THE OLDEST

By dilselflovetion

6.2K 652 111

Ini adalah kisah anak sulung dari keluarga Gunadhya, Aksara Bimantara Gunadhya yang telah melakukan kesalahan... More

INTRODUCTION
THE OLDEST - 1
THE OLDEST - 2
THE OLDEST - 3
THE OLDEST - 4
THE OLDEST - 5
THE OLDEST - 6
THE OLDEST - 7
THE OLDEST - 8
THE OLDEST - 9
THE OLDEST - 11
THE OLDEST - 12
THE OLDEST - 13
THE OLDEST - 14

THE OLDEST - 10

289 37 13
By dilselflovetion


Masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum Tita dan Sasti datang ke rumah Aksa untuk memperkenalkan sang putri kepada keluarga besarnya. Jadi selama beberapa hari itu pula Aksa terus berusaha untuk mendekatkan diri dengan Tita. Untuk keamanan dan kenyamanan bersama, Aksa secara pribadi meminta Sasti untuk tidak memberitahu Tita dulu soal statusnya sebagai ayah dari bocah cantik itu sebab dia ingin dirinya lah yang melakukan itu untuj sang putri.

Aksa sendiri sebenarnya merasa sedikit khawatir dengan reaksi seperti apa yang akan Tita berikan ketika gadis kecil tahu jika dia adalah ayahnya. Apakah Tita akan langsung menerimanya dengan tangan terbuka? Atau justru malah menolaknya karena dirinya baru bisa muncul setelah sekian lama terkurung dalam ketidaktahuan? Sungguh Aksa akan melakukan apa saja agar bisa diterima oleh Tita jika putrinya itu benar-benar menolaknya nanti.

"Sweetheart, it's time to sleep now."

Tita yang sedang asyik menggoreskan crayon di atas buku gambarnya pun langsung menghentikan kegiatannya itu secara otomatis. Aksa tersenyum menahan geli sembari mengusap kepala Tita lembut. Adegan itu sering kali tercipta di depan matanya hampir setiap malam dan Aksa masih sering takjub melihat betapa patuh dan penurutnya Tita pada perintah bundanya.

"Aksara aku nemenin Tita bersih-bersih dulu ya?" pamit Sasti pada Aksa yang kini sedang sibuk merapikan semua alat-alat menggambar sang putri. "Eh nggak usa, Sa! Biar aku aja yang beresin!"

"Nggak apa-apa, Asti." balas Aksa kalem seraya memasukkan buku gambar serta crayon milik Tita ke dalam laci. Setelahnya dia beralih ke dapur untuk mencuci semua piring dan gelas kotor yang masih menumpuk di sana.

Sasti tertegun selama beberapa detik seiring dengan sekelebat kenangan ketika dirinya masih menjadi istri Aksa dulu muncul di dalam kepalanya. Pemandangan ini adalah pemandangan yang sering ia lihat sewaktu mereka tinggal di Amerika dulu. Sasti yang akan memasak untuk mereka, dan Aksa akan mencuci semua peralatan makan mereka setelahnya. Benar-benar kenangan yang indah dan sangat menyenangkan sekali seandainya saja Aksa tidak menghancurkannya dengan kelabilannya sebagai laki-laki dulu.

Karena tidak mau lagi mengingat-ngingat masa lalunya bersama Aksa, Sasti memutuskan untuk segera membawa Tita masuk ke dalam kamarnya dan membantu gadis kecilnya itu bersih-bersih sebelum tidur.

"Gigi bagian dalam yang di atasnya juga disikat ya nak." ujar Sasti sembari memandangi Tita yang sedang menyikat giginya. Bocah itu meresponnya dengan anggukkan patuh yang mana hal itu membuat Sasti tak kuasa menahan gemas.

Setelah selesai sikat gigi dan memakai body lotion di kedua tangan dan kakinya, akhirnya Tita bisa berbaring dengan tenang di atas kasur. Sasti ikut berbaring di sebelahnya, menemaninya sampai sang putri jatuh ke alam mimpi. Sambil menunggu rasa kantuknya menyerang, Sasti mengajak Tita berbincang-bincang mengenai banyak hal mulai dari apa saja yang terjadi di sekolah hari ini, bagaimana proses seleksi lomba menggambarnya, hingga topik apa yang Tita bicarakan dengan Aksa sejak sore tadi.

