Woles World Legend: Alpha

By dirgita

788 0 0

Tiba-tiba, Tuan Mahrus ingin terjun ke bisnis pengembangan game. Ia minta sekretaris pribadinya untuk menyiap... More

01 - mulai
02 - tester
03 - Ronit
04 - hubus
05 - limiter
06 - fragma
07 - rembesan
08 - rehatsasi
09 - destinasi
10 - akselerasi
11 - tanda
12 - G4
13 - drit
14 - ede
15 - eXP
16 - eye
17 - dream
18 - experience
19 - berat
20 - kabar
21 - kaget
22 - pamit
23 - maaf
24 - ikut
25 - kontrak
26 - aib
28 - pasrah
29 - kontak
30 - cancel

27 - request

9 0 0
By dirgita

Bayu terbatuk-batuk. Beruntung teh yang sedang ada di dalam mulutnya tidak begitu banyak. Menyembur pun hanya sedikit. Selain itu, begitu keluar dari mulut, teh itu malah berubah jadi butir-butir cahaya berkilau yang kemudian memudar di udara.

"Kau baik-baik saja?" Cepat Julia bangkit membantu Bayu meletakkan cangkir dengan aman.

Sementara itu, Bayu tercenung. Sembari sesekali berdehem diselingi batuk. Selain karena tiba-tiba diajak menikah, ia juga heran karena bisa tersedak di Travellillo. Belum lagi teh yang menyembur dari mulutnya, malah menguap jadi cahaya.

Belum rasa heran itu menghilang, tiba-tiba ada sentuhan lembut yang mengusap-usap punggungnya. Bayu kaget lantas menoleh. Alisnya seketika meliuk mengetahui itu adalah ulah Julia. Sebuah peristiwa langka yang baru pertama kali ini terjadi. Biasanya, justru Bayu yang mengusap-usap punggung Julia apabila gadis itu tengah menangis atau tersedak bakso.

Tapi, itu dulu. Belasan tahun lalu ketika masih kuliah.

Sekarang, mungkin Julia saat ini hanya bermain peran. Ia kini menjadi sosok Julia yang berbeda. Gadis yang digambarkan sempurna penuh lemah lembut. Kalau saja Bayu tersedak di dunia nyata, dirinya pasti jadi bahan rujakan. Diolok habis-habisan karena minum teh pun tak becus.

"Minum jangan buru-buru," begitu ucap Julia sembari mengusap punggung Bayu. Raut kaget di wajah avatar pemuda tersebut pun berubah jengkel. Meski bicaranya lembut, ternyata Julia tetaplah Julia.

"Itu, kan, salahmu," balas Bayu. Masih sesekali berdehem. "Tiba-tiba mengajakku menikah."

Julia berhenti mengusap punggung Bayu. "Itu, toh?" Ia pun tertawa-tawa kecil. Punggung avatar pemuda itu ia tepuk sekali. Dengan pelan. Setelahnya, ia kembali ke kursi.

"Sejauh ini, ini bercandamu yang paling jauh," gerutu Bayu, masih berkutat dengan jalur napas yang belum lapang. "Kau hampir buat aku mati di dalam game."

"Bercanda?" Julia duduk. "Aku serius." Ia lalu memegangi cangkir, memandangi riak isinya, sembari sesekali dimiringkan agar lekuk geraknya terlihat lebih jelas.

"Aku sudah capek, Bay," keluh Julia. "Tiap hari sibuk. Libur cuma di dunia maya," ratapnya lagi. "Setelah menikah, aku akan resign. Asalkan hidup sederhana, tabunganku cukup sampai kita kakek-nenek. Bahkan, tidak perlu makan tabungan kalau dividenku lancar."

Bayu berhasil meredakan gatal di tenggorokan. Ia menghela, lalu berujar, "Terima kasih tawarannya. Tapi, aku tak bisa menikah denganmu."

Julia mengangkat wajah. Alisnya saling menaut. "Mengapa begitu?"

"Ya, namanya juga tidak ada rasa, mau bagaimana?"

"Aku kurang cantik? Kurang seksi? Apa kurang montok?"

"Stop!" Bayu mengangkat telunjuk lalu disodor di depan wajah Julia. "Julia yang aku kenal tak akan bicara seperti itu! Ayo, jujur! Siapa kau?"

