Rafaelluna's Diary (silent lo...

By azaralunne_

2K 636 486

Ketika gadis yang dikenal periang dan pecicilan jatuh cinta dengan cowok yang soft dan ramah kepada semua ora... More

˚。⋆Prolog♡⋆。˚
˚。⋆Cast♡⋆。˚
˚。⋆01. weekend ⋆。
˚。⋆02. about Korea⋆。
˚。⋆03. oh, it's too late⋆。
˚。⋆04. basketball⋆。
˚。⋆05. proposal⋆。
˚。⋆06. sorry⋆。
˚。⋆08. who are you?⋆。
˚。⋆09. im super shy⋆。
˚。⋆10. school anniversary event⋆。
˚。⋆11. hm, curious ⋆。
˚。⋆12. where's my bf? ⋆。
˚。⋆13. truth or dare ⋆。
˚。⋆14. saturday night⋆。
˚。⋆15. cute girl in k-pop store⋆。
˚。⋆16. invitation cancelled⋆。
˚。⋆17. the longed for comes⋆。
˚。⋆18. remember it again⋆。
˚。⋆19. still hoping for that⋆。
˚。⋆20. im jealous, really⋆。
˚。⋆21. recovering from a coma⋆。
˚。⋆22. cast, again⋆。
˚。⋆23. shipment from Korea, Mom?⋆。
˚。⋆24. don't cry, you deserve it⋆。
˚。⋆25. finally we meet, Mom⋆。
˚。⋆26. art competition⋆。
˚。⋆27. i really miss you, finally⋆。
˚。⋆28. confused to see it⋆。
˚。⋆29. until when like this?⋆。
˚。⋆30. need certainty⋆。
˚。⋆31. about your feelings⋆。
˚。⋆32. please, don't go again⋆。
˚。⋆33. be my friend⋆。
˚。⋆34. our past⋆。
˚。⋆35. our plan⋆。
˚。⋆36. meeting her⋆。
˚。⋆37. im sorry⋆。
˚。⋆Epilog♡⋆。˚

˚。⋆07. i miss you⋆。

58 21 0
By azaralunne_

haii, kalian pernah kangen berat ngga, sih?
sini kangen bareng sama Lunna

Happy Reading 💐

Hujan deras tiba-tiba turun mengguyur kota Tasikmalaya sore itu. Lunna yang sehari-harinya berangkat dan pulang sekolah dengan kendaraan umum, hari ini terpaksa harus berjalan kaki karena sudah terlalu sore, tak ada kendaraan yang masih beroperasi.

Karena hujan, ia berteduh di sebuah emperan toko yang sedang tutup. Gadis itu berdiri memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan.

Ia melirik jam tangannya yang saat ini menunjukkan pukul 17.20 WIB.
"Udah petang. Setengah jam lagi maghrib."

Ia melangkahkan kakinya ke depan dan mengulurkan tangannya untuk melihat apakah hujan ini akan membuatnya basah kuyup atau sekedar basah ketika sampai di rumah nanti.

"Masih deres, tapi nggak sederes tadi. Apa aku pulang sekarang aja, ya?"

Lunna melepas cardigan dan tas punggungnya. Lalu ia memeluk tas punggung tersebut dan menutupinya dengan cardigan supaya sedikit terlindungi dari hujan.

Setelah itu, ia nekat berlari menerobos hujan yang padahal jika terkena hujan, ia akan sakit.

Membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit untuk Lunna sampai di rumahnya. Dengan tubuh yang masih menggigil kedinginan, ia memencet bel rumahnya sambil memanggil sang Ayah.

"Assalamu'alaikum, Ayah. Ini Lunna."

Tak lama setelahnya, Baskara membuka pintu sambil membawa secangkir kopi.

"Bagus, baru pulang jam segini. "

Lunna menunduk. "Maaf, Ayah."

