NATAREL (SELESAIโœ”๏ธ)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita๐Ÿ”ช Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

20 | Night Screams

60 34 7
By Park_sooyang

Terpilih menjadi petugas perpustakaan bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Karin tidak pernah menduga kalau dia menjadi salah satunya. Bu Agnes (Guru penjaga perpustakaan) memilihnya karena keseringan datang ke perpustakaan. Padahal kebiasaannya datang ke perpustakaan adalah, selain membaca buku, dia bisa sering menatap crush-nya dari jauh.

Yah, sebenarnya tidak setiap hari juga di sini. Hanya hari-hari saat Karin tidak ada jadwal bersama tim cheers dan jadwal basket main. Gadis itu juga sering bolak-balik meminjam buku untuk dilanjutkan membacanya di rumah.

Yang di tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tapi Karin belum menyadarinya waktu mata gadis itu sibuk bergantian membaca judul di jajaran rak komik. Baru saja jemarinya hendak meraih salah satu komik, jemari lain juga menyentuh komik itu hingga tangan keduanya bersentuhan. Kulit bertemu kulit. Lalu sejurus kemudian mata bertemu mata. Karin terlalu terperanjat untuk bereaksi, spontan dia menarik kembali tangannya begitu menyadari siapa pemilik tangan kekar itu.

"Oh, lo mau ambil yang ini, yaa?"

Satu anggukan tanpa mendongak. "T-tapi kalo lo mau ngambil yang itu juga, ambil aja nggak apa-apa, kok. Gue juga masih ada banyak komik yang lain belum kelar baca." Karin merasakan jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, apalagi saat indera penciumannya menangkap bau parfum Devon yang pernah sekali dia cium sebelumnya. Juga di tempat yang sama.

Devon tertawa kecil. Tawa yang bisa menyihir Karin kapan saja.

Astaga, gue bisa mati. Mana deket lagi.

"Yakin nggak tertarik? Ini cuma satu, loh."

Karin menanggapinya dengan satu anggukan lagi.

Devon membaca judul komik horor di genggamannya itu sekali lagi. "Ternyata lo suka horor? kirain lo itu... penakut."

Karin tidak tahu harus menyebut kalimat yang meluncur lugas dari bibir Devon itu ledekan, candaan, atau hinaan. Alih-alih bisa berkomunikasi lancar, justru dia gugup sendiri. Bukannya protes tidak terima, Karin justru tersenyum salah tingkah.

Devon menyodorkan komik itu. "Nih."

Mata Karin menatap mata Devon yang juga menatapnya hangat. Sangat hangat, bahkan asing karena Karin tidak pernah ditatap seperti itu sedekat ini olehnya. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak bisa berkutik karena tatapan Devon mampu membius tatapannya.

Lama tidak ada pergerakan dari Karin, yang ada justru malah menatapnya tanpa kedip, Devon mengambil satu tangan Karin, menaruh komik di genggaman gadis itu sebelum menarik ujung hidung Karin hingga gadis itu tersadar, namun Devon langsung berbalik. Gadis berkepang dua itu sekilas menatap komik yang sudah ada di genggaman tangannya sebelum berseru, "M-makasih!"

Devon berbalik lagi setelah mereka berjarak lima langkah. Senyum menyenangkannya masih diterbitkan. Sangat manis. "Sama-sama, Karin."

Karin melambai canggung, dan Devon hanya membalasnya dengan tawa kecil sebelum pergi tidak terlalu jauh dari lokasi Karin. Gadis itu menatap punggung tegapnya yang terhenti di depan rak lain sambil menurunkan tangan. Entah sudah berapa kali dia menatapnya seperti ini dari minggu-minggu lalu. Dan tadi... tadi itu adalah untuk ke dua kalinya setelah tempo lalu cowok itu mengambilkan buku untuknya. Lama memperhatikan, cowok itu mengambil salah satu komik yang membuat dahi Karin berkerut. Dengan berani gadis itu mendekati Devon di rak komik seberang.

"Gue saranin jangan yang itu, deh, Dev."

Devon berbalik. Ternyata Karin sudah di belakangnya. Karin menyengir seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal begitu menyadari raut bingung Devon. Entah kenapa keduanya terlalu manis dan menggemaskan untuk saling pandang. Gadis itu berusaha mengumpulkan kekuatan dan menghilangkan perasaan gengsinya.

