Amerta

By decin_scorpio

2.9K 184 15

[Follow dulu sebelum membaca] ⚠️ Dapat membuat baper tak berujung⚠️ *** -He fall first, he fall harder- Jika... More

P R O L O G
1. Sogokan?
2. Gadik Unik
3. Berangkat Bersama
4. Pojok Perpustakaan
5. Perihal Rasa
6. 5 Detik
7. Pernyataan Tak Terduga
8. Menjauh
9. 911
11. Saksi Senja
12. Langit Favorit
13. Payung di Kala Hujan
14. Jatuh Yang Menyenangkan

10. Roman Picisan

131 10 0
By decin_scorpio

Semoga gak bosen dengan part ini, karena untuk pertama kali Amerta tembus 3400 kata🤓😋

"Maa.. kakak ke Indomaret dulu ya," pamit Laura pada sang mama yang tengah duduk di sofa sambil menonton acara di tv.

"Iya, hati-hati kak."

Setelah memasang sweater berwarna mocca yang di ambilnya tadi ke tubuhnya, kini Laura berjalan keluar dari rumah. Karena stok yogurtnya sudah habis, dan kebetulan dia lagi pengen makan es krim, jadilah Laura memutuskan untuk ke Indomaret yang berjarak 500 meter dari rumahnya-letaknya tepat di persimpangan jalan besar.

Hanya butuh waktu 7 menit dan Laura sampai di tempat tujuannya. Tidak butuh keranjang belanjaan, karena dia hanya mengambil 4 pouch yougurt dan 2 buah es krim. Selesai membayar, Laura memilih untuk nongkrong dulu di depan Indomaret. Kebetulan di sini tersedia 3 buah meja bundar dengan 4 kursi yang menghiasi tiap meja.

"Pantesan banyak yang nongkrong di sini," kekehnya samar. Karena ini kali pertama Laura duduk-duduk seperti ini di depan Indomaret. Jangan mengatainya kudet, karena nyatanya Laura terlalu serius anaknya. Selesai berbelanja pasti dia akan bergegas pulang.

"Buruan elah!"

"Sabar napa?"

"Orang lapar mana bisa di suruh sabar, di kasih makan baru bisa sabar gue."

Suara keributan yang berasal dari depannya membuat Laura mengangkat pandangannya, menatap sang pembuat kerusuhan.

"Ibu wakil?"

Pati dan Bumi ternyata. Tapi bagaimana bisa mereka bisa nyasar sampai ke Indomaret dekat rumahnya sini?

"Habis belanja?" Bumi bertanya sembari duduk di salah satu kursi yang ada.

"Mi sama susu pisang pesanan Tria aja kan?" Pati bertanya pada Bumi. Cowok yang mengenakan kaos putih juga celana selutut itu tidak ada niatan untuk ikut bergabung bersama Bumi, karena niatnya ke sini memang untuk membeli mi dan cemilan pesanan teman-temannya yang sedang nongkrong di rumahnya malam ini.

"Iya." Bumi mengangguk.

"Darimana?" Laura mengernyit bingung. Aneh saja menurutnya, bisa-bisanya dia bertemu dengan Bumi dan Pati di sini. Well, takdir sedang bermain peran sepertinya sekarang.

"Rumah Pati. Rumahnya gak jauh kok dari sini, 1 kilo aja."

"Owh, baru tahu ternyata rumah Pati sekitar sini."

"Habis beli apa?"

"Yogurt sama es krim. Mau?" Laura menawarkan es krim yang di belinya tadi ke depan Bumi.

Menahan kedutan pada kedua bibirnya, dengan perasaan membuncah Bumi menerima es krim yang di berikan Laura.

"Rasa vanila, gak papa?"

"Hm, gue gak picky soal rasa es krim." Angguk Bumi.

"Woi Bum, ayo balik!" Pati memanggil setelah membuang struk belanjaannya ke tempat sampah.

"Duluan aja, entar gue nyusul."

Memahami kode yang di berikan Bumi, Pati pun hanya mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju.

"Ternyata jatuh cinta bisa buat bego juga," monolognya. Padahal mereka datang dengan berboncengan, bisa-bisanya Bumi menyuruhnya duluan. Emang gak bener anaknya.