"Darimana aja kamu? Nongkrong sampai lupa waktu? "

"Enggak, Yah. Tadi Lunna bantu teman organisasi-"

"Halah." Baskara memotong ucapan Lunna. "Teman organisasi, kan? Sudah pasti kamu nongkrong sampai lupa waktu. Nongkrong dari mana kamu? Atau abis caper sama cowok di club?"

"Bukan, Lunna daritadi di sekolah, kok. Bikin propo-"

"Gak usah kebanyakan alesan, Lunna." Baskara kembali memotong ucapan Lunna.

"Kamu pikir Ayah tidak pernah merasakan masa muda? Ayah tau kalau anak muda pulang jam segini pasti ngelakuin hal-hal yang nggak bener."

Pria itu menyeruput kopinya. "Abis jual diri di mana kamu?" tanyanya.

"Ayah!" Lunna yang sedari tadi menahan emosinya, kini ia lepaskan karena tidak tahan. Bagaimana tidak? Ayahnya sendiri menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang perempuan.

"Kenapa? Bener, kan yang Ayah omongin? Sekarang dapet uang berapa kamu?"

"Ayah! Jaga mulut Ayah. Kenapa Ayah bisa menuduh Lunna sekotor itu tanpa bukti? Ayah bahkan tidak pernah peduli soal kehidupan Lunna selama ini. Tapi kenapa tiba-tiba Ayah menyimpulkan bahwa Lunna adalah gadis yang sangat kotor."

Baskara tersenyum tanpa dosa. "Kamu dan Bunda kamu itu sama saja. Sifatmu sejak kecil 100 persen menurun dari Bundamu. Dulu dia pernah melakukan tindakan keji itu, kan? Bundamu pernah jual diri. Jadi, bukan tidak mungkin kamu akan mengikuti jejaknya."

Brak ....

Lunna yang sudah tidak tahan itu menendang kursi teras dengan cukup keras.

"Apa-apaan kamu, Lunna? Sudah mulai berani dengan Ayah?"

"Cukup, Ayah. Lunna cape. Ayah pikir selama ini Lunna nggak sakit hati setiap kali Ayah merendahkan Lunna? Menjatuhkan impian dan harga diri Lunna? Ayah pikir Lunna tidak punya hati? Di mana hati nurani Ayah sebagai seorang kepala keluarga?" Lunna menjeda kalimatnya. Ia menangis.

"Mungkin Lunna masih bisa menahan emosi kalau tadi Ayah tidak membahas soal Bunda. AYAH! BUKA MATA AYAH! Bunda melakukan itu bukan tanpa alasan. Ayah selalu melakukan kekerasan pada Bunda sejak dulu, kan. Bahkan Ayah tidak pernah menafkahi Bunda. Ke mana uang hasil kerja Ayah? Ayah gunakan untuk mabuk dan berjudi, kan? Sadar, Yah. Ayah juga sekotor itu dulu. Jangan salahkan Bunda yang mencari kebahagiaan lewat laki-laki lain kalau Ayah sendiri malah menarik Bunda ke rumah tangga yang bagaikan neraka ini."

Lunna melenggang masuk ke dalam rumah dengan keadaan hati yang hancur berkeping-keping.

Gadis ini mengurung dirinya di dalam kamar. Ia mencoba untuk tidak menangis karena jika dirinya menangis, Ayahnya akan semakin menyakitinya.

Lunna mandi dengan air hangat untuk membersihkan dirinya, ia mengganti baju seragamnya yang basah kuyup dengan sebuah sweater yang hangat.

Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya ke atas kasur lalu menutupi dengan selimut sampai kepala. "Dingin."

Lunna merasakan tubuhnya sangat lemas sekarang, kepalanya sakit, suhu tubuhnya juga naik. Ia memang akan selalu seperti ini jika terkena hujan.

Lunna menangis tanpa suara di dalam selimut. "Bundaa, Lunna butuh Bunda di sini." Ia menjeda kalimatnya karena mulutnya bergetar menahan agar tangisannya tidak pecah.

