My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 173K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 3

60.2K 3.9K 53
By jingga_senja_

Gila. Ini benar-benar gila.

Mima terus mengucek kedua matanya mencoba untuk menghilangkan apa yang baru saja ia lihat, membuat matanya terasa kotor dan juga pedih. Langkahnya terasa begitu berat sampai akhirnya ia memutuskan berhenti di balkon, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

"Gimana bisa? Gimana bisa mereka lakuin itu, Ya Tuhan?!" Pekiknya lalu berpegangan pada besi pembatas yang terasa dingin.

Kedua alisnya menukik dengan tajam, bayangan adegan panas ciuman leadernya dengan seorang perempuan terus berputar dalam memori Mima seperti kaset rusak. Mima bahkan melihat dengan jelas wajah mereka sebelum akhirnya ia ketahuan mengintip. Astaga, benar-benar memalukan!

"Wait! Kenapa harus gue yang malu? Kan mereka yang berbuat dan harusnya mereka yang malu. Oh God, ternyata emang bener di dunia ini gak ada yang sempurna. Bahkan Pak Arlan yang keliatan alim ... Ternyata doyan daun muda. Okay, take a breath, Mima. It's oke, thats not your fault." Mima mengusap dadanya dengan gerakan pelan, memejamkan matanya dan mencoba untuk membuat pikiran serta hatinya tenang.

Jujur saja, Mima memang bukan wanita polos. Dia juga sering melihat adegan ciuman dalam drama Korea atau film-film bergenre romansa yang ia tonton, tapi melihatnya secara langsung tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Mima mendengus sebal. Apakah Pak Arlan tidak bisa menyewa kamar di hotel dan melakukan apapun disana sebebas yang dia mau, bukannya berciuman di tempat yang bisa saja ketahuan ---sudah ketahuan oleh orang lain.

"Lupain semuanya, Mima. Apa yang kamu liat itu cuman dosa sesaat dan bukan dosa kamu. Anggap aja gak ada yang terjadi di malam ini!"

"Dosa mana yang kamu maksud?"

Mima menjerit kaget ketika suara berat seseorang tiba-tiba terdengar. Sontak ia menoleh dan melebarkan matanya seperti nyaris melompat keluar dari tempatnya, ketika menemukan Arlan ---yang entah sudah sejak kapan berdiri di belakangnya. Tubuh Mima seketika membatu.

Raut wajah datar Arlan dan tatapan dinginnya seperti sebilah pisau tajam yang siap kapan saja menyincang Mima. Wanita itu menelan salivanya dengan susah payah.

"Pak Arlan? Selamat malam, Pak!" Ia merutuki diri sendiri dalam hati, sapaan yang harapan terdengar ramah justru malah gemetaran.

"Setelah kamu berbuat gak sopan, kamu pergi gitu aja? Tanpa permintaan maaf?" Pertanyaan Arlan sukses membuat Mima tertegun.

Wanita itu menggerakkan bola matanya seolah sedang berpikir. "Saya gak buat salah, Pak. Kenapa saya minta maaf?" tanyanya balik membuat tatapan Arlan kian menajam.

Detik berikutnya Mima ber-oh ria lalu cengengesan. "Maksudnya, yang Bapak ciuman di lorong kamar mandi? Ah ... Sebenarnya hal semacam itu bukan sesuatu yang aneh, cuman saya bingung kenapa Bapak lakuin itu di tempat yang terkesan umum. Jadi bukan salah saya, dong, kalo saya mergokin Bapak?" Baik, sepertinya Mima berbicara terlalu lancang barusan. Meski apa yang dikatakannya adalah sebuah fakta dan ia sama sekali tidak merasa bersalah, harusnya Mima bersikap lebih sopan bukan?

Wanita itu mendesis pelan. Dia sejak awal sudah terpeleset di kandang buaya, sekarang malah malah jatuh tersungkur didepan buayanya sekaligus. Tinggal menunggu buayanya mangap saja.

Mima melihat sebelah alis Arlan yang tebal itu terangkat, ekspresinya tidak menunjukan dia sama sekali ketakutan atau merasa terintimidasi karena sudah kepergok berciuman, oleh stafnya sendiri. Pria berkulit Tan itu justru kelihatan lebih tenang dari yang Mima bayangkan.

Mima tersentak ketika perlahan Arlan mendekatinya membuat refleks untuk mundur tak dapat terelakan. "Mau saya berciuman dimanapun sebenarnya itu bukan urusan orang lain, karena itu hak saya."