Sedangkan di tempatnya Laura sudah mengernyit kebingungan, terlebih dengan Pati yang benar-benar pergi meninggalkan Bumi.

"Masih ada yang mau lo beli?" tanya Laura mengutarakan kebingungannya.

"Enggak." Bumi menatap Laura. "Gue temenin lo pulang dulu baru balik."

"Huh?" Laura cukup tertegun. "Gak usah, gue bisa kok jalan kaki sendiri. Gak nyampe 10 menitan." Gelengnya menolak.

"Gak papa, gue ikut nemenin lo balik, gak ada yang tahu bahaya kedepannya, kan?"

"Gue lagi berusaha deketin lo nih Lau, jangan di tolak dong," imbuh Bumi gencar.

Err... Laura nyaris merinding. Dia lantas mengalihkan perhatiannya ke arah lain-yang penting jangan bersitatap dengan Bumi, karena entah kenapa jantungnya jadi berdegup kencang setelah mendengar ucapan cowok itu barusan.

"Mau ngerjain tugas ya makanya beli cemilan?"

Masih mencoba menghindar, walau tak menatap wajah Bumi, tapi Laura sebisa mungkin tidak menatap iris cokelat itu. "Enggak, gue baru selesai kerjain tugas. Kebetulan yogurt gue habis, makanya mutusin buat beli."

"Lo suka yogurt?"

Laura lantas mengangguk dua kali. "Suka aja, apalagi buat cemilan selagi nugas."

"Noted. Laura Anatasya suka baca novel dan makan yogurt," Bumi berseru dengan senyum yang tidak lagi bisa di tutupi.

"Hm? Lo nyatet kesukaan gue?" Laura cukup terkejut mendengarnya. Well, ini kali pertama dia ketemu cowok seperti Bumi.

"Iya, gue simpan di otak, biar kalau kita jalan gue gak bingung,"

"Jalan?"

"Hm, mau gak? Malam minggu paling seru, jalan-jalan nyari jajan."

Laura berhasil terdiam, tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Gak usah di jawab sekarang, pikir-pikir aja dulu. Malam minggu masih bisa nunggu kok," kekeh Bumi menangkan.

Menggigit bibir bagian bawahnya, Laura mencoba membunuh kecanggunan yang tiba-tiba hadir dalam dirinya. Dia cukup gugup sekarang. "Balik yuk!" Akhirnya yang bisa terucap hanyalah ajakan pulang. Mengambil kantung plastik berisi belanjaannya, Laura lantas bergegas bejalan, di susul Bumi yang mencoba menyamai langkah di sampingnya.

Angin malam berhembus tenang malam ini, sehingga mereka tidak kedinginan. Hanya terasa sejuk saat keduanya berjalan bersisian. Tidak ada yang membuka obrolan sepanjang perjalanan, tapi tidak menimbulkan rasa canggung sedikit pun. Walau beberapa kali terlimbat aksi tatap yang berakhir membuang muka sambil tertawa kecil, tetap saja rasanya masih nyaman. Rasa hangat dan nyaman memenuhi relung hati masing-masing-sangat menyenangkan bisa jalan bersama bergini.

Hingga sampai di depan rumah Laura keduanya berhenti tepat di depan pagar.

"Makasih ya udah nemenin gue balik."

"Sama-sama Lau. Gue juga seneng bisa jalan berdua sama lo."

Laura tersenyum kecil. Lalu kemudian dia tersadar akan sesuatu. "Lo baliknya gimana? Apa gue anter-"

Bumi spontan tertawa. "Gak usah Lau, aneh dong kalau gitu."

Laura pun ikut tertular ketawa, benar juga kalau di pikir-pikir. Lama-lama aksi saling antar ini tidak akan selesai.

"Terus lo gimana?"

"Pati atau yang lain pasti udah nyusul gue," jelasnya. "Udah sana masuk, udah makin malam."

"Yaudah bye. Lo hati-hati ya, kabarin gue kalau udah sampai."

Damn! Bumi baper. Padahal hanya perhatian sekecil itu, tapi dadanya semakin berdetak tak karuan.

"Boleh?"

"Apanya?" Laura yang hendak membuka pintu gerbang pun terhenti karena mendengar pertanyaan Bumi yang terdengar cukup ambigu.

"Gue chat lo, boleh?"

