NATAREL (SELESAI✔️)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

22 | Dikejar Pasukan Gen Petir

57 30 5
By Park_sooyang

"Akhirnya lo dateng juga, Rin. Buruan, bantuin susun buku-buku baru, gih. Ada banyak banget kiriman buku baru soalnya." Cia mengangkat sekardus buku-buku dibantu Bobby yang kebetulan bertugas juga di dalam perpustakaan.

"Ya ampun, kemaren, kan, gue udah tugas? Masa sekarang gue lagi, sih?" keluh Karin, berkecak pinggang sedikit tidak terima, padahal hari ini bukan tugasnya. Walau begitu, tapi tetap saja dia melaksanakan tugas mengangkat kardus dan menyusun buku-buku di rak.

Di tengah-tengah pekerjaannya menyusun buku-buku di rak, saat berjongkok, ada kaki berhenti di sampingnya. Gerakannya sontak ikut terhenti begitu tatapan Karin terpaku pada sepasang sepatu hitam itu. Pelan-pelan gadis itu pun mengangkat wajah untuk melihat pemilik tubuh yang menjulang tinggi di hadapannya itu. Devon.

"Eum... itu... anu, Rin." Mata Devon melirik atas samping. Seolah bingung ingin memulai percakapan dari mana. Devon bergumam-gumam tidak jelas dengan ujung sepatu yang digerakkan seperti sedang menggambar asal di lantai, sementara kedua tangannya sudah disembunyikan di belakang-seperti seseorang yang tertangkap basah baru dipergok bersalah dan hendak mengakui kesalahannya.

Dahi Karin berkerut sambil berdiri dan mengangkat kardus. "Apaan? Nggak jelas banget, sih, lo, Dev?" Mungkin efek mendadak dia bertugas lagi hari ini, gadis itu terlihat tidak sabaran.

"Itu... komik yang kemaren lusa ternyata seru juga." Mata Devon masih menghindari kontak mata Karin. "Bener kata lo. Gue baca ampe seharian langsung tamat."

Mata Karin berbinar. Rautnya berubah drastis kembali ke Karin yang asli. "Wohoho, bener, kan, apa kata gue?" Gadis itu tersenyum antusias. "Nah, kalo lo demen sama komik itu, mau gue kasih rekomendasi lagi nggak? Gue cukup ahli, lho, soal ini. Oh ya, lo juga coba deh, buka blog yang gue kirim. Di sana ada banyak informasi soal komik-komik horor yang menarik. Rea, sahabat gue aja sering minta rekomendasi ke gue."

Devon mengerjap. "Ah, jadi maksud lo temen yang sering rekomendasiin lo komik itu Rea?"

Karin mengangguk-angguk masih antusias. "Kalo fantasi, sih, bukan dari Re-"

"Kalo gitu kasih tahu gue lagi dong, mana komik yang menarik buat dibaca. Terus yang pernah lo rekomendasiin ke Rea juga, " pinta Devon mendadak juga berubah antusias.

Perlahan namun pasti, senyum Karin luntur seketika. Entah kenapa, ada sebagian dari dalam dirinya yang retak ketika mendengar nama Rea disebut-sebut oleh cowok ini. Lagi-lagi ada Rea di antara mereka. Padahal cewek berkepang dua itu sudah bahagia bisa mulai dekat dengan cowok idamannya. Namun, nama 'Rea' entah kenapa ada sesuatu yang mengusiknya begitu Devon berubah antusias saat Karin menyebutnya.

Merasa Karin tak kunjung bergerak malah menatapnya aneh beberapa detik, Devon memanggil, "Rin?"

Karin tersadar dan memaksa senyumnya. "Ah, iya. Bentar gue cariin lagi." Gadis itu akhirnya berbalik, mencarikan komik yang menurutnya menarik untuk Devon. Berusaha membuang jauh-jauh rasa irinya terhadap Rea.

•••

Rea menatap buku catatan milik Nata yang disodorkan dengan kerutan dahi bingung. "Apa ini?" Pertanyaan retoris membuat siapapun pasti jengkel mendengarnya.

"Di mana pun keberadaanya, kalo dia nggak tahu ini apa, fiks, dia bukan manusia," timpal Nata malas sambil mengunyah permen karet.

"Ck, gue tahu ini buku catatan. Maksud gue, gunanya lo ngasih catatan lo ke gue itu buat apaaa?"