"Om Aksa baik ya bunda?" ujar Tita tiba-tiba membuat Sasti terdiam selama beberapa detik. "Tadi aku dibeliin cookies yang dulu sering aku makan di Singapore! Enak banget deh!"

"Iya om Aksa emang baik banget nak." Sasti tersenyum penuh arti. "Kamu udah bilang terima kasih ke om Aksa kan tadi?"

"Udah kok bun."

"Good girl," Sasti mengecup dahi Tita dengan penuh sayang. "Titania, besok kita ke rumah ayah ya?"

"Ke rumah ayah?! Besok?!" Sepasang mata bulat Tita membesar secara otomatis tatkala dia mendengar 'rumah ayah' yang keluar dia mulut bundanya. "Ayah udah bisa ketemu sama aku ya?!"

"Iya sayang. Nggak cuma ayah aja yang pengen ketemu. Kakek, nenek, om sama tante kamu juga mau ketemu loh."

"Kakek, nenek, om sama tante?" dahi Tita berkerut heran sekaligus penasaran. "Aku punya kakek, nenek, om sama tante dari ayah juga?"

"Ada. Mereka pasti bakalan seneng banget ketemu sama kamu deh."

Ekspresi Tita masih menampakkan kebingungan yang teramat sangat dan itu terlihat menggemaskan sekali di mata Sasti. Mau dilihat dari sudut manapun, Tita memang selalu terlihat cantik, lucu dan sangat menggemaskan. Sasti bisa membayangkan reaksi seperti apa yang akan Yeira tunjukkan ketika dia bertemu dengan Tita besok.

"Semoga ayah sama keluarganya baik sama aku ya bunda." ucap Tita tiba-tiba membuat Sasti yang sedari tadi sibuk senyam-senyum sendiri membayangkan reaksi dari keluarga Aksa saat bertemu dengan Tita langsung tersentak kaget. "Semoga ayah baiknya kayak om Aksa baik ke aku ya."

"Kok Tita ngomongnya begitu? Tita takut ya?"

Tita tidak menjawab. Sasti menghela nafas dalam-dalam. Mungkin daripada merasa takut, Tita lebih khawatir dan ragu jika keberadaannya bisa diterima oleh keluarga sang ayah mengingat mereka sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya. Untung saja Aksa tidak ikut menemani Tita tidur sekarang, kalau dia mendengar apa yang diucapkan oleh putri mereka itu saat ini Sasti yakin pria itu pasti akan langsung menangis detik ini juga.

"Jangan takut ya nak? Ayah kamu itu baiiik banget. Keluarganya juga nggak kalah baik kok. Mereka pasti bakalan langsung sayang sama kamu kayak om Aksa. So do not worry about it, okay? You'll always be loved, baby."

"I hope so, bunda." Tita tersenyum lebar.

"Sekarang Tita bobo ya? Ayo baca doa dulu."

Tita menurut. Kedua tangannya terangkat dalam posisi seperti menadah lalu kemudian dia mulai membaca doa tidur dengan didampingi oleh Sasti. Tentu tak butuh waktu lama bagi Tita untuk terjun ke alam mimpi karena dalam waktu 15 menit saja, dengkur halusnya sudah mulai terdengar. Sasti tersenyum lembut sembari memberikan kecupan selamat tidur di dahi putri semata wayangnya itu. Kesyahduannya dalam memandangi wajah tidur Tita langsung terpecah tatkala dia mendengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya.

Dengan hati-hati Sasti beranjak dari tempat tidurnya dan membukakan pintu untuk Aksa. Pria itu mengintip ke dalam dari balik bahu Sasti.

"Udah tidur ya?" tanya Aksa dengan suara berbisik.

"Udah. Anaknya emang pelor banget." jawab Sasti sambil terkekeh pelan.

"Kayak kamu banget berarti ya? Gampang tidur dimana aja."

"Nggak ya, enak aja!"

Aksa tertawa geli lalu kemudian dia meminta izin untuk masuk ke dalam. "Aku boleh masuk nggak? Mau cium dia dulu sebelum pulang."

"Go ahead."