Gadis yang ia telunjuki membalas, "Kau masih curiga juga? Mau aku geser posisimu jadi direktur?"

Bayu langsung ciut. Lekas-lekas ia menarik tangan. "Eh, jangan!" balasnya. Posisi direktur untuk perusahaan developer gim berbujet triliunan rupiah terdengar sangat mengerikan.

"Kalau begitu...." Julia meletakkan cangkir. Ia tuang isi teko. "Karena aku akan jadi perawan tua, kau temani aku jadi bujang lapuk."

Bayu seketika mengernyitkan dahi. "Permintaanmu kenapa makin aneh? Kau banyak pikiran? Kurang istirahat?"

Julia hanya diam usai menyeruput teh.

"Kau logout saja, kemudian tidur."

Julia akhirnya menyahut, "Temani aku sebentar lagi."

Bayu mengayunkan jari, meniru gestur Julia membuka menu. Sayangnya, tidak terjadi apa-apa. Ia lalu menjentikkan jari. Bingkai biru muncul. Ia melihat deretan angka di pojok kiri bawah sembari berucap, "Di sini memang masih terang, Julia, tetapi di luar sana sudah hampir sepuluh malam. Aku sekarang jadi merasa ngeri kalau berlama-lama di sini."

"Apa yang kau takutkan? Tidak ada hantu di sini."

Bayu menjentikkan jari. Bingkai biru itu menghilang. "Kau sadar, kan, kita saat ini ada di mana?" Bayu melirik kiri dan kanan. Sekeliling mereka masih menghampar perairan yang luas.

"Ini di dalam game. Kita takkan hanyut ke mana-mana." Julia menghirup teh.

"Bukan soal hanyut, tapi obrolan kita. Karena ini game, berarti kita sedang menggunakan komputer orang lain. Aktivitas kita bisa saja direkam atau dimata-matai." Mereka sempat membicarakan proyek gim yang sedikit banyak adalah rahasia perusahaan. Lalu kemudian, hampir berubah jadi ajang bongkar aib.

"Oh..., soal itu." Julia tampak tenang sembari kembali menuang isi teko. "Tidak usah khawatir. Server tidak bisa merekam aktivitas kita."

Bayu membulatkan bibir. "Bisa begitu?"

"Kebijakan privasinya memang begitu. Mereka hanya mencatat aktivitas login atau payment."

Bayu merenung sesaat. Lalu, manggut-manggut. "Masuk akal. Masuk akal."

"Selain itu, aku juga pakai fitur premium," lanjut Julia. "Kita saat ini ada di sesi privat. Kita terpisah dari pemain lain. Bahkan, zona waktu pun berbeda. Tidak semua orang bisa pakai fitur ini."

"Sombongnya mulai lagi."

Julia mengangkat cangkir. "Ayo, sungkem. Aku member premium level Gold bintang lima."

Bayu menggeleng-geleng. Hampir dua bulan sama sekali tidak saling berkomunikasi, hobi pamer wanita itu ternyata sama sekali tidak memudar. Malah sepertinya, saat ini, sengaja ia curahkan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.

"Kenapa geleng-geleng?" Meski bibir mengecup cangkir, mata Julia lekat menyorot pemuda yang duduk di seberang.

Bayu memajukan bibir. Kemudian mengalihkan jawaban, "Tidak, aku hanya heran. Kau dari tadi tidak berhenti minum teh." Selain pamer, hobi Julia yang satu ini tampaknya juga ikut menjadi-jadi bahkan semenjak kemarin.

Cangkir teh Julia berlabuh pelan di atas meja. Gadis itu menyahut, "Mumpung di sini, Bay. Minum sebanyak apa pun tidak bikin kembung."

"Tapi...." Sama seperti kemarin, Bayu risih. Julia lebih seperti orang yang sedang melampiaskan dahaga. Teh seharusnya diminum bukan seperti itu.

"Tapi apa?" Julia kembali meraih teko. "Jangan buat aku jengkel. Kalau tak suka melihatku minum teh, tutup saja matamu."

Bayu menghela. Kemudian bangkit dari kursi. "Aku lihat danau saja."