Nata balas berdecak sambil menaruh paksa buku catatannya di meja hadapan Rea persis karena gadis itu tak kunjung menerima. "Catet. Jangan sampe lo nggak nyatet. Itu materi penting. Kata Pak Gun, bakal keluar di PTS nanti," ujar Nata dengan raut datar, sebelum duduk sambil menaruh tasnya di atas meja dan membuka layar ponsel.

Perlahan namun pasti, membuat senyum Rea mengembang. Heran dengan Nata yang entah kenapa mendadak akhir-akhir ini sering menunjukan sikap perhatiannya. Rea menyapu pandang, berjaga-jaga kalau ada yang mendengarkan obrolan (rahasia) dengan Nata. Setelah memastikan situasi aman, dia mendekatkan bibirnya di telinga Nata dan berbisik, "Inget, kita pacaran cuma pura-pura. Kalo lo jatuh cinta duluan sama gue, itu artinya lo lemah dan baperan, tahu?"

Gerakan Nata pada ponsel seketika terhenti, lalu melirik Rea. Perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Rea membuat gadis itu mundur sedikit panik. "Bukannya justru lo sendiri yang baper?"

Mata keduanya bertemu. Rea menampilkan smirk. "Cie... yang mulai perhatian."

Nata mendekatkan wajahnya lagi lebih dekat, dan Rea tidak mundur hingga wajah keduanya berdekatan kurang dari lima senti. "Cie... yang suka diperhatiin malah berujung baper."

"Lo kali yang baper duluan."

"EHM! ADUH, GERAH BODI, GERAH HATI!"

Setidaknya sampai teriakan Jacky yang baru saja masuk kelas terdengar, kedua sejoli itu saling menjauhkan wajah dan berpaling. Berpura-pura sibuk dengan aktivitas masing-masing lagi selain menanggapi Jacky.

"CAKEP!"

Jacky memutar tubuh. Ternyata tanggapan Farel yang baru saja masuk dan melempar tasnya di kursi sebelah Jacky yang masih kosong. "GUE LAGI KAGAK PANTUN, GOBLOK!" Pandangannya kemudian dialihkan kembali ke meja Rea-Nata. "Kalian bisa, pacarannya ntar siang aja? Masih pagi hormatilah para jomblokers di sini."

Nata meliriknya. "Ya elah, ngiri lo?"

"Makanya ganteng," timpal Zara persis di belakang Jacky saat dirinya tengah menyapu hendak melewati berdirinya cowok itu.

"Sialan lo, Ra." Jacky sontak menginjak sapunya.

"Ih! Jupri! Lepasin nggak!?"

"Makanya jangan laknat!"

BUAKH!

"ADUH! IYA INI UDAH DILEPASIN TAPI JANGAN NENDANG YANG ITU JUGA!"

Tawa seisi kelas seketika pecah.

•••

Sepulang sekolah, Rea selalu mengendarai motornya dengan tenang. Selalu tenang sampai tidak ada yang mengusik ketenangannya. Setidaknya sampai dia melihat tiga pengendara motor dari arah spion kanan mengikutinya. Awalnya Rea tidak peduli dan mengira kalau motor itu hanya pengendara biasa. Namun lama kelamaan, ternyata mereka menghentikan jalan. Sontak Rea mengerem dadakan.

"Cewek kurang ajar!"

Kerutan di dahi terbentuk sewaktu tiba-tiba dibentak salah satu dari ketiga pengendara cowok lebih tua dari Rea itu. Dia melepas helmnya hingga menampakkan rambutnya yang dicepol berantakan, lalu Rea menyeka helaiannya yang keluar ikatan ke belakang telinga satu persatu.

"Mau kalian apa, sih?"

Salah satu lagi dari mereka memiringkan senyumnya. Kelihatan tertarik dengan Rea. "Ternyata lo cantik juga." Tatapannya jatuh ke bet SMA Abipraya di dasi seragam Rea yang dibalut jaket kulit.

"Nggak jelas," ketus Rea.

"Eits." Ferdian mencekal tangan Rea yang hendak memakai helm lagi dan langsung disentak lepas oleh sang empu. Rea memberanikan diri untuk turun dari motor.

Mata Ferdian menyipit begitu bertemu dengan tatapan tajam Rea. "Bentar, deh. Kok gue kayak nggak asing, ya, sama wajah lo?" katanya sambil mengingat-ngingat. "Oh! Hahaha, gue inget, gue inget." Ferdian langsung teringat kejadian beberapa minggu yang lalu di dekat halte saat dia hendak menabrak mantan sahabatnya dan digagalkan oleh seseorang. Ternyata ini dia orangnya. "Kayaknya alesan dia kayak gitu karena dia punya dendam kesumat sama gue," ucapnya, melirik teman-temannya.

