Jedaą¼Š*Ā·Ėš

By nayxxbi

29.3K 5.5K 981

"Bagaimana jika ternyata kamu jatuh cinta padanya?" "Maka aku akan menjauhinya." "Kenapa?" "Aku ingin membukt... More

Jeda'1 šŸŒµ
Jeda'2 šŸŒµ
Jeda'3šŸŒµ
Jeda'4šŸŒµ
Jeda'5šŸŒµ
Jeda'6šŸŒµ
Jeda'7šŸŒµ
Jeda'8šŸŒµ
Jeda'9šŸŒµ
Jeda'10šŸŒµ
Jeda'11šŸŒµ
Jeda'12šŸŒµ
Jeda'13šŸŒµ
Jeda'14šŸŒµ
Jeda'15šŸŒµ
Jeda'16šŸŒµ
Jeda'17šŸŒµ
Jeda'18šŸŒµ
Jeda'19šŸŒµ
Jeda'20šŸŒµ
Jeda'21šŸŒµ
Jeda'22šŸŒµ
Jeda'23šŸŒµ
Jeda'24šŸŒµ
Jeda'25šŸŒµ
Jeda'26šŸŒµ
Jeda'27šŸŒµ
jeda 28šŸŒµ
Jeda'29 šŸŒµ
Jeda'30šŸŒµ
Jeda'32šŸŒµ
Jeda'33šŸŒµ
Jeda'34
Jeda'35 šŸŒµ
Jeda'36 šŸŒ±

Jeda'31šŸŒµ

600 81 48
By nayxxbi

Happy Reading 🌱

Selepas makan, Ning Najma mengobrol dengan Bu Nyai Lina di ruang tengah. Hal yang mungkin bisa dihitung selama Ning Najma ke sana. Tak ada kenangan masa kecil yang dia ingat di sana. Apalagi kenangan bersama Gus Adnan yang katanya juga saudara dua pupunya itu.

Selain lebaran dan hari-hari besar islam, Ning Najma terbilang jarang ke pesantren Nurul Quran. Selain karena dirinya memang sibuk bersekolah, Bu Nyai Ana─Ummahnya memang jarang mengajaknya pergi ke sana. Begitupun jika keluarga Kyai Azmi bertandang ke Pesantren Al-Furqan, mungkin dirinya hanya keluar untuk menyapa setelah itu akan masuk lagi ke dalam, karena kadang obrolan di antara Ummahnya dan Nyai Lina bukanlah obrolan yang boleh atau bisa dia simak juga.

Selama di meja makan tadi, Gus Adnan sama sekali tidak berani melempar pandang sedikitpun pada Ning Najma. Selain merasa canggung, dia juga merasa tak enak jika sampai bersitatap dengan gadis cantik itu. Bahkan tadi pun dia berusaha untuk menutupi rasa gugupnya dengan berpura-pura terus menanggapi pertanyaan-pertanyaan Gus Fahrul. Namun kini, tempat duduk yang ia tempati berada lurus dengan tempat duduk Ning Najma. Titik pandangnya mudah sekali menangkap keberadaan gadis yang tampak akrab dengan umminya itu.

"Nana belum minta maaf loh sama Adnan." Gus Fahrul mengingatkan adiknya tentang kesalah pahaman kemarin. Membuat rona merah di muka si cantik itu kembali. Sedang kedua pria di sampingnya malah kompak mengulas senyum. Begitu juga dengan Bu Nyai Lina yang ikut mengantar mereka sampai ke mobil.

"Dih, orang itu salah Kak Arul yang nggak mau ngasih tahu."

"Lah, kok malah Kak Arul yang salah. Kan Nana sendiri yang maen asal nebak."

"Ya paling enggak kan Kak Arul benerin tebakan Nana kalau salah. Bukannya malah dibiarin."

