NATAREL (SELESAI✔️)

By Park_sooyang

4.4K 2.4K 741

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... More

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
30 | Kehadiran Oma
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

10 | Taruhan

91 59 19
By Park_sooyang

Rea sempat bertanya-tanya di mana letak toilet kepada kasir di kafe. Setelah mendapat petunjuk, bukannya ke toilet justru Rea keluar kafe lagi hendak kembali ke tempat sebelumnya. Mungkin menghabiskan americano-nya sambil mengajak Nata berdebat sedikit menghibur kesendiriannya saat itu. Namun, belum mencapai tempatnya, langkah Rea terhenti karena mendengar sebuah dialog yang isinya sedikit menyinggung perasaannya.

"Ya... cewek kayak dia tuh nggak ada apa-apanya kalo dilihat-lihat. Udah sekolah nggak niat, matre lagi. Kemarin gue lihat dia jalan sama Om-Om di restoran. Pake mobil mewah milik tuh Om-Om kayaknya. Tajir. Gila, kan, pacarannya sama Om-Om tajir?"

"Matre-matre gitu, siapa, sih, yang mau sama dia? Cewek nggak laku itu, mah," lanjutnya blakblakan. Nata menyesap minumannya lagi.

"Suuzan lo. Tapi... emang kayaknya iya, deh. Orangnya jutek lagi. Yah... tapi tetep keliatan cantik, sih."

"Ya lo pikir-pikir lagi, deh. Pas sama Om-Om aja kelihatan manis banget. Di depan orang kayak kita-kita, nih, juteknya nggak ketulungan. Udah pasti nggak laku tuh pacarannya sama Om-Om."

Bahkan, belum sempat Rea mendengarnya lagi hingga selesai, matanya tanpa sengaja bersitatap dengan mata Nata. Rea menyadari ada keterkejutan dari sorot matanya. Bener-bener cowok nggak punya hati! Itu adalah isi benak Rea yang rasanya ingin dia utarakan di hadapan cowok itu, namun mendadak nafsunya hilang seketika. Lantas dia berbalik, dan buru-buru mematri langkahnya menuju parkiran. Menahan emosi yang memuncak. Rea muak.

Nata otomatis berdiri setelah membeku beberapa saat. Tidak menyangka keburukan Rea dan kata-kata pedasnya tadi didengar oleh telinga sang empunya sendiri. Rendi ikut berdiri. Saat hendak mengikuti arah pandang Nata, cowok itu buru-buru merangkul dan mengalihkan pandangannya.

"Liat apaan?"

"Enggak ngeliatin apa-apa," ucapnya beralibi dengan raut yang berusaha menampilkan raut bersahabat lagi. "Sono lo balik kerja. Dimarahin Pak Bos mampus lu." Nata mendorong Rendi mundur pelan. Mungkin karena saking kurusnya, Rendi mudah ikut terdorong mundur. Kemudian Nata berpura-pura menutup hidungnya. "Lo bau, ih, mandi sekalian sana!"

Dahi Rendi berkerut, lalu mencium badannya sendiri yang tidak menemukan bau apa-apa, tapi masih wangi parfum. "Enak aja! Gue kagak bau apa-apa!"

"Lo bau kentut!"

"Eh, sinting lo, Nat."

Nata tertawa kecil. Baru saat teman lamanya itu kembali masuk kafe, Nata akhirnya bisa menghela nafas lega. Setidaknya Rendi tidak mengetahui keberadaan orang yang dijadikan bahan topik keduanya.

•••

Rea membasuh wajahnya berkali-kali. Sampai airnya berpusat di dagu, cewek itu menatap wajahnya sendiri di cermin. Guru menyebalkan itu... lagi-lagi membuat Rea harus keluar di jam pelajaran kedua. Siapa lagi kalau bukan Pak Dendy? Penyebabnya karena dia kepergok tidur di kelas. Efek tidur larut malam, begadang menonton drama kelewat tegang hingga ketagihan menonton sampai tamat. Tenang, drama itu tentang misteri pembunuhan. Bukan seperti yang kalian pikirkan.

DUAKH!

Suara dinding yang dipukul sekali dengan keras menggema di toilet, membuat Rea nyaris terpeleset saking kagetnya, tapi beruntung dia langsung memegang pinggiran wastafel hingga bisa menjaga keseimbangannya. Asal suaranya sepertinya dari arah toilet cowok. Di toilet cewek sepi, begitupula toilet cowok yang kini Rea lewati. Kaki Rea lanjut mematri langkah ke gedung belakangnya dengan penasaran.