"Dia deket sama Nata. Kayaknya, sih, ceweknya," lanjut Ferdian sambil mengerlingkan mata ke arah Rea yang bergantian menatap mereka sedikit bingung dengan apa yang dibicarakan.

"Lo, kan, yang hari itu ngempesin ban motor gue sama Ferdian?" Arnold menunjuk Ferdian bergantian ke arah Rea dengan tatapan menuntut.

Oh, jadi mereka. Raut Rea tidak ada raut takut-takutnya sama sekali. Dagunya justru diangkat angkuh. "Iya. Itu gue. Emang sengaja hari itu ngempesin ban lo pada. Kenapa? Nggak terima lo?" Dia menatap Ferdian menantang. Cewek itu jadi tahu sekarang kalau ternyata tujuan mereka ke sini mau melabraknya karena kelakuannya yang memancing para singa keluar kandangnya. Tidak lupa, Rea juga menebak-nebak kalau di antara ketiga cowok ini ada yang sengaja hari itu ingin membuat Nata celaka. Matanya melirik salah satu motor di belakang mereka.

"Lo tuh cewek, sendirian lagi. Berani banget lo melototi kita?"

Tatapan Rea berubah geli. "Eh, emangnya ngapain juga gue kudu takut sama lo pada? Sama-sama makan nasi, kan? Maksud kalian, ini mau ngeroyok gue?" dengus Rea, sengaja menyibak helai poni kananya dengan ibu jari sombong. "Banci," ucapnya pelan, namun terdengar jelas di telinga ketiganya masing-masing.

Tujuan Ferdian dan kedua temannya menegur Rea awalnya meminta gadis itu mengganti rugi ban yang sudah dikempesi dengan tangan kosongnya. Tapi mengingat Rea pernah menggagalkan rencana busuk Ferdian, dan sekarang dengan tengilnya menantang ketiganya ditambah kata 'banci' terdengar, mereka jadi merasa tidak terima. Kalau mau tahu darimana mereka tahu pelakunya adalah Rea, jawabannya ada di CCTV. Sengaja ada yang memasang CCTV di warkop karena ada yang pernah kehilangan motor dan sampai sekarang belum ketemu.

Rea mengambil ancang-ancang hendak menyerang dengan kedua jari di kedua tangannya diangkat ke udara hendak mengeluarkan jurus yang sempat dia pelajari empat hari yang lalu-yang sempat dipraktekkan kepada Nata dan berakhir cewek itu sendiri yang terkena imbasnya.

"Wahhh, nantangin dia, bos," kompor Bagas. Tanpa aba-aba, dia maju lebih dulu tidak sabar.

"Sini, maju satu-satu. Jangan main keroyokan." Rea berlari maju dengan kedua tangan siap mencolok mata musuh di depannya.

Spontan si Bagas mengerang menutup kedua mata begitu aksi Rea berhasil. Arnold mengumpat waktu menangkap tubuh Bagas yang mundur menabraknya. Arnold dan Ferdian bersamaan menatap ke arah Rea, tertegun. Nyali cewek ini memang berbahaya, mereka terpancing pun beraksi.

Kemudian yang terjadi dua detik selanjutnya, tidak pernah Rea duga akan menyebabkan dirinya balik tumbang saat itu juga. Sial.

"Makanya, jangan main-main lo sama kita." Itu peringatan terakhir untuk Rea begitu tubuh rampingnya terkapar tak berdaya di atas tanah berumput sebelum akhirnya ketiga curut itu hendak cabut ke motor masing-masing, tapi kedatangan motor lain menarik perhatian mereka semua.

Pemiliknya menghentikan motor persis di dekat Ferdian sebelum menurunkan standar, melepas helm, dan turun. Sejurus kemudian, helmnya dibanting dekat kaki Ferdian yang sontak mengangkat kakinya menghindar. Semua orang termasuk Rea, terkesiap menyaksikan amukan itu.

Tapi Ferdian justru turun dengan santai dan merangkul Nata sok akrab. "Wuishhh, santai, santai... tenang dulu, Bos. Pas banget lo dateng. Lo urusin dulu deh, cewek l-"

"Nggak usah kebanyakan bacot lo," potong Nata cepat sebelum menepis lengan Ferdian kasar. Nata sudah pernah merasakan rangkulan akrab itu dulu, dan sekarang rasanya berbeda karena dia datang membawa api, bukan untuk mengakrabkan diri. "Mau sampai kapan lo jadi pengecut gini?" tudingnya terlihat tenang, namun di dalamnya seolah menahan ledakan.

