Lentera Hati

By Alfia_ramadhan11

569K 69.5K 72K

Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bert... More

PROLOG
01. Keramaian yang Asing
02. Prajurit Udara
03. Tentang Perempuan dan Kemuliaannya
05. Perihal Keseriusan
06. Dia Cuek Karena Paham Agama
07. Pesona Laki-laki Jawa
08. Lamaran Dadakan?
09. Air Show
10. Memadamkan untuk Menghidupkan
11. Orang Lama atau Orang baru?
12. Drama Selebgram
13. Diambang Kebingungan
14. Anak Perempuan yang Beruntung
15. Melaporkan Kasus
16. Kehilangan Restu
17. Dalang Penderitaan
18. Malang dan Akhir Kisahnya

4. Calon Suami?

33.9K 3.7K 3.4K
By Alfia_ramadhan11

بسم الله الرحمن الرحيم

"Pernikahan bukan ajang perlombaan, bukan tentang siapa yang paling cepat. Tapi bagaimana menemukan orang yang tepat di waktu yang tepat pula, untuk diajak hidup bersama menikmati perjalanan dalam ibadah terpanjang."

—Arsyila Farzana Ghaziullah El-Zein—

Lentera Hati
by Alfia Ramadhani

"Abang harus bersyukur saya buat nyungsep. Ada hikmahnya loh, Bang," celetuk Bian sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Kita akhirnya diberi izin menginap sampai besok. Kalau gini, kan, masih ada kesempatan buat ketemu Mbak Zana," sambungnya, kemudian ikut duduk di samping Ghazi. Mereka duduk di kursi bambu yang ada di depan rumah Pak Kades.

"Nggak usah bawa-bawa saya kalau kamu yang kesenengan karena Zira," balas Ghazi memutar bola mata malas.

Bian senyum-senyum. "Kalau seneng ya seneng aja, Bang," ujarnya sambil menyenggol lengan Ghazi. "Menurut saya ini memang kekuatan doa ibu, Bang. Tadi saya denger ibu Abang notice Mbak Zana, pasti beliau mendoakan Abang biar jodoh sama Mbak Zana," sambungnya.

Ghazi menoleh pada Bian sambil menaikkan kedua alisnya. "Oh," ujarnya singkat, padat, dan tidak jelas. Kemudian laki-laki itu beranjak dari duduknya.

Bian geleng-geleng kepala mendapat respon tidak jelas itu. "Eh Bang, mau kemana?"

"Siap-siap ke langgar, sebentar lagi maghrib," jawab Ghazi tanpa menoleh. Langgar dalam bahasa Jawa adalah masjid kecil atau surau.

"Ikuuuut, Bangg!" Bian ikut beranjak mengejar Ghazi.

Beberapa menit kemudian kedua laki-laki itu keluar dari pintu samping rumah Pak Kades dengan pakaian sholatnya. Baju koko putih dipadukan dengan sarung dan kopyah yang membuat aura laki-laki sholih terpancar dari keduanya.

Ya, setelah tragedi tadi siang, mereka memberitahukan semuanya pada Pak Kades. Alih-alih mendapatkan amarah karena sepeda putrinya rusak, Pak Kades justru mengkhawatirkan Ghazi dan Bian. Apalagi mereka pulang dengan pakaian basah kuyup. Melihat itu Bu Kades langsung menyuruh mereka mandi dan ganti baju. Setelah mandi, mereka mendapatkan telpon dari Komandan Lanud, Marsda Yuda. Beliau memberi izin mereka untuk tinggal di rumah Pak Kades sampai besok.

"Kalian mau ke langgar?" tanya Pak Kades yang juga baru keluar dari rumah bersama Bu Kades.

"Nggih, Bapak, kita mau ke langgar," jawab Ghazi sopan.

"Yaudah ayo berangkat bareng aja. Saya sama Bu Kades juga mau ke langgar."

Akhirnya Ghazi dan Bian berangkat bersama Pak Kades dan Bu Kades menuju langgar. Di sepanjang perjalanan, mereka berpapasan dengan warga yang juga berangkat ke langgar. Di desa ini memang belum dibangun masjid, namun setiap waktu shalat, utamanya subuh, maghrib, dan isya' selalu dipenuhi jamaah.

"Adem banget ya tinggal di desa. Suasananya bener-bener tenang dan damai, jadi kangen kampung halaman," celetuk Ghazi pada Bian.

