ARCHETYPE

By Jane_byme

25.4K 4.1K 3K

Dalam lanskap intrik dan kekuasaan, Ana terjerat dalam belenggu Arkha, seorang dominan bajingan tak terkalahk... More

Archetype: Prolog
Part 1: Explanation
Part 2: Reprimand
Part 3: Take
Part 4: Approval
Part 5: Burden
Part 7: Present
Part 8: Reverse
Part 9: Dropped
Part 10: Arkhatama
Part 11: Business
Part 12: Drunk
Part 13: Inception
Part 14: Krypton
Part 15: Nobody
Part 16: Better Than Me?
Part 17: Swim Smile
Part 18: Eclipse
Part 19: What are we?
Part 20: Ana
Part 21: Oncoming
Part 22: That Day
Part 23: Prove
Part 24: Shade
Part 25: Control
Part 26: Enough
Part 27: Abscond

Part 6: Confession

789 144 62
By Jane_byme

Part terpanjang khusus tahun baru 💞

VOTE!!!!

_____


Ana menggelintir ludah tertahankan di tenggorokan, memandangi tiga orang sibuk merakit kardus di ruang tamu. Ia tahu ayahnya letih sepulang kerja tadi sore, tetapi Ana tidak bisa mengulur waktu di saat jalan sudah buntu.

Ana mengumpulkan segenap keberanian untuk sekadar bicara setelah memunculkan diri di depan semuanya.

"Pak, Bu ... ada sesuatu yang ingin Ana katakan."

Mutlak tiga pasang mata beralih padanya, menghentikan gerak sebagai tanda membuka telinga, semua dari mereka menghinggapi ketegangan yang Ana bawakan mengiring keingintahuan besar.

Ia mendekat, bersimpuh pasrah di lantai, menatah kedua tangan di atas lutut sang ayah, melimpahkan kegentaran tak terkira yang mengunggis habis jiwanya.

Ana menengadah, melirik kedua mata ibu yang menunggu dan resah ketika air matanya jatuh ke pelupuk, kemudian ia berbelot pada ayah.

"Belakangan ini Ana merasa kurang sehat. Selepas itu, Ana tahu ini berbeda dari biasanya. Ana juga tahu ini kesalahan yang Ana perbuat," ungkap Ana menerbitkan keheranan dari sikap dan artikulasinya.

Bersama perih hati, lisannya berkata, "Ana hamil."

Bram, Mirah, dan Mala terbelalak, kemelut memuncak sewaktu Ana menunduk dan menciptakan kehengingan buncah. Tidak satu pun mengira pelontaran Ana, terlebih Bram yang sudah mengepalkan kedua lengannya.

"Maafkan Ana..." rintih Ana mulai terisak. Namun, rupanya itu tidak dapat diterima, tidak akan pernah bagi keluarganya.

"Siapa pelakunya?" tanya Bram, sekujur tubuhnya mengeras, napas begitu kasar. Tidak ada jawaban dari Ana, membuat Bram kian berang. Berteriak memenuhi ruangan. "Siapa?!"

Mirah sebagai ibu hanya terdiam pilu, sedangkan Mala, dia masih bergeming mencerna apa yang baru saja ia ketahui. Mereka pikir Ana tidak sebodoh itu.

"Sirena! Jawab Bapak!" bentak Bram meraih kedua bahu putrinya, mencengkeram kuat hingga Ana tidak bisa mengimbangi rasa sakit di dada dan tubuhnya. "Bayu?!"

Semua hanya tahu mengenai Bayu, tetapi Ana tidak bisa menjawab. Ana tidak kuat, mata Bram mencolok, gertakan rahang itu mengetat karenanya. Ana hanya bisa menangis.

"Ana!" maki Bram kesal lantas melayangkan tamparan menggunakan telapak besarnya pada wajah Ana yang kecil.

Plak!!

Tertanam amat lantang panas di pipi, tangan gemetar Ana berusaha menyentuhnya berharap rasa sakit itu hilang, tetapi itu percuma. Ayahnya tidak juga mendapatkan sahutan, mengetahui kelunya Ana, Bram menyimpulkan itu benar.