"Iya, emang kenapa?" Laura jadi keheranan sendiri mendengar pertanyaan Bumi.

"Enggak." Bumi menggeleng. "Gue pergi dulu kalau gitu, bye cantik." Kebiasaan lainnya, Bumi akan melayangkan dua tepuka kecil di puncak kepala Laura. Setelahnya baru dia menjauh dari hadapan Laura.

Dengan kegirangan Bumi melompat-lompat tak jelas-tidak bisa menutupi perasaannya. Melihat itu Laura hanya bisa tertawa kecil sembari menggeleng, heran akan sikap Bumi yang terlalu ekspresif.

***

"Jadi gimana pdkt lo?"

Baru saja Bumi masuk dalam kamar setelah mengambil air es dari kulkas rumah Pati tapi sudah di todong dengan pertanyaan Putra dan tatapan penuh tanya dari yang lain.

"Berhasil lah, berjalan mulus!" Bumi berseru dengan senyum yang tidak bisa di tutupi.

"Jiakhh! Beda ya aura-aura orang jatuh cinta," kelakar Kafka.

"Gue baru tahu ternyata rumah Laura sekitar situ," komentar Pati setelah menggantung jaketnya. Ya, dia juga yang harus kembali menjemput Bumi setelah cowok itu menelfonnya dengan membabibuta.

"Gue juga kaget waktu nganter dia pulang, ternyata cuma deket-deket sini aja rumahnya."

"Minta tukar rumah aja lo Bum sama Pati, biar lebih gampang modus nanti," tawar Putra yang langsung mendapatkan tatapan protes dari sang pemilik rumah.

"Enak aja kalau ngomong!"

"Ya emang enak, kan tinggal ngomong aja," tawa Putra tidak jelas. Emang aneh anaknya.

"Ribut lo pada." Bumi lantas berjalan menuju kasur Pati, memgasingkan diri dari sahabat-sahabatnya. Tidak ikut bergabung dengan Kafka dan Tria yang sedang main ps, atau mengerjakan tugas seperti Pati. Kalau Putra ngapain? Dia sedang sibuk menyontek tugas Pati, doa'in aja semoga jawaban yang dia contek benar semua.

Mengeluarkan ponselnya dari saku celana, Bumi dengan cepat membuka aplikasi chatting. Tujuannya sudah jelas, mengabari Laura.

Bumi:
Gue udah di rumah Pati Lauu

Menunggu-itulah yang tengah di lakukan Bumi saat ini. Masih tidak ada jawaban hingga 5 menit berlalu. Masa Laura udah tidur? Batinnya bertanya-tanya. Melirik jam pada ponselnya, sekarang baru setengah 10.

Akhirnya Bumi hanya bisa menghela napas. Tidak mungkin kan dia menelfon tanpa izin? Sangat tidak sopan. Terlebih hanya untuk pesan yang mungkin tidak begitu penting seperti ini.

"Woi elah, natap hp mulu, main sini!" Kafka memanggil dari arah beanbag yang di tempatinya. Ya kamar Pati memang sangat luas, maklum anak tunggal kaya raya.

"Lagi gak pengen gue," Bumi menjawab sembari turun dari atas kasur. Berjalan ke arah meja belajar Pati dan mengambil kartu joker dari sana.

"Astagfirullah, jangan judi nak." Putra tiba-tiba menyeletuk sembari mengelus dadanya saat Bumi sudah duduk di sebrang dia dan Pati.

"Lo tuh istigfar, jangan nyontek mulu," ejek Tria ikut bergabung.

"Elah gak seru lo manusia jutek, kalah mulu dari tadi." Kafka pun ikut bergabung ke sisi meja yang lain.

"Gue cuma kasih lo menang aja," balas Tria. Padahal emang dia tidak se-handal Putra dalam bermain ps.

"Ngapain lo semua di sini? Buat sempit aja," keluh Pati. Pasalnya Kafka dengan seenak jidat menggeser buku paketnya, mana Pati lagi tulis soal yang menjadi pr mereka.

"Ya ini mau main kartu, kan?" Kafka dengan mode sok taunya.

"Gak ada yang mau main kartu. Kerja tugas sana kerja, besok di periksa." Pati berseru sembari lanjut menulis di buku tulisnya.

"Tulisin dong Pati, mager nih gue."

