Amerta

By decin_scorpio

2.1K 160 13

[Follow dulu sebelum membaca] ⚠️ Dapat membuat baper tak berujung⚠️ *** -He fall first, he fall harder- Jika... More

P R O L O G
1. Sogokan?
2. Gadik Unik
3. Berangkat Bersama
4. Pojok Perpustakaan
5. Perihal Rasa
6. 5 Detik
7. Pernyataan Tak Terduga
8. Menjauh
10. Roman Picisan
11. Saksi Senja
12. Langit Favorit
13. Payung di Kala Hujan
14. Jatuh Yang Menyenangkan

9. 911

95 7 0
By decin_scorpio

Entah sejak kapan, tapi Laura merasa intensitas bertemunya dengan Bumi semakin tinggi. Saat baru sampai di sekolah, saat Laura free class, saat di kantin, atau paling sering saat pulang sekolah. Pasti akan ada satu titik di sekolah yang menjadi tempat keduanya bertemu. Mungkin ini hanya perasaannya saja, atau memang Bumi begitu niat untuk mendekatinya seperti janji pemuda itu?

"Ayo buruan, 10 detik lagi bel bunyi!" Dimas berteriak bersiap menutup gerbang. Sedangkan siswa-siswi yang baru saja datang sekuat tenaga berlari agar tak bernasib buruk masuk dalam catatan pelanggaran. Apalagi yang jaga gerbang hari ini adalah Laura dan Dimas—dua combo yang benar-benar di hindari. Bahkan mereka akan memilih untuk terlambat di hari lain daripada harus terlambat di hari Senin, siapa lagi penyebabnya kalau bukan keduanya.

"Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu! Yang cowok dua orang balik sini!" Laura menunjuk dua cowok yang baru lewat dua langkah darinya. Padahal Laura sudah berhenti menghitung, tapi tetap saja mereka menerobos masuk.

"Yang telat, buruan buat barisan sesuai angkatan di sini." Dimas mengarahkan sembari menunjukkan letak-letak barisan. Sedangkan Laura sudah berjalan masuk ke barisan-barisan untuk mencatat nama-nama yang terlambat hari ini.

"Yang baru datang, bentuk barisan baru."

See? Inilah alasan kenapa banyak yang suka mendoakan agar Dimas dan Laura sakit atau di tugaskan untuk berhenti menjaga gerbang, pasalanya dua combo itu suka sekali membagi orang-orang yang terlambat berdasarkan waktunya. Dan sudah bisa di tebak, hukuman yang paling telat akan lebih menyusahkan.

"Lain kali, walaupun telat tetep harus lengkap atributnya ka," nasihat Laura sembari menatap kakak kelas cewek di depannya.

"Gak usah sok ngatur deh, cuma adik kelas juga!"

Beruntungnya Laura sudah biasa menghadapi kejadian seperti ini. Mengerti kan sekarang kenapa Laura suka malas menghadapi kakak kelas yang melanggar aturan? Terlebih orang-orang yang memegang teguh motto bahwa senioritas itu harus di jalankan.Sehingga yang bisa Laura lakukan adalah tersenyum simpul dan lanjut mencatat.

"Bumi, jangan coba-coba pindah barisan kalian!" tegur Dimas menunjuk Bumi, Kafka, dan Tria yang memang datang terlambat.

"Padahal yang pindah bukan cuma gue, tapi gue mulu yang di sebut," gerutu Bumi kembali ke barisan yang baru saja di bentuk—yang mana barisan paling telat.

Selesai dengan barisan yang terlambat 5 menit di awal, Laura lanjut mencatat nama-nama yang terlambat lebih dari 5 menit. Dan barisan yang terdiri dari 4 banjar itu di isi oleh anak-anak kelas 11 dan 12.

"Hai, Lau," sapa Bumi begitu Laura tiba di depannya.

"Minggu kemarin udah gak telat, kenapa sekarang telat lagi?"

"Gue sarapan dulu di BUSET Lau. Lo udah sarapan belum?"

