Tampan Berdasi (MxM)

By DaddyRayyan

82.8K 9.1K 4.6K

Orang yang paling kamu hindari sejak zaman sekolah adalah bosmu di kantor. Orang yang kamu benci semasa sekol... More

Pendahuluan + audio suara karakter
P r o l o g
Dasi 1
Dasi 2
Dasi 3
Dasi 4
Dasi 5
Dasi 6
Dasi 7
Dasi 8
Dasi 9
Dasi 10
Dasi 11
Dasi 12
Dasi 13
Dasi 14
Dasi 15
Dasi 16
Dasi 18
Dasi 19
Dasi 20
Dasi 21
Dasi 22
Dasi 23
Dasi 24
Dasi 25
Dasi 26
Dasi 27
Dasi 28
Dasi 29
Dasi 30
Dasi 31
Dasi 32
Dasi 33
Dasi 34
Dasi 35

Dasi 17

1.7K 254 217
By DaddyRayyan

Selamat malmingan sama Pawis dan Rayyan~





"Mug bebek ini punya Kak Rayyan. Aku udah jaga mugnya sampai sekarang, sesuai janjiku dulu."

Detik jarum jam berdetak.

Rayyan kehilangan waktu saat ia menahan napas.

Pak Wis mengamati leher dan dada Rayyan, tahu Rayyan sedang tercekat napasnya. Tahu bahwa ia telah mengucapkan hal yang mengungkit sesuatu pada Rayyan. Tahu bahwa ia sudah menutup pintu, mengurung Rayyan di areanya agar tak bisa melarikan diri.

Rayyan menarik napas perlahan, mengembuskannya perlahan.

Akhirnya, Rayyan berkata, "Shouki—Pak Wis, terima kasih udah jaga mug-mug ini."

Rayyan mengambil mug bebeknya dari meja. Melihat mug bebek dan mug kucing di tangannya, ia memeluk kedua mug itu erat.

"Semua janji itu ada di masa lalu," lanjut Rayyan. "Dan semuanya udah selesai sekarang. Apa pun yang pernah terjadi di antara kita ... saya minta maaf. Saya sangat minta maaf. Saya rasa Pak Wis juga sudah move on dari saya. Mari kita buka lembaran baru."

"Deal." Pak Wis mengangguk. "Aku juga udah lama move on dan udah buka lembaran baru. Apa pun yang terjadi di antara kita cuma kenangan yang enggak perlu dibahas lagi."

Rayyan merasakan tenggorokannya menyempit, tetapi ia mengangguk.

"Bentar lagi aku nikah, Kak," tambah Pak Wis.

Rayyan tersenyum tipis.

"Kanaka orang yang aku cinta sekarang. Karena dia, alhamdulillah aku bisa move on dari masa lalu. Kanaka yang mengobati lukaku."

Rayyan mengangguk lagi.

"Bertahun-tahun aku kerja keras, berjuang untuk melamar Kanaka, untuk bisa diterima keluarganya, sebentar lagi penantianku berakhir. Aku beruntung bisa ketemu Kanaka—"

"Kanaka juga beruntung bisa ketemu kamu," potong Rayyan pelan.

Mereka saling pandang dalam diam.

"Saya tau ... saya tau kamu cinta dan serius dengan Kanaka. Seingat saya, kamu orang paling setia kalau udah jatuh cinta sama satu orang. Kamu enggak akan pernah ninggalin dan mengkhianati orang itu. Saya doakan kamu bahagia sama Kanaka."

"Amin. Semoga kak Rayyan juga bahagia."

Rayyan tersenyum, lalu menelan ludah. Rasanya seperti menelan batu.

Jeda sebentar.

"Kenapa ... kemarin bantu saya? Take down berita-berita negatif dan kontrol hate comments di media," tanya Rayyan.

"Meski udah move on dari masa lalu, janji tetap harus ditepati. Aku pernah bilang, kan? Enggak ninggalin Kak Rayyan kalau kesulitan, dukung sebisaku."

Rayyan mengangguk lagi, lalu merasa heran kenapa ia begitu banyak mengangguk sejak tadi.

Tetapi itu lebih baik daripada bergeleng.

"Terima kasih untuk semuanya, Pak Wis. Semuanya–masa lalu dan masa sekarang. Saya berutang budi banyak pada Bapak."