"Em... anu... itu ceritanya, sih, seru di awal doang. Gue pernah baca, tapi di tengah-tengah ceritanya terlalu overrated. Mendingan baca yang lain," saran Karin, sedikit ragu.

Alis satu Devon terangkat seraya melipat kedua tangannya di dada. Mencerna opini Karin barusan. Entah kenapa rasanya aneh karena cewek ini mungkin baru pertama kali ini berani berbicara panjang dengannya. Dan tentu saja tidak bisa dipercaya seolah Karin maniak komik.

"Yaudah kasih tahu gue, mana cerita yang menarik?"

Karin merasakan kedua pipinya memanas. Gadis itu mencoba menarik nafasnya diam-diam sambil berbalik, lalu menghembuskannya pelan agar seluruh kekuatannya berkumpul penuh dan rasa gengsinya hilang. Devon mengekor di belakang. Tapi fokus Karin mencari komik menarik yang sudah dibacanya berulang-ulang. Dia benar-benar memberanikan diri merekomendasikan komik yang cukup seru dan menarik. Sudut bibir Karin dinaikan waktu menemukan satu komik menarik perhatian. Dia meraih dua komik yang berada di rak atas, lalu rak paling bawah untuk disodorkan ke orang yang membuntutinya di belakang.

"Kata temen gue, yang ini cukup menarik. Terus kalo yang ini, gue udah baca berulang kali dan masih pengen baca lagi. Tapi gue bosen baca yang itu mulu. Jadi, ya, gue milih yang lainnya, deh."

Devon menerimanya, namun tatapannya masih melirik Karin curiga. Dalam sekali berkomunikasi ternyata Karin cukup cerewet dan polos. "Kata temen lo?"

"Iya... kata temen gue," respons Karin sedikit ragu.

"Bukan kata lo, kan?"

"G-gue emang belum pernah baca yang itu. Tapi temen gue-"

"Yaudah, gue baca yang ini aja." Devon menaruh kembali komik yang tempatnya di rak atas. "Kata lo menarik buat dibaca berkali-kali, tapi kalo ucapan lo itu nggak bener, dan ternyata gue nggak tertarik, awas aja lo."

Glek! Disambar kalimat seperti itu jelas membuat nyali Karin menciut. Bagaimana kalau cowok idamannya ini justru tidak tertarik? Bagaimana jika selera cerita mereka ternyata berbeda? Apa yang harus Karin lakukan? Karin belum sempat membalas waktu cowok itu melangkah, duduk di salah satu kursi kosong.

What the actually f- "-arrrghh, bego!" lanjut Karin menyuarakan isi hati. "Bodo ah kalo sampe dia nggak suka!" Karin mengerucutkan bibir sebelum tatapannya jatuh pada komik di genggamannya sambil berjalan menuju salah satu kursi berbeda dan jauh dari lokasi baca Devon. Dia ingin menenangkan diri sendiri dengan membaca lagi.

•••

"Lo kok komik mulu, sih? Kapan belajarnya? Nih, liat, masih ada yang salah," kata Nata sedikit kesal karena tidak diperhatikan Rea yang justru sedari tadi sibuk dengan komiknya sambil sesekali bersiul-siul dan bersenandung kecil tidak jelas, lalu merubah raut kembali serius pada bacaan.

Rea melirik Nata yang menunjuk-nunjuk deretan angka di buku Rea-di mana letak kesalahan pada jawaban Matematika ditunjukan.

"Males ah, belajar mulu. Gue tuh juga butuh hiburan," balas Rea, lalu menunjukkan isi komik yang tengah dibacanya. "Nih. Lo baca deh, komik ini tentang cewek yang kuat dan jago fight. Kalo kita mau jadi orang yang kuat, kita harus kayak dia, nih. Rajin olahraga." Rea berbicara seperti seseorang yang tengah mempromosikan produk makanan, tapi sebenarnya gadis itu hanya ingin mengalihkan perhatian.

"Ya kalo waktunya belajar tuh ya belajar. Waktu olahraga ada porsinya sendiri. Lo kira gue nggak pernah olahraga?"

