Tampan Berdasi (MxM)

By DaddyRayyan

82.8K 9.1K 4.6K

Orang yang paling kamu hindari sejak zaman sekolah adalah bosmu di kantor. Orang yang kamu benci semasa sekol... More

Pendahuluan + audio suara karakter
P r o l o g
Dasi 1
Dasi 2
Dasi 3
Dasi 4
Dasi 5
Dasi 6
Dasi 7
Dasi 8
Dasi 9
Dasi 10
Dasi 11
Dasi 12
Dasi 13
Dasi 14
Dasi 16
Dasi 17
Dasi 18
Dasi 19
Dasi 20
Dasi 21
Dasi 22
Dasi 23
Dasi 24
Dasi 25
Dasi 26
Dasi 27
Dasi 28
Dasi 29
Dasi 30
Dasi 31
Dasi 32
Dasi 33
Dasi 34
Dasi 35

Dasi 15

1.7K 241 130
By DaddyRayyan

Selamat malam mingguan~

TAMPAN BERDASI update setiap hari Sabtu dan hari Minggu!

Alur kembali ke present time, masa ketika Rayyan sudah usia 30 tahun, kerja sebagai OB di kantor Pak Wis (Shouki), melanjutkan adegan di chapter 8.




"Ya, pergi," kata Pak Wis. "Pergi aja kamu. Kamu selalu pergi, kan?"

" .... "

Sakitnya hidup membuat Rayyan, kamu, dan semua orang selalu berharap bisa pergi. Namun, ada masa ketika kamu harus berhenti melarikan diri dan menerima.

Maka dari itu, Rayyan memutuskan untuk tidak keluar ruangan. Ia berbalik untuk kembali menghadap pada Pak Wis yang sedang menoleh ke jendela dengan wajah merengut.

Rayyan menatap pada jendela yang sama. Di luar sana langit gelap, ada suara petir sedikit-sedikit, sebentar lagi mau hujan. Ada sesuatu dari pemandangan langit itu yang membuat sakit dada Rayyan. Kenangan masa lalu yang sudah ia kubur terlalu dalam, tetapi saat ini mencuat keluar tanpa bisa ditahan. Hampir seperti dejavu. Rayyan bisa melihat jendela dengan langit gelap dan sebuah ranjang. Seseorang rebah di ranjang itu–cowok berkulit cokelat yang sedang menatap ke arah jendela yang sama, seperti Pak Wis sekarang. Cowok itu adalah Pak Wis ketika masih SMA. Shouki Al Zaidan Wisanggeni.

Rayyan menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke arah Pak Wis. "Mbak Kanaka tadi minta saya nemenin Bapak. Apa saya boleh tetap di sini?"

Pak Wis diam, cuek.

Rayyan melihat sekeliling. Pada meja di depan sofa ada baki berisi sepiring nasi ikan salmon dan semangkuk sup jagung yang dibungkus plastik. Pak Wis sepertinya belum makan siang.

"Bapak belum makan? Boleh saya ambilkan?"

Pak Wis masih diam.

Rayyan berjalan ke meja dan mengambil baki tersebut. Ia bawa dan letakkan pada nakas di samping ranjang Pak Wis. "Ini makanannya, Pak," ujar Rayyan, tersenyum.

"Hm."

"Bapak mau saya bikinkan teh? Cuacanya gelap, bentar lagi hujan. Paling enak minum yang anget-anget, Pak."

"Kenapa jadi sok care kayak gini?" balas Pak Wis ketus.

"Apa enggak boleh? Saya ini OB Bapak, walau kita enggak lagi di kantor—"

Pak Wis mendengus, bergeleng. "Enggak perlu."

Rayyan sudah memutuskan untuk tetap bertahan, melakukan apa pun untuk menebus kesalahan. Setidaknya menebus kesalahan masa sekarang yang sudah jelas terlihat.

"Saya di sini, kalau Bapak butuh saya."

"Saya enggak butuh. Pulang," perintah Pak Wis. "Pulang sana."

Tarik napas, embus.