Ummi Gus Adnan menengahi dengan meraih tangan Ning Najma lalu berkata, "Artinya Nana ini bener-bener anak dari Bu Nyai Ana."

Ning Najma mengangkat alis, ketiga pria di sampingnya juga ikut melongo mendengar ucapan Bu Nyai Lina.

"Karena dulu Ummah Gus Fahrul dan Ning Najma juga pernah salah tebak sama Abahnya Adnan."

"Ha?"

Jeda༊*·˚


Mereka berempat berpamitan untuk sowan ke bersama-sama ke makam yai sepuh yang ada tepat di belakang masjid Pondok Pesantren Al-Furqan. Makam Kakek Uyut Gus Fahrul, Gus Adnan, serta Ning Najma.

"Kalau sudah malam, ndak pa-pa menginap saja dulu di sana, Le. Jangan terburu-buru pulang!" pesan Bu Nyai Lina pada Gus Adnan.

Tak seperti Gus Amran dan Gus Fahrul yang kedatangannya disambut dengan acara tasyakuran. Gus Adnan memilih untuk tetap tersembunyi, meski di pesantren sekalipun. Sejak awal dia sudah mewanti-wanti Umminya untuk tidak mengadakan tasyakuran. Hal itu juga didukung oleh Kyai Azmi, Abinya. Yang dulu juga tidak suka jika kedatangannya dari Arab disambut dengan hal seperti itu.

Bu Nyai Lina mengemas beberapa lauk untuk Ummah dari Ning Najma, sementara Gus Adnan mengambil beberapa barang di dalam kamarnya. Sambil menunggu Nyai Lina dan Gus Adnan selesai, Gus Amran menepi untuk menelepon. Saat itulah saat yang tepat bagi Gus Fahrul untuk kembali mengusik Ning Najma, adiknya.

"Gimana? Amran yang kemarin ditanyain ke Kakak adalah Amran yang sama dengan yang itu bukan?" Dagu lelaki berhidung bangir itu menunjuk ke arah Amran yang berdiri di dekat mobil.

Ning Najma melirik tajam pada Gus Fahrul yang sudah menahan senyum sejak tadi.

"Kalau lirikannya begini, artinya bener."

"Ish, Kak Arul, ih."

"Haha, tak aduin ke Amran kalau Nana kemarin ghibahin dia."

"Dih, orang cuma nanya. Beda kali."

"Sama aja! Kemarin bilang kalau Amran suka tebar pesona 'kan?"

Merasa terancam, Ning Najma langsung melayangkan cubitan di lengan Kakaknya itu. Ternyata mau selama apapun mereka terpisah, kelakuan usil Kakaknya sama sekali tidak berubah. Apalagi saat Gus Amran menoleh ke arah mereka berdua, cubitan di lengan Gus Arul makin menguat.

"Aduuh, nggak boleh dzolim loh. Nanti Kak Arul kutuk baru tahu rasa."

Ning Najma melepas cubitannya, sementara Gus Arul yang masih meringis langsung mengelus-elus lengannya.

"Am!" Gus Fahrul sengaja mau menakuti Ning Najma lagi dengan melambaikan tangan pada Gus Amran yang baru selesai menelepon.

"Kak Arul, ih!"

Baru saja Ning Najma berbalik hendak pergi untuk menghindar, tiba-tiba dia nyaris membentur tubuh tegap berkemeja navy di depannya yang baru saja datang menghampiri mereka berdua. Kaki Gus Adnan berada tepat di bawah kaki Ning Najma, sementara wajah mereka hampir saja bertabrakan.

Deg, deg, deg ...

Mata Ning Najma membulat, nafasnya tertahan. Waktu seolah berhenti berputar. Nafas Gus Adnan yang juga tertahan, memacu detak jantungnya semakin cepat. Sementara Ning Najma yang sebelumnya tidak pernah sedekat itu dengan laki-laki, kini mematung. Dua tangannya menutup bibirnya yang tadi sempat beristigfar cukup keras karena terkejut. Sementara Gus Fahrul, Gus Amran dan Bu Nyai Lina tak kalah terkejut melihat kejadian itu.