"Sini gue gampar dulu sepuluh kali." Pati melirik sinis ke arah Bumi yang sudah tertawa ngakak bersama Kafka.

"Kalau di liat-liat di antara kita berlima pasti Pati yang paling rajin. Kayaknya salah pergaulan lo, Ti," seru Putra.

"Hm, makanya gue mau reject lo semua dari daftar sahabat gue," jawab Pati tanpa beban.

"Gak bisa gak bisa, lo udah terikat sama kita Pati, hahahahahaa..." Putra tertawa layaknya sang pemeran jahat dalam sinetron.

"Jelek banget ketawa buatan lo, kayak tikus lagi di kejar kucing," ejek Tria menutup mulut Putra dengan buku tulis.

"Si anjir!" Sedangkan Bumi dan Kafka hanya berperan sebagai penonton di antara mereka sembari tertawa. Sungguh terhibur.

Di tengah tawa yang mengudara dan umpatan kesal dari Putra, dentingan pada ponsel Bumi yang berada di atas kasur membuat sang pemilik langsung terdiam sebentar sebelum dengan cepat meraih benda pipih itu.

"Chat dari siapa samape kayak orang di kejar utang lo?"

"Siapa lagi kalau bukan Laura, Ka." Putra menjawab sembari menatap Bumi yang sudah asik di atas kasur-tidak peduli akan godaan dari mereka.

Lau:
Mbb
Untunglah kalau udah sampe ke rumah Pati
Jangan pulang kemaleman, banyak begal

Sialan! Bumi berhasil di buat baper gak ketolong. Dia bahkan tanpa sadar sudah terkikik sendiri kayak kuntilanak.

"Nyeremin juga liat orang ketawa sendiri sambil liatin hp."

"Lebih nyeremin daripada lihat kuntilanak langsung."

Kafka dan Tria sudah bergidik ngeri melihat Bumi. Sedangkan sang pemilik nama yang tidak sadar bahwa lagi di gosipin sedang sibuk mengatur degup jantungnya. Tolong jangan sampai copot jantung, gue masih mau hidup, batinnya. Sepertinya Bumi harus rekam jantung di rumah sakit, karena dadanya tak berhenti berdetak kencang.

Tidak butuh 1 menit setelah Bumi membaca pesan dari Laura untuk membalasnya. Dengan lincah dia kembali mengetikkan balasan.

Bumi:
Iya
Selamat tidur Lau. Sleep well

Terkirim. Tapi sayangnya Laura sudah tidak aktif.

***

Masih pagi dan kelas Bumi sudah harus heboh menyembunyikan barang-barang terlarang yang mereka bawa ke beberapa titik di dalam kelas. Ya, hari ini razia dadakan. Entah siapa yang memulai ide ini, yang pasti umpatan untuk orang-orang itu tidak lepas dari tadi. Tapi sepertinya bukan hanya kelas Bumi, karena beberapa anak kelas sebelah pun dengan tidak santai datang ke kelas mereka dan menanyakan tempat persembunyian yang aman.

"Kenapa harus razia di saat gue bawa cushion baru sih?!"

"Ya emang anak Osis sama guru-guru harus nanya jadwal lo dulu?"

"Bacot deh!"

"Anjir! Ini barang siapa semua elah di dalam lemari?"

"Mampus mampus! Bu Jehan sama anak Osis udah kemari!"

Yang perempuan semakin heboh mencari tempat persembunyian untuk make-up mereka, sedangkan yang laki-laki semakin bergerak cepat menata rambut mereka dengan pomade. Well, cara terbaik agar tidak ketahuan rambut panjang. Mereka tidak seheboh gadis-gadis untuk menyembunyikan kartu joker dan rokok, karena ventilasi selalu menjadi jalur aman sejauh ini agar tidak ketahuan.

"Kenapa kacau sekali kelas kalian?!" Suara bu Jehan terdengar dari ambang pintu. Dengan bergegas mereka kembali ke bangku masing-masing, sambil berdoa semoga saja barang-barang mereka bisa aman dari razia.

"Tas taruh di atas meja semua. Yang cowok maju ke depan!" perintah bu Jehan.

Dengan ogah-ogahan akhirnya yang cowok-cowok beranjak ke depan kelas. Berdiri berjejer membentuk 2 saf.