Laura tak menanggapi, hanya berlalu setelah menandai nama Bumi di buku absen. Dia tak punya waktu untuk meladeni celotehan Bumi, karena masih banyak hal yang harus di urusnya, terutama hukuman untuk mereka yang terlambat.

"Semangat semangat, kacang masih enak kok." Hibur Kafka menepuk pundak Bumi, walau cowok bertindik itu sambil tertawa sedikit.

"Kafka, lepas tindiknya!" titah Laura.

"Hah? Yah Lau, baru gue beli—"

"Gak ada yang suruh kamu pake tindik Kafka. Buruan sana copot, kasih ke Dimas sebelum di dapat bu Jehan entar."

Kafka hanya bisa menghela napas kesal, dia pun tidak bisa berbuat lebih.

"Siapa suruh, udah gue suruh lepas dulu tadi di BUSET," ejek Tria begitu Kafka kembali ke dalam barisan.

"Diem lo!"

***

"Panas banget. Ini langit gak ada niatan hujan apa? Mau meleleh rasanya gue."

Satu tamparan berhasil mendarat di punggu Putra dari Tria, sungguh berlebih sekali sahabatnya ini. "Baru kena matahari, belum kena api neraka lo."

"Kan kalau ke neraka bareng lo, gue ajakin, jalur VIP. Lo kan suka banget tuh nistain gue," canda Putra. Sedangkan Tria hanya mendengkus malas.

Saat ini Tria, Putra, dan Kafka sedang berada di toilet. Semua ini bermula dari Kafka yang ingin membasahi rambutnya, katanya gerah. Sedangkan dua lainnya ikut karena harus buang air kecil.

"Hujan beneran baru panik lo," ejek Kafka sembari menyugar rambutnya. Membiarkan tetes-tetes air membasahi leher juga seragamnya. "Emang udah beli jas hujan?"

"Kok lo tahu belum gue beli?"

"Kelihatan dari muka-muka kriminal lo," sembur Tria.

"Lo pake apaan uang daru Bumi?" tanya Kafka. Mereka berjalan keluar dari toilet, menuju kantin yang pastinya sudah ramai di jam istirahat seperti ini.

"Top up buat game," ungkap Putra senang.

"Dasar!" Tria langsung melayangkan pukulannya di punggung Putra.

Sampai di kantin makanan mereka rupanya sudah tersaji. Bumi dan Pati pun ada di sana, duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Kok batagor gue tinggal gini? Ngaku lo berdua siapa yang makan?" seru Putra menatap piring batagornya yang tersisa beberapa.

"Pati."

"Bumi tuh."

"Wah! Sialan lo berdua, ganti balik gak batagor gue!" Putra sudah mencak-mencak karena emosi. Enak saja, dia bahkan belum memakan batagornya tapi sudah keduluan kedua tuyul berkedok sahabatnya ini.

"Iya-iya, udah di pesenin. Lama sih lo pada, ngapain aja di toilet?"

"Kepo lo Raspati." Kafka meraup wajah Pati dengan tangannya yang masih basah—bekas menyugar rambutnya tadi.

"Anjing! Bekas apaan tangan lo, hah?" Dengan cepat Pati meraih tisu yang berada di kotak tisu tengah meja, melap mukanya hingga bersih. "Kampret lo Ka!"

Kafka yang di maki-maki hanya tertawa bersama Putra. Sedangkan Tria sudah sibuk makan, Bumi masih saja sibuk memainkan ponselnya.

"Ngapain lo? Sok sibuk banget, biasanya juga kerjaannya tidur," tanya Putra.

"Lagi chat-an sama wakil ketua Osis," jelas Pati sambil terkekeh, berniat menggoda Bumi yang sudah mendelik ke arahnya.

"Ember mulut lo," dengkus Bumi.

"Sama Laura?" tanya Putra kembali memastikan.

"Siapa lagi wakil Osis kita kalau bukan Laura," sela Tria.

"Ini bukan tertarik lagi, udah masuk stadium cinta seumur hidup," seru Putra bertepuk tangan riang.

"Kenapa malah lo yang kesenangan anjir?" Kafka bergidik ngeri melihatnya.