"Emang minta dipatahin lehernya nih anak."

"JIJIK! MATI LO!!"

Amukan Zizad-anak kelas sebelah, seangkatan dengan Rea-semakin menjadi-jadi. Dia dan kedua temannya memang suka berbuat onar, memalak, berbuat hal keji lain kepada murid-murid lain. Seolah bebas berkuasa di sekolah, jadi berbuat seenaknya bukan sebuah masalah.

Mike, murid kelas 10 IPA-1, sudah tergelatak dengan wajah babak belur. Kacamatanya sudah remuk di injakan Zizad. Kepalanya selalu menunduk, menghindari tatapan mematikan kakak kelasnya. Mike tidak pernah membalas perlakuan jahat siapapun yang menyakitinya. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Zizad merundungnya.

Kepalan tangan Zizad meremas kerah Mike, menatapnya dengan sorot berapi-api. Tubuh Mike sudah gemetar sedari tadi. Kedua lengannya ditekuk di depan wajah, berjaga-jaga kalau Zizad menyerang lagi. Tapi percuma, sejurus kemudian dia langsung mendapat serangan lagi di rahangnya, dan tendang-tendangan di perutnya hingga Mike ambruk, dan terbatuk-batuk.

"BERHENTI KALIAN!!"

Baru saja Zizad hendak melayangkan tinjuan entah ke berapa kalinya lagi, teriakan seorang cewek menarik perhatian mereka hingga kepalan jemari Zizad menggantung di udara.

Rea, datang dengan cepat. Dia menyorot Zizad tajam dan menepis tangannya.

"Nggak usah ikut campur lo, bocah!"

"LO TUH YANG BOCAH!" Kini Rea menyorot tenang dengan suara merendah. "Kakak kelas, tapi beraninya keroyokan. Cowok apa bukan, sih, lo pada?"

Zizad menunjuk Mike yang sudah babak belur ditambah sudut bibirnya mengeluarkan darah. "Dia yang mulai duluan asal lo tahu."

"Nggak usah ngaco. Nggak mungkin dia berani ngelawan-"

"Dia suka sama gue, setan!"

Hening.

Rea kehabisan kata-kata. Antara percaya tidak percaya, karena ini Mike, sepupunya. Kalimat Zizad terdengar mustahil. Hal seperti itu masih ada di dunia ini? Mereka hidup di zaman apa?

Budi di sebelah Zizad menepuk-nepuk bahu Zizad, berbisik, "Cabut, cabut. Banci lo lawan cewek."

Kedua teman Zizad menyeretnya pergi. Rea menelan ludah sebelum tatapannya tertuju ke arah cowok di bawahnya yang terbatuk-batuk.

"Bangun," titah Rea tanpa sudi mengulurkan tangan.

Mike bersusah payah untuk bangun dan menyengir kuda ke arah Rea. Rea berdecak sebal, lalu dia melihat kacamata Mike yang sudah remuk. Laki-laki itu masih melempar cengiran. Aneh, padahal tadi waktu ada Zizad dkk dia gemetar, tapi sekarang saat berdua dengan Rea dia seperti orang gila. Tiba-tiba saja Rea menendang tulang kering Mike, membuat sang empu yang sudah hendak berdiri, tumbang lagi.

"Cowok apa bukan, sih, lo, Mike?"

Mike mengangkat kedua lengannya sambil mendongak manja. "Tolongin...."

Rea berdecak malas. "Males banget gue nolongin cowok nggak normal kayak lo."

Mike melebarkan matanya. "Eh, Re, lo jangan percaya gitu aja dong sama Bang Zizad. Gue dituduh sama temennya, Re. Semuanya tadi pada bohong. Ya kali ah gue suka sesama jenis. Seratus persen gue masih normal, Re. Sumpah. Baru kali ini rasanya gue pengen ngelawan, tapi nggak dikasih kesempatan, gila," ujar Mike dengan jujur dan tampang tidak bersalahnya.

Rea mencari-cari kebohongan dari sorot mata Mike, seolah tengah membaca pikirannya. Tapi nihil. "Oke. Gue percaya lo."