"Bapak akan meminta pertanggung jawaban darinya," papar Bram bangkit menuju pintu, kian menimbulkan kewaspadaan mendalam hingga cepat-cepat Ana meraih kaki sang ayah dan memohon beriring tangisan pilu.

"Tidak. Jangan, Pak." Ana ketakutan, dia tidak ingin itu terjadi. Ia menoleh ke arah Mirah menginginkan sebuah pertolongan, lagi-lagi itu percuma. "Ibu—"

Ana menggeleng ke arah Bram, segera menyatakan pendapatnya. "Ana tidak mau masa depannya hancur karena Ana."

Omong kosong itu, mereka semua tambah kehilangan kepercayaan terhadap putrinya sendiri. Bram pun langsung menjerit, "Itu yang kamu katakan ketika masa depanmu lebih terancam akibat tindakan ini?! Sebenarnya apa yang ada dipikiran kamu?! Apa yang membuat kamu gegabah hingga ini terjadi?!"

"Maaf..." lirih Ana tidak tahu lagi apa yang bisa ia jelaskan, Bayu sudah membuangnya, Ana tidak bisa apa-apa.

"Apa kesalahan yang telah kami perbuat sehingga ini terjadi pada kami, Tuhan!" Bram mengusap wajah gusar, kemarahan menguasai diri antara kekecewaan tak terhingga. "Kami tidak pernah salah mendidikmu, kamulah yang salah. Bapak selalu mengedepankan harga diri sedangkan di belakang kami kamu berani melakukan hal tak senonoh yang mencoret nama baik keluarga ini?!"

"Apa kamu tidak memikirkan kami?! Mala dan Ibu!" berangnya bersama mata melebar, menilik Ana yang menunduk, menyembunyikan segalanya. "Bila kamu dewasa kamu seharusnya tahu bahwa setiap kesalahan dan dosa adalah tanggung jawab diri sendiri. Bapak kerap membina kamu untuk menjadi gadis yang patuh bukan seperti ini!"

"Kamu bukan anak Bapak dan Ibu," ucap Bram tak bisa diubah, tidak hanya Ana, bahkan Mirah dan Mala tak dapat mempercayai apa yang baru saja terucap. "Kamu ... tidak ada tempat di sini."

Ana seperti terjatuh tanpa dasar, dia terombang-ambing di atas rasa sakit yang tidak berujung. Kilah mata mencerminkan betapa terlukanya ia ketika mendengar pernyataan itu.

Bram sama sekali tidak menatap Ana, suaranya mulai rendah. Namun, itu lebih menyakitkan dari biasanya. "Kamu sanggup mengatasinya sendiri? Bagus. Tanggunglah kesalahamu, jangan libatkan kami menompang aibmu."

"Kamu bukan bagian dari kami," lanjut sang ayah, mengintimidasi Ana dengan sejuta reruntuhan kata. Dia mengintai, menunggu Ana lekas beranjak dari tempat tanpa kasih sedikit pun.

Mirah mati kutu, ia tidak bisa membantah suami yang memang begitu adanya. Mala juga tidak berhak bersuara atas keputusan Bram yang telah ditetapkan.

Ana pernah menyesal, ia mencoba, ia mengakui kesalahannya. Namun, ternyata tak ada mimpi yang bisa tercapai dalam segala hal. Dalam jurang terdalam, keluarga sama sekali tidak mengulurkan tangan untuk membantu. Di sini ia putri mereka, tetapi mengapa mereka begitu mudah membuang Ana seperti apa yang Bayu lakukan. Ia benar-benar tergores, hatinya hancur, ia kecewa sangat dalam. Maka dari itu, sudah cukup ia memohon, ia tidak sanggup selalu terasingkan. Ana sendirian, selalu sendirian.

Ditemani perasaan tumbang, Ana berdiri dari duduknya, mengusap air mata yang panas, lekas berjalan memasuki kamar.

Di saat ia sibuk mengemasi pakaian dan barang ke dalam tas, tidak ada satu pun orang menghampirinya, seakan-akan mereka memang rela dan tak peduli. Tidak mementingkan Ana, inj memang kesalahannya, tetapi Ana rela memberi hidup untuk keluarga, sementara mereka tidak.