"Ya kapan lagi lo lihat Bumi effort ke cewek? Hampir dua tahun di sini dan baru kali ini dia deket sama cewek." Putra semakin heboh.

"Gak usah berlebihan, di kira gay nanti gue." Lerai Bumi mendelik.

"Ya kan lo gak pernah pacaran—"

"Gue pernah Putra. Gak pernah percaya sama gue," cecar Bumi.

"Sebulan lo bilang pacaran? Cinta monyet itu," ejek Kafka.

"Lo yang cuma seminggu diem aja Ka," timpal Tria.

Pati dan Putra tertawa mendengar ucapan Tria yang tiba-tiba.

"Gak seru lo sumbu pendek. Sekalinya ngomong malah ngerusak suasana," cibir Kafka menggerutu. Tria ini memang paling tidak seru jika di ajak adu julid, karena dialah pemenangnya, lihat saja muka super julidnya itu.

Pati tertawa di samping Kafka. "Lagian lo sok paling pakar pacaran aja."

"Gue udah nembak Laura."

Hening. Kehebohan yang tercipta di meja mereka semula mendadak sunyi. Pusat perhatian langsung tertuju ke arah Bumi—bahkan Tria sampai menunda menyuap makanannya.

"Lo ngomong apa barusan?" tanya Pati mencoba memastikan kembali.

"Gue udah ngajak Laura pacaran."

Di detik kelima barulah mereka semua berseru heboh. Sama-sama tercengang mendengar ucapan tiba-tiba Bumi.

"Kapan anjir?"

"Kok lo baru cerita?"

"Terus jadinya gimana?"

"Di terima gak?"

Keempatnya sudah deg-degan menunggu jawaban Bumi, pasalnya cowok itu sepertinya sangat senang meihat wajah bengong mereka. Lihat saja tingkahnya yang menatap mereka satu per satu sambil menahan tawa.

"Awas aja lo bercanda, kita gebukin rame-rame!" peringat Tria mulai kesal, takut tertipu.

"Tapi gue di tolak," jawab Bumi santai.

***

Setiap titik di sekolah adalah tentang Bumi—sepertinya menjadi kalimat sesuai yang menggambarkan keadaan Laura. Karena bahkan di ruang olahraga sekali pun keduanya bertemu, di saat Laura harus mengambil keranjang berisi bola kaki dan Bumi yang hendak mengambil bola basket dari keranjang bola basket.

"Pelajaran olahraga ya?" Bumi bertanya sembari berdiri di samping Laura.

"Iya. Kamu juga?" tanya Laura balik. Walau gadis itu sedikit skeptis, pasalnya Bumi bukan mengenakan pakaian olahraga sepertinya, tapi pemuda itu hanya menggunakan seragam putih abu-abu seperti hari biasanya.

"Enggak, mau main basket aja, lagi jam kosong karena gurunya gak masuk."

Laura hanya mengangguk, benar kan dugaannya?

"Biar gue aja yang bawain, berat Lau." Dengan sigap Bumi mengambil alih keranjang berisi bola kaki dari tangan Laura. "Teman kelas lo yang cowok gak ada emang? Kenapa harus cewek yang di suruh ambil," cetus Bumi. Keduanya keluar gudang olahraga, berjalan bersisian dengan Laura yang sesekali menoleh menatapnya.

"Gak usah ngerasa gak enakan, anggap aja ini pdkt pertama." Bumi menyengir sembari menatap Laura.

Baiklah, Laura akan mencoba santai mulai sekarang.

"Yang cowok-cowok pada gak mau ambil, katanya jauh banget ke gudang," jelas Laura, menjawab pertanyaan Bumi sebelumnya.

Bumi berdecak tak suka. Laki-laki macam apa itu. "Yaudah, lain kali telfon gue kalau lo harus ambil peralata di gudang, biar gue temenin."

"Gak usah Bumi, gue juga gak sering di suruh gini kok."

"Tetep aja, telfon gue setiap lo butuh bantuan. Pradipta Bumi Baskara siap menjadi 911 lo."