Mike meringis pilu saat merasakan wajahnya kembali perih. Dia mengulurkan tangan lagi, meminta bantuan Rea. Alih-alih Rea menolongnya, justru gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jahat lo, sama adik sendiri nggak mau nolongin."

Rea menunjuk-nunjuk wajah Mike. "Jangan ngaku-ngaku gitu di depan orang-orang kalo lo adik sepupu gue. Nggak sudi gue punya adik cupu, culun, nggak bermoral kayak lo."

Mike mengerucutkan bibirnya. "Jahatnya..." Ini memang bukan hinaan yang pertama kali, jadi terdengar biasa saja dan Mike tidak merasa tersinggung. Cowok itu menahan nyeri di perutnya yang perlahan mereda. Tapi luka di sekujur tubuhnya masih terasa.

Gadis itu memutar bola matanya malas. "Najis muka lo." Dengan teganya Rea meninggalkan Mike yang terus memanggil-manggil namanya meminta pertolongan. Bukannya menolong, justru Rea pergi mengabaikan begitu saja.

Kini gadis itu naik tangga menuju atap gedung sekolah yang sedikit terawat walaupun masih ada tumpukan sampah dan beberapa meja-kursi terbengkalai. Ternyata di sana sudah ada seseorang selain dirinya yang berdiri di dekat pembatas atap, memunggunginya. Tidak perlu menjadi peramal untuk menebak siapa pemilik punggung tegap dan kekar itu.

Akhirnya dengan malas Rea memutuskan untuk berbalik lagi. Teringat kelakuan kelewatan orang itu yang kemarin membicarakan hal buruk tentang dirinya di belakang dan kata-kata nyelekitnya membuat Rea jadi malas melihat wajah cowok itu. Baru dua langkah hendak kembali menuju pintu bercat putih, suara panggilan cowok itu terdengar karena tepat saat Rea berbalik tadi, dirinya juga berbalik melihat Rea.

Otomatis Rea merotasikan kedua matanya dengan malas, berbalik lagi, sementara Nata sudah melangkah mendekat. Cowok itu jadi teringat kejadian kemarin yang membuatnya jadi tidak enak karena sudah membicarakan Rea yang tidak-tidak.

"Andrea," panggilnya lagi dengan nada lembut. Mungkin ini saatnya dia mengakui kesalahannya, biarlah harga dirinya runtuh sementara karena memang itu kesalahannya, kan? "Gue...," lirihnya, berusaha mendorong mulutnya agar mampu mengucapkan sebuah pengakuan yang harus. Rea menunggu. "Gue mau minta-"

"Basi," semprot Rea tanpa basa-basi. Tajam dan kesal. "Sini ngomong langsung. Lo pikir enak, hah? Apa tuh kemarin? Gue nggak laku? Emang lo pikir gue lagi jualan? Ngaca, deh. Emangnya lo sendiri laku? Emangnya ada cewek yang mau sama cowok kayak lo?" semprotnya berapi-api panjang lebar.

Nata menatap Rea tepat di kedua matanya, tersinggung. "Ya jelas banyaklah yang ngantre," tanggapnya tidak mau kalah. Tadinya dia mau minta maaf, tapi gadis ini lagi-lagi memancing keributan membuat Nata merubah nadanya lagi. "Sekarang gue yang tanya sama lo," telunjuknya mengarah persis di depan wajah Rea, sebelum mengembalikan pertanyaannya. "Emangnya ada yang mau sama cewek yang nggak ada otak kayak lo?"

Pedas.

Rea jelas tidak terima dan tidak mau kalah juga. "Nggak ada otak?" gertaknya. "Heh, lo ngaca dong! Dasar cowok nol empati! Cowok yang bisanya cuma mengandalkan otak pas pelajaran doang! Otak aslinya geser di luar pelajaran!" Darah Rea meluap-luap. "Dasar tukang tebar pesona, tapi nggak ada peminatnya!"

Nata tertegun. Ada keheningan lima belas detik di sana, menyisakan dua tatapan tajam. Laki-laki itu maju lagi hingga ujung sepatunya nyaris menyentuh ujung sepatu Rea. Dan gadis itu tidak mundur justru mengangkat dagu angkuh. Dua tatapan saling menyimpan dendam. Tatapan intimidasi yang tidak saling terima satu sama lain. Tatapan permusuhan yang mungkin bisa mematikan saraf siapa saja.