"Enggak ada utang budi. Janji udah ditepati, utang udah lunas ... so," Pak Wis berdeham, mengerlingkan matanya kembali ke laptop, "saya rasa cukup? Makasih tehnya. Silakan diteruskan pekerjaannya, Mas Rayyan."

"Baik, Pak." Rayyan mengangguk sekali lagi, semoga ini terakhir kalinya ia mengangguk-angguk. Rayyan mundur, mundur, hingga ia bertemu pintu keluar. Ia tak boleh membiarkan napasnya tercekat lebih lama di ruangan ini.

"Kenapa bunga aster merah?" tanya Pak Wis tiba-tiba sembari terus mengetik.

Rayyan berhenti.

"Saya pikir bunga itu cocok untuk orang sakit. Dulu kamu—Pak Wis pernah kasih saya bunga itu."

"Yang saya kasih dulu bukan aster merah. Arti aster merah itu cinta abadi, bukan untuk orang sakit."

"Oh ... maaf saya enggak tau artinya."

"Gapapa, bunganya juga udah layu sekarang."

" .... "

Suara ketikan di laptop Pak Wis memenuhi ruangan. Pak Wis kembali sibuk bekerja, sudah tidak lagi menatap Rayyan atau bereaksi saat Rayyan mengucap permisi.

Pintu ditutup.

*

*

Sehari penuh, Rayyan tak bisa mengenyahkan percakapan singkat itu dari benaknya.

Tenggorokannya tercekat.

Rayyan meneguk air es dari dispenser sambil memejamkan mata.

Rayyan tak paham.

Masa lalu sudah jauh di belakang. Mengapa bisa Rayyan merasakan rasa-rasa seperti ini?

Apa yang dia harapkan dari Pak Wis, mantan yang sudah ia lupakan?

Rayyan punya banyak sekali mantan pada zaman sekolah, semua juga sudah dilupakan. Pak Wis tak ada bedanya dengan mereka semua.

Mestinya Rayyan bersyukur Shouki Wisanggeni sudah melupakan masa lalu, sebagaimana ia ingin melupakan masa lalu mereka.

"Deal. Aku juga udah lama move on dan udah buka lembaran baru. Apa pun yang terjadi di antara kita cuma kenangan yang enggak perlu dibahas lagi."

Lalu, kenapa Rayyan merasa nyeri di dada saat mendengar itu?

Hh ....

Lucu. Dari dulu Rayyan tak pernah sekali pun memikirkan masa depan bersama seseorang, apalagi memikirkan pernikahan. Dekat dengan seseorang hanya untuk kesenangan sementara, tidak menetap. Tiba-tiba sekarang Rayyan berharap ada seseorang di sisinya.

Seseorang yang berjanji tak mau meninggalkannya, seperti Shouki dulu. Seseorang yang mau memberikan rumah, tempat untuk berpulang, karena Rayyan sudah lama tidak punya rumah. Rayyan sudah lupa rasanya "pulang ke rumah".

Terkadang saat memejamkan mata Rayyan iseng membayangkan ia rebah di ranjang dengan selimut dan seprai warna favoritnya. Dengan gitar akustik elektrik dan amplifier di sudut ruangan yang bisa dimainkan sekeras apa pun. Dengan lemari berisi rak-rak penuh koleksi dasi digulung bulat. Dengan uang yang tak pernah habis di ATM. Dengan Bi Minah yang mengetuk pintu, menawarinya sepiring spageti atau pempek berkulit garing. Dengan seseorang berkulit cokelat yang tersenyum tulus di ranjangnya. Seperti dulu lagi.

Sesuatu yang sudah pernah ia miliki tak akan bisa kembali lagi.

....

....

Hari ini Rayyan janji bertemu Kanaka. Perempuan yang sangat baik, yang sangat tepat untuk lelaki sebaik Shouki Wisanggeni. Perempuan baik pasti bertemu dengan lelaki baik. Ini hukum semesta tarik-menarik, siapa pun yang satu frekuensi pasti bertemu. Pak Wis beruntung, Kanaka beruntung. Rayyan berharap suatu hari ia bisa berada pada frekuensi yang sama tinggi dan menemukan rumahnya sendiri.