Laura hanya tersenyum, bingung harus menanggapi bagaimana. Sampa di lapangan begitu banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka, terutama teman-teman sekelas Laura.

"Taruh sini aja." Tunjuk Laura pada sisi lapangan yang memang berada di depan barisan teman-temannya.

"Loh, kenapa kamu disini Bumi? Gak masuk kelas?" Pak Dino bertanya penuh kebingungan. Pasalnya dia mengenal jelas bahwa Bumi bukan berasal dari kelas yang tengah di ajarinya sekarang.

"Lagi jam kosong pak, gurunya gak ada."

"Yaudah jangan keluar-keluar kelas, di marahin kepala sekolah nanti kelas kalian karena ketahuan keluyuran."

"Iya pak." Bumi bergerak menyalim tangan pak Dino. "Saya pamit pergi ya pak, semangat ngajar cewek-cewek ini." Dengan tajam Bumi menunjuk barisan yang berisi cowok-cowok dari kelas Laura.

"Hahahahaa... ngelawak kamu," tawa pak Dino. Pria berumur itu menepuk kecil pundak Bumi sembari menggeleng.

"Oh, cowok? Baru tahu gue cowok modelan letoy gini."

"Udah-udah, sana balik kelas kamu," tegur pak Dino. Pasalnya siswa-siswanya itu sudah mulai berang mendengar ucapan Bumi.

Lima langkah menjauh dari barisan kelas Laura, Bumi kembali berbalik. "Lain kali potong aja anunya kalau ke gudang aja masih ngeluh!" teriaknya sebelum berlari pergi.

"Kenapa si Bumi?"

"Kerasukan tuh anak?"

Melda dan Zellyn langsung mencerca Laura kala sosok yang mereka bicarakan sudah berlari masuk ke gedung sekolah. Keduanya langsung merapatkan diri pada Laura agar tak kena tegur karena ketahuan sedang bergosip.

"Kesel karena tahu cowok-cowok gak ada yang mau ke gudang ambil bola," aku Laura.

"Awch! Sweet juga ternyata si Bumi." Melda sudah tertawa kecil sembari menyenggol bahu Laura, berniat menggoda sahabatnya itu.

"Kalau modelannya kayak gitu, lo jangan nolak sih Lau," imbuh Zellyn.

"Apa sih?" Dengan kesal Laura mendorong kembali tubuh Zellyn dan Melda agar kembali ke posisi mereka. Walau masih bersikap apatis, tetap saja Laura malu jika harus di goda seperti ini.

***

Sesuai jadwal, hari Senin memang menjadi hari latihan break dance. Karenanya, setelah membereskan barang-barangnya, mengikat rambutnya dengan model cepol, Laura berjalan keluar ruangan bersama Zellyn. Karena memegang posisi sebagai ketua klub break dance, jadilah Laura harus menjadi orang terakhir yang keluar setelah memastikan ruangan kosong dan mengembalikan kunci ke ruang Tata Usaha.

"Gue duluan ya Lau, udah di jemput," ucap Zellyn begitu mereka sudah sampai ke lantai 1.

"Iya, hati-hati ya." Laura melambaikan tangannya.

"Lo juga, hati-hati nanti," balas Zellyn ikut melambai sambil lalu.

Sedangkan Laura kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang Tata Usaha. Dia juga masih harus memeriksa perpustakaan serta gudang olahraga, memastikan kembali bahwa hukuman yang di berikan pada mereka yang terlambat tadi sudah di kerjakan. Karena Laura memang ada jam ekskul sepulang sekolah, jadilah dia yang selalu memastikan hukuman untuk siswa-siswi yang terlambat di kerjakan dengan baik. Sedangkan Dimas memang menjaga siswa-siswi yang mengerjakan hukuman mereka di pagi hari, yaitu menyapu halaman sekolah.

Ruang perpustakaan menjadi tujuan awal Laura setelah dari Tata Usaha—karena memang jaraknya yang lebih dekat.

"Bumi?" gumam Laura begitu irisnya menangkap sosok Bumi yang tengah tertidur di meja penjaga perpustakaan.