Dua anak Osis yang ikut dengan bu Jehan pun mulai berjalan ke masing-masing meja, memeriksa tas dan laci-laci meja.

"Kalian lagi kalian lagi. Sudah berapa kali ibu suruh gunting rambut, hah?"

"Yah bu, gak panjang ini mah. Gak sampe kening, nih?" Bumi mencoba menawar pada bu Jehan yang sudah akan memotong rambut bagian depannya.

"Kamu pikir ibu gak pelajarin trik-trik kalian ini? Panjang gini, cuma karena pakai krim rambut aja."

Mau tidak mau Bumi hanya bisa pasrah saat rambutnya di gunting bu Jehan.

"Emang kalian suka ketemu gunting ajaib ibu dulu kan baru mau gunting rambut?" Bu Jehan tertawa sembari bergeser ke arah Kafka yang berdiri di samping Bumi.

"Hari ini gak tindikan lagi, Ka?"

Kafka memasang cengirannya. "Saya mah udah tobat bu."

"Tobat.. tobat. Tobat 5 menit doang, paling waktu ibu keluar kambuh lagi bandel kamu."

"Hehehehee... kan namanya proses bu, harus bertahap," kekeh Kafka. Padahal dalam hati sedang menahan umpatan karena rambutnya di gunting sangat pendek oleh bu Jehan.

"Ya Allah bu, jangan pendek-pendek dong," pinta Putra begitu bu Jehan beralih kepadanya.

"Makanya jangan panjangin kalau gak mau ibu pendekin jadi 1 senti."

"Ya Allah, rambut hasil sampo kuda gue," Putra cuma bisa meratapi nasib saat satu genggam rambutnya di buang bu Jehan ke dalam plastik. Ini kayaknya bu Jehan dendam banget sama dia, masa hanya dia yang di gunting se-genggam gitu, yang lain sepertinya hanya se-jumput.

"Gak usah banyak protes. Siapa suruh sering di sampaikan untuk gunting rambut malah tunda-tunda."

Mendengar ucapan bu Jehan mereka hanya bisa pasrah saja. Gak mungkin protes kan? Bandel-bandel gini mereka juga masih tahu batasan antara yang benar dan salah, cuma tidak di lakukan saja.

"Bunga siapa itu Bella?" tanya bu Jehan begitu melihat ada satu tangkai bunga mawar yang baru saja di keluarkan Bella-anak Osis-dari tas seseorang.

"Bunga saya bu." Bumi menyahut lebih dulu sembari mengangkat tangannya. Dia sudah memasang senyum manis saat bu Jehan menatapnya.

"Buat apana kamu bawa bunga ke sekolah?"

"Mau nembak wakil Osis, mau nembak bu!" Putra lebih dulu berseru dengan heboh. Anak-anak kelas yang mendengarnya pun langsung bersorak, menggoda Bumi.

"Doa'in ya bu." Tanpa aba Bumi berjalan ke arah bu Jehan dan mengambil tangannya untuk salim. "Soalnya saya sebelumnya di tolak bu," curhatnya semakin membuat sorak-sorai ramai terdengar.

"Ada-ada saja kamu ini." Bu Jehan menggeleng-tak bisa menutupi kekehan kecilnya melihat kelakuan muridnya ini.

"Di restuin gak nih bu?"

"Ya kenapa tanyain ibu, tanya orang tuanya dong."

"Kan permulaan dulu bu, perwakilan ibu sebagai pembina Osis. Entar kalau sama orang tuanya waktu malam minggu, sekalian izin bawa anaknya jalan-jalan."

Bu Jehan hanya bisa menggeleng maklum, sudah biasa melihat kelakuan remaja seperi Bumi ini. "Asal jangan buat kacau sekolah aja kamu."

"Siap bu!" Bumi hormat layaknya seorang prajurit. Dia lantas berbalik ke tempatnya tanpa bisa menutupi senyumnya, bertos ria dengan keempat sahabatnya yang juga sudah tertawa melihat kelakuannya.

"Sudah semua bu di periksa." Bella datang bersama Glen yang memegang kardus berisikan barang-barang yang di sita dari kelas-kelas sebelumnya.

"Bersih?" tanya bu Jehan cukup heran. Bella dan Glen pun mengangguk.

