INCOMPLETED LOVE [✓]

Від redeuquinn

13.5K 1.2K 233

Meera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke ti... Більше

Tugas Ringan
Dimana Meera?
Saksi Kunci
Penyergapan Anak Kucing
Gara-gara Annu
Dimana Cerita itu Bermula
Tak Semudah Itu
Selamat Hari Holi, Annand!
Sekarang
Terlalu Lelah
Ammar. Hanya Ammar
Undangan
Dress Shopping
Pengakuan Intensi
Permohonan Kecil
Melodi Kerinduan
Yang Tak Terlupakan
Perjalanan Yang Ditakutkan
Selamat Pagi, London
His Home
Yang Ditinggalkan
Long Time No See
Perasaan Aneh
Sebuah Keputusan
Aku Bersedia
Dia Mendatangi
First Date
Yang Tak Tersampaikan
Yang Tak Terpenuhi
Penjelasan
Bantuan
Tak Terduga
Hingga Akhir
Epilog: Cinta Yang Terlengkapi

Obrolan Ringan

393 34 2
Від redeuquinn



***


"Jadi... hanya aku yang tak diajak ke pesta itu?" tanya Ibrahim dengan raut datar.

Ammar memalingkan wajah, mengambil cangkir kopinya dan menyeruput pelan, seolah tak mendengar apa yang dikatakan Ibrahim. Cukup canggung dengan apa yang sedang dibahas.


Pia tersenyum gugup dan menunjuk Meera. "Jangan menatapku seperti itu, aku juga hanya her plus one..".

Meera dan Pia yang akhirnya selesai mendapat dress pilihan, langsung menyusul dua tentara itu di sebuah caffe untuk mengistirahatkan otot kaki mereka yang sudah lelah berburu ke beberapa toko sebelumnya. 


"Dan kau, Mayor?" Ibrahim menoleh ke sisinya.


"Ah..." Ammar melirik Meera, sedikit bingung untuk menjawab. "Katakan saja waktu itu aku beruntung bertemu dengan Tuan Mehta langsung," ia tak mau banyak menjelaskan.


"Kalau begitu, jadikan aku plus one-mu, Sir!" serang Ibrahim bersemangat.


Ammar kini menggaruk dagu dan menatap sang Kapten dengan canggung, "Actually.. I already have my plus one."


Tiga pasang netra langsung membulat. "Kon*??" Pia menyuarakan keterkejutannya.

( *Siapa? )


"Kalian tidak berpikir kalau aku akan datang ke sebuah pesta elite sendirian dan membuatku terlihat begitu outsider, kan?" tanya balik Ammar, yang sengaja tak menjawab pertanyaan Pia.


"Are, yaar.. It's just a party. Kenapa berkata seperti itu, Ammar.." sahut Pia yang mendapat geplakan di bahu oleh Meera. Perkataan temannya begitu kontradiktif dengan apa yang sudah diucapkan padanya. "Kya?" pekik Pia terlihat tak merasa bersalah.


Meera tak menjawab. Ia menyeruput minuman dinginnya dengan sedikit penasaran siapa yang Ammar ajak-


"Jadi, Pak.. aku kalah cepat dengan dokter Malhotra?" celetuk Ibrahim, yang langsung membuat Meera tersedak. Tiga orang lain menatap khawatir.


"H-hei, Meera kau tak apa-apa?" tanya Ammar.


"Meera, perlu aku pesankan air mineral?" susul Pia sembari memberikan sekotak tissue.


Meera melambaikan tangan pada Pia. "Tidak usah.." ucapnya yang setelah terbatuk pelan dan mengelap bibirnya. "I'm fine, aku hanya terlalu cepat menelan bubble yang ada di dalam minumanku." Ia terkekeh sendiri, menahan rasa malu dan sedikitnya melirik Ammar.

Tanpa menjawab pertanyaan Ibrahim, Meera bisa memastikan validasi sang Mayor.


Tentu saja.. Ibrahim bilang dokter itu memang dekat dengan Ammar, kan?


Meera akhirnya dapat bernapas lega. Ia tersenyum tipis pada tentara yang duduk di hadapan Pia. "Ibrahim, kau datanglah ke pesta Rehan Mehta. Nanti aku akan minta ijin padanya untuk memasukanmu ke daftar my plus plus one.."


Sang Kapten langsung tersenyum sumeringah. Ia menggenggam tangan Meera dan mengecup punggung tangan gadis itu, yang membuat dua pasang mata lain terbelalak. "Kau memang teman terbaikku, Meera. Aku sudah membayangkan menghabiskan weekend ini berpesta bersama kalian.."