Kanaka menunggu Rayyan di restoran fancy di salah satu mall elite daerah SCBD. Rayyan pergi ke sana bingung harus memarkir motor di mana. Pada akhirnya ia berjalan kaki saja.

Restoran agak sepi saat Rayyan datang. Meski begitu, Kanaka tetap memilih duduk di kursi terpojok, terlindungi sekat yang membuat tak satu pun orang bisa melihat dirinya atau menguping pembicaraan. Terkadang menjadi influencer media sosial terkenal, walau tidak lebih terkenal dari artis, tidak senyaman menjadi orang biasa-biasa saja.

Outfit Kanaka hari ini tunik hitam putih, topi bucket hitam, dan hijab hitam. Kok, seperti berkabung? Mungkin perasaan Rayyan saja. Setidaknya senyum Kanaka sangat cerah saat menyambut Rayyan.

"Duduk, Mas. Pesen makan, ya." Kanaka menyodorkan buku menu yang sangat besar, sangat estetis.

Rayyan sudah lama tidak merasakan kemewahan, agak panik melihat harga bintang lima dalam buku menu itu. Ia memilih terlalu lama.

"Saya yang traktir, lho, Mas." Kanaka terkekeh. "Mas Rayyan suka makan apa?"

Rayyan ingin menjawab steik, tetapi itu belasan tahun lalu. Akhirnya dia pesan nasi goreng sei sapi saja. Minumnya jus alpukat.

"Jus alpukat? Mirip Mas Wis, suka jus alpukat juga," kata Kanaka, tersenyum.

Rayyan agak cekat-cekit aneh di dadanya setiap kali mendengar nama "Wis". Dia menghela napas.

"Jadi ...? Mbak Kanaka mau ngobrol soal apa, nih? Sampai ajak saya makan ke resto mewah gini." tanya Rayyan ramah. "Saya bisa jadi pendengar yang baik."

"Oke, Mas, yang pertama aku mau ngundang Mas Rayyan ke acara ulang tahunku di rumah. Dirayain kecil-kecilan aja sama teman dekat dan keluarga. Acaranya tiga minggu lagi. Nanti aku japri alamat dan lainnya, ya."

"Wah, suatu kehormatan saya bisa hadir, Mbak. Kalau butuh bantuan tenaga laki-laki, boleh saya bantu-bantu prepare acara, buat masang panggung, angkat meja, bersih-bersih—"

"Mas! Mas itu tamu undangan ultah. Jangan bikin saya marah, deh." Kanaka tertawa. "Mas dateng, dandan cakep, makan cakep, duduk cakep. Oke? Enggak perlu bawa kado, ya! Yang penting doanya aja. He he."

"Oke, Mbak. Saya pasti datang." Rayyan berhenti sejenak, berpikir dia harus menyewa baju nantinya karena tak punya pakaian yang layak. " ... Terus?"

Kanaka menegakkan punggungnya. Rautnya serius. "Terus ... yang kedua ... aku mau minta maaf dulu ke Mas Rayyan."

"Minta maaf soal?"

"Soal ... aku yang udah baca banyak artikel yang bahas masa lalunya Mas Rayyan. Semuanya udah di-take down sama timku, tenang aja."

Rayyan mengangguk. "Gapapa, Mbak. Saya apa adanya aja seperti ini. Maaf kalau Mbak kurang nyaman."

"Enggak sama sekali. Enggak ada yang salah dari masa lalu Mas Rayyan. Aku turut berduka untuk semua terjadi dalam hidup Mas. Aku harap Mas Rayyan punya kehidupan yang jauh lebih layak sekarang."

"Amin. Kisah saya kayaknya bisa dibukukan." Rayyan bercanda.

Kanaka tekekeh. "Sebenarnya aku seneng tau Mas Rayyan ini ... ternyata pernah satu sekolah sama Mas Wis. Aku penasaran soal sesuatu, pengin tanya, kalau Mas Rayyan berkenan jawab."

Rayyan bersiap. "Ya ...?"

"Apa Mas Rayyan tau siapa mantannya Mas Wis?"

Bibir Rayyan membentuk segaris tipis. Rayyan bergeleng. "Saya kurang tau, Mbak."

