Ruang dan Waktu

By sirhayani

216K 17.1K 873

Dalam keluarga besar itu pun tahu bahwa Kalila hanyalah anak angkat yang ditemukan di depan rumah saat anak l... More

pratinjau
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9,5
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
Cerita Lain: Make Them Fall in Love with You
33
34
35
36
37
38
39.a
39.b|
40
41
42
43
44
45.a
45.b|

29

3.7K 272 18
By sirhayani

terima kasih sudah baca tiga cerita perjalanan waktu sebelum Ruang dan Waktu ❤️

bagi yang belum baca ketiganya dan mau baca, silakan lihat urutannya di atas yaa. bisa enggak berurut sih bacanya, soalnya tiap cerita beda tokoh. tapi lebih disarankan berurutan bacanya karena dari PW pertama adalah pertama kalinya mesin waktu digunakan

Cerita Perjalanan Waktu yang dibukukan hanyalah Can I Meet You Again? yang bisa kalian dapatkan hanya di toko shopee: rxdflowerbooks (sekarang diskon 30%, jangan lupa pakai voucher gratis ongkir apalagi untuk yang daerahnya jauhh, ada di atas tulisan checkout)

selamat membaca <3

__⏳__


29

Kalila tak pernah sesegar ini saat menjalani hari di sekolah. Jika bukan karena mendapatkan pelukan dari Jiro sepanjang malam, maka dia akan lemas sejak tahu sang Ketua Kelas tidak hadir dan setengah-setengah dalam menjalankan tugasnya sebagai Wakil Ketua Kelas.

Fritzi, si Ketua Kelas, siswi yang terkenal ambis dengan kacamata berbentuk kotak yang tak pernah lepas dari hidungnya itu—sepanjang Kalila melihatnya—sedang tidak hadir karena sakit. Biasanya anak itu akan tetap masuk meski demam, tetapi sepertinya kali ini sakitnya cukup parah. Kalila tidak tahu pasti sakit apa cewek itu karena mereka tak dekat. Belum lagi karena Fritzi adalah tipe orang yang sangat lah tertutup.

Seorang siswi yang sempat satu tempat duduk dengan Fritzi lebih memilih untuk duduk di belakang, menggantikan tempat Kalila dan menjadi teman sebangku Emily. Meski dia tahu Emily seperti apa, tapi siswi itu hanya mau duduk di bangku paling belakang dan tetap mengabaikan Emily dan tidur sepanjang waktu. Sementara Kalila berakhir duduk di bangku depan bersama Fritzi yang merupakan seorang Ketua Kelas yang irit bicara, kecuali jika itu berkaitan dengan hal-hal formal.

Sekarang cewek itu tidak hadir dan Kalila harus menggantikan tugas Fritzi. Sejak awal, posisi Wakil Ketua Kelas bukanlah keinginannya. Entah kenapa, orang-orang di kelas mencatumkan namanya sebagai kandidat Ketua Kelas. Perbedaan satu suara membuat Kalila sempat ditatap tajam oleh Fritzi karena hampir mengambil posisi yang Fritzi inginkan. Untunglah, kehidupan masih berjalan dengan imbang dan takdir tidak ingin ada percekcokan tak berarti di antara mereka.

"Anak barunya udah datang!" Seorang siswi yang baru saja mengintip di pintu, tiba-tiba berbalik dengan panik dan berlari ke bangkunya. "Dia bareng Pak Ilyas!"

Kalila bertopang dagu. Dia sudah mendengar desas-desus tentang anak baru yang dimaksud sejak sebelum bel pelajaran pertama berbunyi karena ada sepasang meja dan kursi baru di sudut paling belakang. Siswi-siswi di kelas juga sibuk membicarakan seorang siswa baru yang katanya berparas tampan itu.

Kelas langsung hening saat seorang pria paruh baya berwajah tegas muncul di ambang pintu. Kalila berdiri dan memberi aba-aba kepada yang lain untuk segera berdiri menyambut Pak Ilyas, lalu kembali duduk setelah itu. Pak Ilyas masih berdiri di belakang meja guru. Kepalan tangannya tersangga di meja sembari menoleh pada si anak baru yang murah senyum.

"Hari ini, kelas ini kedatangan siswa baru di kelas. Silakan perkenalkan diri kamu," kata Pak Ilyas.

"Saya Callahan. Panggil saja Kala." Siswa baru bernama Kala itu menatap kursi kosong di samping Kalila.