"Bunda, Lunna kangen dipeluk sama Bunda. Lunna kangen banget. Bunda di mana? Kapan Lunna bisa ketemu Bunda? Gimana caranya Lunna komunikasi lagi sama Bunda? Lunna kangen suara lembut Bunda. Bunda kapan pulang?"

Lunna membuka selimutnya lalu berdiri, ia berniat melihat hujan dari jendela. Belum sempat ia berjalan, tubuhnya hampir ambruk karena saking lemasnya.

Lunna mencoba bertahan, ia berjalan sambil berpegangan pada tembok. Gadis itu duduk di samping jendela, di sekitar lukisan-lukisan hasil karyanya.

Sambil melihat hujan, ia juga sambil melihat lukisan-lukisan cantik yang terpajang di sana. Pandangannya terpusat pada sebuah lukisan yang ia letakkan di samping cermin.

Lunna melangkahkan kakinya pelan mengambil lukisan itu. Lukisan sederhana, hanya gambar 2 orang anak kecil yang sedang bermain ayunan di bawah guyuran hujan.

Sudut bibir Lunna membentuk sebuah senyuman tipis. "Dika." Satu nama itu tiba-tiba kembali terlintas di pikiran Lunna.

Dika. Sahabat masa kecil Lunna. Teman melukisnya juga. Hanya Laras, Bunda Lunna dan Dika saja yang benar-benar mendukung Lunna untuk mengembangkan bakat seninya di sini.

Hati tidak bisa bohong, meskipun banyak orang yang hadir dalam hidup Lunna, tapi Lunna tidak bisa sepenuhnya mengikhlaskan kepergian sosok Dika. Ia merindukan laki-laki itu.

Saking sayangnya, Lunna selalu menyelipkan inisial huruf 'D' di setiap lukisannya. Bukan tanpa alasan, dulu setiap mereka melukis bersama, selalu terselip inisial mereka 'LD' yaitu Lunna dan Dika.

Huruf D sangat spesial bagi Lunna. Ia ingin selalu membawa indentitas inisial D itu ke mana-mana. Kecuali di nilai raport.

"Dika ... aku kangen. Kamu di mana?"

Lunna tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Ia segera mengambil inhaler dan nebulizer yang ada di meja depan cermin.

Asmanya kambuh karena kedinginan. Kemudian ia memakai jaket yang tebal.

Lunna menutup hordeng jendela kamarnya. Lalu ia naik ke atas kasur dan membaringkan tubuhnya. Berharap besok ia sudah merasa jauh lebih baik.

Sementara itu di sisi lain, seorang remaja laki-laki sedang melukis di bawah bulan purnama kota Medan.

Ia melukis seorang diri di belakang rumahnya. Sunyi namun tenang. Tiba-tiba seekor burung gereja terbang melintas di depannya.

Ia kaget hingga tak sadar membuat coretan di lukisannya.

"Burung gereja? Kenapa malam-malam begini masih ada burung berkeliaran? Aneh," gumamnya.

Ia kembali mencampurkan cat yang sudah habis di pallet. Ketika melihat lukisannya lagi, ia kaget karena ada coretan hitam di bulan purnama yang berwarna putih bersinar.

"Hah? Apa ini?" Cowok itu menjatuhkan kuasnya dan mengacak-acak rambutnya frustasi. "Kenapa jadi begini? Argh burung gereja sialan."

Rasanya ingin marah. Karena ia mengerjakan lukisan itu dalam waktu 3 hari. Dan sekarang? Lukisannya rusak begitu saja. Padahal itu adalah tugas DKV yang wajib dikumpulkan besok pagi.

"Aku harus gimana? HARUS GIMANA? SOLUSINYA GIMANA? ARGHHH." Cowok itu berdiri dan menendang kursinya.

Mendengar suara keributan dari belakang rumah, orang tuanya yang sedang menonton televisi berdua langsung bergegas melihat keadaannya di belakang.