Melihat sekitar, perpustakaan memang sudah sepi, hanya tinggal Bumi seorang diri. Kondisi ruangan ini juga sudah bersih dan rapih, walau masih ada beberapa tumpuk buku yang berada di atas meja troli.

"Bumi... Bumi..." Laura bergegas membangunkan Bumi, mengguncang kecil tubuh tegap itu.

"Bumi bangun."

Perlahan kelopak mata Bumi terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum matanya tertuju ke arah Laura yang berdiri di sampingnya. "Hai."

"Ayo bangun, udah jam lima."

Bumi menguap, merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku—mungkin karena tidur dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama. "Iya." Barulah dia berdiri, mengambil tasnya yang berada di sisi kursi.

"Yang lain mana?"

"Udah pulang mungkin," Bumi mengedikkan bahunya tidak tahu.

"Yaudah, lo buruan pulang juga."

Memasang sepatunya, Laura kembali beranjak untuk mengunci pintu perpustakaan.

"Lo mau kemana?" tahan Bumi begitu Laura hendak berjalan ke arah yang berbeda dengannya.

"Mau ke gudang olahraga, ngecek di sana juga."

"Yaudah, gue ikut." Putus Bumi ikut mengambil arah yang sama dengan Laura.

"Loh, buat apaan? Gak usah, lo pulang aja, udah jam lima lewat ini."

"Enggak, gue akan pulang kalau lo juga udah pulang."

Lagi-lagi Laura hanya bisa mengalah. Tak ada gunanya juga mereka berdebat hanya karena masalah seperti ini.

"Udah di kunci," ucap Bumi begitu dia hendak membuka pintu gudang.

"Gue ambil dulu kuncinya kalau gitu."

Dengan cepat Bumi menahan Laura. "Gak usah, jauh. Biar gue intip aja udah bersih atau belum. Ngecek itu aja kan?"

Laura mengangguk. Bumi pun mengintip dari jendela, memastikan keadaan di dalam gudang. "Udah rapih," ucapnya kembali menatap Laura.

"Oke, sekarang pulang aja."

Karena waktu yang sudah akan memasuki pukul setengah 6 sore, keadaan sekolah pun sudah nyaris sepi. Tidak ada lagi yang berlalu-lalang di koridor sekolah, kecuali lapangan yang di isi oleh anak sepak bola, mereka sepertinya baru selesai latihan.

"Gak ikut ke parkiran?" tanya Bumi begitu Laura hendak berjalan keluar gerbang sekolah. Bukankah gadis itu menggunakan motor?

"Gue bareng papa tadi, makanya nunggu jemputan dulu."

"Bareng gue aja kalau gitu," cetus Bumi.

"Gak usah, udah sana balik." Laura mendorong tubuh Bumi agar berjalan menuju parkiran, sedangkan dia lanjut berjalan menuju halte yang memang berada di depan sekolah.

Baru saja Laura akan duduk, suara motor yang berasal dari gerbang sekolah membuatnya menoleh. Bumi rupanya—cowok itu berkendara dengan helm yang di taruh di atas tangki bensin, sehingga Laura bisa mengenalinya.

"Kok malah berhenti di sini?" Laura keheranan saat Bumi justru menghentikan motornya di depan halte. Tak sampai di situ, cowok itu pun ikut turun dan duduk di halte.

"Gue tungguin sampe lo di jemput," ucap Bumi.

"Enggak—"

"Udah duduk sini." Bumi menepuk tempat kosong di sampingnya, meminta Laura untuk menempatinya. "Udah telfon papa lo?"

"Udah."

"Kenapa gak bawa motor hari ini? Bannya bocor lagi?" Bumi bertanya begitu Laura sudah duduk di sampingnya.

"Gak tau kenapa, mau berangkat tadi baru gue tahu bannya udah kempis."

"Ban baru ganti?"

"Iya, kok bisa tahu?"

"Gak cocok berarti bannya makanya anginnya suka keluar."

"Oalah... pantesan heran kok pagi-pagi bannya udah kempis, padahal waktu pulang ganti ban masih oke aja."