"Aku tau masa lalu udah selesai, tapi aku cuma penasaran. Siapa sebenarnya perempuan yang pernah jahat banget sama Mas Wis. Kerja jadi influencer kayak gini bikin aku ketemu banyak orang. Maybe someday aku bisa ketemu perempuan ini. Aku bukannya mau ngedamprat dia apa gimana, aku cuma mau tanya. Bingung aja kenapa dia bisa sejahat itu sama Mas Wis, padahal Mas Wis udah setia dan ngasih segalanya buat perempuan itu."

"Boleh tau siapa nama perempuan ini, Mbak? Seingat saya Pak Wis itu populer di sekolah. Mantannya pasti ada banyak, kan?"

"Mas Wis enggak mau ngasih tau nama perempuan ini. Makanya aku juga enggak bisa ngelacak dia." Kanaka bergeleng. "Kalau dari pengakuan Mas Wis, mantannya cuma satu. Mereka pacaran waktu Mas Wis kelas satu SMA."

"Mantannya cuma satu?"

Kanaka mengangguk. "Sebelum sama aku, Mas Wis itu cuma pacaran sama satu orang, sama perempuan ini. Dia cinta pertama Mas Wis."

Rayyan diam.

"Perempuan ini ninggalin Mas Wis tanpa alasan. Mas Wis pernah depresi gara-gara dia. Rentetannya panjang. Enggak lama setelah dia pergi, Mas Wis juga kena pem-bully-an parah di sekolah, sampai dua kali masuk rumah sakit. Mas Wis keluar dari klub basket karena asmanya makin sering kambuh, ditambah di-bully parah oleh anak klubnya. Mas Wis terpaksa mengakhiri mimpi-mimpinya jadi atlet basket."

Rayyan mengeratkan tangan pada buku menu yang masih dipegangnya. "Di-bully gimana, Mbak?"

"Iya, Mas, kayaknya kakak kelas Mas Wis ada yang dendam. Aku enggak tau, yang pasti masih ada hubungannya sama perempuan itu. Intinya, pem-bully-annya parah, hampir setiap hari Mas Wis dipukul atau ditendang. Saking seringnya di-bully, asmanya sering kambuh, dia jadi enggak bisa fokus main basket lagi, dilarang dokter. Lebih parah lagi, guru-guru enggak ada yang nolong. Pihak sekolah bilang itu cuma bercandaan biasa, enggak ada bukti karena mereka enggak melihat langsung. Aku juga enggak paham, Mas Rayyan, tapi di SMA itu banyak anak pejabatnya, ya? Yang bisa seenaknya bayar pake uang buat tutup mulut."

Selagi Kanaka bercerita, Rayyan memejamkan mata seakan bisa melihat sosok Shouki Wisanggeni masa SMA. Ia bayangkan Shouki berjalan di koridor dan seorang kakak kelas menubruk pundaknya sengaja, lalu menyelengkat kakinya hingga jatuh cukup kencang. Shouki masuk loker tim basket menyapa ramah semua orang, tak ada yang menggubrisnya. Shouki berdiri di trotoar menunggu angkot, diserempet dengan sengaja oleh motor mereka. Shouki diseret ke belakang gedung olahraga, ramai-ramai dipukuli dan ditendang, saat jam pulang sekolah.

Semua terjadi tak lama setelah Rayyan dikeluarkan dari sekolah.

Mereka sebelumnya hanya pura-pura minta maaf karena ancaman Rayyan, tetapi setelah Rayyan pergi, kembali mereka melampiaskan emosi pada Shouki.

Rayyan sudah tak ada ketika Shouki mengalami semuanya.

Rayyan tak bisa melindunginya.

....

"Untungnya Mas Wis bisa bangkit, ngelawan para pem-bully itu sendirian, tapi itu setelah Mas Wis kehilangan semuanya. Kehilangan mantannya, kehilangan mimpinya. Mas Wis bilang masa SMA adalah masa-masa paling berat buat dia. Kalau bisa, dia enggak mau ingat-ingat lagi. Aku enggak tau apa Mas Rayyan ada di sekolah saat itu. Kalau Mas Rayyan ada ... aku pikir seharusnya Mas Rayyan tau banyak soal perundungan Mas Wis di sekolah."