Ketika mereka sampai, cowok itu sudah menempelkan wajah dan tubuhnya ke tembok. Hal ini biasa ia lakukan ketika sedang marah, sedih, atau salting. Andalannya adalah menempel ke tembok.

Anggep aja gitu, tapi versi di luar rumah. Nyari foto Renjun yang sesuai susah:)


"Dika, kamu kenapa, sayang?" Andini berjalan menghampiri putranya diikuti Rizal, suaminya.

"Dika, ada masalah apa?" tanya Rizal.

Dika membalikkan tubuhnya dan memperlihatkan wajahnya yang sedang menangis kepada kedua orang tuanya.

"Loh, jagoan Ayah kok nangis? Ada apa?"

"Sini-sini kita duduk dulu." Andini mengajak Dika untuk duduk di kursi panjang yang ada di sana. Begitu pun dengan Rizal.

"Tenangin diri dulu, Ibu ambilin minum, ya?" Andini berdiri berniat mengambil minuman untuk putranya. Tapi tangannya lebih dulu dicengkal oleh remaja itu. "Nggak usah, Bu. Nggak apa-apa, Ibu duduk aja."

Andini menurut. "Gimana? Ada masalah apa?" tanyanya.

Dika menunjuk ke arah lukisan yang ia buat. "Lukisan Dika rusak, gara-gara burung gereja." Dika mengusap air matanya yang kembali turun.

Rizal berdiri dan mengambil lukisan putranya. Lalu membawa lukisan itu untuk mereka lihat bersama.

"Coretan ini, ya?" Rizal menunjuk ke coretan hitam di bulan purnama.

Dika mengangguk membuat Rizal tersenyum. Pria itu lalu mengambil kuas dan mencelupkannya ke cat berwarna hitam.

Ia mencoba mengubah coretan itu menjadi sebuah objek yang sangat cantik. Yaitu segerombolan burung kecil yang terbang membentuk hati.

Mata Dika berbinar melihatnya. "Ayah? KEREN BANGET. AYAH, MAKASIH." Dika memeluk Ayahnya erat.

Rizal dan Andini tersenyum melihat putra semata wayang mereka kembali ceria.

Dika melepas pelukan dan kembali melihat lukisan itu. Senyumannya tiba-tiba memudar.

"Kenapa? Nggak suka, ya?" tanya Rizal.

Dika menggeleng. "Bukan gitu, Yah. Tapi objek ini tiba-tiba bikin Dika keinget sama seseorang."

Rizal dan Andini saling pandang. "Siapa?"

Flashback on

"Dika, bulannya bagus banget, ya? Kita lukis, yok."

"Ayok!"

Mereka menyelesaikan lukisan itu hanya dalam waktu 60 menit.

"Ihh baguss, suka."

"Bagus dong, kan karya kita."

"Oh iya, kalo di bulan ini ada bentuk hati kayanya makin bagus."

"Mana ada hati nempel di bulan?"

"Adaa, hati akuu karena aku suka bulan. Jadi pengen nambahin hati dikit di sini, boleh ya, Dika?"

"Hm, coba."

Flashback off

Continue Reading

You'll Also Like

75.6K 2.9K 37
ᴅɪᴠᴇʀɢᴇɴᴛ; ᴛᴇɴᴅɪɴɢ ᴛᴏ ʙᴇ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴏʀ ᴅᴇᴠᴇʟᴏᴘ ɪɴ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴅɪʀᴇᴄᴛɪᴏɴꜱ.
312K 12.5K 25
Is she going to work or get distracted by Ms. Arrogant? Peak at no. 1 in #winrina, no. 3 in #winter, no. 1 in #aespa
153K 11.7K 13
Her şey bana gelen mektupla başlamıştı. Ufacık bir not kağıdında yazan şeyler büyük olaylara ve hayatımın değişmesine yol açmıştı. Ben kendimden emin...
182K 7.7K 200
This story follows the early life of James also known by his street name Headshot or Shooter. James had an extremely rough childhood, one that turned...