"Bawa balik aja ke bengkelnya. Mau gue temenin?" tawar Bumi sembari menatap Laura.

"Nanti biar gue urus bareng papa aja, thanks infonya," ucap Laura tersenyum. Bumi hanya mengangguk, ikut tersenyum.

Sekarang sudah nyaris jam enam, sekolah sudah sepi, bahkan gerbangnya tinggal terbuka sedikit. Tapi Laura belum juga di jemput. Beruntungnya masih ada Bumi yang setia menemaninya, walau sejak tadi sudah Laura suruh pulang karena merasa tidak enak. Dia pun tak berhenti mengirimkan pesan kepada papanya, menanyakan sudah berada di mana.

"Bum—"

"Gue gak bisa pulang kalau harus ninggalin lo di sini, Lau," tolak Bumi langsung.

Ponsel yang sejak tadi berada dalam genggaman Laura pun berbunyi, papanya yang menelfon.

"Halo pa."

"Ka, maaf papa agak telat tadi pulangnya. Sekarang papa lagi di bengkel, ban mobil papa injek paku."

"Oh, iya. Gak papa kakak tungguin papa aja."

"Jangan, udah hampir gelap ini, papa pesenin gojek aja ya?"

"Oh yaudah, kakak naik gojek aja."

Baru saja Laura akan menutup telfonnya dengan sang papa, Bumi yang menyodorkan tangan ke arahnya membuat Laura mengernyit kebingungan.

"Hp lo, sini." Pintanya sekali lagi.

Walau kebingungan Laura tetap saja memberikannya.

"Assalamu'alaikum om."

"Waalaikumsala, ini siapa?"

"Maaf om saya Bumi temen Laura. Boleh saya izin anterin Laura? Daripada harus nunggu gojek lagi. Kebetulan saya juga belum pulang om."

"Gak papa Laura nebeng bareng kamu?"

"Iya gak papa om. Nanti saya anter Laura sampai rumah dengan selamat."

"Oke, om titip Laura ya. Maaf udah ngerepotin kamu, hati-hati bawa motornya."

"Iya om."

Laura sudah cukup bingung melihat Bumi yang bertelfonan dengan papanya, kini dia semakin bingung kala benda pipih itu kembali ke tangannya.

"Papa lo mau ngomong," bisik Bumi rendah.

Laura pun kembali menempelkan hpnya ke telinga. "Iya pa?"

"Kamu bareng Bumi aja ya kak. Nanti kabarin papa kalau udah sampai rumah."

"O-oh, iya pa."

Dan sambungan telfon pun terputus. Laura segera menatap Bumi penuh kebingungan, bagaimana bisa papanya mengenal Bumi dan mempercayai cowok itu untuk mengantarnya pulang? Pasalnya saat Bumi berbicara dengan ayahnya tadi posisi cowok itu memang sedikit menjauh.

"Ayok balik, gue udah izin ke papa lo buat nganter anak gadisnya."

#To Be Continued

Oh iya, anw Amerta sebenarnya punya playlist di Spotify. Tapi gak decin bagiin dulu yaaa,, soalnya lagu buat ending Amerta juga ada di playlist, jadi nanti deket-deket ending aja baru decin bagiin😋

Maap jatuhnya kayak spam gini, soalnya decin lagi mager edit buatin list✌️🤓 Intinya kalau mau dengerin Amerta, wajib kudu harus sambil dengerin lagu-lagu di atas. Note: Jangan cari playlistnya, karena emang belum decin buka untuk publik🤫

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 327K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
23.3K 845 105
SYNOPSIS Bagaimana rasanya jika kau dikejar-kejar oleh mantan pacarmu yang terobsesi padamu dan terus-menerus memaksamu agar menjadi pendamping hidu...
1K 181 22
📢 *SLOW UPDATE* Start : 24/12/21 Publish : 01/01/22 Finish : - Karel Lais Sky Angelo, memang selalu bisa membuat Brigitta Mega Winara te...
6.4M 24.3K 3
Cover by @Imeldapriskila_