"Lo jangan sok tahu, deh, jadi cewek. Yakin lo sama ucapan lo barusan? Mau gue hadepin sama cewek-cewek gue sekarang juga?"

"Cewek-cewek lo?" Rea tertawa remeh. "Eh, lo bicara kayak gitu seolah-olah lo punya banyak cewek. Mana cewek lo? Cepet tunjukin sini ke gue!"

"Ya ada, lah. Ya kali, enggak," sombong Nata. "Dan asal lo tahu, ya... cewek galak." Nata melototinya setengah kesal. "Cewek gue bukan cewek kayak lo. Nggak matre. Ucapannya lemah lembut. Nggak kayak lo. Nyolot."

Rea terusik. "Lo ngatain gue matre?"

"Lo masih tanya?"

"Terserahlah lo mau ngatain gue apa. Jangan cuma ngomong doang bisanya! Buktiin kalo cewek lo banyak!"

Cewek? Siapa yang akan Nata jadikan cewek pura-puranya? Kai? Gadis itu memang yang paling kukuh mengejar-ngejarnya. Namun Nata sama sekali tidak menyimpan rasa dengannya. Lantas, dia harus membawa siapa lagi untuk membuktikan ke cewek ini?

Rea sebenarnya tahu kalau Nata memang banyak yang mendekati, dan friendly. Hanya saja, gadis itu ingin menguji.

"Kalo gue bisa bawain cewek gue dihadapan lo, lo makan cabe sebaskom, ya?"

"Oke!" Rea langsung menyetujui tanpa ragu. "Tapi kalo sebaliknya, lo harus bersihin semua WC di sekolah ini!"

"Oke. Deal?"

Nata mengulurkan tangannya, ingin meminta kesepakatan yang sah dari Rea yang mengajukan taruhannya terlebih dahulu. Kurva tipis terbentuk di bibir Nata saat Rea membalas ulurannya.

"Deal!"

Tangan keduanya saling bertautan. Asing. Rea merasakan telapak tangan Nata yang menggenggamnya lebih besar dibanding telapak tangan mungilnya. Hangat. Seolah tidak ingin saling lepas.

•••

Sepulang sekolah, saat di parkiran, Rea tidak menemukan motor milik seseorang yang sedang dicarinya sejak tadi. Dia juga sering absen sejak mereka bertemu di roftoop tadi. Wait, buat juga apa dia mencari cowok yang beberapa jam yang lalu mengajaknya ribut? Bahkan, selalu, bukan untuk yang pertama kalinya dia membuatnya rasanya ingin menendangnya sampai Antartika. Rea pun melanjutkan langkah, tidak peduli cowok itu sudah pulang, atau masih di sekolah. Mati aja sekalian biar hidup gue tenang, ucapnya dalam hati.

Begitu langkahnya mencapai gerbang sekolah, dia dikejutkan oleh mobil milik Devon yang tiba-tiba menghadangnya. Rea terkejut setengah mampus. Pertama, ini masih banyak murid berlalu lalang hendak pulang, bagaimana jika mereka berfikir yang tidak-tidak antara hubungannya dengan Devon? Kedua, Devon adalah satu-satunya cowok yang dari dulu Karin suka. Tapi sahabatnya itu tidak pernah berani mendekati. Alasannya simple; gengsi. Dan yang ketiga, Rea bisa mati kalau sampai ada yang memotret diam-diam dan menjadikannya topik hangat.

Jadi Rea buru-buru membuka pintu mobil dan masuk saat kaca itu dibuka menampilkan Devon yang tersenyum lebar, gadis itu masih sempat melihat sekeliling, takut ketahuan anak-anak lain.

"Panik amat lo, Re? Santai aja, kali."

Devon tancap gas, otomatis Rea bernafas lega saat tahu tidak ada yang memperhatikannya dari luar.

"Gue nggak mau ada yang sakit hati aja."

Devon menyengir. "Lo emang selalu mikirin perasaan orang, ya?"

Singkatnya, tadi Devon sempat mengirimi Rea pesan kalau ingin mengajaknya keluar sepulang sekolah. Rea sempat menolak. Keinginannya, kalau sudah sampai rumah saja, baru Devon bisa menjemput. Tapi Devon tetaplah Devon, keras kepala.