"M ... ma ... maaf!" Ning Najma yang gugup langsung mengangkat kakinya sembari menarik langkah mundur dengan cepat. Wajahnya yang bersemu merah tertunduk malu. Di dalam hatinya sibuk merutuki Kak Fahrulnya.

Berbeda dengan Ning Najma yang terlihat malu, Gus Adnan justru terlihat salah tingkah meski wajahnya juga tak kalah memerah. Kaki yang tadi terinjak oleh Ning Najma seolah tak terasa lagi sakitnya. Hal itu tertangkap oleh netra Bu Nyai Lina yang melihat putranya salah tingkah untuk pertama kalinya.

Gus Fahrul mengulum senyum geli melihat tingkah adik dan saudara dua pupunya itu. "Yuk, ah, berangkat!" ajaknya mencairkan suasana sambil berjalan ke arah mobilnya. Ning Najma beranjak menuju Bu Nyai Lina untuk menerima lauk yang tadi sudah disiapkan olehnya. Sedang Gus Adnan menunggu hingga Ning Najma masuk ke dalam mobil, baru dirinya menyusul menghampiri sang Ummi untuk berpamitan.

"Kalau terlalu malam buat pulang, menginaplah di sana!" Pesan sang Ummi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Gus Adnan.

Jeda༊*·˚

Sepanjang perjalanan menuju Al-Furqan lebih banyak dihabiskan dengan diam. Entah karena memang mereka sudah malas mengobrol atau karena ada murottal yang tengah diputar di dalam mobil yang membuat mereka harus bungkam. Hanya ada suara Gus Fahrul yang sayup ikut melafalkan bacaan-bacaan Alquran.

Jika Ayah mereka memberi ilmu yang sama terhadap mereka berempat, maka sudah sewajarnya mereka akan diam saat mendengar murottal Alquran. Jangankan membaca Alquran, mendengarkan bacaannya saja sudah bisa bernilai pahala bagi yang mendengarkan. Hal itu juga salah satu adab saat ada bacaan Alquran di sekitar mereka.

Ning Najma memilih untuk memejamkan mata sambil merasakan embusan angin di sepanjang perjalanan mereka. Apalagi jalan menuju Al-Furqan memang jalan yang lebih banyak menyuguhkan pemandangan alam seperti hutan jati, hijaunya jejeran gunung, serta deretan pantai berpasir putih.

Gus Amran menatap wajah Ning Najma yang nampak tenang dalam pejamnya lewat spion di sisi kiri mobil. Dia masih tidak menyangka bahwa gadis yang selama ini terlihat dingin di kampusnya ternyata adalah orang yang dulu sangat dekat dengannya. Pantas saja dia merasa nyaman bersama gadis ini meski beberapa kali sudah kena semprot.

Kejadian donat terbang di kantin sekolah kembali ia ingat. Gus Amran bukan tidak tahu bahwa waktu itu Ning Najma memang sengaja menjatuhkan donat-donat itu padanya, karena gelagat Ning Najma sudah terlihat dari pantulan etalase di samping meja mereka. Hanya saja untuk menjaga Ning Najma dari rasa malu, Gus Amran memilih untuk diam saja. Yang sangat dia sayangkan saat itu adalah, saat donat-donat itu harus terbuang percuma hanya karena sudah jatuh ke lantai. Seandainya saat itu dia sudah tahu bahwa Ning Najma adalah adiknya, pasti akan ada nasehat panjang lebar untuk gadis itu darinya.

Sementara Gus Adnan yang sejak tadi melempar pandangan ke sisi jalan kini mulai kembali memalingkan wajah pada gadis yang duduk di samping kemudi. Gadis pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang. Ada senyum yang perlahan tersemat di bibirnya, apalagi saat ia mengingat peristiwa tadi yang hampir saja membuat wajah mereka bertabrakan. Wajahnya kembali menghangat, jantungnya juga lagi-lagi berdebar kencang.