Sasti mempersilahkan Aksa untuk masuk ke dalam kamarnya dan membiarkannya memberikan kecupan selamat tidur di dahi dan pipi Tita. Suatu kegiatan yang selalu rutin Aksa lakukan setelah dia mengetahui bahwa Tita adalah buah hatinya. Tentu saja Aksa hanya berani mengecup Tita saat putrinya itu sedang tidur karena dia tidak ingin membuatnya kaget dan risih.

"Sleep well, little cupcake." bisik Aksa lembut sebelum kembali mengecup pelipis Tita. "Can't wait to see and tell you everything tomorrow."

Setelah selesai melakukan ritual wajibnya, Aksa segera keluar dari kamar dengan ditemani oleh Sasti. Tadinya Sasti pikir Aksa akan segera pulang mengingat sekarang sudah pukul setengah sepuluh malam.

"Mau langsung pulang?" tanya Sasti saat dia dan Aksa sama-sama duduk di meja makan.

"Sebentar lagi paling. Kamu udah mau tidur ya?" Aksa balik bertanya.

"Belum kok. Aku masih mau ngecek kerjaan dulu sebelum tidur biar pas ke rumah kamu besok aku nggak direcokin."

"Bilang sama bos kamu kalau weekend itu waktunya libur, bukan kerja."

Sasti tertawa. Bukannya apa-apa, pasalnya hari senin nanti dia dan anak buahnya harus menghadapi Tania untuk sesi wawancara sebagai model yang akan menghiasi cover depan majalah mereka. Sasti ingin semua tetek-bengek yang berhubungan dengan agenda itu sudah rapi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nanti.

"Senin nanti timku bakalan wawancarain pacar kamu loh." ujar Sasti tiba-tiba membuat Aksa langsung menolehkan kepalanya kaget.

"Please jangan tanya hal-hal yang bersifat personal." pinta Aksa. Raut panik dan tidak nyamannya benar-benar sukses membuat Sasti ingin tertawa meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ada rasa nyeri yang menyeruak di sana.

"Makanya nanti mau aku periksa dulu semua pertanyaan yang udah disusun sama timku."

"Ya pokoknya tolong jangan tanya soal apapun yang berhubungan sama aku ya, Ti? Bukannya apa-apa, aku sendiri masih belum ada rencana apapun sama Tania. Aku nggak mau orang-orang salah paham. Belum lagi aku harus jelasin soal Tita ke dia nanti."

Raut wajah Sasti langsung berubah muram. Sejujurnya dia merasa tidak enak hati karena harus muncul di saat Aksa sedang berusaha memulai kehidupannya yang baru dengan Tania. Tiba-tiba saja sebuah rasa penyesalan mulai merambati hatinya sedikit demi sedikit. Menyadari bahwa ekspresi Sasti telah berubah, Aksa langsung bergerak cepat untuk menjelaskan agar mantan istrinya itu tidak salah paham.

"Jangan salah paham ya Asti. Kembalinya kamu sama Tita ke hadapan aku adalah suatu keharusan jadi kalian sama sekali nggak salah di sini."

"Aku bakal bantu kamu ngelurusin semuanya ke Tania ya, Sa. Malah kalau perlu biar aku aja yang jelasin ke dia biar dia nggak marah sama kamu."

"Nggak. Kamu nggak perlu lakuin itu. Biar aku yang ngurus semuanya, oke? Kamu udah ngurus dan ngebesarin Tita sendirian selama ini jadi biarin aku yang handle semuanya sekarang ya? Kamu sama Tita cukup jalani kehidupan kalian kayak biasa aja."

Sasti menghela nafas gelisah. Aksa menyadari itu dan tanpa banyak bicara dia langsung mengubah posisi duduknya menjadi agak bungkuk sedikit demi untuk melihat ekspresi mantan istrinya itu dengan lebih jelas.

"Asti," panggil Aksa lembut hingga sukses membuat Sasti mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk tadi. "Everything is gonna be okay. Trust me, yeah?"

Mereka saling bertukar pandangan selama beberapa detik sebelum akhirnya Sasti kembali menyunggingkan senyumnya. Jika Aksa sudah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, maka dia tidak punya alasan untuk tidak percaya.

"Feeling better now?" tanya Aksa lagi.

"A little bit."

"Udah bisa aku tinggal pulang?"