"Kampung halamannya Mas Ghazi di mana?" tanya Bu Kades yang juga mendengar celetukan Ghazi.

"Dieng, Wonosobo, Bu Kades," jawab Ghazi tersenyum.

"Oh, wong Jowo toh, Mas?"

"Nggih, Bu Kades."

"Oalah, Mas. Ngerti ngunu diomongi jowo wae. Tak pikir, sampeyan nggak ngerti Jowo. Soale arek-arek sing melu volunteer podo nggak ngerti jowo, dadi lek ana arek enom gawe bahasa Indonesia" ujar Bu Kades terkekeh.

"Alhamdulillah kulo ngertos sanget, Bu. Sampun dados bahasa sehari-hari," balas Ghazi tersenyum.

"Oh, berarti sampeyan iki sing baru pindah tugas ke Malang? Yuda cerita punya anggota baru dari Jawa Tengah."

"Nggih, Pak Kades. Saya baru pindah beberapa minggu lalu," jawab Ghazi.

Sementara Bian hanya bisa kebingungan sambil mendengarkan perbincangan ketiga orang di depannya. Sebenarnya Bian sedikit mengerti bahasa Jawa, hanya sedikit, dan dia tidak bisa bicara dengan bahasa Jawa. Jika ada yang bertanya atau mengajaknya bicara, Bian hanya bisa menjawab, nggih atau mboten.

Sesampainya di langgar, kondisi sudah ramai dipenuhi jamaah baik laki-laki maupun perempuan. Tak lama kemudian adzan berkumandang dan pujian dilantunkan sambil menunggu iqamah.

"Mas Ghazi imam, nggeh. Monggo, Mas," titah Pak Kades

Ghazi yang tiba-tiba ditunjuk menjadi imam langsung terdiam. "Saya, Pak Kades?" sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, sampeyan, Mas," jawab Pak Kades sambil mengangguk.

"Tapi saya pendatang, Pak. Nggak enak sama warga di sini."

"Justru warga sudah setuju kalau sampeyan yang jadi imam," ujar Pak Kades. "Sampeyan, kan, juga sudah biasa jadi imam di pangkalan. Jangan ngira saya nggak tau. Ayo Mas Ghazi, tunjukkan sama warga sini kalau anggotanya Komandan Yuda bisa jadi imam," Pak Kades menepuk pundak Ghazi, seolah sangat yakin Ghazi bisa melakukannya.

Ghazi yang ragu mencoba menoleh ke belakang. Kagetnya ternyata dia mendapat respon hangat dari warga. Beberapa warga ikut mempersilahkan dirinya. Alhasil Ghazi tidak bisa menolak.

"Bismillah, saya mau jadi imam, Pak Kades," finalnya.

"Alhamdulillah, monggo, Mas."

Iqomah mulai dikumandangkan. Ghazi mulai melangkah ke tempat imam dengan langkah gugup. Perlahan ia menarik nafas dan menghembuskannya untuk meredakan gugup. Walaupun sudah sering menjadi imam di masjid pangkalan, namun ini pertama kalinya ia menjadi imam di desa orang.

Sementara di sisi lain, dua orang perempuan tengah berlari dengan tergopoh-gopoh, menyusuri jalanan batako sambil membawa sajadah dan rok mukenah di tangannya.

"Zana, ayo cepetan! Sudah iqomah!"

"I—Iya, ini aku sudah cepat, Zira!"

Saking terburu-burunya, Zira sampai menggunakan mukenah terbalik, dan Zana menggunakan sandal selingkuh alias tidak sesuai dengan pasangannya.

Biasanya Zana dan Zira tidak pernah setelat ini berangkat ke langgar. Namun sore ini mereka ketiduran setelah keluar berjalan-jalan dan bertemu menemukan tragedi kecelakaan ringan Ghazi dan Bian. Mereka baru bangun beberapa menit sebelum adzan, hingga akhirnya sedikit terlambat.

"Bismillahirrahmanirrahim. Al-hamdu lillahi rabbil-'alamin. Ar-raḥmanir-raḥim....."