" .... Kalau denger dari cerita Mbak, kayaknya saya udah enggak ada di sekolah waktu itu, Mbak, saya udah dikeluarin dari sekolah."

"Ya Allah, maaf, Mas, aku malah jadi ngungkit masa lalu Mas Rayyan yang enggak enak."

"Iya gapapa, Mbak. Toh, udah lewat juga semuanya. Makasih karena saya juga jadi tau alasan kenapa Pak Wis sekarang jadi orang yang keras dan agak temperamen ... dan juga alasan Pak Wis berhenti main basket."

Kanaka menarik napas singkat. "Ya, Mas. Pem-bully-an memang enggak bisa disepelein, enggak boleh dibiarin. Mas Rayyan tau Mas Wis suka basket?"

"Saya sering—ya, lumayan sering nonton Pak Wis main basket dulu, dari pinggir lapangan."

"Nah, si mantannya juga sering nonton di pinggir lapangan, di bawah pohon sambil main gitar. Kayaknya dia perempuan tomboi, ya, Mas?" Kanaka nyengir. "Jangan-jangan duduknya sebelahan sama Mas Rayyan lagi."

Senyum Rayyan getir. "Mungkin."

"Mas Rayyan tau kenapa Mas Wis trauma sama dasi?"

"Enggak, Mbak ...."

"Trauma dasi itu juga katanya berhubungan sama mantannya juga. Aku enggak berani ngorek Mas Wis lebih jauh ... nyembuhin traumanya enggak mudah. Aku cuma bisa nyaranin dia pergi ke psikolog."

Hening sebentar. Pramusaji baru saja mengantarkan jus alpukat untuk Rayyan dan teh poci untuk Kanaka.

Kanaka diam sebentar, membelai ukiran bunga pada keramik teko teh poci. Matanya agak berkaca.

"Kadang ... aku mikir sekalipun aku enggak bisa sama Mas Wis, gapapa juga ... asalkan dia bahagia."

"Kok, Mbak Kanaka ngomongnya gitu? Mbak dan Pak Wis bentar lagi mau nikah," Rayyan menyela.

"Iya ... aku salah ngomong gini, ya? Maaf." Kanaka tersenyum lembut, pelupuk matanya menurun. "Untuk bisa jalan sama Mas Wis itu enggak mudah. Mas Wis butuh waktu lama banget buat bisa ngelupain mantannya itu. Beliau tipe orang yang sangat setia, Mas. Sekali jatuh hati sama satu orang, bakal susah move on. Aku ketemu Mas Wis waktu kuliah, butuh proses lama banget kita bisa jadian. Pak Arian yang jadi saksinya. Dan ... mungkin Mas Rayyan denger selentingan di luar sana soal keluarga, restu orang tua?" Kanaka mendengus sedih. "Begitulah, Mas."

Ya, Rayyan pernah mendengarnya beberapa kali dari Mbak-Mbak di kantor Wisindo sedang bergosip, termasuk dari karyawan kantor Kanaka.

Soal Ayah Kanaka, Pak Darmawan, yang sepertinya masih sulit menerima Pak Wis jadi menantu, meski Kanaka sudah bertunangan dengannya. Rayyan pikir semua itu cuma gosip.

"Jadi ... sebelum aku nikah sama Mas Wis, aku pengin bisa bantu Mas Wis sembuh dari traumanya. Kalau perempuan itu penyebab traumanya, ya aku akan bantu selesaikan. Entah gimana caranya. Mungkin Mas Wis perlu ketemu satu kali lagi dengan cinta pertamanya itu. Bicara dari hati ke hati. Saling memaafkan, terus—"

"Mbak ...."

"Ya, Mas? Maaf aku ngomong terus. Minum dulu, Mas—"

"Mbak tenang aja, saya yakin seratus persen Pak Wis udah move on juga dari mantannya itu."

Kanaka mengerjap. "Kenapa Mas yakin?"

"Saya ...," Rayyan memejamkan mata, "sempat ngobrol sama Pak Wis pagi ini. Pak Wis bilang dia sangat menunggu momen akhirnya bisa nikah sama Mbak Kanaka."

Kanaka tertawa. "Tunggu, tunggu—Mas Rayyan dan Mas Wis kenapa ngomongin itu?"