"Aksara aku bukan anak kecil yang apa-apa harus ditungguin dulu."

Aksa tertawa lembut. "Tapi kamu masih kelihatan kayak anak kecil dimataku. Suka panik dan overthinking sendiri padahal nggak ada yang harus dikhawatirin."

"Kamu nggak tau seberat apa beban yang aku pikul untuk kembali lagi ke sini dengan kepala yang tegak."

"I know that," Aksa menganggukkan kepalanya setuju lalu kemudian dia kembali menatap Sasti dalam-dalam. "That's why i want you to share that burden with me. Izinin aku untuk mengganti semua waktu yang harusnya aku gunain untuk ikut membesarkan Tita sama kamu itu mulai dari sekarang."

Sasti tidak mengatakan apa-apa tapi seulas senyum kembali tercetak di bibirnya yang berbentuk hati. Jujur saja dia merasa sangat bersalah karena telah membuat Aksa kehilangan waktu dan juga kesempatan untuk melihat pertumbuhan Tita sejak masih berbentuk bayi hingga menjadi seorang anak SD sekarang. Tapi saat itu dia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, tidak memiliki niat untuk menggugurkan kandungannya saja Sasti sudah sangat bersyukur sekali waktu itu.

"Maafin aku ya Asti," ucap Aksa lirih. Ternyata bukan hanya Sasti yang merasa bersalah, tapi pria itu juga. "Maaf karena aku udah nyakitin kamu. Maaf karena kamu jadi ngelewatin semuanya sendirian tanpa aku di sisi kamu. Maaf banget."

Sasti terkekeh. "It's okay Aksara. Yang penting kan sekarang kamu udah ada di sini. Di dekat Tita, anak kamu."

"Anak kita." ralat Aksa sebal membuat Sasti tak kuasa menahan tawanya lagi. "Bikinnya berdua, kok cuma aku doang yang diakuin sebagai orang tuanya."

"Iya, Iya. Anak kita." Sasti ikut mengoreksi. "Anaknya Aksara dan Prasasti."

Berani sumpah, dada Aksa serasa ingin meledak sekarang karena rasa malu dan bahagia yang bercampur menjadi satu.





***






Terakhir kali Aksa merasakan jantungnya berdebar jauh lebih kencang daripada biasanya adalah saat dirinya akan menghadapi sidang skripsi. Dia masih ingat bagaimana tangannya berkeringat serta perutnya terasa mulas luar biasa ketika harus menghadapi dua dosen penguji yang terkenal killer di jurusannya. Dan satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang hanyalah Sasti.

Perempuan itu terus memberinya dukungan dengan berbagai macam cara mulai dari kata-kata penyemangat, genggaman tangan hingga pelukkan yang sangat erat. Dan ketiganya berhasil membuat Aksa berhasil menjalani sidangnya dengan perasaan yang jauh lebih tenang dan santai.

Dan sekarang Aksa kembali merasakan perasaan tidak nyaman itu lagi begitu mobil yang ia kendarai dengan membawa Sasti, Tita dan Bina sebagai penumpangnya mulai memasuki area cluster rumahnya. Aksa sama sekali belum memberitahu kedua orang tua serta ketiga adiknya mengenai kedatangan Sasti ke rumah mereka hari ini dan meskipun dia berharap bahwa tidak akan ada kehebohan yang terjadi nanti, nampaknya hal itu mustahil akan terwujud. Dia bisa membayangkan akan sehisteris apa maminya jika dia mengetahui siapa sebenarnya bocah kecil yang sedang duduk manis di sebelah Bina itu.

"Tante, rumahnya bagus-bagus ya!" puji Tita tiba-tiba membuat perhatian ketiga orang dewasa di dalam mobil itu kompak terarah padanya. "Look at the garden, tante! It's very large!"

"I know, baby. Do you want to have a big house with that large garden in here too?" Bina menyahuti Tita dengan nada riang.

"Do you think i can have it?"

"Of course, you do! Insha Allah nanti kalau ada rezeki, kita beli rumah di sini ya!"

"Aamiin tanteee!"