Aneh. Kelas yang sering menjadi perbincangan di ruang guru karena kelakuan murid-muridnya ini jelas tidak mungkin bebas tanpa membawa barang-barang yang di larang oleh sekolah.

"Glen, coba kamu lihat ventilasinya."

Baru saja Glen hendak berbalik, teriakan heboh dari murid-murid cowok membuat kecurigaan bu Jehan semakin tinggi.

"Jangan ada yang berani bergerak kalau gak mau ibu tambah hukumannya!"

Peringatan bu Jehan berhasil menahan langkah cowok-cowok yang hendak berlari mengambil rokok mereka.

"Huft! Baru juga pagi tadi gue beli, ludes dah tuh rokok."

"Yakali gak nyebat habis makan?"

"Padahal itu jatah 4 hari gue."

"Vape gue."

"Bella, coba kamu periksa lemari," titah bu Jehan.

"Ibu.. ibu jangan dong!"

"Yahh ibu mahhh..."

Ludes sudah segala barang-barang yang coba mereka sembunyikan.

"Emang kalian pikir 10 tahun ibu ngajar di sini gak pelajarin tabiat-tabiat kalian," seru bu Jehan.

15 kotak rokok, 3 vape, dan serangkaian make-up yang coba mereka sembunyikan berhasil masuk ke dalam dus yang di bawa Glen.

"Bagus ya kalian bawa rokok sebanyak ini, emang mau jualan, hah?" Bu Jehan menatap murid-murid cowok yang masih berdiri di depan kelas satu per satu. "Ini juga ada kartu, mau belajar judi sejak dini kalian?"

Setelahnya bu Jehan keluar dari kelas dengan Bella dan Glen yang mengikuti di belakang. Meninggalkan segala protesan dan keluhan dari kelas 11B-3.

***

Pos satpam di saat pulang sekolah berhasil di kuasai Bumi dan sahabat-sahabatnya. Awalnya hanya menongkrong sebentar sambil menunggu gerbang di buka-maklum aja, karena kelas mereka selesai lebih dulu makanya mereka berbondong-bondong menuju parkiran, tapi sayangnya gerbang belum di buka oleh pak Septa, katanya harus menunggu bel dulu.

Dan sekarang, ketika gerbang sudah di buka 5 menit lalu mereka belum juga beranjak pergi. Sepertinya mulai keasikan nongkrong di pos.

"Pak, gitar siapa nih?" tanya Kafka begitu mendapati sebuah gitar di dalam ruangan pos.

"Punya Rayan, temennya Rama."

"Bang Rama? Yang kelas 12 kan?" tanya Pati memastikan. Pak Septa pun hanya menjawab dengan anggukan sebelum kembali pergi ke gerbang khusus kendaraan guru-guru.

"Yoklah, nyanyi aja dulu." Ajak Kafka menarik kursi dan mulai memetik senar gitar.

"Lagu apa dulu? Main asal suruh nyanyi aja," seru Tria bertanya.

"Kenangan terindah aja," saran Putra.

"Jiakhh! Tim gamonin mantan ya bang?" goda Bumi yang di sambut tawa yang lain. Sedangkan Putra sudah mendelik tak senang bersama pukulan yang dia layangkan ke lengan Bumi.

"Kampret lo!"

"Gimana gak gamon ya Put, modelan kayak Bianca emang susah di lupain," lontar Tria.

"Kirain satu-satunya, ternyata salah satunya," beber Pati.

"Udahlah, ganti lagu aja!" seru Putra kesal. Niat hati menyarankan malah di ingatkan tentang masa lalu.

Kafka yang masih tertawa pun mulai memetik gitarnya. Chord kisah kasih di sekolah ternyata yang di mainkan cowok bertindik itu.

"Resah dan gelisah menunggu di sini."

"Di sudut sekolah tempat yang kau janjikan."

"Ingin jumpa denganku walau mencuri waktu."

Awalnya Bumi bernyanyi bersama yang lain dengan baik, hingga saat iris cokelatnya menangkap kehadiran gadis yang menggunakan headband di kepala itu membuatnya terhenti. Senyum perlahan terbit begitu saja-senang melihat kehadirannya.

Tanpa berpamitan Bumi keluar dari pos satpam, membiarkan sahabat-sahabatnya lanjut bernyanyi dengan tatapan yang mengikutinya.