"Hmm, enggak tau, ya, Mbak? Teh bikinan saya bikin Pak Wis relax mungkin? Jadi ngomong agak random, tapi begitulah, Mbak. Dari sorot mata Pak Wis keliatan kalau Pak Wis cinta sama Mbak, udah lupain siapa pun orang di masa lalunya."

"Aku tau Mas Wis memang udah enggak mikirin masa lalu lagi, cuma traumanya masih terbawa, Mas. Kayak ada unfinished relationship dari masa lalu yang menyebabkan luka batinnya. Itu yang ingin kusembuhkan." Kanaka menghela napas, mengangkat lembut teko keramik teh poci. "Apa yang aku ceritain barusan ... rahasia kita berdua aja, ya, Mas Rayyan. Aku percaya Mas Rayyan."

"Saya akan jaga rahasia ini, Mbak. Pak Wis itu bos yang saya hormati ... dan teman semasa SMA. Tapi kenapa Mbak Kanaka cerita semua ini ke saya? Mbak percaya saya?"

"Karena Mas Rayyan satu-satunya yang aku kenal ada di masa SMA Mas Wis. Perasaanku kuat. Kalau cerita ke Mas Rayyan, mungkin ada jalan keluar."

"Maaf saya enggak bisa bantu apa-apa, Mbak."

"Mas Rayyan mau dengerin aku cerita aja udah lebih dari membantu. Makasih, Mas. Oh ya, Mas, teh poci di sini enak, lho. Kita minum berdua, yuk."

Rayyan mengangguk tersenyum, menerima secangkir teh poci dari tangan Kanaka, dan memasukkan beberapa butir gula batu ke dalam cangkir cokelat itu. Rayyan melamun sambil mengaduk gula batu.

Kanaka meletakkan cangkir tehnya dengan elegan di meja, lalu menggulir layar iPhone-nya. "Oh, Mas Wis bentar lagi mau ke sini, nih."

Rayyan hampir tersedak saat minum. "Pak Wis mau ke sini—?"

"Iya. Gapapa, kan? Mas Wis tau aku di sini sama Mas Rayyan, kok. Aku bilangnya ngomongin kerjaan."

"Saya pulang aja, Mbak. Enggak enak ganggu." Suara Rayyan agak memelas, sebenarnya.

"Yah, padahal gapapa, lho. Mas Rayyan udah kuanggep temanku."

"Saya juga ada janji sama Pak Arian sore ini, Pak Arian minta tolong saya di kantor." Maaf, bohong lagi.

"Oh—oke, Mas. Tapi makan dulu, ya? Kalau buru-buru di-take away aja makanannya Mas Rayyan."

"Iya, buru-buru, Mbak."

"Oke aku panggilin waiter buat take away—"

Demikian. Pembicaraan tentang Pak Wis berakhir di situ.

Selagi menunggu pelayan restoran membungkus makanan Rayyan, Kanaka membicarakan akun media sosial Rayyan dan apa rencana mereka ke depannya.

Kanaka siap bantu jika Rayyan ingin mengelola akunnya. Berita negatif dan pesan kebencian sudah diamankan. Selagi followers-nya masih terus bertumbuh, Rayyan bisa memanfaatkan momen. Namun, Kanaka juga membebaskan Rayyan untuk mundur sementara sebagai model brand-nya, sampai Rayyan siap, sampai keviralannya mereda. Kanaka mau mendukung apa pun keputusan Rayyan.

Rayyan bilang ingin memikirkannya dulu malam ini.

Setelah pelayan mengantarkan makanan Rayyan yang sudah dibungkus dalam tas karton, Rayyan pamit pulang. Langsung aja ngacir keluar dari restoran, secepatnya sebelum Pak Wis datang.

Kurang dari satu menit setelah Rayyan keluar dari restoran, Pak Wis datang. Sang CEO berjalan gagah dari kejauhan menuju restoran.

Rayyan nyaris berpapasan jalan dengan pria itu. Refleks Rayyan mengangkat kantong makanan, menutupi mukanya.

Agak aneh kenapa dia harus melakukan itu, padahal Pak Wis sudah tahu Rayyan ada di restoran. Bertemu dengannya bukan masalah.

Entahlah.