Ammar meliriknya. "Tampaknya aku tau arti berpesta yang ada di dalam otakkmu itu, Kapten Khan.."


"Kalau semudah itu, kenapa tidak bilang dari tadi, Meera? Jadi kita tidak perlu mendengar Ibrahim merajuk." Pia memutar bola mata. "Dan dari ucapanmu, kau terdengar sangat yakin Rehan Mehta akan langsung mengijinkan. Apa kau sudah sedekat itu dengan Manager Oprasional ayahmu?" sang sahabat menatap temannya curiga, yang juga ditatap penasaran oleh dua pasang mata lain.
     
     

Tapi gadis yang ditatap malah melebarkan senyum. "Seperti yang sudah kau katakan padaku Pia, di pesta itu, akulah yang akan jadi wajah perusahaan mewakili Papa. Jadi tak ada salahnya memanfaatkan privilage yang aku punya, kan?"
  



***



Meera menggerakkan kuasnya dengan perlahan, mewarnai sketsa gambar yang sudah ia buat dengan usapan lembut. Sesekali tersenyum dengan hasil warna yang tercampur di atas kertas sketchbook besarnya, walau belum ada setengah sketsa itu terwarnai semua.

Sebentar, ia mengistirahatkan tangannya, menatap sketsa gambar di hadapan yang ia buat beberapa hari lalu, saat di teras rooftop rumahnya. 

Sketsa Ammar bersama Annu yang terlihat sangat manis.


Meera menarik napas, kalau saja wajah yang ada di gambar ini milik orang lain..


Ketukan terdengar di pintu kamar, membuat tatapan dan pikiran Meera teralihkan.

"Come in.." sahut sang pemilik kamar dengan lembut. Terlihat wajah lelah ayahnya saat pintu kamar dibuka.


"Kau belum tidur, Meera?" tanya Mukesh yang melangkah masuk.

Meera menggeleng, dan menutup sketchbooknya dengan cepat. Melupakan cat warna yang belum kering juga merapikan alat gambar lain.


"Papa pulang sangat terlambat.." Meera melirik jam dinding kamarnya yang menunjukan pukul sebelas malam lewat. Memberi pelukan pada sang ayah sebelum duduk bersama di sisi ranjang.


"Seperti biasa, Papa harus membereskan pekerjaan hari ini karena besok weekend." jawab Mukesh.


"Kau terlihat begitu lelah, Papa.." Meera mengusap wajah sang ayah yang sudah berkantung mata besar dengan keriput di setiap sisinya. "Dan juga menua.." celetukan Meera membuat mereka berdua tertawa.

Meera menaiki kasur, menghampiri punggung sang ayah dan meremat pelan bahu yang lebih tua. Memberikan pijatan-pijatan lembut pada otot yang tegang . Perlakuan manis putrinya itu membuat Mukesh tersenyum dan bersyukur. "Kau tau ayahmu ini semakin tua tapi kau terus bersikap seperti anak-anak."


Meera mengerutkan wajah. "Aku kan anakmu, jadi akan terus terlihat anak-anak," jawabnya asal.


Mukesh memberikan tepukan sayang pada tangan sang putri yang masih berada di bahu. "Kau mengerti maksud Papa, kan?"

Meera menghembuskan napas, menghentikan pijatan yang diberikan, lalu memeluk leher ayahnya. "Haan.. I'm just joking, Paa.." ucapnya pelan. "Jangan bilang Papa mau memulai sesi pembahasan pernikahan lagi?" wajahnya berubah lesu.


"Tidak.. Papa hanya ingin mengobrol ringan dengan putrinya," ucapan lembut Mukesh membuat Meera melepas pelukan dan kembali duduk di sisi sang ayah. "Boleh Papa bertanya sesuatu?"


"Papa sudah memulai pertanyaan. Ada yang lain?"


Mukesh melebarkan senyum. "Apa pendapatmu tentang Rehan Mehta?"


Yang ditanya langsung mengerutkan dahi. Ekspresi protesnya begitu terlihat jelas. "Benarkan! Papa akan mulai membahas perni-"


"Tidak. Tidak, Meera.." potong sang ayah cepat tapi masih dengan nada lembut. "Papa janji ini hanya obrolan ringan. Papa ingin tau pendapatmu tentang dia." Mukesh melihat Meera masih enggan menjawab. "Papa hanya takut salah memilih manager. Karena secara tidak langsung, jabatan Rehan itu menjadikan dia tangan kanan Papamu ini dalam memberi keputusan disegala proyek perusahaan."

Kalimat itu membuat Meera akhirnya menatap lurus Mukesh. 