Pilunya jiwa, Ana terpaksa membongkar tabungan yang sudah ia kumpulkan sejak setahun terakhir, ia tidak memiliki uang banyak, tak tahu pula harus ke mana. Selama tiga puluh menit, pikiran Ana berputar, sampai ketika ia siap dan masih menemukan ketiga anggota keluaraga di ruang yang sama. Hatinya teremas, berat hati Ana pasrahkan melangkah pergi dari rumah.

Mirah tidak dapat merelakan kepergian Ana begitu saja, ia marah sebagai seorang ibu yang dipisahkan oleh anaknya. Maka setelah dirinya dan Bram berada di kamar, ia ingin Bram mencari Ana.

"Bapak," panggilnya, air mata berangsur-angsur keluar. Bram yang memahami itu lekas menjelaskan maksudnya.

"Dia tidak mengedepankan nama keluarga ini, bukan mengangkat derajat seperti apa yang Bapak ajarkan dia justru menghancurkan kita," celetuk Bram, kekesalannya masih mengendap di hati. "Bila Bapak tidak mengertaknya, Mala bisa melakukan kesalahan yang sama."

Akan tetapi, Bram sekadar kecewa, bagaimana pun, Ana tetaplah tanggung jawabnya.

"Dia putri sulung kita, Sirena yang pertama kali kita besarkan. Ini rumahnya. Setelah dia menyadari kesalahan yang dia perbuat, dia pasti kembali."

Akan tetapi, Sirena bukan seorang anak yang memahami hal itu bila sudah tidak diinginkan.

***

Tidak mempunyai tujuan pasti, Ana berakhir di terminal Bus. Dirinya duduk di sebuah kursi kosong, menatap hanyut pada tiap-tiap bus yang melaju atau datang. Ana sudah mengunggu tiga jam, tetapi tidak ada yang menyusul. Akhirnya ia menangis lagi, lebih keras.

Ana salah menutupi hal besar begitu lama, ia mengira semua akan berjalan sesuai apa yang mungkin bisa terjadi. Menikah dengan Bayu dan menjadi ibu rumah tangga di usia muda akan cukup daripada apa yang ia alami sekarang. Ia kira, Bayu bersedia melakukan apa pun untuknya. Ingin mengutrakan juga, Ana sudah terlambat.

Ana tahu sejak hari itu dia melakukan kesalahan teramat besar, hari di mana ia menyerahkan diri dan melupakan kedudukan. Kini dunia menindasnya, Ana memang melupakan kewajiban sebagai anak yang berbakti, Ana terlalu buta karena sesuatu yang baru ia temukan di dalam hati. Ia tak pernah tahu perasaan itulah yang menghancurkan kehidupannya mulai sekarang.

Untuk detik ini, Ana harus memutuskan akan pergi ke mana. Mengingat uangnya sedikit dan tidak punya siapa-siapa. Dananya tidak lebih dari delapan ratus ribu rupiah, itu adalah uang tabungan untuk pergi melihat lampion di Jogja suatu saat nanti. Tepat saat itu juga, Ana menyaksikan rombongan penumpang bus dari Jogja turun ke Jakarta, mereka tampak rusuh dengan percakapaannya yang menggunakan bahasa Jawa.

Mempertimbangkan segala hal, Ana yakin dia harus meninggalkan ibu kota dan mencari tempat tinggal yang baru, dengan biaya hidup yang lebih ringan. Jadi, Ana pergi ke loket guna membeli tiket ke Jogja pukul sembilan nanti.

Ana tidak dapat tidur, dia hanya sebatas memakan roti demi menghemat uang sampai ia menuju Jogja.

Pukul enam sore Ana tiba di kota Jogja seorang diri, badannya lemas, kantung mata yang menghitam pertanda ia benar-benar terjaga. Sempat ia mengisi perut di dekat pasar sebelum menjual kedua anting emas yang ibunya berikan. Sesungguhnya, Ana memiliki kalung pemberian bunda Arkha yang bernilai tinggi, tetapi Ana lebih rela menjual pemberian ibunya daripada bunda.