Rayyan cuma tak ingin bertemu Pak Wis dulu sementara. Jangan dulu.

Jantungnya kurang aman kalau harus berhadapan dengan pria itu. Bukannya kabur. Izinkan ia undur diri sebentar saja.

....

Rayyan menoleh.

Pak Wis baru saja masuk restoran. Kanaka sudah berpindah ke meja lain, dekat dengan pintu masuk agar Pak Wis mudah menemukannya. Rayyan jadi bisa melihat mereka bertemu, berduaan pada meja yang sama.

Pak Wis duduk di samping Kanaka, mendengarkan gadis itu bercerita sesuatu. Pak Wis senyum, lalu tertawa saat mendengarkan yang lucu. Itu senyum yang paling tulus. Tawa yang juga sangat tulus.

Rayyan pernah melihat senyum dan tawa itu diperlihatkan oleh Shouki Al Zaidan Wisanggeni saat mereka bersama dulu. Saat main gitar berdua, makan bakso berdua, rebah di ranjang berdua, menikmati makan siang buatan Bi Minah berdua, minum dari mug bebek dan kucing bersama.

Rayyan ingat. Rayyan yang paling tahu. Shouki hanya memperlihatkan senyum dan tawa itu kepada seseorang yang tulus ia cintai.

Shouki benar-benar serius mencintai Kanaka.

Rayyan senyum.

Rayyan pergi meninggalkan mereka.

....

Sepanjang perjalanan dengan motor, Rayyan diam. Pemandangan sore di Jakarta penuh dengan kemacetan dan polusi yang bergulung mencemari isi otakmu. Mobil dan motor berimpitan tampak seperti mosaik di mata Rayyan. Rayyan tenggelam dalam momen autis itu selama beberapa saat, sampai akhirnya tiba di kantor. Para karyawan sudah pulang. Pak Arian juga sudah pulang. Mang Tito sedang izin. Kantor benar-benar kosong.

Rayyan mencuci muka, mengganti bajunya dengan kutang lusuh, lalu pergi ke kamarnya di lantai atas. Kamar bekas gudang ini memang sedikit berbau debu, tetapi sangat nyaman, dengan kipas angin yang memberikan sedikit angin sejuk. Rayyan duduk di tepi ranjang dan tertunduk, mengusap mukanya.

Sebuah gitar tergeletak di sudut kamarnya. Gitarnya Mang Tito yang Rayyan pinjam beberapa waktu lalu. Diambilnya gitar itu, duduk, dan dimainkannya. Jarinya tidak selentik dulu, nada-nada yang dipetiknya fals, tetapi Rayyan berusaha mengingat rasa senang yang ditimbulkan ketika bisa main gitar.

Rayyan memulai intro lagu Hoobastank yang berjudul "The Reason". Dalam petikan itu ia melepaskan sepi, melepaskan emosi,—

—melepaskan Shouki Wisanggeni.

I'm not a perfect person

There's many things I wish I didn't do

But I continue learning

I never meant to do those things to you

...

I'm sorry that I hurt you

It's something I must live with everyday

And all the pain I put you through

I've found a reason for me

To change who I used to be

A reason to start over new

And the reason is you

....

Rayyan mengembuskan napas perlahan, lalu berdiri tiba-tiba dengan gerakan cepat. Gitarnya terjatuh ke ranjang, membuat senar-senarnya bergetar dengan bunyi dooeenggg rendah.

Rayyan mengenakan seragam OB-nya, lalu mengambil iPhone dari dalam tas, ia nyalakan. Ribuan notifikasi langsung masuk dalam sekejap. Rayyan abaikan semua itu.

Rayyan membuka aplikasi Instagram.

Mas Ginting dan Kanaka sudah mengajarkan Rayyan cara untuk melakukan live di Instagram.

Rayyan menggulir aplikasi tersebut dan menemukan tombol "Siaran Langsung".

Rayyan duduk. iPhone ia sandarkan pada dinding di meja.

Wajahnya langsung tampak di layar ponsel itu. Wajah dan rambut yang masih agak basah setelah cuci muka tadi. Mata yang agak merah. Ia hadir dalam balutan seragam OB. Tidak ditutup-tutupi. Tidak ada setting-an. Tidak ada pura-pura.