Rea memutar matanya malas. Dia memfokuskan diri kembali pada komiknya. "Belajar Matematika aja udah bikin otak rasanya mau copot dari kepala, ditambah belajar mencintai orang, bisa kebelah jadi dua kepala gue."

Nata tertawa kecil. "Emang sebodoh apa, sih, lo?"

Rea menoleh. "Dari dulu asal lo tahu, gue sering dapet peringkat 5 dari bawah."

"Bangga?"

"Ya dong. Kita itu harus bersyukur. Masih mending nggak peringkat dua atau satu dari bawah, kan?"

Nata geleng-geleng kepala geli. "Sebahagia lo aja, deh."

"Hidup tuh nggak perlu pinter-pinter amat, Nat. Cuma butuh waras aja," kata Rea. Mendadak buku-buku termasuk komik di depan mereka terlupakan. "Btw, kalo udah kuliah, lo mau ambil jurusan apa?" tanya Rea tiba-tiba.

"Hukum."

"Mau jadi apaan emangnya? Jaksa?"

"Dokter bedah."

"Ish, nggak guna banget, sih, lo jadi orang."

"Nggak bakal jadi orang kalo nggak berguna."

Percakapan berakhir dengan Rea yang menahan keinginan memukul kepala Nata dengan rak di belakang mereka beserta buku-bukunya. Kini keduanya kembali fokus terhadap buku dan komik masing-masing. Sebenarnya, mengajari Rea Matematika bukanlah keinginan atau inisiatif Nata sendiri, melainkan perintah dari guru. Sudah pasti Nata menurutinya karena terpaksa. Karena bukan Nata namanya kalau tidak pelit perihal pelajaran. Cowok itu bosan karena Rea yang tidak niat diajari, alhasil dia mencomot novel di rak belakangnya bagian atas kepalanya tanpa mendongak. Membaca judulnya sekilas, lalu membuka-bukanya.

Mungkin kedengarannya aneh dan konyol kalau ada yang melihat mereka saat ini. Karena jarang ada murid yang terkenal biang onar semacam Nata atau tidak terlalu niat sekolah semacam Rea yang hobi bolos-sekarang keduanya berada di perpustakaan berdua. Duduk lesehan dan bersisian di antara dua rak novel. Biasanya kalau murid-murid semacam mereka ke perpus, tentu saja hanya kalau ada tugas dari guru disuruh memilih buku di perpustakaan, atau disuruh membersihkan perpustakaan sebagai sanksi melanggar aturan.

Tanpa disadari keduanya yang tengah fokus membaca, masih ada Devon yang tengah mengelilingi rak, dan Karin yang diam-diam menatapnya dari celah-celah buku. Tak disangka-sangka, Devon menyadari kehadiran Rea dan Nata. Ada rasa kagum karena pertama kali melihat bagaimana Rea serius membaca. Karena biasanya Rea yang Devon kenal tidak seperti itu.

"Hai, Re."

Dua manusia yang sibuk dengan bacaan itu menoleh hampir bersamaan.

"Ya?" Begitu saja respons Rea.

"Tumben lo ke sini?"

"Ck. Itu hinaan apa pujian?"

Devon duduk di depan Rea persis dan bersender di rak belakangnya. Seolah Nata di sebelah Rea yang masih fokus membaca hanyalah patung bagi mereka.

"Lo ke sini baca komik juga?"

"Iya, nih. Tadinya, sih, disuruh belajar sama orang." Rea melirik Nata di sampingnya. "Tapi orangnya malah nggak niat," sindirnya, dan berhasil membuat Nata menoleh.

Ditatap seperti itu, mau tidak mau Rea kembali mengalihkan topik agar tidak memancing keributan di depan Devon. "Eh, gue baca tentang fighting. Lo?" Rea melirik komik di pangkuan Devon yang masih tertutup.

Devon menunduk. "Ohh, ini..."

Rea menahan tawa saat membaca judulnya: Manusia Serigala. "Lo suka yang berbau-bau fantasi gitu, ya? Atau... jangan-jangan lo percaya yang begituan itu ada?"

Devon menggaruk-garuk tengkuknya sambil menyengir malu. Dia bukannya menyalahkan Karin karena komik ini pilihannya, dia juga tidak bisa menyalahkan diri sendiri karena menerima komik itu. "Gue suka horor, sih. Yang ini rekomendasi dari seseorang..." Devon tidak bisa menyebut nama Karin dan dia tidak tahu apa hubungannya dengan Karin. Teman? Mereka pastinya sudah saling kenal karena sekelas, tapi tidak pernah berinteraksi seperti tadi hingga seperti orang asing.