Baik Aksa maupun Sasti sama-sama tersenyum mendengarnya. Tita dan menggemaskan adalah suatu hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Tapi terkadang gadis kecil itu juga bisa bersikap serta berbicara seperti orang dewasa. Sasti sering kali menyadari bahwa Tita itu terlampau sangat pengertian dan juga dewasa untuk anak kecil seumurannya.

"Ngomong-ngomong kamu beneran belum bilang ke mami sama papi soal kedatangan aku sama Tita?" tanya Sasti dengan suara berbisik agar obrolannya dengan Aksa tidak terdengar oleh Tita dan Bina yang ternyata masih asyik berceloteh satu sama lain.

"Belum. Biar jadi surprise aja nanti." jawab Aksa kalem.

"Kamu yakin mereka nggak bakalan histeris? Aku nggak mau ada kehebohan ya nanti! Nggak enak tau!"

"Histeris sih pasti. Tapi kamu tenang aja, karena ada Ditya sama Juna yang bisa ngontrol mereka nanti."

Sasti menghela nafas merasa lega namun juga ragu di saat yang bersamaan. Lega karena jika ada Ditya dan Juna, kemungkinan mami akan histeris hingga pingsan bisa diminimalisir. Namun dia ragu jika histeria dari mami itu bukan berasal dari rasa kaget dan bahagia melainkan karena kesal dan kecewa. Sasti tahu bahwa tindakannya menyembunyikan Tita dari keluarga Gunadhya untuk waktu yang sangat lama itu sangat beresiko, dan mau tak mau dia harus menerima apapun bentuk konsekuensinya nanti.

"Mereka nggak akan marah sama kamu," ujar Aksa kalem membuat Sasti langsung menoleh ke arahnya. "I'm sure they will love you even more."

"Don't jinx me." balas Sasti dengan bibir mengerucut namun hal itu berbanding terbalik dengan rasa lega yang kembali menyeruak di dalam dadanya.

Tadinya Sasti sudah mulai merasa tenang dan siap untuk menghadapi keluarga Aksa. Tapi begitu mobil Aksa sudah memasuki perkarangan rumahnya, jantung Sasti langsung berdebar tak karuan. Dia bahkan tidak mendengar bagaimana Tita terus mengucapkan 'wow' dan 'woah' berkali-kali saat melihat betapa besar, megah dan mewahnya rumah milik ayah kandungnya itu. Bersamaan dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang itu, otak Sasti mulai mengingat beragam memori yang ia miliki di rumah ini.

Rumah itu masih terlihat sama seperti dulu. Yang membedakannya hanyalah halamannya yang kini sudah dipenuhi beragam tanaman seperti bunga hias dan sayur-sayuran. Ternyata mami masih konsisten dalam menjalankan hobi merangkai bunga serta berkebunnya itu.

"Itu semua mami yang tanamin," kata Aksa lagi setelah dia memarkirkan mobilnya di garasi luar. "Semenjak pensiun dia jadi lebih rajin berkebun."

"Mami emang punya bakat di situ sih," Sasti tertawa sembari memandangi bunga anggrek dan juga pohon cabai yang tumbuh dengan subur di halaman rumahnya sangat luas itu.

Tapi sekarang bukan saatnya untuk kagum. Masih ada hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada mengagumi betapa rapi dan suburnya semua tanaman-tanaman itu. Otaknya mulai merangkai berbagai macam kata untuk menjawab semua pertanyaan keluarga Aksa jikalau mereka mulai menuntut penjelasan darinya. Dia harus menyiapkan alasan-alasan yang masuk akal soal kenapa dia harus menyembunyikan Tita dari mereka. Dan Sasti berharap penjelasannya nanti tidak akan membuat mereka marah dan kecewa.

"Ini rumah om Aksa kah?" tanya Tita polos begitu dia keluar dari mobil bersama Bina.

"Iya, ini rumah om Aksa, nak." jawab Aksa ceria.

"Besar banget! Kayak istana!"

Aksa tertawa gemas dan nyari saja melayangkan sebuah kecupan di puncak kepala Tita jika saja dia tidak menyadari bahwa Tita belum mengetahui soal siapa dirinya itu sebenarnya. Sama seperti Sasti, Aksa juga merasa agak sedikit ragu dan juga khawatir jika Tita merasa kecewa dan akan menolaknya nanti.

"Ready?" tanya Aksa saat dia, Sasti, Bina dan Tita sudah berada di depan pintu utama rumahnya.