"Kita ngopi dulu, ya?" tawar Gus Fahrul.

Ning Najma membuka matanya mendengar tawaran Gus Fahrul.

"Sejak kapan Kak Arul suka ngopi?" tanyanya.

"Boleh." Gus Adnan dan Gus Amran menjawab kompak.

Ning Najma berdesis pelan, pupil cokelatnya melirik tajam lewat kaca spion, membidik dua pemuda yang nampak sumringah mendengar tawaran sang kakak.

Gus Fahrul mengabaikan pertanyaan Ning Najma, dia malah hanya tersenyum lalu memutar kemudinya ke arah warung tepi pantai berpasir putih. Warung yang berdiri dengan beberapa tiang bambu itu berdiri beberapa meter dari bibir pantai. Seorang wanita sepuh bergelung menyambut mereka dengan senyuman hangat. Kebaya bermotif bunga dengan dua peniti sebagai kancingnya tampak bergerak pelan karena terkena angin.

Dua bangku dari bambu memanjang terletak di sisi meja persegi yang berdiri etalase kecil berisi susunan timun, jantung pisang, tahu pong, dan beberapa bahan lain untuk pelengkap rujak lontong. Sedangkan lontongnya berada terpisah di luar etalase berwadahkan besek bambu. Ada satu meja lagi yang berada tepat di samping jalan masuk menuju pantai, meja tempat untuk menyimpan beberapa piring dan gelas lengkap dengan air dalam ember untuk mencuci. Gus Fahrul memesan dua kopi hitam, satu kopi susu, dan segelas teh hangat untuk sang adik.

Tiga pria bersarung itu lantas mengedarkan pandangan ke arah pantai. Menikmati indahnya sore tanpa senja, karena mendung mulai menutupi sinar jingga itu. Senada dengan kebaya sang pemilik warung yang tersapu angin, sarung dan kemeja mereka juga ikut berkibar.

Ning Najma menjejakkan kaki di bibir pantai setelah meminta ijin terlebih dahulu pada Kakaknya untuk turun ke sana. Terang saja, gadis yang terlihat menikmati buih air laut itu menjadi satu-satunya titik perhatian dari tiga pria yang berdiri tak jauh darinya. Gus Fahrul melirik dua pemuda di sampingnya, lalu berdehem pelan. "Jaga mata!" godanya kemudian sambil tersenyum.

"Astaghfirullah ...!" Gus Adnan dan Gus Amran beristighfar lirih sembari menundukkan pandangan. Hal itu malah membuat Gus Fahrul tertawa lirih.

"Aah, ternyata ada dua orang yang harus bersaing meminta restuku ini!" ledeknya.

Gus Adnan dan Gus Amran memilih untuk tidak menggubris ucapan dua pupunya itu. Mereka malah berbalik menuju warung bersamaan. Gus Fahrul terkikik dan langsung menyusul mereka.

Tebece

Kira kira yang dapat restu yang mana ya? Wkwkwkw

Seperti biasa ya, next part up 30 komen 100 vote dlu.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 320 9
āš 20+ Diharapkan bijak dalam membaca. Humaira adalah seorang model yang sedang naik daun. Humaira menyimpan sebuah rahasia, yakni diam-diam ia...
2.5K 221 16
Kehilangan sebuah diary bagaikan kehilangan bagian dari hidup seorang Aisyah Vitriana seorang gadis berusia 20 tahun yang bekerja membantu Ibunya men...
839K 30.8K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
24.5K 1.8K 25
based on true story Pernah terbayang tidak? Kau habiskan waktu indahmu di suatu tempat bernama Jogjakarta bersama seseorang hanya dalam seminggu, tap...