Percakapan mereka hanya samar-samar dari kejauhan, dari lokasi Karin berdiri. Gadis itu tidak heran melihat Nata di sebelah Rea, tapi lebih heran lagi Rea yang berbincang-bincang akrab dengan Devon. Terlihat seolah mereka sudah saling kenal. Seolah mereka dekat dan sudah terbiasa berbincang-bincang. Sementara dirinya? Bicara satu kata pun terlalu gugup dengan Devon. Dibandingkan dengan Rea, sahabatnya itu terlihat santai, lancar, dan bersahabat. Tidak canggung sama sekali. Sejak kapan mereka akrab ini?

Mendadak cengkeramannya pada komik mengerat. Entah kenapa, ada rasa panas dan sesak dalam dada Karin yang tidak bisa dideskripsikan melalui kata-kata. Karin terlalu tidak kuat menyaksikan pemandangan di depan mata.

•••

"Sama Devon aja manis. Giliran ke gue? Sadis."

"Ya karena lo sama Devon itu beda."

"Ohhh, jadi maksud lo gue bukan cowok?"

"Kenapa, sih? Cemburu, yaaa?" Rea menyenggol bahu Nata, menggoda. Keduanya beriringan keluar gedung sekolah menuju parkiran. "Uluh, uluh... beneran lo cemburu, nih, ceritanya?" Jemari Rea mengacak-acak rambut Nata hingga membuatnya makin berantakan. "Kacihaaan Natarel cemburuuu." Rea tidak bisa menahan senyumnya mengembang.

Dan Nata tidak menepis tangan Rea sedikit saja karena dia tidak merasa terganggu sama sekali walau kata-katanya memancing keributan. "Sifat kege-eran lo ternyata belum punah juga, ya?"

Rea mengedikan bahu dan menurunkan tangannya. "Gengsi lo juga nggak punah-punah tuh."

"Enak aja gengsi."

"Tipe gengsi-gengsi club kayak lo ini nih yang bakalan jatuh cinta duluan ke gue."

"Tuh, kan. Tuh, kan, keluar lagi GR-nya."

"Ngaku aja cemburu. Susah amat."

"Coba kasih tahu apa manfaatnya gue cemburu? Nggak ada manfaatnya, kan?"

"Lo mau tarung sama gue?"

"Tarung, tarung... tuh cerita kelompok bahasa Indonesia kita masalah tarung-tarungan Juga belum selesai. Lo sana yang terusin. Enak aja gue doang yang mikir. Gue juga yang kerja. Kalo lo nggak mau kerja, sana duduk di tempat lain aja biar gue nggak sekelompok lagi sama lo. Biar jadi aman, tentram, dan damai sejahtera deh hidup gue." Nata mengangkat helmnya hendak dipakai sebelum ucapan Rea kembali terdengar, cowok itu urung.

"Gimana kalo kita pake serangan jari?"

Dahi Nata berkerut bingung dengan dua kata terakhir Rea. "Serangan jari?"

"Iya, serangan jari. Lo mau gua praktekin? Gua tahu teknik ini dari komik tadi itu, loh. Bisa nakut-nakutin musuh dengan cara mencolok matanya biar nggak bisa ngelihat, dan tamat, deh."

"Tapi itu curang dong namanya?"

"Cara ini tapi bisa bikin pertarungan berakhir dengan singkat. Mau gue tunjukin?"

"Coba." Helm Nata kembali diturunkan lagi demi melihat gadis di depannya ini mulai mempraktekkan dengan gelagat aneh.

Rea berteriak tidak terlalu keras. Beruntung murid-murid hanya tinggal beberapa saja yang berkeliaran di area sekolah. Dua jari kanan-kirinya diangkat dan digerakkan bergantian di udara ke depan-belakang seolah-olah sedang mencolok dua mata orang di depannya sambil berteriak-teriak tidak jelas. Kakinya juga ikut di gerakan. Sementara Nata yang berdiri menyaksikan di sebelah motornya masih menatap Rea dengan tatapan aneh.