"Insha Allah." jawab Sasti gugup.

Aksa menekan bel rumahnya. Hari Sabtu adalah hari yang paling sempurna untuk melaksanakan pertemuan ini. Ditambah lagi baik Ditya, Juna dan Yeira juga tidak ada kegiatan di luar rumah. Ditya sibuk dengan buku-buku bacaannya, Juna yang baru pulang dari Bosnia 2 hari yang lalu sedang memulihkan kondisi badannya yang masih mengalami jet-lag, dan Yeira, yah biasanya dia baru akan keluar rumah saat malam nanti untuk bekumpul bersama teman-temannya di kafe atau klub malam.

Pintu rumah itu dibuka 2 menit kemudian, menampakkan sosok Yeira yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus oversize berwarna ungu. Dilihat dari kulitnya yang segar serta aroma lavender yang menguar dari tubuhnya, Aksa yakin adik sepupunya itu baru saja selesai mandi.

"Ngapain sih mas pake mencet bel segala? Biasanya juga masuk sendi-EH?!"

Yeira langsung terpaku di tempatnya begitu dia melihat sosok Sasti di belakang Aksa. Dan detik berikutnya dia langsung memekik kaget sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"MBAK SASTI?!"

Tanpa banyak bicara lagi Yeira langsung menghambur ke arah Sasti dan memeluknya erat-erat. Sepasang matanya berkaca-kaca dan tak lama setelahnya tangisannya pecah di bahu mantan kakak iparnya itu. Sasti tertawa seraya mengusap-usap punggung Yeira dengan lembut, membiarkan kemeja yang dikenakannya basah oleh air mata kerinduan dari sang mantan adik ipar.

"Akhirnya aku ketemu langsung lagi sama mbak setelah kita cuma bisa ngobrol lewat chat aja beberapa minggu terakhir ini!" Yeira menangis terisak-isak dan membiarkan Sasti mengusap air matanya dengan tangan. Tapi tak lama kemudian gadis itu menarik tangan Sasti dan membawanya masuk ke dalam rumah. "MAMIII, PAPIII! LOOK WHO'S COMING TO OUR HOUSE RIGHT NOW!"

Mami yang sedang asyik memasak sambil melakukan live instagram di dapur sempat tersentak kaget saat mendengar teriakkan menggelegar yang berasal dari suara Yeira. Wanita berusia enam puluhan itu langsung mematikan live instagramnya dan berjalan ke arah ruang tamu, bersiap menyembur satu-satunya anak perempuan di dalam keluarga itu dengan serentetan omelan panjang. Tapi niatnya itu langsung hilang tanpa bekas begitu dia melihat siapa perempuan yang kini sedang berdiri di samping Yeira.

"Sasti?" Mami berusaha memastikan bahwa dirinya tidak salah melihat. "Prasasti?"

"Iya mami. Ini aku, Sasti." jawab Sasti sambil tersenyum manis.

Sama seperti Yeira, mami langsung memekik kaget dan berlari ke arah Sasti untuk membawa mantan menantu kesayangannya itu ke dalam pelukkan. Pekikannya yang nyaring itu mau tak mau membuat papi, Ditya, bahkan Juna yang sedang asyik merokok di kolam renang langsung berlari ke arah ruang tamu. Ketiganya pun ikut terpaku begitu melihat sosok Sasti serta mami yang sedang terisak-isak dalam dekapannya.

"Assalamualaikum papi, Ditya, Juna." sapa Sasti sopan.

Papi dan Ditya hanya bisa menyunggingkan senyum penuh arti sedangkan Juna justru malah ikut bergabung bersama mami dan Yeira untuk memeluk Sasti erat-erat.

"Waalaikumsalam Sasti." jawab papi akhirnya. Nadanya begitu hangat dan sarat akan rindu yang teramat sangat.

"Om, kenapa semua orang nangis pas liat bundaku?" tanya Tita tiba-tiba.

Mendengar suara manis yang tiba-tiba saja muncul di tengah suasana yang penuh haru biru itu, mau tak mau keluarga Gunadhya kompak menoleh ke arah sumbernya. Mereka semua terpaku selama beberapa detik begitu melihat sosok gadis kecil yang ini sedang berada dalam gendongan Aksa.