Mobil itu sampai di sebuah kafe, jauh dari lingkungan sekolah karena Rea yang meminta. Dia tidak mau kalau ke Kafe Citan (dekat sekolah), karena pasti banyak murid yang masih nongkrong di sana. Kalau ada yang melihat, bisa tamat riwayatnya, apalagi kalau sampai Karin juga melihatnya. Jangan sampai sahabatnya tahu bahwa cowok yang disukainya mengajaknya jalan. Bukan apa-apa, Rea hanya tidak mau Karin sakit hati. Mungkin Rea akan memberitahunya nanti. Kini belum saatnya.

"Makasih, Dev, udah nraktir," ucap Rea setelah mereka memesan minuman dan Devon langsung membayarkannya.

"Gimana kabar bokap lo?" Cowok itu bertanya setelah menyeruput cappucino-nya sebentar.

"Lo tanya gitu seolah udah lama nggak ke rumah."

"Emang," cengir Devon. "Udah lama banget. Sejak kapan ya....? Oh, sejak pertama kali lo jadi murid Abipraya, ya? Tapi sampai sekarang lo masih tetep dicap sebagai murid baru, sih."

Rea tersenyum kecut. Jujur, Devon itu sudah ganteng, baik, royal, berprestasi, berbakat, pokoknya si maniak kompetisi. Jelas dia adalah most wanted Abipraya. Tidak sedikit juga gadis-gadis yang banyak mengincarnya. Sepertinya, dia adalah rival Nata. Rumornya begitu. Rea selalu mengawasi sekitarnya setiap kali Devon ada di dekatnya. Kalau di sekolah, Rea selalu melarang Devon untuk menemuinya barang dua detik saja. Dan sekarang di luar sekolah, baru Rea mengizinkannya. Apalagi kafe ini adalah kafe yang jauh dari lingkungan sekolah. Rea sudah memastikan kalau kafe ini aman.

Dari awal bertemu, bagi Devon, Rea sudah membuatnya jadi penasaran. Di awal pertemuan mereka itu secara tidak sengaja, sewaktu Rea naik motor ke sekolah, di tengah-tengah jalan sempat ada masalah dengan motornya. Lalu kebetulan ada Devon lewat, dan berhenti untuk menolongnya. Waktu itu mereka belum saling kenal. Tapi Devon sudah tahu kalau Rea adalah murid baru seangkatannya. Hanya beda ruang kelas.

"Oh, iya, Re. Lo sama Nata itu ada hubungan apa, sih?"

Di sekolah, Devon diam-diam mengawasi Rea dari kejauhan. Tempo lalu, dia menyaksikan kalau Rea pernah dengan berani meneriaki Nata di kantin. Dengar-dengar, dia menagih ikat rambutnya yang entah sejak kapan ada di Nata. Lalu Nata mengambil ponsel gadis itu. Dan juga hari itu sempat ada drama es jeruk- Devon tahu semuanya walaupun saat itu Rea tidak menyadarinya.

"Hah?" Rea mengerutkan kening. "Nggak ada hubungan apa-apa. Kita sebangku doang. Kenapa emangnya?"

"Kalo boleh jujur... gue selalu merhatiin lo. Dan gue lihat-lihat, lo sama Nata cukup dekat."

Rea tertawa kecil. "Iya, buat berantem kalo lagi deket mah."

"Setiap kali gue ngeliat lo sama dia, kalian tuh kayak nggak ada yang mau ngalah satu sama lain."

"Bener banget." Rea mengaduk-aduk minumannya setengah kesal. "Gue kesel banget sama tuh cowok. Ngeselin."

"Dia nggak pernah sakitin lo, kan?"

Rea berdeham sebentar. "Cuman kata-katanya doang yang pedes."

"Lo yakin Nata nggak naksir sama lo?"

Rea tertawa lagi, tubuhnya kini menyender pada punggung kursi. "Naksir? Sama gue? Nggak mungkinlah. Orang dia selalu ngejek-ngejek gue. Kita nggak berhadapan pun, dia masih ngomongin gue di belakang."

"Tapi kalo dia naksir sama lo, lo mau apa?"

Rea mengedikan bahu. "Mungkin gue tolak? Tuh cowok emang dari awal emang minta dimusuhin." Gadis itu tidak berbohong. Dari awal dia memang sudah mengibarkan bendera permusuhannya terhadap Nata. Selalu rasanya ingin membunuhnya hidup-hidup.