Rea mengibas hidungnya dengan satu ibu jari dengan bangga setelah selesai. "Hebat, kan?"

Nata mengangguk-angguk datar. "Coba ulangi sekali lagi."

Dahi Rea berkerut merasa tertantang karena Nata turun dari motor, dan berjalan mendekat ke arahnya persis. "Wahhh, nantangin lo? Fine." Gadis itu mulai mengambil ancang-ancang hendak mengulangi teknik yang barusan dipraktekan.

Kedua jarinya hendak mencolok kedua mata Nata sesenti sebelum ditangkap oleh jemari Nata lebih dulu dan diputar dalam satu gerakan. Laki-laki itu dengan gerakan cepat mengalungkan lengan kekarnya ke sekeliling leher Rea hingga punggung gadis itu menabrak dada bidangnya. Tidak terlalu kasar, tapi efeknya mampu membuat Rea mengerang karena lehernya seperti dicekik hingga Rea kesulitan bernafas. Tubuh keduanya kini saling menempel.

Lengan kekar lelaki itu masih mengunci lehernya walaupun gadis itu sudah berusaha sekuat tenaga melepasnya paksa dengan jemari dan memukul-mukul lengan cowok itu. "KKKHH-W-woi, gue nggak bisa nafashh," desis Rea putus asa.

Spontan Nata melepas lengannya. Otomatis si gadis mengatur nafasnya lewat mulut, lalu mendelik ke arah Nata yang kini sibuk memakai helmnya. "Gila. Lo mau bunuh gue?"

Nata tersenyum puas di balik helmnya, kemudian mengeluarkan motornya dari parkiran dan melewati Rea begitu saja sambil melambai sekilas. Begitu saja perpisahan terakhir mereka di parkiran sepulang sekolah.

•••

Di belakang rumah lantai bawah Rea ada lapangan basket tanpa atap-biasa dijadikan Rea untuk latihan basket. Kalau di lantai tiga, ada sebuah tempat khusus dijadikan sebagai tempat olahraga beserta alat-alatnya. Dan di sinilah Rea malam hari. Pemilik ruangan olahraga itu tengah berolahraga santai menggunakan treadmill manual. Kedua telinganya yang sudah disumpal airpods mendengarkan lagu berjudul Comethru.

Satu jam berolahraga dan larut dalam beberapa lagu, akhirnya gadis itu merasa lelah sendiri. Dia pun memutuskan untuk beristirahat dengan meluruskan kakinya dekat kaki sofa. Jemarinya meraih ponsel yang tergelatak di atas meja sebelah gelas berisi air putih. Lehernya dibunyikan ke kanan-kiri hingga merasakan tulang sendi dan ototnya terasa lebih rileks. Segelas air putih di atas meja kecil itu juga diraih untuk diteguk sampai habis. Dahinya berkerut saat mendapati notifikasi yang menariknya untuk membuka aplikasi Instagram.

Andreano_Nata099 mulai mengikuti anda.

Gadis itu mendengus geli begitu memastikan pemilik username itu tidak salah lagi adalah milik Nata. Untuk apa cowok itu mengikuti sosial medianya? Stalking? Tak ingin ambil pusing, Rea rasa dia tidak perlu memikirkan hal itu, takutnya berujung kege-eran lagi.

Ibu jarinya bergerak lagi, menekan akun yang barusaja mengikuti akunnya. Hanya ada lima postingan di dalam akun itu dan isinya kebanyakan foto bersama teman-teman geng motornya. Tapi cowok itu selalu memakai helm hingga Rea tidak bisa menebak dia yang mana. Rea melihat-lihat dari postingan paling bawah.

Scroll... scroll...

Di postingan keempat ada satu foto Nata yang membelakangi kamera setengah badan dengan kaus putih. Kemudian postingan terakhir ada dua foto mirornya di tempat gym dengan pakaian tanpa lengan hingga memamerkan kedua lengan ototnya, lalu slide terakhir masih berada di tempat sama, sedang mengangkat barbel berpaling dari kamera. Postingan terakhir itu diunggah 130 minggu yang lalu. Bahkan tidak ada satu pun postingan yang memperlihatkan wajah cowok itu langsung. Walaupun begitu, pengikutnya tidak kalah banyak dengan pengikut Rea-ada ribuan, tapi kenapa yang diikutinya tidak ada 100 akun? Dan kenapa akun Rea termasuk akun yang diikuti juga? Bahkan teman-teman sekolahnya tidak ada yang diikuti balik kecuali Rea dan teman-teman segengnya.