"Kali ini gue ngomong sama kalian." Kemudian lelaki itu mengalihkan pandang pada kedua curut di belakang Ferdian. "Nggak ada gunanya lo semua bangga-banggain bos banci lo ini kalo dia berani ngeroyok cewek." Nata menunjuk Ferdian persis pada sindiran 'bos banci'.

Ferdian terkekeh. "Btw, cewek lo bening," komentar Ferdian tenang melirik Rea sebentar. "Cocok sama lo. Cocok karena kalian sama-sama nggak ada apa-apanya."

Kepalan Nata semakin kuat. Rahangnya mengeras seolah bersiap meledak kapan saja sementara Arnold dan Bagas seolah mengafirmasi ledekan Ferdian tadi dengan tawa.

Belum puas memanas-manasi, Ferdian menambahi, "Dia masih perawan, nggak?" bisiknya, sebelum berpura-pura memasang raut terkejut, "Oh. Jangan-jangan... dia udah jadi korban kayak almarhumah cewek lo dulu?"

Sejurus kemudian, Nata membogem mentah wajah Ferdian tanpa aba-aba hingga membuatnya tumbang dan sontak kedua temannya di belakang menangkap tubuhnya. Yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi juga. Ferdian mencekal pergelangan tangan Arnold yang hendak membalas. Sudut bibirnya yang perih ditarik paksa saat tatapannya bertemu dengan tatapan nyalang Nata. Perlahan, Ferdian menegakkan tubuh dengan santai.

"Lo itu emang udah lupain gue ya, Nat?" Tenang dan getir. Penuh emosi yang ditahan, dan... mengerikan.

Sedari tadi, Rea yang duduk lima meter di belakang Nata hanya mampu menyaksikan mereka sambil menahan nyeri di perut dan perih di sudut bibirnya yang robek mengeluarkan darah.

"Gue udah banyak bantuin lo, tapi kenapa, sih, gue selalu salah di mata lo?" Laki-laki itu membersihkan debu di kedua telapak tangan, seolah tengah membersihkan kebaikannya selama ini seiring kata-katanya keluar. "Lo nggak inget, dulu siapa yang nyelametin lo malem-mal-"

"Nggak usah ngungkit kejadian yang udah basi!" potong Nata marah. "Lo yang bikin gue jadi nggak ragu buat berbuat gini ke lo!" Satu pukulan lagi. Lalu dia mencengkram kerah jaket kulit Ferdian kuat dengan emosi yang membeludak. "Buat apa lo ngelakuin itu semua kalo pada akhirnya lo sendiri yang berkhianat? Hah? Buat apa?!" teriaknya tambah marah. "Lo munafik, Fer!!"

Suara pukulan keras terdengar lagi. Namun asalnya bukan dari Nata sendiri. Justru itu balasan untuknya. Ferdian membunyikan lehernya ke kanan-kiri, siap meledak juga. Satu telunjuknya digerakan-gerakan di depan Nata, menantangnya untuk maju lagi membalas. Jagoan melawan jagoan, siapa yang akan menang?

Ferdian mengangkat satu telunjuknya begitu kedua temannya hendak bertindak. "Jangan ada yang bantu gue. Ini urusan kita. Kalian saksiin aja."

Lalu terjadilah pertengkaran one by one. Yang paling mendominasi di jalan sepi itu hanyalah pukulan demi pukulan terdengar memuakkan. Tidak ada dukungan di sana. Hanya ada ketegangan, hingga rasa sakit akibat pukulan Ferdian dan temannya pada Rea makin terasa begitu dia menyaksikan perkelahian di depan mata.

Terlihat, Nata benar-benar tidak memberikan celah sedikitpun untuk Ferdian membalas pukulan bertubi-tubinya. Bagas dan Arnold hendak maju, khawatir dengan keadaan Ferdian yang babak belur, tapi dicegah cowok itu. Wajah Ferdian sudah babak belur sementara Nata merasakan nyeri di perut dan sudut bibirnya yang robek mengeluarkan darah. Tapi rasa sakitnya tersamarkan oleh luapan emosi, masalah demi masalahnya, dan tatapan nyalangnya yang menyorot mata Ferdian tajam. Seolah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan rasa sakit Rea yang dipukul oleh para curut di depannya. Nata menarik kuat-kuat kerah jaket Ferdian, berjongkok, dan menatap tajam Ferdian di bawahnya yang sudah lemah.

"Gue peringatin sekali lagi sama lo dan temen-temen lo," desis Nata penuh penekanan. "Kalo sampe ada yang berani lagi nyentuh atau berurusan sama cewek gue, gue patahin tulang leher lo semua satu-satu!"