"Baik, Pak. Maaf sekali lagi kalau kehadiran saya mengganggu." Rayyan sedikit membungkuk, lalu kebetulan sekali saat ia berbalik, Kanaka kembali.

"Lho, Mas Rayyan kenapa enggak duduk?" tanya Kanaka. 

"Saya mau pulang dulu, Mbak. Saya kebetulan sudah ada janji dengan teman." Sebetulnya bohong.

"Oooh oke oke, besok siang mampir ke kantorku lagi, ya, Mas. Kita bikin konten sesuai briefing hari ini."

"Siap laksanakan, Mbak."

Sebelum keluar, Rayyan menoleh sekali lagi pada Pak Wis.

Pria itu sedang mengatur napasnya, buang muka, melihat jendela untuk menghindari tatapan Rayyan.

"Saya izin pulang, Pak Wis, Mbak Kanaka. Assalamualaikum."

Kanaka menjawab ramah, "Waalaikumsalam."

Rayyan pikir Pak Wis tidak sudi menjawab salam itu. Namun, sebelum Rayyan keluar, ia bisa menangkap pria itu menjawab dengan suara teramat kecil.

"Waalaikumsalam."

*

*

Memangnya ada OB yang bekerja merangkap sebagai model di luar sana?

Agak sulit dipikirkan dengan logika, tetapi beginilah pekerjaan Rayyan Nareswara usia tiga puluh. Masa SMA ia pikir akan menjadi CEO tampan berdasi, eh ternyata menjadi kuli, tukang galon, lalu OB merangkap model merangkap entah apa lagi. Tidak ada dasi, kecuali ia harus mengenakan pakaian berdasi selama pemotretan.

Rayyan menerima tawaran bekerja jadi model lepas dan kreator konten di kantor Kanaka. Pekerjaannya juga tidak setiap hari. Anggaplah freelance, pekerjaan sampingan di luar pekerjaan utama. Meski agak sedikit tidak enak karena Rayyan harus minta izin Pak Arian untuk bekerja setengah hari. Kanaka sendiri bersedia menyalurkan OB pengganti selama Rayyan tidak ada. Pak Arian tidak bisa protes sama sekali.

"Pak, saya udah kerjain semua tugas saya di kantor ... tinggal nanti antar minum ke ruang rapat. Maaf hari ini saya izin kerja sampai jam dua belas siang."

Pak Arian kesal. Kesalnya bukan pada Rayyan, melainkan pada Kanaka.

"Haduh, ini kalo bukan Kanaka yang minta, udah gue babat itu orang yang ambil Mas Rayyan," kata Pak Arian.

Mbak Dana, Mbak Alina, Mbak Sita, Mas Dicky, dan para karyawan di kantor Pak Wis juga jerit-jerit kecarian Rayyan. "Manaa OB ganteng kesayangan kita semua, Pak Ariaaaan!"

Pak Arian jadi makin kesal. "Gue yang capek-capek cari karyawan, Kanaka yang dapet. Pengin tak HIIIH!"

Rayyan cuma bisa cengar-cengir.

Dear Pak Arian yang baik, tenang saja karena Rayyan tetap bekerja secara penuh dari pagi buta hingga menjelang siang. Membereskan meja dan kursi karyawan, menyapu, mengepel seluruh koridor, menyeka kaca jendela dengan cairan sabun, mengganti galon dispenser di seluruh lantai, menyiapkan keperluan di ruang meeting, belanja kudapan dan menstok kopi, dan lain-lain–semua aman. Rayyan bahkan masih sempat bersantai di pantry, menata piring dan cangkir, lalu membersihkan lemari.

Rayyan membuka lemari pantry khusus milik Pak Wis, lalu terdiam.

Sejak awal bekerja di tempat ini, Rayyan selalu membuka lemari ini untuk membuatkan Pak Wis minum. Pak Wis suka dengan teh merek tertentu dan hanya mau minum dari mug tertentu.

Namun, siang ini Rayyan menahan napas agak lama melihat isi lemari tersebut.