"Dan bisa saja saat kau berada di posisi Papa nanti, dia juga yang menjadi tangan kananmu, Meera.." lanjutnya, yang membuat Meera mengerutkan dahi. "Bukannya apa-apa, Rehan masih muda. Umurnya masih 30 tahun. Perjalanannya di perusahaan masih diprediksikan panjang. Dan dia juga masih sendiri.."


"Papa.." Meera menyipitkan mata yang membuat Mukesh tertawa. Ia mengangkat kedua tangannya untuk meredakan emosi sang putri, "That's just for your information, Beta.."


Mukesh menghela napas, tersenyum simpul lalu menggenggam kedua tangan Meera. "Jika kau tak mau membahas pernikahan, Papa akan hargai itu. Tapi setidaknya, ijinkan Papa mulai memperkenalkanmu tentang perusahaan. Ini untuk masa depanmu juga.."


Meera akhirnya menghembuskan napas pasrah dan mengangguk perlahan. Cepat atau lambat, pembahasan ini memang harus ia hadapi. 

"Walaupun aku tak tau seperti apa cara kerja Rehan Mehta di perusahaan, tapi aku pikir Papa memilihnya menjadi Manager Operasional pasti karena kinerjanya yang lebih baik dibanding karyawan yang lain," mulai Meera. "Percaya saja pada pilihan Papa itu, sambil terus memonitori dan mungkin mengevaluasinya dalam jangka waktu tertentu. Kalau dilihat dari sikapnya saat kami bertemu, Rehan cukup sopan dan menghargai hal-hal kecil. Seperti yang pernah Papa bilang, kalau dia selalu datang lebih awal dalam pertemuan. Bukankah itu akan menjadi sebuah nilai plus yang tinggi? Zaman sekarang sudah terlalu jarang orang yang menghargai waktu."


Mukesh kini tersenyum lebar, "Terima kasih, Meera. Penilaian kecilmu pada Rehan cukup membuat Papa lega. Dan pastinya Papa akan pakai usulanmu juga." Ia membelai pucuk kepala Meera dengan sayang. "Tidurlah.. Besok acara pesta Rehan, kan?"


"Acaranya malam, Papaku sayang.. Jadi aku masih bisa tidur sampai siang," kekehnya.


"Acha.. Kalau begitu Papa istirahat duluan. Jangan tidur terlalu larut, Meera.." Mukesh bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu. "Night, Beta.."


"Sweet dreams, Paa.." ucap Meera sebelum sang ayah menutup pintu kamarnya.


Namun pintu itu dibuka lagi, Mukesh menatap jahil si pemilik kamar. "Mau membantu papa untuk memonitoring Rehan, kan?"


"Jiii...!" setuju Meera dengan sangat tidak ikhlas. Ia menjawab hanya agar sang ayah mengakhiri pembahasan. Mukesh tertawa sambil menutup pintu kamar itu lagi dan pergi, merasa lucu dengan ekspresi putrinya.


Si gadis kini bisa bernapas lega, rasanya tadi seperti berjalan disisi jurang. Ia merebahkan diri di atas kasur, bermaksud bersantai sejenak sebelum mengerjakan lagi karyanya yang tadi ditinggal.

Tapi seketika Meera terduduk, teringat cat warna yang belum kering.

Dengan cepat Meera meraih sketchbook dan membuka halaman yang ditinggalnya. Untung saja tak begitu banyak cat yang meluber. Masih bisa ia akali dan perbaiki.


Meooww~


Ngeongan Annu terdengar jelas di luar pintu kamar, yang membuat Meera langsung bangkit untuk menyambutnya.

"Kau terbangun?" tanya Meera setelah membukakan pintu dan menggendong kucing jantan itu. Ia membawa si gulungan berbulu ke atas kasur. "Deko*.. bagaimana pendapatmu tentang gambarku kali ini?" Meera membuat percakapan dengan kucingnya sambil memperlihatkan lukisan yang belum selesai tersebut.

( *Lihat )


Meoowww..


Annu menanggapi seperti mengerti pertanyaan Meera, membuat gadis itu tertawa. "Apa? Kau terlihat tampan? Tentu saja!" Ucap Meera di sela tawa.


Meoww.


"Kyaaa? Lebih tampan dari pria yang menggendongmu itu?" Kini sang majikan menanggapi ngeongan peliharaannya, yang padahal manusia manapun tak akan ada yang tau artinya, begitu pula gadis itu. "Kali ini aku tidak setuju denganmu, Annu.." kekeh Meera yang langsung memeluk gemas si kucing.



***



Good afternoon, Miss. Maaf jika pesan ini mengganggu aktifitasmu, tapi setelah hampir setengah jam aku berpikir, masih saja tak dapat memilih. Mau membantuku? Menurutmu, aku harus memakai yang navy atau merah?