BUAKH!

"NATA! UDAH, NAT!" Akhirnya Rea memberanikan diri mencegah Nata memukul Ferdian lagi. Akhirnya Nata menurut, perlahan menurunkan kepalannya. Cewek itu tidak bisa menyaksikan lagi Nata yang brutal begini. Terlalu ngeri.

Bertepatan saat cowok itu akhirnya berdiri dan memacu langkah menghampiri Rea, dan Ferdian yang dibantu kedua temannya bangkit, suara beberapa deru motor lain mendekat ke arah mereka. Sontak mengalihkan perhatian mereka semua lagi. Sebelum sampai ke lokasi, Ferdian beserta kedua temannya buru-buru menaiki motor untuk kabur. Sial, mereka pasukan Gen Petir.

Nata bisa merasakan sedikit getaran pada cengkeraman Rea di pergelangan tangannya yang bersembunyi di belakangnya begitu gerombolan itu berhenti di lokasi mereka. Jumlah mereka sangat banyak, Nata kalah telak. Duh, mana Ferdian dan curut-curutnya sudah kabur duluan lagi...

"Pas banget yang mau disamperin, eh, ketemu di sini. Sayangnya... si pengecut itu kabur." Itu Reza, salah satu anggota pengganti Rio yang sudah keluar dari Gen Petir. Lelaki itu turun dari motor diikuti yang lain.

"Ngapain lo mau nyamperin gue? Ngapelin gue?"

"Gue masih nggak terima Rio keluar dari geng gara-gara hasutan setan lo." Reza mengabaikan candaan Nata. "Pasti lo yang hasut biar jadi bagian dari geng lo, kan?"

Suasana menegangkan itu menambah getar pada tangan Rea sebelum gadis itu mengguncang pelan lengan Nata dan berbisik di telinganya. "Please, jangan nantang mereka, gue belum mau mat-"

"Udah gue bilang." Nata tidak menanggapi ucapan Rea membuat darah Rea berdesir-desir. "Dia yang keluar sendiri," ucapnya kalem. "Dan asal lo tahu, sekarang Gold Garuda udah nggak ada lagi. Jadi gue tekanin sekali lagi, kalau kita udah selesai. Nggak ada lagi permusuhan kayak dulu. Paham?"

Reza tersenyum miring. "Munafik lo. Terus, lo barusan sama curut-curut pecundang lo itu pada ngapain? Nyusun rencana mau nyerang kita lagi? Dan lo pura-pura bilang kalo Gold Garuda udah nggak ada? Padahal penyerangan itu rencana lo, kan? Nggak usah sok suci lo!"

Nata menggeleng-geleng samar tidak habis pikir dengan kerja otak mereka. "Nggak mungkin temen-temen gue nyerang kalian gitu aja tanpa sebab. Lo salah paham. Bahkan tadi Ferdian nyerang cewek gue. Kita juga sempet berantem. Jadi stop lo berburuk sangka, mikir kalo kita mau ngerencanain penyerangan lagi."

Reza terlihat marah. "Setan. Dia yang bikin anak buah gue babak belur semua, bego! Dan itu semua rencana lo, kan? Lo yang suruh si Ferdian, kan?! Nggak usah pura-pura tambah bego!"

"Gue sama sekali nggak tau apa-apa soal itu!" balas Nata tak kalah telak.

Reza meludah sarkas sembarangan. "Kasihan gue sama hidup lo. Dikhianatin melulu, haha. Makanya, jangan belagu!"

Jemari Nata yang sudah mengepal kuat-kuat itu siap hendak dinyalangkan-kalau saja Rea tidak segera menarik lengan kekarnya, membawanya berlari secepat kilat untuk kabur, membuat gerombolan itu refleks berteriak dan berbondong-bondong mengejar.

Continue Reading

You'll Also Like

2.5K 97 33
"Kak, kenapa kakak mau pacaran sama cia padahal kan cia ga cantik?" tanya Alicia pada kekasihnya. "Mau an emang orang nya" jawab kekasih nya itu. "ih...
108K 12.7K 31
Cerita ini tentang, Aksa Ailen Dirgantara dan gadis rahasia yang akan kalian temukan di dalam ceritanya... Jangan lupa ucapkan hai untuk ke datangan...
714K 55.7K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
36.6K 284 60
Kebanyakan yg udah tamat, jadi gak usah nunggu author nya up. Rekomendasi cerita yg pernah saya baca. Dari mulai teenfiction, fanfiction, young adult...