Pak Wis memiliki dua mug. Satu bergambar bebek, satunya lagi bergambar kucing. Rayyan mengeluarkan kedua mug tersebut dan menjajarkannya di atas meja. Mug itu sebenarnya bukanlah mug mahal. Gambar pada keramik mugnya (terutama mug kucing) sudah pudar seolah mug itu dibuat sangat lama dan dipakai berulang.

Lihat baik-baik sekali lagi.

Kedua mug itu sangat mirip dengan mug yang Rayyan pernah punya di rumahnya yang dulu, sebelum rumahnya disita. Mirip dengan mug bebek miliknya, mug kucing milik Shouki.

"Shouki, mug kucing dan bebek ini aset kita berdua. Kamu bawa pulang aja. Amankan, jangan sampai ikut disita," kata Rayyan dengan nada bercanda.

Shouki menerima kedua mug itu dan berkata, "Siap, Kak. Akan aku jaga mug ini sampai kapan pun."

Rayyan menarik napas, menekan pelipisnya dengan jari, merasai ngilu aneh di ulu hati.

Mestinya Rayyan tidak lagi bisa merasakan rasa-rasa dari masa lalu.

Semua sudah berlalu, terkubur sangat jauh.

Namun, di samping rasa sakit yang ganjil, ada juga rasa senang yang lebih ganjil lagi.

Ada dorongan lebih besar daripada rasa sakit mengingat masa lalu.

Sesuatu membuat Rayyan berdegup. Sesuatu yang juga pernah hadir ketika Pak Wis lewat di depan ruang kerja, memujinya wangi secara tiba-tiba. Sesuatu yang hadir juga ketika pria itu menatapnya lembut, tanpa kebencian.

Rayyan membelai kedua mug tersebut dengan jari, dan merasakan sebagian gambar pada mugnya yang mengelupas, gambar bebek dengan bulu warna kuning pekat sekarang sudah berubah kuning muda, dan ujung ekor kucing sudah sompel mengelupas.

Rayyan membelai kedua mug itu sekali lagi sebelum keluar ruangan.

Tinggal satu jam sebelum waktu break Rayyan. Ia tinggal menyiapkan ruang meeting untuk tim marketing dengan vendor. Rayyan merapikan meja dan alat tulis, meletakkan beberapa botol kecil air mineral, dan membuatkan kopi. Saat pihak vendor datang, Rayyan mengetuk pintu masuk ruangan dan menyajikan kopi untuk karyawan di dalam ruangan.

"Makasih, Mas Rayyan," kata Mas Dicky, menyambut Rayyan yang datang meletakkan secangkir kopi di hadapannya.

"Untuk Mas Dicky gulanya sudah pakai gula diet," kata Rayyan dengan nada serendah bisikan.

Mas Dicky cekikikan senang. "OB ganteng dan terbaik sejagat!"

Ada lima orang di dalam ruang rapat kecil itu. Dua orang vendor yang datang merupakan karyawan senior dari perusahaan periklanan. Rayyan menangkap sekilas pembicaraan mereka. Vendor ini ternyata direkomendasikan oleh Kanaka.

Rayyan meletakkan kopi di hadapan seorang vendor. Pria ini sebagaimana pria kantoran di Jakarta. Penampilannya rapi, setelan kemeja garis-garis, dan parfum yang wanginya menyengat. Wajahnya sedikit tak asing, mungkin pernah muncul di televisi. Rayyan merasa kurang sopan jika memperhatikan terlalu jauh. Ia pun berjalan keluar ruangan.

Sampai tiba-tiba pria itu menyebut namanya.

"Rayyan ...? Lo Rayyan, kan?"

Rayyan menoleh, mengerutkan dahi. "Ya, Pak?"

Sang vendor menatapnya dengan dahi mengernyit, bergeleng tak percaya.

"Kenapa, Mas?" Mas Dicky menegur sang vendor.

"Ooh, enggak, enggak," jawab pria itu, masih bergeleng. "Saya kayak kenal sama Mas OB ini."

"Memang mukanya mirip artis siapa gitu," timpal Mas Dicky.

Sang vendor hanya tersenyum memperhatikan saat Rayyan permisi keluar ruangan. Senyum dan tatapan itu membuat Rayyan tak nyaman. Rasa tak nyamannya masih mengikuti meski ia sudah kembali ke pantry.