Setibanya di langgar, Zana dan Zira langsung disambut dengan lantunan surat Al-Fatihah yang terdengar merdu dari imam shalat maghrib kali ini. Keduanya sempat terdiam saking kagumnya dengan suara yang mereka dengar. Suara yang tak pernah mereka dengar selama beberapa minggu berada di sini. Namun karena sudah telat, mereka berdua langsung bergabung dengan shaf jamaah yang lain.

Tiga rakaat shalat maghrib sudah selesai ditunaikan, dilanjutkan dengan dzikir dan doa bersama. Setelahnya beberapa warga mulai berhamburan pulang dan beberapa lainnya menunaikan shalat ba'diyah.

"Ra, suara imamnya merdu sekali, ya. Selama di sini baru kali ini aku denger imamnya semerdu ini," celetuk Zana setelah mereka menunaikan shalat ba'diyah.

"Iya, Na. Ini beneran merdu sih. Aku jadi kepo siapa imamnya." Zira mengangguk. "Na, kita harus liat siapa imamnya. Pasti dia masih muda. Jangan-jangan ganteng lagi. Ayo, Naaa!" Zira dengan semangat '45 sambil menarik tangan Zana menuju keluar.

"Zira tunggu dulu, jangan—"

"Terimakasih ya, Ghazi. Sudah mau jadi imam. Ternyata suara sampeyan merdu sekali," terdengar suara Pak Kades yang sedang memuji Ghazi.

Zana dan Zira yang sudah berada di depan pintu lantas menghentikan langkahnya. Bahkan Zana tak melanjutkan ucapannya.

"Zanaa... Ternyata itu suara Lettu Ghazi," heboh Zira tak menyangka.

Zana mengangguk. Jujur ia tidak menyangka jika pemilik suara merdu itu adalah Ghazi. Bahkan ia juga tidak tahu jika Ghazi masih di sini.

"Mbak Zana, Mbak Zira... sinii!" Pak Kades yang melihat dua gadis itu lantas memanggil mereka.

"Pak Kades," Zana tersenyum sambil menunduk.

"Ayo, Na, kita dipanggil!" Lagi-lagi Zira langsung menarik tangan Zana menghampiri Pak kades yang sedang bersama Ghazi dan Bian.

Aduh, Zira, batin Zana menunduk. Perempuan itu benar-benar tidak sanggup jika harus berada di dekat Ghazi.

Jadi tadi secara nggak langsung saya sudah jadi imam shalat dia? batin Ghazi tak kuasa menahan senyum, mengetahui Zana juga menjadi bagian dari jamaah yang ia imami shalat.

"Ghazi, kenapa senyum-senyum?" Pak Kades tak sengaja memergoki Ghazi tersenyum.

"Ekh... Ekhm," Bian yang seketika menyadari langsung pura-pura batuk.

"Ada apa, Bian?" tanya Pak Kades bingung.

"Itu Pak Kades, Bang Ghazi—"

"Saya senang karena bisa menjadi imam di sini, Pak Kades," potong Ghazi. Jika tidak, Bian pasti akan bicara yang aneh-aneh.

Mendengar itu Pak Kades mengangguk seraya tersenyum. Sebenarnya tadi beliau sempat memergoki Ghazi menatap Zana diam-diam. Jadi beliau paham ada apa dengan Ghazi sebenarnya.

"Saya senang sekali di desa kita ada anak-anak muda seperti kalian. Terima kasih Ghazi dan Bian yang tadi sudah membawa anak-anak ke pangkalan untuk belajar dirgantara. Mbak Zana dan Mbak Zira juga yang sudah membantu mengajar di madrasah juga mengajari anak-anak mengaji," ucap Pak Kades.

Masyaallah, ternyata dia juga terbiasa mengajari anak-anak mengaji, batin Ghazi kagum.

"Sama-sama, Pak Kades. Itu sudah menjadi tugas kami, sebagaimana kami sudah berjanji untuk bermanfaat lewat kegiatan sosial ini," balas Zana.

"Iya, Pak Kades. Mbak Zana benar, kami senang jika adanya kami bisa bermanfaat. Walaupun saya dan Ghazi hanya sekali ini, beda dengan Mbak Zana dan Mbak Zira yang sudah lama di sini," ucap Ghazi menambahkan.

"Kak Zanaaa, ayo ngajiiiii!"

Segerombolan anak-anak menghampiri Zana yang tengah berbincang. Mereka kompak menarik tangan Zana dan Zira, meminta untuk mengajari mereka mengaji.