Devon mengangguk-angguk. "Tiati lo, jangan deket-deket dia lagi kalo lo nggak mau cari mati di sekolah."

Rea menarik satu alisnya. "Segitu bahayanya apa Nata di mata kalian?"

Devon menatap Rea tidak mengerti.

"Perasaan... dia biasa-biasa aja. Nggak makan orang juga," lanjut Rea terheran-heran. "Lagian, ya, kalo dia berani macem-macem sama gue, gue bisa langsung hajar dia. Tenang aja, gue pernah ikut karate waktu SMP."

"Ckckck. Masalahnya, Nata bisa ngirim siapa aja ke rumah sakit. Siapa aja yang berani macam-macam sama dia. Temen gue yang jago karate aja dibuat babak belur sama dia, padahal dia bukan anak karate."

Rea tertegun.

"Lo udah tahu berita tawuran yang menewaskan tiga orang beberapa bulan yang lalu sebelum lo masuk Abipraya belum?"

Rea menggeleng. "Gue jarang nonton TV, sih. Emangnya kenapa? Yang tawuran murid-murid antarsekolah kita?"

"Tiga orang yang tewas itu, salah satu orangnya temen gengnya Nata. Dan dua orang itu musuh gengnya. Kalo lo mau tahu juga, dia pernah bikin kasus kekerasan di sekolah sampe bikin anak orang masuk RS, gegar otak."

Gumaman terkejut keluar dari mulut Rea. Dadanya mencelos. Benar-benar berita yang bisa menggetarkan hati siapa saja seperti Rea. Tapi selama ini, dari lagak Nata yang dilihat Rea tidak sebahaya itu. Rea tidak boleh percaya begitu saja sebelum benar-benar ada bukti yang dilihatnya langsung.

"Dan lo masih mau berurusan sama orang bermasalah kayak dia? Atau mungkin aja temennya Nata yang tewas itu dikhianatin sama dia, terus ikut dihabisin," sambung Devon lima detik kemudian melanjutkan.

Rea speechless. Mendadak juga tidak berselera menghabiskan milk tea yang masih tersisa setengah di depannya. Kalimat terakhir Devon berlebihan mengompori, menuduh Nata tanpa bukti...

"Tapi kayaknya bukan Nata, deh, yang newasin dua orang sekaligus." Entah kenapa, di situasi seperti ini, Rea justru membela Nata. Seolah cerita-cerita mengejutkan Devon tidak berarti apa-apa.

"Iya, kalo temennya Nata, tetep aja mereka segeng, kan? Tetep mereka pasti udah ngrencanain semua-"

...seolah Devon... "Lo benci banget, ya, sama Nata?" potong Rea.

"Bukan gue doang. Banyak yang benci sama dia, Re. Anehnya, padahal dia udah bikin kasus separah itu, tapi bener-bener nggak ada guru yang mau ngeluarin dia dari sekolah." Meja diketuk-ketuk oleh kelima jemari Devon. "Biasa. Reputasi sekolah. Otaknya yang cerdas sampe disalahgunakan itu yang bikin dia bertahan." Devon mengerlingkan matanya malas.

"Ya elah... lo juga, kan, nggak beda jauh. Malah kerenan lo bagi gue."

Devon tersenyum. "Btw, lo tetep kudu tiati, ya, sama yang namanya Nata. Apalagi dia sebangku sama lo."

"Kenapa? Dia makan orang?"

"Pokoknya hati-hati aja. Ikutin saran gue kalo lo mau hidup di sekolah dengan tenang." Vokal Devon terdengar lugas, seolah dia hanya sekedar memberi nasihat, bukan mengkhawatirkan Rea. Cowok itu meneguk habis cappucino-nya bersamaan saat Rea dengan senyuman jahilnya membalas, "Tapi... gue udah pernah dibawa masuk ke apartemennya, loh."

Devon tersedak.

Continue Reading

You'll Also Like

JUANDARA √ By kaaa

Teen Fiction

12.6K 194 19
FIRST STORY Jangan lupa vote! Gimana perasaan kalian saat orang tua kalian menjodohkan dengan orang yang sama sekali kamu belum ketahui sebelumnya? ...
478K 5.3K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
3.4K 1.4K 27
Perihal berbagi, bukan cuma memberi barang ataupun harta saja. Memberikan kasih sayang, ataupun orang yang kita sayang, juga merupakan bagian dari be...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

806K 41.5K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...