Beberapa menit kemudian, Rayyan tahu mengapa ia merasa tak nyaman.

Mas Vendor tadi keluar dari ruang meeting, izin ke toilet, tetapi sebenarnya ia mengikuti Rayyan hingga ke pantry. Di ambang pintu ruangan pantry, dia menatap Rayyan tanpa berkedip, seolah sedang meneliti hewan melata dalam terarium.

"Maaf, Mas? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rayyan sopan.

"Wow," pria itu berdecak. "Lo beneran Rayyan Nareswara. Sekarang lo jadi OB?"

"Maaf? Mas ini siapa?"

"Anj***, lo lupa sama gue?" Pria itu melangkah masuk pantry. "Kita dulu pernah satu SMA. Lo pernah hampir bunuh gue dulu di sekolah."

Rayyan diam.

Ah, ya, pantas saja pria ini punya wajah yang familier, meski Rayyan tak bisa mengingat jelas.

Dia Jefri.

Jefri tertawa mencaci. "Tuhan itu memang Maha Adil. Orang paling sok berkuasa di sekolah, orang yang pernah bikin gue hampir mati sekarang kerja jadi karyawan rendahan." Jefri bertepuk tangan pura-pura kagum. "Cocok banget lo kerja beginian, jadi OB, wow mantap."

Rayyan diam, menatap Jefri dengan mata tajam.

"Enggak usah kayak mau nonjok gitu tatapan lo, deh. Gue udah maafin elo, kok," Jefri tersenyum. "Meski gue enggak pernah lupa ..., tapi udah puas banget rasanya lihat hidup lo jatuh banget kayak gini. Ck, ck, kalau diinget-inget, rasanya kayak baru kemarin. Hidup lo berubah semudah membalikkan telapak tangan. Setiap kali gue sedih, terus gue inget kisah lo, gue jadi happy! Well deserved!"

Rayyan tersenyum tipis. "Kalau kisah tragis hidup orang lain bisa bikin Mas Jefri happy ... rasanya miris. Apa hidup Mas sesusah itu sampai-sampai harus bahagia dari lihat penderitaan orang lain?"

Mendengar sindiran itu, Jefri masa SMA mungkin akan mengamuk dan meninju Rayyan.

Jefri yang sekarang tidak mudah meledak, lebih suka tertawa sinis. Bagaimanapun status sosialnya lebih tinggi dari Rayyan. Walau belum jadi bos, dia sukses sebagai karyawan senior di perusahaannya. Dia tidak tidur di kolong jembatan dan harus membagi sepiring mi instan jadi tiga porsi kecil untuk tiga kali makan seperti Rayyan.

"Udahlah, Rayyan, terima aja. Memang begini nasib anak perampok duit nasabah, paling tinggi cuma bisa jadi office boy. Elo dulu pernah sok-sok-an ngebelain korban bully di sekolah, padahal lo tukang bully yang sebenarnya. Lo nge-bully anak-anak satu sekolah dengan attitude sok kuasa dan titel cowok tertajir dan ter-ter itu. Lihatlah balasannya sekarang."

Rayyan diam.

"Oh by the way, bos di kantor ini mantan lo di SMA, kan?! Ngakak banget lo dijadiin OB-nya, padahal dulu lo belain dia segitunya! Eh, tapi gue enggak ada masalah sama bos lo lagi, ya. Kita udah damai. Namanya juga kenakalan remaja yang dulu itu. Gue dan Pak Wis, atau Shouki, udah kerja sama secara profesional sekarang—"

Beginilah kebanyakan dari karakter pem-bully. Kalau pada masa depan mereka kalah kaya dan sukses dibandingkan orang yang pernah mereka bully, mereka akan memilih jadi penjilat. Mudah sekali mereka berkata: Duh, kita lupain aja masa sekolah dulu, ya? Namanya juga masih anak-anak. Bully yang dulu cuma bercanda, Bos! Jangan baper!