"Eh, iya adek-adek. Kalian masuk dulu terus siapin iqra' dan al-qur'annya dulu ya. Nanti kakak ke sana, oke?"

"Okeee, Kakak!" Merekapun kembali berlarian masuk.

"Pak Kades, Lettu Ghazi, Lettu Bian, kami pamit masuk dulu, ya," pamit Zana.

Pak Kades, Ghazi, dan Bian mengangguk. "Oh iya silahkan. Kalian masuk saja, anak-anak sudah menunggu," balas Pak Kades.

Zana mengangguk. "Assalamualaikum," salamnya sebelum beranjak.

"Waalaikumussalam."

Setelah Zana dan Zira pamit, Pak Kades juga berpamitan untuk pulang. Sementara Ghazi dan Bian memilih untuk tetap tinggal di langgar sembari menunggu shalat isya'. Mereka berdua duduk di teras sambil mendengarkan suara anak-anak belajar mengaji. Sesekali terdengar suara Zana dan Zira yang mengajari anak-anak mengaji.

"Gimana perasaannya setelah menjadi imam, Bang?" tanya Bian.

"Deg-degan, tapi alhamdulilah bisa," jawab Ghazi.

"Tapi kayaknya akan lebih deg-degan kalau Abang tau salah satu jamaahnya Mbak Zana," ujar Bian senyum-senyum. "Kali ini Abang bener-bener simulasi jadi imam Mbak Zana yang sesungguhnya nanti. Sekarang jamaahnya banyak, nanti Abang akan ngerasain jadi imam Mbak Zana seorang," goda Bian lagi.

Alih-alih membalas, Ghazi justru menunduk dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.

"Bang... Bang!" Bian menggoyang-goyangkan lengan Ghazi.

"Hm... Menengo sik, atiku kejedar-kejedur," balas Ghazi masih dalam posisinya.

Mendengarnya, Bian tak kuasa menahan tawa karena mengerti maksud Ghazi. "Jedar jedur nggak tuh," Bian terkekeh kencang.

"Waaah, kayaknya kali ini Mbak Zana benar-benar memenangkan hati Bang Ghazi, sekalipun Mbak Zana nggak usaha apapun. Kalah sama orang-orang yang DM-in, halo bang," ujar Bian terkekeh.

Ghazi geleng-geleng kepala seraya tersenyum.

"Bener, kan, banyak cewek-cewek yang DM instagram Abang dengan password, halo bang?"

Ghazi mengangguk. "Iya, bener sih," jawabnya. "Makanya instagram saya sekarang privat aja."

Setelah mereka berbincang-bincang, adzan isya' berkumandang. Ghazi dan Bian beranjak untuk wudhu dan persiapan shalat isya'. Kali ini Ghazi akan menjadi imam shalat lagi.

Rasa gugup Ghazi bertambah karena mengetahui salah satu yang menjadi makmumnya adalah perempuan yang ia kagumi.

*******

Setelah selesai shalat isya', para warga mulai berhamburan pulang. Termasuk Zana dan Zira, mereka juga sudah dalam perjalanan pulang ke penginapan.

"Ya Allah, Zanaaa. Lettu Ghazi itu beneran definisi paket komplit. Selain mapan duniawinya, akhiratnya juga masyaallah. Aku yakin, Lettu Ghazi anti halo dek," Zira masih tidak bosan memuji Ghazi.

Zana tersenyum. "Ya terus, apa hubungannya sama aku, hm?"

"Ada dong hubungannya. Kalian itu cocok!" Zira sambil mengacungkan kedua jempolnya.

"Terserah kamu deh, Ra. Aku nggak suka ya kamu jodoh-jodohin aku sama Lettu Ghazi," balas Zana.

"Kenapa sih, Na? Lettu Ghazi itu selain ganteng, baik, pinter, dia juga mirip Letda Ghafi. Jangan-jangan Allah memang sengaja mempertemukan kamu dengan seseorang yang mirip dengan Letda Ghafi supaya kamu bisa buka hati lagi," ujar Zira sungguh-sungguh.

"Zira, tapi nyatanya semirip apapun mereka, Lettu Ghazi bukan Letda Ghafi. Lettu Ghazi tidak akan pernah menjadi Letda Ghafi..." final Zana, membuat Zira terdiam.