Ha? Apa katanya?

"... Tapi, kalau sampai ada yang mengganggu itu artinya sudah menjadi sebuah masalah."

Arlan mengulurkan kedua lengannya dan mengungkung Mima pada pembatas besi, tak memberikan celah bagi wanita itu untuk lepas.

"S-salah saya emangnya dimana? Saya gak berbuat apa-apa, kok!" kilah Mima dengan sedikit gentar. Ya, pikir saja siapa yang tidak takut kalau begini?

"Seperti yang kamu bilang, kamu gak salah. Tapi saya akan menyalahkan kamu kalo orang-orang sampai tau apa yang malam ini saya lakukan." Mima mengernyit, dia menatap wajah Arlan berusaha untuk mencari tahu apa yang dimaksud pria tersebut.

"Maksudnya Bapak ngancem saya buat gak bilang apa yang saya liat malam ini?" Pria itu tersenyum puas.

"Thats right!"

Wanita itu tersenyum culas. "Wah, gimana ya kalau berita seorang kepala Manajer berciuman dengan---,"

"Saya gak akan maafin kamu!" Belum sempat Mima menyelesaikan perkataannya, Arlan dengan cepat memotong.

Tipe orang yang sangat menjaga dengan baik harga diri dan reputasi. Selama Arlan menjabat sebagai kepala manajer di kantor, orang melihatnya sebagai panutan, atasan yang bijaksana, dan juga adil. Tapi sekarang salah satu karyawan justru memergokinya tengah berciuman panas dengan seseorang yang tidak akan pernah diduga, benar-benar melakukannya.

Mima menghembuskan napasnya dia sebisa mungkin melepaskan diri dari Arlan. "Kalo Bapak lepasin saya, sampai kapanpun kabar skandal ini gak akan pernah bocor. Tapi kalo Bapak berani macam-macam, kabar yang beredar akan lebih mengerikan dari sebuah tindakan pelecehan!" Sontak Arlan mengambil langkah mundur dan menatap Mima yang terlihat tak takut sama sekali, padahal dia adalah atasannya.

Berarti, gosip tentang Jemima si Maleficent di kantor itu bukan hanya gosip belaka?

Mima membenarkan tatanan rambutnya, melirik Arlan sekilas lalu melenggang dari hadapan pria itu begitu saja. Toh, martabat seorang Arlan sudah jelek dimata Mima. Pertama saat mempermalukannya di ruang meeting, dan kedua adalah aksi ciuman panas.

Lagipula Mima sama sekali tidak tertarik menonton ciuman itu sampai selesai, toh tidak lebih baik dari adegan kissing didalam drama. Masih kalah jauh!

•Beloved Staff•

Setelah menghabiskan waktu libur selama beberapa hari aktivitas kembali jalan seperti semula. Para karyawan yang baru saja mendapat banyak pujian setelah hasil kerja keras, kembali digembleng untuk bekerja bak seekor kuda demi mencapai target ditahun ini.

Karena perusahaan akan meluncurkan produk terbaru maka sudah dipastikan semua orang disana mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, termasuk Mima yang sengaja datang pagi-pagi untuk melihat data yang dikirim oleh Bu Susi.

Padahal Mima masih punya waktu kurang lebih 30 menit lagi untuk bekerja dan waktunya yang berharga itu bisa dia pakai untuk hunting sarapan dulu. Niatnya untuk membeli ketupat tahu harus terhapus begitu saja.

Baru saja hendak memencet tombol lift, seseorang lebih gesit dan mendahului niat Mima. Sosok tinggi Arlan nampak terengah-engah seperti orang yang baru saja di kejar setan.

"Masuk!" Titah Arlan secara tiba-tiba setelah pintu lift terbuka.

"Apa?"

Arlan berdecak, pria itu mendorong kedua bahu Mima sehingga mereka berhasil berada dalam lift, lalu menekan tombol angka.

"Bapak kenapa, sih? Masih pagi lho, ini!" Omel Mima pada Arlan.

Pria itu berbalik badan dan berkacak pinggang. "Kamu gak berbuat aneh-aneh, 'kan?" Kening Mima berkerut dalam.

"Aneh-aneh apaan, Pak? Ini bahkan hari pertama saya masuk kerja lagi setelah libur. Saya gak buat masalah!"

"Kamu tau maksud saya bukan itu, Jemima!"

Mima mendelikan matanya sebelum akhirnya tersadar kemana arah pembicaraan Arlan, dia pun menyeringai. "Bapak beneran berpikir saya akan sembari gosip itu?" Arlan menggedikan bahunya.