Kalila memegang bangku di sampingnya, khawatir Kala mengincarnya. "Di sini ada yang duduk. Namanya Fritzi. Ketua kelas kita. Lagi sakit."

Kala hanya tersenyum kecil. "Enggak akan gue ambil, kok. Tenang aja." Dia tolehkan wajahnya pada Pak Ilyas. "Pak, saya boleh langsung duduk?"

"Silakan." Pak Ilyas mengangguk-angguk, lalu Kala mulai berjalan melewati Kalila. Cowok itu sempat berhenti sebentar untuk melemparkan senyum sebelum kembali melanjutkan langkah menuju kursi kosong baru di belakang sana. Kalila hanya mengernyit heran.

Meski antara Kala dan Jiro secara visual sangatlah berbeda, tetapi rasanya ada kesamaan pada "vibe" mereka berdua.

***

Pak Ilyas yang mengisi pelajaran kedua akhirnya selesai juga. Baru saja beliau keluar dari kelas dan siswa-siswi kelas ini baru berbondong-bondong untuk keluar. Jika itu guru lain maka sebelum guru keluar mereka sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari ke kantin. Kalila mengangkat kedua tangannya, merenggangkannya karena dia merasa lelah. Selama ini, Fritzi selalu bekerja sendiri dan Kalila sebagai wakil hanya status yang tertempel di dinding kelas.

"Bisa tolong anterin gue keliling sekolah buat tahu sekolah ini lebih jauh?"

Kalila menoleh pada Kala yang tiba-tiba duduk di bangku kosong sampingnya. "Besok aja. Tadi gue diem-diem nge-chat ketua kelas dan dia bilang besok udah bisa naik. Dia izin sakit satu hari, doang."

"Kalau bisa sekarang kenapa enggak?" Kala menyangga pipinya saat lebih menyerongkan tubuh menghadap Kalila. "Tugas lo kan sebagai wakil ketua, tugas lo salah satunya pengganti ketua kalau ketuanya enggak ada."

"Aduh! Males banget." Kalila berdiri dengan bahu terkulai lemas. "Ya udah, deh. Tapi beberapa bagian aja, ya. Besok Fritzi lanjut."

"Oh, nama ketua kelas kita Fritzi." Kala ikut berdiri dan mengangguk-angguk. Dia mengikuti Kalila dari belakang. "Ngomong-ngomong, dari tadi banget gue salah fokus dengan nama lo. Kalila. Agak mirip nama gue, ya? Gue kurang li, doang. "

Meski Kala lebih banyak omong daripada Jiro, tetapi tetap saja Kalila masih merasa ada kesamaan di antara cowok itu dan Jiro. Kalila memelankan langkah dan menoleh ke sampingnya saat Kala dan dirinya bersisian. "Besok kalau Fritzi udah masuk sekolah, lo jangan ngomong hal yang enggak penting kayak barusan karena Fritzi enggak akan nanggepin."

"Emang ketua kelas kita orangnya kayak gimana?"

"Dia orang paling serius yang pernah gue temui di dunia ini!" seru Kalila. "Kayak robot."

"Oh, ya?"

"Iya! Lihat aja sendiri besok. Lo akan setuju dengan apa yang barusan gue bilang." Kalila menuruni tangga. "Ngomong-ngomong, koridor atas tadi itu sepanjang kelas yang kita lewatin semuanya kelas XI IPA berturut-turut dari IPA 1 sampai 6. IPA 6 yang ujung sana. Terus IPA 5. Terus IPA 4. Dans seterusnya dan seterusnya."

Kalila menjelaskan semua ruangan yang dia lewati. Dia ingin school tour mendadak itu segera berakhir. Kalila memperlihatkan ruangan-ruangan penting seperti beberapa laboratorium.

"Udah, ya. Sampai sini aja. Ini masih seperempatnya. Perut gue udah keroncongan." Kalila memegang perutnya yang bergerak dan berisik.

"Ayo ke kantin bareng. Gue traktir?"

"No, thanks." Kalila menolak dengan tegas sambil menatap ponselnya. Balasan dari Jiro sudah masuk sejak tadi. Kalila memang mengatakan akan datang terlambat dan Jiro membalas tak apa-apa asal Kalila segera datang jika urusannya selesai. Kalila tidak mengatakan bahwa dia mengantar seorang cowok keliling sekolah. Entah bagaimana ekspresi Jiro nanti jika tahu hal itu. "Gue ada janji makan bareng."

"Oh, ya? Lain kali aja kalau gitu."