Pada akhirnya Zana sadar, bahwa semirip apapun Letda Ghafi dan Lettu Ghazi, mereka tetap orang yang berbeda.

"Eh, Mbak Zana dan Mbak Zira. Pulang dari jamaah, ya?" tanya seorang ibu-ibu paruh baya yang tak sengaja berpapasan.

"Iya, Bu," jawab Zana tersenyum ramah.

"Mbak, tadi saya liat di depan penginapan ada yang lagi dijenguk. Kayaknya sama pacarnya ya, Mbak?" tanya ibu-ibu itu lagi.

"Oh itu suaminya, Bu. Teman kami memang sudah menikah, jadi dia dijenguk suaminya," jawab Zana.

"Kalau Mbak Zana sendiri sudah menikah?"

"Belum, Bu," Zana menggeleng seraya tersenyum.

"Loh, emang umurnya berapa, kok belum nikah, Mbak?" ibu itu terus bertanya. Sebenarnya Zana tak nyaman, namun tidak ada pilihan lain, ia takut tak sopan jika mengabaikan.

"Umur saya 25 tahun, Bu," jawab Zana.

"Perempuan sudah umur 25 tahun kok belum menikah, Mbak? Mbaknya paling jual mahal ya? Jangan Mbak, nanti nggak laku loh. Kalau di sini umur 25 tahun sudah punya anak dua."

Zana hanya tersenyum simpul. "Bagi saya pernikahan itu bukan ajang perlombaan, bukan tentang siapa yang paling cepat. Mungkin Allah tau saya belum siap untuk menikah sekarang, jadi masih diberi waktu untuk mempersiapkan segalanya, Bu."

Bagi Zana, pernikahan itu bukan ajang perlombaan, bukan tentang siapa yang paling cepat. Tapi bagaimana menemukan orang yang tepat di waktu yang tepat pula, untuk diajak hidup bersama menikmati perjalanan dalam ibadah terpanjang.

"Bilang aja kalau nggak laku. Di sini juga ada yang lama menikah, biasanya memang jual mahal," nyinyir ibu paruh baya itu. "Sudah Mbak, mulai sekarang jangan jual mahal. Saya punya anak laki-laki, sekarang dia kerja di Jakarta. Besok kebetulan pulang, saya kenalin, ya?"

Zana langsung syok karena diakhir justru ia ingin dikenalkan pada putra ibu-ibu itu. Zana benar-benar tak nyaman. Sudahlah ia direndahkan dan dikasihani karena belum kunjung menikah, kini justru si ibu ingin mengenalkan dia pada putranya.

"Maaf, Bu, tapi—"

"Sudah, Mbak. Besok pokoknya saya kenalin," ibu-ibu itu tetap kekeh.

"Tapi, saya—"

"Maaf, Bu. Jangan paksa dia untuk bertemu putra ibu," tiba-tiba terdengar suara seseorang berucap.

"Kamu siapa memangnya? Jangan ngatur-ngatur saya, ya! Terserah saya mau memperkenalkan dengan anak saya!" ibu-ibu tadi mulai marah.

"Saya... Saya calon suaminya," jawab Ghazi lantang.

_________________________________





Akhirnya update lagiii! Gimana part ini? Sukaaaa?

Makin jatuh cinta sama Mas Ghazi nggak nih?

Satu kata untuk Ghazi?

Satu kata untuk Zana?

Lanjut nggak?!
_________

Spam Next

Spam 🦋

Spam Lentera Hati!

2.5k vote dan 3k komeen for next!

Continue Reading

You'll Also Like

1.9K 1K 11
Salsa Az-zahra seorang gadis yang cantik dengan balutan hijab nya.gadis yang diam diam mencintai Muhammad Azhar rakhsan, dalam diam nya seorang salsa...
1.5K 152 28
Bagi olif mengenal gafril- kakel ngeselin sekaligus ketos di sekolah nation school itu hal tersialnya. Selalu membuatnya kesal, ditamabah selalu memb...
4.1K 166 23
22-sept-2015 Hujan, sekarang aku suka dia dan jika dia datang aku suka jika ada di dalamnya, karena dia, telah menyembunyikan air yang telah keluar d...
211K 20.6K 30
Spiritual | Romance [BUKAN CERITA POLIGAMI!] Ini tentang mereka yang saling memiliki perasaan. Serta tentang fakta kehidupan yang disembunyikan diam...