"Gak ada yang gak mungkin mengingat kamu biang gosip di kantor. Dan saya gak bisa percaya sama kamu gitu aja," oceh Arlan membuat Mima memijit kepalanya sendiri.

"Asal Bapak tau, ya! Saya gak sekurang kerjaan itu buat sebarin gosip tentang Bapak sama anak magang itu. Saya mending benerin projek saya yang gagal dan mikirin gimana caranya supaya keterima jadi salah satu projek tahun ini!" Ujar Mima penuh dengan penekanan dan ketegasan. Ingin membuktikan pada Arlan bahwa dirinya bukan hanya bisa bergosip seperti yang Arlan katakan.

Kedua kelopak mata Arlan melebar. "Kamu dendam sama saya karena gak ACC projek kamu? Ah ... Justru kamu bisa makin berani lakuin itu karena kamu punya masalah pribadi dengan saya, 'kan?"

"Astaga. Ya Tuhanku." Mima sampai berulang kali menyebut saking kesalnya pada Arlan. Kenapa dia harus terjebak disini dengan kepala manajernya yang ternyata tidak sekeren pandangan orang-orang?

"Dengar, Jemima. Saya menolak projek kamu bukan tanpa alasan, jadi saya pikir kamu gak perlu sampai dendam sama saya."

"Oh, ya? Dan Bapak milih men-ACC projek yang dibawakan sama anak magang. Coba Bapak pikir deh, bukannya orang-orang makin curiga kenapa Bapak bisa tertarik sama presentasi anak magang dibanding karyawan yang udah kerja lama?" Mima menarik sudut atas bibirnya, semakin gencar menggoda Arlan supaya pria itu mau membuka matanya lebar-lebar.

"Maksud kamu apa?"

Mima mencebikkan bibirnya. "Saya cuman gak nyangka ternyata kepala manajer bisa bersikap begitu. Milih buang projek karyawannya demi memberi nilai plus buat anak magang. Eh, beberapa hari kemudian ketauan ciuman di lorong---"

"Jaga ucapan kamu, Jemima!" Bola mata Mima melotot saat Arlan mengacungkan telunjuknya. Napasnya mulai memburu, keduanya sama-sama diliputi oleh emosi.

Dengan cepat Mima mengatur kembali ekspresinya. "Asal Bapak tau, saya udah bekerja keras selama ini dan saya selalu kasih yang terbaik buat perusahaan ini. Tapi bukan berarti saya gak bisa marah dan kecewa. Saya harap Bapak bisa lebih profesional dan kompeten terhadap karyawan Bapak." Denting lift terdengar membuat keduanya menoleh dan disaat bersamaan sosok Lova berdiri didepan sana, menatap ke arah keduanya dengan terkejut.

Melihat posisi mereka yang cukup dekat membuat Mima langsung menjauh, pergi lebih dulu tanpa mengucapkan banyak kata lagi dan mengabaikan pandangan Lova.

Peduli setan!

•Beloved Staff•

Mima tidak habis pikir kalau masalah sesepele memergoki sepasang manusia berciuman bisa serumit ini. Itupun dia tidak sengaja.

Arlan mendadak seperti mata-mata yang terus mengawasi dirinya, bahkan sesekali memberi attention dengan tatapan tajamnya. Kilatan was-was terus pria itu sampaikan ketika Mima mendekati teman-temannya, padahal Mima hanya ingin mengobrol saja.

Kenapa sampai serepot ini, sih?

Mima sebenarnya tidak peduli mau Arlan apakan kek si Lova itu, bahkan lebih dari ciuman demi mendapat keuntungan di tempat kerja pun, Mima tidak akan mau tahu apalagi bersikap seperti paparazzi. Ternyata menyimpan kelemahan seseorang bisa setidak tenang ini, ya?

Mau makan pun Mima sampai harus menelan ludah berkali-kali karena diujung sana, sosok bak sebuah pistol seolah siap menembakan pelurunya kapan saja ke arah dirinya.

"Lo lagi sakit, Ma?" Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Rosa yang sejak tadi menyadari bahwa Mima tak menikmati makanannya seperti biasa.

Hal tersebut nampaknya disetujui oleh Via. "Iya, ih. Makan Lo kok sedikit sekarang? Diet?"

Mima menahan senyumannya dan menggeleng. "Lagi gak nafsu aja. Pencernaan gue akhir-akhir ini jelek banget," jawabnya yang 100% murni sebuah kebohongan.