Kalila mengangguk-angguk tanpa memandang Kala, tak sadar dia telah mengiakan sesuatu yang tak mungkin terjad karena terlalu sibuk dengan ponselnya.

me: kaak gue ke situuu. lokasi lokasi lokasi?

kak jiro: tempat biasa, kalila

Kalila tersenyum sambil mengetikan balasan kepada Jiro dengan buru-buru. Dia berlari kecil ke kantin sembari kedua tangannya memegang ponselnya yang berukuran lebih dari enam inci itu. Tiba di kantin, dia langsung melihat ke sudut di mana biasanya Jiro mengambil tempat untuk makan.

"Janji makan bareng siapa?"

Kalla membelalak dan tersentak. Satu kakinya yang baru saja akan melanjutkan langkah jadi terhenti. Dia menoleh dan ditatapnya Kala yang kini berdiri tepat di sampingnya. "Kok lo di sini?"

"Mau ke kantin juga, lah." Kala menepuk-nepuk perutnya. "Laper. Itu yang lihat-lihat dari sana." Kala menatap seseorang. Ketika Kalila mengikuti arah pandang cowok itu, yang dia temukan adalah Jiro yang sedang menatap datar. "Cowok lo, ya?"

Kalila membelalak. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu?

"Jadi, beneran cowok lo? Wajar sih cewek cantik kayak lo enggak mungkin jomlo."

"Bukan!" seru Kalila pelan. "Dia ... kakak kandung gue!"

"Oh, pantesan dari tatapannya kayaknya kakak yang over protective." Kala menaruh tangannya di puncak kepala Kalila dan menepuk-nepuknya. "Lihat, tuh. Bentar lagi kantin ini terbakar."

"Ish, singkirin tangan lo!" seru Kalila sambil memukul lengan Kala. Dia segera berlari ke arah Jiro dan langsung duduk di kursi kosong tepat di hadapan Jiro. "Maaf lama."

"Dia siapa?" tanya Jiro tanpa menatap Kala.

"Anak baru di kelas. Tadi gue lama karena anterin dia ngenalin sekolah. Ketua kelas lagi sakit hari ini."

"Dia nyebelin. Jaga jarak sama dia."

"Nyebelin kenapa?" Kalila bertopang dagu sambil menyunggingkan senyum tipis. "Kak Jiro cemburu, ya?"

"Lo mau dihukum?" tanya Jiro sembari menatap Kalila tajam.

"Memangnya kesalahan gue apa, Kak?" Kalila mengambil jus yang sudah dipesan Jiro sebelumnya untuknya. "Padahal gue cuma anterin si anak baru. Kalau ketua kelas hadir, gue pasti bakalan santai-santai aja kayak biasanya."

"Entahlah," balas Jiro. "Mungkin, karena lo terlalu cantik?"

"Uhhuk!"

***

Jiro sempat tak suka Kala karena anak baru itu sok dekat pada Kalila, tetapi Jiro cukup tenang setelah Kalila menceritakan bagaimana Callahan seolah menganggap Kalila tak ada di hari-hari berikutnya. Kala memusatkan seluruh perhatiannya pada Fritzi, si ketua kelas yang kaku itu, dan seolah-olah tak menganggap Kalila maupun siswa-siswi lainnya ada di kelas. Benar-benar seratus persen perhatiannya hanya tertuju pada Fritzi.

Akan tetapi, hari ini, tepatnya saat Kalila baru saja tiba di kelas, tiba-tiba saja Callahan mengajaknya bicara lagi. Mengatakan, "selamat pagi, Kalila," menggantikan, "selamat pagi, Fritzi" yang biasanya cowok itu katakan di pagi hari saat tiba di kelas. Kehadiran Fritzi tak lagi dianggap oleh anak baru itu.

Meskipun bukan hal aneh jika seorang yang berada di kelas yang sama dengannya mengajaknya bicara, tetapi intuisi Kalila mengatakan bahwa hari-harinya akan rumit jika berurusan dengan Callahan.

Sesaat setelah guru keluar dari kelas karena waktu istirahat telah berlangsung, Callahan mengangkat bangkunya di atas kepala, melewati siswa-siswi lain yang tak jadi berdiri karena Kala yang sedang lewat dan menguasai jalan. Cowok itu menurunkan bangkunya tepat di depan meja Kalila, lalu duduk di sana sembari melipat kedua tangannya di atas meja Kalila. Kalila belum berdiri untuk ke kantin. Dia masih menyalin tugas di papan tulis. Sama halnya dengan Fritzi di samping Kalila yang masih di kelas, menyalin yang tertera di papan tulis seperti apa yang Kalila lakukan.