Meera tiba-tiba tergelak saat membaca pesan yang masuk di ponselnya dan melihat nama pengirim. Pendahuluannya begitu kaku dan formal.

Mungkin karena ini pesan pertama sang pengirim pada Meera?

Gadis yang baru saja selesai membersihkan diri itu, melangkah menuju walking closetnya sembari mengetik balasan, setelah memperhatikan dengan teliti dua foto dasi yang dikirimkan. 



— Afty, Mayor. Tentu saja pesanmu tidak menggangguku. 

Try to impress your date, haan? 




— There won't be a date, if I didn't make a good impression to anyone. 

— For now it's more like, berusaha membuat terkesan tuan rumah

agar tak mempermalukan putri atasannya yang berteman dengan orang biasa.

      

               

Wajah sang gadis tiba-tiba ditekuk saat membaca kalimat awal balasan Ammar. Tapi buru-buru ia tepis kekecewaan yang melintas itu.

                   

— Oh come on, Ammar. Jika melihat pangkat di bahumu,

siapa yang akan mengatakan kalau kau orang biasa?

                 


                      

— I suppose so?

— So, back to the question. Navy blue or deep red, Meera?


                      

                         

 — Harus aku jawab? Sebenarnya pilihan sulit. Keduanya terlihat bagus. 

— Jadi tergantung setelan apa yang akan kau pakai nanti. 


              

                     

— Aku hanya memakai setelan simpel. Kemeja, jas dan celana.



Meera terkekeh. Para pria pasti memilih untuk memakai setelan itu di pesta nanti.


— Maksudku warnanya, Ammar!


           


— Right. 

— Aku perlu menjawabnya?

           


               

Gadis itu kembali mengetik balasan.


— Sir, just tell me! Besides, you already know my dress. 

— That's not fair.


         


— Oh? Kau memilih dress yang itu, Meera? Aku tidak tau. 


Membaca pesan tersebut membuat Meera menggigit bibir. Tentu saja Ammar tidak tau. Laki-laki itu hanya memberinya tanda kalau ia menyukai dress yang sedang dipegang Meera saat di butik. Bukan menyuruh Meera untuk membelinya.

Saat akan mengetik pesan, tiba-tiba pesan Ammar sudah masuk lagi ke ponsel Meera.


             

— Aku sudah menentukan pilihan. Terima kasih sudah membantu, Nona Chopra.


                    


Meera menatap bingung isi pesan Ammar.

— You are welcome?


    


— See you in three hours.



Sang putri Chopra tersenyum simpul membaca pesan terakhir yang diberikan Ammar, lalu tanpa membalas apapun, gadis itu menaruh ponselnya di atas meja rias dan mulai mengeringkan rambut. Bersiap diri untuk pesta Rehan Mehta yang akan dimulai jam delapan malam nanti.

Tak sengaja netra Meera menangkap sesuatu di sudut meja riasnya. Sebuah kotak bermotif marble berwarna peach pastel yang terlihat berbinar.

Sedikit ragu, tapi dengan perlahan, Meera mematikan dan menaruh pengering rambutnya untuk meraih kotak itu. Sudah lama ia tak menyentuh kotak tersebut, yang sebenarnya ingin ia pendam tapi terlalu sayang untuk di buang.


Hingga akhirnya benda berkilau di dalam kotak itu kembali menyentuh hati Meera. 

Sepasang anting gantung silver dengan kumpulan diamond kecil yang membentuk note musik berbeda sebagai pendant. Manik perhiasan yang menyilaukan mata, membuat Meera teringat kembali percakapan saat benda indah itu diberikan untuknya.


Kau tau apa arti namaku, Meera?

Annand means Happiness. Kebahagiaan.

Kebahagianku sebelum bertemu denganmu adalah musik.

Dan aku ingin kau juga merasakan kebahagiaan itu. Kebahagian dari musik.


Kebahagiaan dariku.




***


Продовжити читання

Вам також сподобається

411K 9.4K 27
Six months ago she died. Now she's a ghost haunting her family home. Sophie thought she had nothing left. At least until a ghost boy band turns up wi...
1.5M 135K 46
✫ 𝐁𝐨𝐨𝐤 𝐎𝐧𝐞 𝐈𝐧 𝐑𝐚𝐭𝐡𝐨𝐫𝐞 𝐆𝐞𝐧'𝐬 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐚𝐠𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 ⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎ She is shy He is outspoken She is clumsy He is graceful...
5.6K 81 37
Fay Moon is a 24-year-old who came back to her hometown after college, to be a teacher. When she comes back to her hometown and her old principal giv...
4.6M 292K 106
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...