"—Tapi sama lo, Rayyan Nareswara, gue enggak bakal pernah lupain waktu lo mau bunuh gue di sekolah."

"Iya, saya juga enggak lupa soal itu," balas Rayyan kalem. "You deserved it."

Sebentar Jefri masih tersenyum, lalu tiba-tiba Jefri menendang tempat sampah dapur sampai isinya tumpah keluar. Suara tempat sampah logam itu menggema saat membentur lemari dapur yang baru saja Rayyan lap sejam lalu.

"Kalau ini bukan di kantor orang dan gue lagi kerja, udah habis lo. Coba lo bikinin gue teh sekarang. Gue enggak suka kopi." Jefri duduk di kursi makan pantry, ongkang kaki. "Kopi yang lo kasih di ruang meeting tadi gue buang. Kita sama-sama kerja, deh. Lo kerjain tugas lo sebagai OB layanin gue, tamu lo. Ayo, cepetan—"

"Woah, woah, ada apa ini ya, Mas?" Pak Arian menghambur masuk ke ruang pantry. "Mas berani sekali enggak sopan ke karyawan kami."

Jefri sontak turun dari kursi dan menghadap Pak Arian, sebagaimana vendor berhadapan dengan klien.

"Mau kita batalin aja kerja sama kita, hah?" kata Pak Arian lagi.

Jefri tersenyum sok akrab pada Pak Arian. "Oh, sori, Bro. Agak emosi aja sama karyawan OB di sini. Dia enggak sopan sama saya tadi. Mungkin karena dia mantannya bos di sini, ya? Yaudahlah, saya permisi dulu balik ke ruang meeting."

"Maaf juga ya, BRO. Kami enggak mungkin hire karyawan yang enggak punya sopan santun. Kerja Mas Rayyan ini sangat baik tiap harinya. Saya lebih percaya kalau BRO ini yang enggak punya sopan santun. Anda cuma vendor di sini, belum tentu akan kami pakai juga."

Waduh, Pak Arian. Rayyan sampai telan ludah. Kepala HRD yang biasanya bernada santai itu bisa marah dan melabrak tamu.

Jefri tahu diri posisinya memang vendor dan seharusnya merajakan klien. Dia tak mau cari masalah dengan Pak Wis lagi. Dia juga tak mau berurusan dengan Pak Arian, meski bukan Pak Arian yang menetapkan keputusan soal kerja sama.

"Oke, oke, maafin saya udah mengganggu di sini. Damai, ya?" Jefri menempelkan kedua telapak tangannya. "Saya izin undur diri dulu, balik ke ruang meeting."

"Tak pantau sampeyan ya, Mas!" Pak Arian medoknya kumat kalau sudah kesal. Sekarang Pak Arian berhadapan dengan Rayyan. "Oke, jadi ...."

"Ya, Pak?"

Rayyan tahu. Sudah pasti Pak Arian ingin mempertanyakan statement Jefri barusan. Rayyan nyaris bersiap dicaci oleh Pak Arian dengan gaya bahasa Jawa yang medok.

Namun, Pak Arian malah terkekeh. "Oke, oke, gue enggak kaget kalo Mas Rayyan ini ternyata mantan terindah, ya."

Rayyan tak harus bicara apa.

"So? Mas Rayyan ini yang mutusin, ya? Masuk akal kalo dia sampai dendam kesurupan gitu."

Rayyan jawab, "Apa pun yang terjadi itu udah masa lalu, Pak. Dan saya sudah move on dari masa lalu. Jujur, saya enggak pernah nyangka Beliau akan jadi bos saya."

"Enggak menjawab, Mas. Tolong dijawab, dong, Mas yang mutusin?" Pak Arian kekeuh.

Rayyan juga kekeuh. "Masa lalu biar di belakang, Pak, lagian Beliau juga sudah bertunangan. Saya enggak mau ganggu hubungan mereka. Saya di sini cuma mau kerja jadi OB. Apa itu penting siapa yang mutusin?"

"Penting, Mas! Jadi selanjutnya bisa gue ceng-in itu orang." Pak Arian ketawa. "Bercanda. Oke, yang udah lewat biarlah lewat. Satu lagi yang mau gue tanya, Mas Rayyan gapapa lanjut kerja di sini? Ada cenat-cenut di dada enggak kalo liat mantan?"