"Oh, jadi kau lebih pilih danau ketimbang diriku?"

Bayu hanya diam. Ia lanjut berputar menghadap hamparan danau. Sembari bertelekan pinggang, ia menghela. Cukup panjang. Beberapa kali.

"Julia, kalau ada masalah dengan pekerjaanmu, ceritakan saja."

Julia berhenti menyesap teh. Bibirnya yang merah muda dan bibir cangkir yang putih susu saling menjauh beberapa milimeter.

"Ini bukan soal selalu sibuk atau tidak bisa libur, kan?" Bayu kembali berbalik. Menjumpai gadis bergaun putih itu hanya diam, meyakinkan dirinya bahwa masih ada hal lain yang belum diutarakan. Akan sangat repot kalau tidak segera diungkit.

Seperti yang pernah terjadi dahulu kala. Satu dari sekian banyak ulah Julia yang membuat dirinya hingga kini selalu waspada. Si Julia muda pernah meminta bertukar kamar kos untuk beberapa hari. Dirinya mengaku bahwa kamar yang ia tempati didatangi makhluk halus. Setiap malam, ada yang seperti berbisik-bisik. Siapa tahu dengan Bayu tidur di sana, makhluk halus itu akan ketakutan dan segera enyah.

Jelas saja Bayu menolak. Itu permintaan tak masuk akal dan cerita yang di luar nalar. Namun setelah disogok semangkok bakso, serta diimingi akan diputihkan segala utang-utangnya, Bayu pun luluh. Ia menyanggupi permintaan itu.

Mereka pun bertukar kamar dan Bayu langsung menyesal di hari yang sama. Dirinya kaget menjumpai kamar gadis yang pernah ia taksir dalam kondisi berantakan bak sehabis diterpa angin badai. Dengan mulut bersungut-sungut, Bayu terpaksa merapikan kamar itu. Beberapa hari kemudian, barulah dirinya tahu bahwa Julia bertukar kamar karena orang tuanya datang berkunjung. Ia habis patah hati dan tak sempat beres-beres.

Mengapa tak langsung bilang saja kalau perlu bantuan membereskan kamar? Mengapa sampai mengelabui teman sendiri? Bayu tak habis pikir jalan pikiran Julia.

"Jadi, apa kau patah hati lagi?" terka Bayu. "Kekasihmu dijodohkan dengan orang lain yang lebih mapan?" Agak sakit sebenarnya mengucapkan kalimat itu. Bayu jadi ingat mantan pacarnya sendiri. Wanita yang lebih muda lima tahun dibanding Julia. Putri pemilik konveksi yang sering dapat orderan seragam abdi negara.

"Ada-ada saja," tanggap Julia sembari menurunkan cangkir. "Jangan samakan aku seperti dirimu. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi dekat dengan pria lain."

"Hm? Oh?" Bayu mengkaget. Selama ini, ia pikir Julia sedang atau setidaknya pernah menjalin hubungan spesial dengan seorang pria berstatus mentereng. Koneksi Julia sangat luas. Penampilannya spek bintang iklan. Pasti banyak yang coba mendekatinya. Rasa-rasanya mustahil kalau ia tak kepincut CEO ganteng atau gombalan anak pejabat. "Menakjubkan."

"Apanya?"

Bayu lekas-lekas membelakangi Julia. "Danau Toba menakjubkan, ya? Di tengah-tengahnya ada Pulau Samosir. Pulau di tengah pulau."

"Jadi, kau sukanya pulau? Tidak suka gunung?"

Bayu membatu. Sementara di belakang, Julia kembali menikmati teh seolah-olah ucapannya barusan tak mengandung makna yang bersayap. Teramat sangat membingungkan sampai-sampai Bayu pelan-pelan memutar badan dengan mata melotot.

"Kau... punya... masalah... apa... hei... Ju...!"

"Maaf menyela, Nona Julia."

Bayu seketika tercekat. Mulutnya katup. Sebuah suara wanita yang rasanya tidak begitu asing tiba-tiba menggema di atas geladak.

"Saya sekadar mengingatkan," lanjut suara wanita itu. Bayu tolah-toleh mencari asal suara. "Sisa waktu Nona Julia tinggal lima menit lagi."

"Terima kasih sudah mengingatkan," sahut Julia.