Jumlah akun yang menonton siaran langsung Rayyan mencapai ribuan dalam waktu singkat.

Semua orang menunggunya tampil.

Semua menjerit di kolom chat.


AKHIRNYA NONGOL!

KLARIFIKASI KAK!

SIAPA KAKAK SEBENARNYA?

SI RAYYAN OB BENERAN??

KAKAK PERNAH BUNUH ORANG?

KAKAK ANAK DIRUT YANG LARIIN UANG NASABAH CEUNAH?

INI BENER RAYYAN ANAK SMA XX???

GAK USAH SOK MISTERIUS!

VIDEO-VIDEO NEGATIF TENTANG LU PADA ILANG WOII. KONSPIRASI SEMUA!

OB MAKSUDNYA OPEN BO KAN?


Rayyan tersenyum melihat seruan-seruan komentar itu.

Rayyan berhenti melihat semua komentar itu, lalu menatap kamera secara tajam.

"Selamat sore, Teman-Teman.

Perkenalkan sekali lagi, nama saya Rayyan Nareswara.

Pertama kali saya muncul, saya ada di video Mbak Kanaka. Saya memang dibayar untuk jadi model koleksi terbaru dari KaJa Design.

Apa saya model freelance?

Bukan. Teman-Teman bisa lihat sendiri pakaian yang saya pakai. Saya ini memang office boy. Dan jadi OB memang kerjaan utama saya.

Biar OB dipandang rendah, saya sama sekali enggak malu dengan pekerjaan saya.

Apa saya pernah pernah dikeluarin dari sekolah?

Apa bapak saya pernah masuk penjara?

Jawabannya iya. Saya memang punya masa lalu enggak enak.

Jadi kalau hari ini saya viral, terus besok enggak ada lagi yang ingat nama saya, ya saya ikhlas aja. Saya udah pernah ngerasain gimana rasanya ada di atas, lalu dalam sekejap jatuh ke jurang tergelap, terdalam.

Saya pernah ngerasain gimana jadi anak yang serba-berkecukupan, tapi dalam waktu singkat, harta benda disita, jatuh miskin enggak tau mau tidur di mana, dikeluarin dari sekolah, ATM kosong, ditinggal mati orang tua.

Semua itu bagian dari masa lalu saya. Masa lalu yang tadinya rasanya sakit sekali, tapi sekarang saya belajar menerima.

Seperti yang tadi saya bilang, saya enggak malu ngaku di depan Teman-Teman. Saya pernah jadi kuli bangunan, tukang galon, buruh angkat barang, kuli pelabuhan, hampir semua pekerjaan kasar saya jalani.

Tapi saya bangga dengan kehidupan saya sekarang.

Saya bersyukur bisa kerja di kantor, jadi OB, enggak perlu pakai dasi kayak bos-bos besar.

Yang penting kerjaannya halal.

Dan banyak orang yang terbantu dari semua pekerjaan yang saya lakukan."

Rayyan tersenyum menatap kamera.

"Kalau Teman-Teman masih berkenan mengikuti saya di akun ini, Instagram dan TikTok, silakan.

Saya mungkin akan mulai bikin konten kecil-kecilan seputar kegiatan sehari-hari saya.

Mungkin saya bakal bikin video kegiatan OB saya sehari-hari. Sesekali saya jadi modelnya Mbak Kana. Sesekali saya nyanyi joget-joget atau mungkin main gitar?"

Rayyan terkekeh.

"Saya rasa itu aja yang bisa saya sampaikan di live Instagram ini.

.... Ini gimana cara matiin live-nya. Oh, pencet yang ini, ya?

Sampai jumpa lagi, Teman-Teman.

Tetap waras, ya."

Rayyan mematikan siaran langsung.





BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 49.7K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
56.6K 3.5K 28
Ketika penculikmu adalah cintamu. Cerita bertema gay
329K 23.8K 72
Bercerita tentang percintaan seorang pria ber-usia 47 tahun dengan seorang pelajar ber-usia 17 tahun. Cerita ini ditulis berdasarkan imajinasi penuli...
150K 4.4K 6
"Kamu bertunangan dengannya mulai saat ini" Kalimat itu seakan menjadi petir tersendiri bagi pemuda bernama Lylo, anak kedua dari keluarga Tritas. Ya...