"Aksara," mami menatap Tita lurus-lurus dengan sorot penasaran lalu kemudian ganti menatap ke arah sang putra sulung. "Ini... siapa ya?"

"Ini Tita mi, anaknya Asti." jawab Aksa kalem.

Mami tercekat. Wanita paruh baya itu langsung mengarahkan tatapannya kembali ke Sasti. Ada sorot kaget, sedih, kacau dan juga kecewa yang terpancar di sana. Tapi Sasti hanya membalasnya dengan senyum tipis yang sarat akan kesenduan dan juga rasa bersalah. Dan tak hanya mami, papi, Ditya, Juna bahkan Yeira juga terlihat sama sedih dan kecewanya dengan sang ibu.

"Dan aku." lanjut Aksa membuat semua anggota keluarganya mengerutkan dahi mereka bingung.

"Dan kamu? Maksudnya?" Kali ini papi yang bertanya.

Baik Aksa maupun Sasti hanya bisa saling pandang lalu kemudian sama-sama tersenyum penuh arti satu sama lain.

"Tita itu anak Asti sama aku, mi, pi."

Dan benar saja. Jawaban itu berhasil membuat semua anggota keluarga Gunadhya kompak berteriak padanya.

"APA?!"





***





Seharusnya ini menjadi pembicaraan yang menegangkan. Seharusnya ini menjadi sebuah pengakuan dosa yang dihiasi dengan isak tangis penuh rasa bersalah dan penyesalan. Seharusnya ini menjadi sebuah topik yang mampu membangkitkan emosi dari beberapa orang yang merasa dibohongi dan dibodohi.

Tapi ternyata hal itu sama sekali tidak terjadi.

Kini perhatian semua orang di dalam rumah keluarga Gunadhya hanya tertuju pada sosok bocah kecil yang sedang duduk manis di atas pangkuan Bina sambil memakan donat di tangannya dalam diam. Nampaknya dia tidak menyadari bahwa kini dirinya sedang menjadi pusat perhatian semua orang di dalam ruangan itu.

"Maafin aku ya mi," ucap Sasti tiba-tiba yang mana itu sukses mengalihkan perhatian keluarga Gunadhya dari Tita. "Maaf karena nggak pernah ngasih tau mami sama papi tentang Tita selama ini. Waktu itu aku lagi marah dan kacau banget jadinya aku nggak bisa menggunakan akal sehatku dengan baik. Maaf karena baru bisa ngasih tau mami, papi sama adek-adek sekarang."

"Nggak. Bukan salah kamu, Sasti. Wajar kalau kamu mengambil sikap seperti itu mengingat bagaimana perlakuan Aksa ke kamu dulu." jawab papi bijak. Sedari tadi dia terus memandangi Tita dengan sorot yang begitu dalam. Ada rasa haru, bahagia dan penyesalan yang teramat sangat yang terpancar dari kedua matanya. "Tita umur berapa sekarang, nak?"

"Tujuh... hmm..." Tita menoleh ke arah Sasti, tatapannya seolah bertanya dia harus menyebut pria yang barusan bertanya padanya itu dengan sebutan apa.

"Opa, nak. Panggil opa aja." kata Sasti.

"Tujuh, opa."

Yeira memekik karena tak mampu menahan gemas sementara Ditya dan Juna masih betah memandangi Tita dengan raut terpesona yang tak perlu repot-repot mereka sembunyikan. Sama seperti papi, kedua pemuda itu sama sekali tidak bisa melepaskan tatapan mereka dari bocah cantik itu. Tita benar-benar sukses membuat hati keduanya meleleh tepat setelah Sasti dan Aksa mendeklarasikan gadis kecil itu sebagai putri mereka.

"Tita tahu kenapa bunda bawa Tita ke sini?" tanya papi lagi.

"Katanya bunda mau mempertemukan aku sama ayah aku, opa." jawab Tita lagi membuat Aksa yang sedari tadi duduk diam di sebelah Sasti kembali menundukkan kepalanya. "Ayahnya mana ya bunda?"

Sasti menggigit bibir bawahnya sebentar lalu kemudian dia mengulurkan tangannya pada Tita. Gadis kecil itu segera menyambutnya tepat setelah Bina selesai membersihkan tangan bocah cantik itu dengan tisu basah. Sasti mengusap-usap rambut Tita pelan lalu kemudian dia mengecup dahi sang putri lama.