"Sama-sama."

Bayu kini menatap Julia. "Itu bukannya suara Pemandu?" Ia akhirnya ingat dengan pola suara yang selalu menyambutnya ketika login di Travellillo.

Gadis di depannya mengangguk-angguk. Bayu malah mengerutkan dahi.

"Kok, bisa? Dia tadi bicara padamu, kan? Tapi, aku bisa dengar. Kalian juga mengobrol. Dia memanggilmu 'Nona'." Sepengetahuan Bayu, asisten virtual Travellillo akan selalu menyapa pemain langsung dengan nama. Pemandu tidak bisa diajak berkomunikasi dua arah, selain untuk menerima jawaban sederhana seperti "ya" atau "tidak".

Julia tersenyum tipis, lalu mengangkat cangkir. "The power of premium membership. Aku dapat early access fitur AI yang baru."

Leher Bayu menjenjang. "Oh..., sengaja pamer."

Gadis yang Bayu sindir bagai tak merasa disindir. Senyumnya tetap awet. Ia kemudian berucap, "Aku jadi ingat. Kalian dulu pernah mengembangkan AI, kan? Bagaimana kabarnya?"

Bibir Bayu membulat. Bisa-bisanya Julia mendapat topik obrolan yang baru. Ia pun menjawab, "MAYA? Kabarnya baik-baik saja."

"Oh, jadi dia punya nama."

"Mau aku kenalkan? Kalau mau, nanti aku kabari mantan wakilku di unit."

"Aku mau kau bawa dia juga."

***

Permintaan itulah yang membuat Malika meninggalkan fasilitas penginapan. Ia kembali ke kantor Unit Pengembangan Hubus dan menyalakan komputer yang biasa ia pakai.

"Harus, ya, dikerjakan malam-malam begini? Tidak bisa dari kamar?" Elwa ternyata ikut di belakang. Ia tarik kursi mendekat lalu duduk menemani Malika.

"Laptopku ada di koper." Malika mulai membuka beberapa aplikasi ketika berhasil login ke desktop.

"Tidak bisa pakai tablet?"

Malika diam. "Malas," katanya, tetapi di dalam hati.

Elwa membulatkan bibir. "Ini kalau Vika bangun, dia bisa marah."

"Kak Elwa kenapa ikut?"

"Kenapa, ya?" Elwa merapatkan jaket yang ia pakai. Walau AC tidak menyala, rasanya masih cukup dingin. "Supaya nggak cepat kangen." Ia kemudian tertawa kecil.

"Kangen denganku apa kangen dengan Pak Bay?" Malika mengetik beberapa perintah di terminal.

"Eh?" Elwa menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. "Kau mulai ikut-ikutan Vika jadi resek, ya?"

Malika tidak menyahut. Ia kemudian menguap. Seperti disengaja. "Aku ngantuk."

"Sudah hampir sebelas malam." Malika melirik jam di ponsel. "Apa tak bisa minta MAYA saja yang kerjakan sendiri?"

Malika menggeleng. "Ini konfigurasi keamanan jaringan. MAYA tak punya izin."

"Bukannya Pak Bay minta kau menyalin MAYA?"

"Aku buka port khusus supaya bisa menyalin MAYA dari perusahaan baru."

"Ng..., oh...." Elwa sebenarnya tidak paham bahasa teknis. Akan tetapi, ia menduga-duga bahwa Malika saat ini sedang mengatur sesuatu di komputer MAYA. Dengan begitu, nantinya ia bisa mengakses program kecerdasan buatan tersebut dari luar.

Malika kemudian terlihat menutup jendela aplikasi yang ia pakai. Lalu, mematikan komputer.

"Selesai?" tanya Elwa bingung. "Cepatnya."

"Cuma buka port dan atur beberapa policy."

"Ng..., oh...." Lagi-lagi Elwa membulatkan bibir. Kali ini, ia lebih banyak tak paham. "Sudah tidak ada lagi? Kita balik?"

Malika berdiri. "Aku lapar. Mau pesan nasi goreng?"

"Loh? Katanya ngantuk?"

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
3.7M 81.1K 51
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
STRANGER By yanjah

General Fiction

225K 25.7K 33
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
6.1M 479K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...