"Ngapain sih, lo?" Kalila memiringkan tubuh untuk melihat papan tulis karena tubuh Kala yang tinggi itu menghalangi pandangannya. "Gue nggak lihat!"

Kala menunduk dan menaruh pipi kirinya di atas kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Bibirnya sedikit maju. "Hari ini lo makan bareng kakak kandung lo, ya?"

Kalila menghentikan gerakan tangannya. "Hah?"

"Temenin gue makan di kantin, dong." Kala kembali menegakkan punggung, lalu tersenyum semringah. "Gue pengin makan bareng lo."

TUK. Fritzi menancapkan pulpennya di atas bukunya yang terbuka. Ada tanda titik berukuran besar di antara huruf-hurufnya yang rapi, berasal dari pulpen cair berwarna hitam miliknya. Fritzi melirik Kalila dan menatap Kalila dengan tajam.

Kalila hanya bisa meringis. Fritzi cemburu dan makin menganggap Kalila sebagai sebuah ancaman. Sejak pagi tadi, Callahan memang tidak pernah mengajak Fritzi bicara lebih dulu. Apalagi Fritzi yang hanya akan bicara jika ada perlu penting. Namun, Kalila sedikit tersenyum. Hampir tertawa karena cewek kaku di sampingnya itu ternyata bisa cemburu juga.

"Ya, ya?" Kala menopang kedua pipinya dengan tangan. Tak sedikit pun dia memperhatikan Fritzi yang sedang cemburu berat pada Kalila. "Temenin gue, ya?"

"Duh, minggir sana!" Kalila melanjutkan tulisannya yang sebentar lagi selesai. Kala langsung menunduk dan kembali menaruh pipi kirinya di atas lipatan kedua tangannya. "Jangan ganggu gue, okay?"

"Kal! Lo suka sama Fritzi apa Kalila, sih?" tanya seorang cowok di bangku belakang. Kalila menoleh dan memelototi cowok itu. Siswa yang duduk di bangku paling belakang dan bersandar di dinding itu malah melanjutkan ucapannya. "Jangan Kalila, dong. Nanti suasana di kelas makin canggung karena ada mantan Kalila di sini."

Kala menggebrak meja, membuat Kalila dan Fritzi yang berada di dekat cowok itu jadi tersentak. "MANTAN?"

"Tuh!" Siswa itu menunjuk Arvin yang sedang menyembunyikan wajahnya di atas kedua tangan yang terlipat. Dia sedang tidur.

Kala menatap Kalila dengan alis nyaris bertaut. "Lo punya mantan?"

Kalila mengernyit. Kenapa Kala begitu kaget? "Emang kenapa...?"

"Mereka pacaran cuma bentar, kok!" teriak siswa di belakang.

Kalila berbalik dan menatap kesal siswa itu. Baru saja dia ingin mengomel, tetapi Arvin sedang menatap siswa bermulut ringan itu. "Bisa diam nggak, sih, lo? Berisik dari tadi."

"Lo yang mantannya Kalila?" Kala sudah berdiri di samping meja Arvin. Arvin mendongak dan menaikkan alis. Kala menendang kaki meja hingga meja Arvin sedikit bergeser. "Jawab, dong."

Arvin berdiri dan berdecak. "Kenapa lo cari gara-gara, hah? Gue anteng aja di sini malah diganggu."

"Kalian putus baik-baik, kan?" Arvin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Ah, sial. Jawab, dong! Kalau ditanya tuh jawab. Orang-orang zaman sekarang benar-benar ck ck." Kala geleng-geleng, lalu berhenti. Keningnya berkerut dalam. "Sialan. Ngapain lo nggak langsung jawab? Apa itu artinya kalian nggak putus baik-baik? Lo apain Kalila, hah?"

Kalila memijat pelipisnya. "Demi..., ugh!" Dia tidak mengerti dengan anak baru itu. Kalila berdiri dan menarik Kala menjauh dari Arvin sesaat sebelum Arvin meraih kerah kemeja sekolah Kala. Hampir saja mereka bertengkar untuk masalah sepele. Hal paling tidak masuk akal adalah Callahan!

"Lo apa-apaan, sih?" Kalila mendorong Callahan ketika berhasil menyeret cowok itu ke koridor sepi. "Kenapa lo bersikap seolah kita itu dekat? Ah, yang aslinya dekat sama gue aja enggak segitunya. Lo itu, ck! Aneh banget! Siapa sih lo?"