Gadis itu menuruni tangga pelan-pelan di tengah kesibukannya memainkan ponsel menuju kamar. Setelah keluar sambil menenteng pakaian dan meninggalkan ponsel, langkahnya kemudian dipatri menuju kamar mandi lantai satu. Beberapa menit berkutat dalam kamar mandi, akhirnya Rea keluar dengan mengenakan pakaian minimnya. Kemudian lanjut menuju dapur dengan handuk yang masih mengalung di leher. Entah kenapa dia merasakan seperti ada orang lain yang tengah mengawasinya. Ini kedengarannya horor. Tapi yang Rea rasakan bukan itu. Masalahnya, sekarang ayahnya masih ada di kantor, dan Mike belum pulang belajar kelompok dari rumah temannya. Jadi, siapa lagi selain Rea yang berada di rumahnya?

"Bercanda lo nggak lucu ya, Mike," ucap Rea setelah meneguk segelas air putih tanpa menoleh. Dia menghela nafas, lalu menarik kursi dekat meja makan. Jemarinya sedikit gemetar saat meraihnya. Baru saja hendak duduk, dia kembali merasakan firasat yang sangat tidak enak.

Mike belum juga muncul. Sepupu laki-lakinya itu sempat berpamitan akan pulang jam delapan. Dan sekarang jam masih menunjukan pukul delapan kurang sepuluh menit. Ada kemungkinan Mike memang sudah pulang dan sedang menakut-nakutinya. Rea kembali tenang karena mengira itu hanya gurauan Mike, dan tidak mau memikirkan hal negatif lain yang bisa membuatnya makin ketar-ketir.

"Mike, pisau di tangan gue ini tajem banget asli. Lo kalo macem-macem bisa gue habisin pake pisau ini, mau?"

Hening.

"Gue nggak takut, ya. Becanda lo nggak mempan. Terserah."

Glek! Tegukan ludah Rea terdengar begitu tidak mendapati balasan apa-apa. Bulu kuduknya meremang walaupun wajahnya terlihat tenang. Rea berpura-pura menyibukkan diri dengan mengambil sebuah pisang di tengah meja, mengelupasnya dalam tegang. Belum ada siapa-siapa yang muncul dari arah mana saja, tapi bulu kuduknya masih meremang.

"Dad?"

"Mike, nggak lucu."

"Daddy udah pulang?"

Rea melangkahkan kakinya perlahan, matanya takut-takut mengintip tegang arah pintu utama yang terbuka. Jantungnya berdisko lebih cepat begitu tiba-tiba saja muncul dari belakang tembok di depannya. Sosok yang sudah sangat lama tidak berjumpa lagi dengannya. Sosok yang menjadi alasannya untuk pindah lagi ke sini. Sosok itu... sangat-sangat mengerikan, demi apapun. Mata Rea membulat sempurna. Bahunya menegang. Ini lebih mengerikan dibandingkan sosok monster yang ada di dalam drama Sweet Home.

"K-kak... Elang...?"

Sekali itu, jemarinya mengepal bersamaan dengan senyum seseorang yang mengembang mengerikan.

"Apa kabar?"

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 2.2K 35
โ€ข ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ข ๐ฉ๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง๐ฆ๐ฎ ๐ฉ๐š๐๐š๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ-๐›๐ž๐ง๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข. โ€ข โ€ข โ€ข Ziva dan Azka adalah sepasang kekasi...
2.5K 264 1
"Gue sayang sama lo bukan karena kasihan, berhenti bilang kalau gue kasihan sama lo bisa nggak, Re?" -Chandra Gardara Abraham โ—Sequel Katanya Sayang.
51.7K 3K 38
Bintang Senja, seorang gadis sederhana yang terpaksa merelakan masa remaja nya demi bekerja untuk membiayai hidupnya dan hidup sang Ayah yang sakit j...
13.6K 683 55
[COMPLETE] โ€ข Pada awal pertemuannya Shareen langsung masuk kedalam pesona seorang Gleano, begitu pun Gleano yang terbuai oleh paras Shareen yang begi...