"Yahhh... udah ada yang mau ngapelin nih, kita duluan ya Lau." Melda dan Zellyn yang menyadari kedatangan Bumi pun dengan cepat berlalu pergi. Melda menuju parkiran sedangkan Zellyn menuju luar sekolah karena penjemputnya sudah datang.

"Hai Lau, gimana hari ini kabarnya?"

"Baik. Maaf ya semalam langsung off," ucap Laura.

"Nggak-"

"Menanti Laura jawabku!" nyanyian yang lebih menyerupai teriaka itu jelas berasal dari Kafka, Putra, Pati, dan Tria. Laura dan beberapa murid yang kebetulan lewat jelas saja kaget, sedangkan Bumi menatap sahabatnya itu dengan tajam. Sialan emang! Paling jago mereka tuh kalau urusan gagalin pdkt orang.

"Sorry ya Lau, emang gak jelas manusia-manusia itu," sesal Bumi kembali menatap Laura. Sedagkan gadis yang menggunakan tas putih dengan motif bunga-bunga itu hanya tertawa kecil menaggapi ucapan Bumi. Sudah biasa juga kan Laura melihat kegilaan anak-anak badung itu?

"Gak masalah."

"Mau langsung pulang ya?"

"He-em, gak ada agenda juga habis ini," jawab Laura. Sampai di parkiran Laura masih menatap sekeliling, mengingat kembali dimana dia memarkirkan motornya tadi pagi.

"Kalau malam minggu, ada agenda gak?"

Baru saja Laura ingin melangkah menuju motornya, pertanyaan Bumi berhasil menahan langkahnya untuk beberapa sekon.

"Jangan buru-buru, gue gak akan kasih kesempatan ke yang lain kok." Seulas senyum menjadi penutup akan penolakan halus yang di layangkan Laura. "Gue balik duluan ya, jangan lama-lama pulangnya."

"Tapi lain kali jangan nolak ya?" tagih Bumi begitu dia kembali mendapatkan kesadarannya. Well, dia cukup lama tertegun tadi mendengar ucapan Laura. Bukan perkara penolakannya, tapi isi dari ucapannya. Berarti Bumi di kasih lampu ijo nih?

Laura berbalik, tidak menjawab lewat vokal, hanya saja anggukan kepalanya cukup menjawab pertanyaan Bumi. Melanjutkan langkahnya, Laura sedikit terkekeh begitu melihat respon Bumi saat dia angguki-laki-laki itu melompat kegirangan.

Sampai di motornya, Laura kini yang di buat tertegun ketika mendapati setangkai bunga mawar yang di taruh di dashboard motornya. Tak sampai di situ, sebuah note pun di tempelkan di kaca speedometernya.

"Mawar pertama sebagai tanda hari pertama gue luluhin hati lo," bacanya pada kata-kata yang tertulis di note tersebut. Tidak perlu menebak-nebak siapa yang melakukan ini, karena begitu Laura kembali menatap ke tempat Bumi, cowok itu masih ada di sana sambil melambai.

Getaran pada ponselnya yang berada dalam genggaman membuat perhatian Laura teralih. Pesan dari Bumi ternyata.

Bumi:
Yang ini jangan di tolak, okay?
Anggap aja sebagai deklarasi dari perjuangan gue
Hati-hati di jalan ya Lau. Kalau ada apa-apa langsung telfon gue

Mengangkat kepalanya, Laura menatap ke arah Bumi. Walau terbentang jarak, entah kenapa rasanya mereka berada dalam radius yang dekat sekarang. Kembali sudut bibirnya tertarik, dia mengangguk kecil-menjawab segala isi chat Bumi.

Sedangkan di tempatnya, Bumi mengangkat tangan kanannya, memberikan tepukan dua kali di udara-seolah dia tengah melakukan hal yang serupa pada Laura yang berada dalam satu garis pandangnya. Setelahnya baru dia melambai kala Laura hendak berlalu pergi dengan motor meticnya.

#To Be Continued

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 98K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
3.3M 207K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
2.4M 124K 27
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
1.7M 73.4K 52
"Jangan deket-deket. Mulut kamu bau neraka-eh, alkohol maksudnya!" Ricardo terkekeh mendengarnya lalu ia mendekatkan wajah mereka hingga terjarak sat...