Rayyan senyum, melirik ke arah mug kucing dan mug bebek di atas meja. "Akhir-akhir ini mungkin agak cenat-cenut."

Karena masa lalu yang dikubur rapat ini mulai terangkat, seperti mayat bangkit dari kubur.

"Pak Arian tau sejak kapan mug-mug ini ada di sini? Apa Pak Wis yang beli?" tanya Rayyan.

"Hmm sejak awal gue kenal dia, mug ini udah ada, sih."

"Apa Beliau pake mug ini bergantian atau pake salah satunya aja?"

"Dia cuma pake yang kucing. Yang bebek selalu dia simpen, kayak berharga banget. Gue sampe bingung, ngapain bawa mug ke kantor, tapi enggak dipake?"

Setelah Pak Arian pergi, Rayyan memandangi kedua mug tersebut dan tanpa sadar tersenyum. Dengan hati-hati, kedua mug ia bungkus dengan serbet, lalu ia masukkan ke dalam tasnya. Rayyan juga memasukkan sekotak teh merek Gunung Satria kesukaan Pak Wis.

Rayyan mau menjenguk Pak Wis lagi di rumah sakit hari ini, sepulangnya dari kantor Kanaka.

Biarlah pria itu mengusirnya, setidaknya ia mencoba, tidak pergi lagi dan menyerah.

Saat Rayyan mengendarai motor menuju kantor Kanaka, wanita itu meneleponnya. Rayyan diminta untuk belanja satu dus botol air mineral dan mengantarkannya ke kamar Pak Wis.

Ah, kebetulan sekali.

Rayyan merasakan lagi gebu rasa semangat di jantungnya, terutama ketika ia melewati toko bunga dan mampir ke sana. Rayyan mencari bunga aster. Nama bunga itu terngiang di benaknya saat ia mencari bunga yang tepat untuk menjenguk orang sakit. Yang Rayyan tidak tahu, sepertinya setiap bunga dengan warna tertentu akan memiliki makna berbeda. Rayyan refleks memilih setangkai aster merah untuk ia beli.

Setibanya di rumah sakit, Rayyan diizinkan oleh suster untuk masuk ke kamar Pak Wis.

Diketuknya pintu secara lembut. Tak ada jawaban.

Di atas ranjangnya, mata terpejam, Pak Wis ternyata sedang tidur.

....

Rayyan melangkah berhati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Ia letakkan satu dus air mineral di bawah televisi, lalu mengeluarkan teh dan mug-mug Pak Wis dari dalam tasnya.

Rayyan membuat teh kesukaan Pak Wis—merek Gunung Satria dengan takaran gula dan air yang panasnya pas. Wadah tehnya menggunakan mug kucing. Perlahan, hampir tanpa suara, ia letakkan teh tersebut di nakas sebelah ranjang Pak Wis.

Di samping mug kucing berisi teh, Rayyan meletakkan juga mug bebek. Pada mug bebek tersebut, Rayyan memasukkan setangkai aster merah.

Dilihatnya wajah tidur Pak Wis sekali lagi sebelum pergi.

"Saya minta maaf, Pak Wis. Apa pun yang pernah terjadi di antara kita, yang mungkin saya lupakan. Tapi saya ada di sini sekarang mau nebus semua kesalahan saya. Saya janji enggak akan pergi ... lagi."

Setelah membisikkan kata-kata itu, Rayyan keluar kamar. Pintu ditutup dengan suara terlembut yang seharusnya cuma bisa didengar oleh semut.

Namun, Pak Wis membuka matanya perlahan.



BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

8.8K 525 16
📌_'Gk ada sinopsis, penasaran? Silahkan baca'_ " gue cuma mo ngingetin klo ini cerita pertama gue jadi masih bau² cerita gk jelas dan masih banyak k...
3.4M 26.8K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.4M 36.8K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
56.6K 3.5K 28
Ketika penculikmu adalah cintamu. Cerita bertema gay