Rosa berdecak. "Pasti gegara makan pedes lagi, nih. Gue kan udah bilang kurang-kurangin. Perlu obat gak? Gue ada tuh di tas!"

"Iya, nanti gue ambil. Thanks."

Padahal menu makan siangnya hari ini sangat lezat. Nasi kare yang terasa gurih, ditambah sambal korek kecintaan Mima. Wanita itu sontak mendengus.

Semuanya gara-gara Arlan. Kalau saja pria itu berhenti menerornya seperti seorang pemburu, nafsu makannya pasti baik-baik saja.

Hingga tiba-tiba Via berceletuk, "Gue perhatiin si Lova kok makin berani deketin Pak Arlan, ya?" Sendok dalam mulut Mima seketika tertahan, matanya mengarah pada sosok Lova yang baru saja duduk di meja yang sama dengan Arlan.

"Nyari koneksi kali," timpal Rosa.

"Ah, masa? Meskipun nyari koneksi, gue kalo jadi dia gak bakal berani. Apalagi liat tuh muka Pak Arlan spek Nyi Blorong begitu. Kecut bener!"

Mima meringis. Tidak tahu saja mereka apa yang sudah dua orang itu lakukan.

"Lo kenapa diem aja sih, Ma? Biasanya Lo suka banget hujat si Lova, ini kok dari pagi diem-diem aja?" Via lagi-lagi merengek, merasa kalau sekutunya dalam julid-menjulid sedang tidak baik-baik saja.

"Aduh, gue kan udah bilang kalo perut gue lagi gak enak. Lagi gak mood ngomongin orang gue. Udah ah, gue duluan. Izin ambil obat lo ya, Ros?" Rosa mengangguk dan keduanya menatap Mima yang memilih untuk bangkit lebih awal tanpa menghabiskan makan siangnya.

Tentu hal tersebut sangat janggal bagi mereka berdua.

Dilainan tempat,

"... Katanya tempat itu banyak dikunjungi sama orang ...,"

Arlan mengernyitkan dahinya dalam sedangkan matanya terus mengintai setiap gerak-gerik Mima, tanpa peduli kalau wanita itu sudah mulai merasa risih karenanya.

Bagi Arlan reputasinya jauh lebih penting dan ia tidak mau rusak begitu saja oleh mulut ember Mima, si biang gosip kantor. Bagaimana hal seremeh itu Arlan bisa tahu? Tentunya dari para karyawan lain.

Arlan sering menemukan beberapa orang sedang menggunjing sosok Jemima, si wanita Maleficent yang katanya kalau sudah bawa gosip selalu membuat deg-degan. Takut kalau mereka adalah bagian dari gosip yang Mima bawa.

Sebenarnya Arlan tidak ingin ambil pusing, pada awalnya. Toh, dibicarakan banyak orang pastinya adalah resiko. Tapi mengingat apa saja yang sudah dirinya lalui, rasanya kurang worth it jika Arlan menggadaikan nama baik hanya untuk kenikmatan sesaat.

Lova yang menyadari jika seseorang yang dia ajak bicara tak memperhatikan, pun ikut mengarahkan pandangannya ke tujuan sama. Alisnya terangkat saat tahu kalau sejak tadi Arlan menatap Mima. Seniornya yang menyebalkan dan banyak bicara.

"Bapak, baik-baik aja?" Pertanyaannya kali ini sukses membuat Arlan tersadar.

Pria itu menatapnya sekilas dan mengangguk, lalu Arlan tampak membereskan piringnya. "Saya ada kerjaan, jadi saya duluan."

"Ah ... baik, Pak." Lova menatap punggung Arlan yang perlahan menjauh lalu mendengus pelan.

Apa sebenarnya yang terjadi antara Arlan dan Mima? Tadi pagi mereka tampak bersitegang didalam lift lalu sekarang Arlan terus memperhatikannya. Apa yang tidak Lova ketahui tentang mereka berdua?

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

Miss Rempong By UNI

General Fiction

3.9M 518K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
4.9M 459K 37
Nayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik yang membuat siapapun terpesona. Namun, di...
68.9K 4.3K 21
Katreena berubah menjadi sosok angkuh setelah penolakannya tempo itu. Sial, cintanya ditolak oleh anak pembantunya sendiri. Perasaan marah itu semaki...
23.8K 1.8K 33
Mau bagaimanapun aku hanyalah seorang gadis biasa yang memiliki wajah yang tidak bisa dibilang cantik dan tubuh yang tidak bisa dibilang ideal. Apa...