"Sweetheart," Sasti melirik Aksa yang kini telah memusatkan perhatiannya pada Tita. "Your father is in here. Right next to me. And his name is Aksara Bimantara Gunadhya."

"Right next to you? Then it means..." Tita mengarahkan tatapannya pada Aksa yang hanya bisa tersenyum lemah padanya. Sepasang mata pria itu berkaca-kaca. "Om Aksa is my father?"

"Yes. Om Aksa yang selama ini sering main sama kamu itu ayah kamu."

Selama beberapa saat Tita hanya bisa terdiam. Tadinya Sasti mengharapkan adegan hangat nan manis dimana Aksa dan Tita saling berpelukkan satu sama lain seperti yang sering terjadi di film-film. Tapi ternyata Tita justru malah melangkah mundur dan kembali ke dalam pelukkan Bina. Tindakannya itu pun mau tak mau membuat semua orang termasuk Aksa dan Sasti terkejut bukan main. Bina sendiri pun bingung dengan tingkah Tita yang kini justru malah menyembunyikan wajahnya di bahu Bina.

"Hey baby, what's wrong?" tanya Bina hati-hati. "Kenapa sayang? Why are you hiding your face?"

"Is he happy, tante?" Tita balik bertanya pada Bina tanpa mengangkat wajahnya dari bahu Bina.

"Who do you mean, sayang?"

"Ayah. Is he happy to see me?"

Bina dan semua orang yang ada di dalam ruangan itu terhenyak. Tak pernah sekalipun mereka melihat dan juga mendengar ada anak usia tujuh tahun yang bisa mengajukan pertanyaan yang cukup dalam seperti itu. Air mata Aksa mulai berjatuhan menuruni pipinya. Dan tak hanya dia. Mami, papi, Ditya, Juna dan Yeira juga tak kuasa menahan air mata mereka masing-masing. Bina mengusap air matanya sendiri lalu kemudian dia menangkup kedua pipi gembil Tita.

"He's happy, sweetheart." Bina melirik Aksa yang beringsut ke arahnya. "Ayah nangis loh itu. Tita nggak mau hibur?"

"Nangis? Kenapa?" Tita menolehkan kepalanya kaget lalu kemudian terdiam begitu mendapati Aksa yang kini sedang berlutut di depannya. Tangan mungil Tita bergerak untuk menyentuh pipi sang ayah. "Kok ayah nangis? Kalau happy harusnya ayah nggak nangis kan?"

"This is... tears of joy, little cupcake." jawab Aksa susah payah. "I'm so happy to see you. More than happy. The happiest one perhaps."

"Really?" Tita masih terlihat sangsi.

Aksa menganggukkan kepalanya. "Can I give you a hug to show you how happy I am right now?"

Tita tertegun selama beberapa detik sebelum akhirnya dia merentangkan tangannya. Aksa langsung mengambil kesempatan itu untuk menggendong Tita dan memeluk gadis kecilnya itu erat-erat. Tangisnya pun pecah tanpa sempat ia cegah lagi.

"Maafin ayah, maafin ayah, maafin ayah," ucap Aksa berkali-kali. "We will always be together. Sekarang dan seterusnya, Tita dan ayah akan selalu bersama-sama. Kita nggak akan terpisah lagi. Ayah janji."







Dils' Note:

Chapternya agak sedikit panjang huhuhuhu semoga nggak ngebosenin ya :')

I'll see you guys on the next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

11.7K 1.8K 19
Arion Dia dipaksa untuk menikah. Menghasilkan sebuah keturunan, agar warisan dari mendiang Papa tidak diambil alih oleh keluarga lainnya. Sayangnya...
17.3K 2.6K 27
[spin-off 'Double Kill'-'Just Us 2'] *** Juli kerap mendengar orang-orang mengatakan hidupnya sempurna. Wajahnya cantik, karirnya bagus, dan punya pa...
3.3M 25.9K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
210K 20.8K 39
(Series #4 Lazuardi & Moersjid - TAMAT) Kepada Ale dan Ella, dari seluruh alam semesta. [Cerita belum direvisi sejak tahun 2019]