Kalila geregetan. Ingin sekali dia mencubit pipi Callahan karena cowok itu melihat ke arah lain sambil menggoyangkan sedikit tubuhnya, bersikap bodo amat, bukannya mendengarkan Kalila dengan baik.

"Heh!" Kalila menampar lengan Kala. "Dan tolong, ya! Jangan mainin perasaan Fritzi."

Kala mengalihkan perhatiannya dari lantai, kini memandang Kalila dengan alis yang hampir bertaut. "Hah? Memangnya gue mainin perasaannya...?"

"Iya, ck!" Kalila menghentakkan sepatu sebelah kirinya di atas lantai. "Waktu Fritzi kembali ke sekolah, lo sering ngobrol sama dia. Lo juga suka godain Fritzi, kan? Dia itu walaupun hebat dalam pelajaran, tapi masih newbie dalam percintaan! Sikap lo beberapa hari ini udah bikin anak orang jadi baper. Kalian ada masalah sampai lo jauhin dia tiba-tiba?"

"Masalah apaan? Biasa aja, kok."

"Terus kenapa lo enggak bilang selamat pagi ke Fritzi tadi pagi seperti biasanya, malah ke gue? Dan kenapa lo enggak pernah ajak dia ngobrol?"

Kala memegang kedua pipi Kalila, membuat Kalila membelalak. "Karena kemarin-kemarin itu harusnya selamat pagi, Kalila, bukan selamat pagi, Fritzi. Gue sempat berpaling bentar aja karena lo bilang dia itu kayak robot. Gue penasaran maksud lo kayak robot tuh kayak gimana. Ternyata kayak gitu. Ya udah. Ternyata beneran kayak robot."

"Ish. Ish. Ish!" Kalila menepepis kedua lengan Kala karena tangan cowok itu masih menempel di pipinya. "Jangan pegang-pegang sembarangan, ya!"

Kala menaikkan alis sambil tersenyum kecil. "Emang gue enggak boleh banget megang-megang Kalila?"

"Lo sinting, ya?" Kalila berdecak sebal, lalu berbalik kembali ke kelas untuk mengambil ponselnya yang tertinggal sebelum ke kantin dan makan bersama Jiro. Dia berhenti melangkah saat melihat Fritzi menatap Kala dengan mata berkaca-kaca. Saat Fritzi menatap Kalila, cewek itu langsung berbalik dan melangkah menjauhi kelas.

"Lucu, ya." Kala mendekati Kalila dan berhenti di samping cewek itu. Lengannya menyentuh bahu Kalila, menyenggolnya pelan. "Dia beneran mirip robot."

Kalila mendongak dan memukul lengan Kala dengan kesal. "Tanggung jawab sana lo!"

Kala mengernyit. "Tanggung jawab? Gue habis ngelakuin apaan, sih?"

"Gue bilang karena lo mainin perasaannya Fritzi!" Kalila menarik Kala dan memukul punggung cowok itu berkali-kali. "Sana. Kejar dan minta maaf. Awas aja!"

Kala berlari kecil, lalu berbalik dan melangkah mundur sambil menatap Kalila. "Tapi nanti kita makan bareng, ya?"

"Enggak!" Kalila memegang kepalanya, pusing. "Gue ada janji."

"Sama yang namanya Kak Jiro itu?" Mata Kalila membola. Dari mana Kala tahu nama Jiro? Callahan bersikap hormat. Dia menyentuhkan ujung beberapa jari tangan kanannya ke pelipis. "Kalau gitu, kita makan bertiga, ya! Anggap aja gue sebagai anak lo. Kak Jiro juga boleh jadi bapak gue. Hehe."

Sebelum berbalik, Kala sempat mengedipkan sebelah matanya dan membuat Kalila hampir saja melayangkan sepatunya ke punggung cowok itu.

 ***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Continue Reading

You'll Also Like

18.1K 2K 58
Merah adalah lambang cinta. Tapi Merah juga menandakan kemarahan. Merah adalah warna indah sang mawar. Tapi Merah juga adalah warna darah. Anandira P...
777K 52.7K 42
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
2.9M 164K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
908K 9.9K 7
DON'T FORGET TO FOLLOW ME. DAN JGN COPY PASTE CERITA INI. INI REAL HASIL PEMIKIRAN SAYA SENDIRI . . . Kedatangan Airin kembali ke Indonesia hanya sat...