinya Arlan." Mima ber-oh ria sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Sayang, Mima tidak bisa mengelak dan hanya diam saja ketika Tante Arlan berspekulasi bahwa dirinya adalah kekasih Arlan. Wong, Arlan sendiri yang mengatakan bahwa dirinya hanya perlu bersikap sebagai pendamping yang baik. Jangan tanggapi orang-orang yang mengatakan apapun tentang mereka nanti, cukup tersenyum dan balas ramah saat ada yang menyapa.

Jadi Mima hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Tante Arlan, meski sedikit bersalah juga karena membiarkan orangtua salahpaham.

"Mama dimana, Tante?" Arlan berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.

"Disana. Ayo, sekalian kenalin pacarnya. Mamamu pasti seneng, lho!"

Arlan hanya mengedipkan sebelah matanya pada sang Tante lalu menarik Mima entah kemana lagi. "Pak, nanti keluarga Bapak ngiranya saya beneran pacar Bapak, lho?"

"Emangnya kenapa?"

"Ya, maksudnya Bapak gak mau mencoba klarifikasi supaya gak ada yang salah paham gitu?" Pria itu malah mengeratkan genggamannya membuat Mima menatap tangannya dengan gamang.

"Saya sudah bosan ditanya kapan nikah terus, jadi sekarang biarin mereka yang bertanya diri mereka sendiri tentang kenyataan apa hubungan kita. Biarin mereka bingung sendiri. Jadi, kamu gak perlu pusing-pusing ikut mikirin, oke?" Mendengar nada bicara Arlan yang tiba-tiba berubah penuh kelembutan, rasanya hati Mima seperti menghangat.

Seperti baru saja dialiri oleh coklat panas, terasa menghangatkan dan juga manis. Sebenarnya kenapa dengan dirinya akhir-akhir ini? Mima menggeleng cepat sebelum akhirnya kembali berakting didepan para tamu yang lain.

"Mama!"

Sebenarnya Mima tidak expect jika Arlan benar-benar membawanya hingga ke hadapan orangtua pria itu, dia pikir pria itu akan membuatnya menunggu sambil melihat-lihat atau kalau perlu mencicipi hidangan yang disediakan disana.

Mima mendadak terpaku pada sosok pria berambut sebagian memutih yang saat ini sedang memeluk Arlan sambil tersenyum, sesekali juga mengusap bahu Arlan. Tentunya Mima tidak asing dengan wajah itu. Mima tahu beliau, tapi ia tidak menduga kalau beliau adalah---

"Pa, jangan begini!"

--- Ayah dari Arlan?

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

298K 10.3K 50
~𝐖𝐞 𝐭𝐫𝐲 𝐭𝐨 𝐡𝐢𝐝𝐞 𝐨𝐮𝐫 𝐟𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬, 𝐛𝐮𝐭 𝐰𝐞 𝐟𝐨𝐫𝐠𝐨𝐭 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐨𝐮𝐫 𝐞𝐲𝐞𝐬 𝐭𝐨𝐨 𝐬𝐩𝐞𝐚𝐤.~ Shubham Malhotra A spoilt-b...
2.1M 127K 85
[PRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA] __ BELUM DIREVISI Highest Rank 🥇 #1 teenfiction (09/04/22) #1 garis takdir (17/04/22) #1 romance (17/06/22) #...