Hari semakin gelap, Ana sempoyongan berjalan di atas hujan rintik, ketika bertambah kencang ia memutuskan berteduh di sebuah warung yang rupanya sudah tutup. Ia duduk di satu anak tangga pendek, menonton rintikan air hujan yang anehnya mengundang ia untuk menangis lagi.

Meski uang tercukupi setidaknya untuk mencari tempat di mana ia harus tinggal, nyatanya Ana kehilangan arah. Dia tidak tahu apa rencananya setelah ini. Mencari pekerjaan, memulai kehidupan baru sendirian, beradaptasi di tempat asing ini. Bahkan entah di mana ia sekarang, di sekitar rumah penduduk yang sepi.

"Weh! Kok neng kene dewekan? Wis bengi, lho! Sandhanganmu bisa teles!" seru seseorang bersuara wanita yang menghentikan lamunan Ana. (Hei! Kenapa kamu di sini sendirian? Ini sudah malam, lho! Pakaianmu bisa basah!)

Ketika Ana melihat seorang wanita paruh baya berambut keriting yang tergulung, kulitnya sawo matang, sedikit gemuk, dan tingginya kira-kira sebahu Ana. Wanita itu meletakkan payungnya di tanah, rautnya sekarang bertambah bingung karena mendapati wajah Ana yang pucat dan banjir air mata.

Ana pelan-pelan mengelap air matanya, tidak menyahut sebab dia tak paham dengan bahasa itu. Mungkin wanita itu bisa menyimpulkan sekarang karena dia bertanya mengenai Ana.

"Apa kamu bukan penduduk di sini?" tanyanya dengan logat medok yang khas, lantas Ana menggeleng. "Dari mana asalmu?"

"Jakarta." Ana menjawab beriring bibir gemetar, di antara kesedihan, kelaparan, dan kemalangan.

Ibu berdaster itu kini bergabung di samping Ana, menggunakan payungnya lebih dulu agar mereka tidak terkena percikan hujan yang menggenang di tanah. Pasalnya tadi ibu itu terheran melihat gadis termenung di saat hujan, malam-malam, bersama tatapan kosong sampai mengabaikan bajunya yang terkena basah.

Ibu itu tersenyum ramah, seketika membuat Ana lebih menghargai kehadirannya. "Jauh juga toh. Kamu lagi cari tempat tinggal?" Dia pun mendapat anggukan dari sang empu. "Dengan siapa kamu ke sini?"

Pertanyaan itu lantas memacu Ana untuk menurunkan kelopak matanya. "Sendirian..."

Ibu itu paham akan situasi, tetapi dia perlu informasi lebih banyak. "Berapa umurmu?"

"Delapan belas."

"Di mana orang tuamu?" Lagi-lagi Ana tersentak sendiri, tetapi dia memang harus bisa menerima apa kenyataan, dia tidak ada alasan untuk berbohong.

"Saya diusir."

Ibu itu terdiam beberapa saat, Ana kira dia akan menanyakan persoalan itu, ternyata ibu itu tampak begitu hangat. "Siapa namamu?"

Ana mengelap hidungnya yang berair, mengirup oksigen agar dapat tenang. "Ana. Sirena Isadora."

"Nama yang indah," sahutnya yang membuat Ana terpukau, padahal Ana sangat membenci namanya. Nama Mbok—Ratna."

Ana mengulas garis bibir terangkat tipis guna membalas, di masa seperti ini ia tidak tahu harus memperlakukan seseorang selayak apa lantaran ia sendiri tidak tahu cara memperlakukan dirinya sendiri.

Akan tetapi, tiba-tiba suara Mbok Ratna melembut dan tersembunyi sesuatu di baliknya. "Mbok teringat putra mbok yang sudah lama tidak pulang, waktu itu kami berseteru mengenai pendapat masa depannya."

Ana langsung menatapnya, memandangi mata Ratna yang lurus menonton hujan di depan. Walau dia tersenyum, Ana tahu itu adalah kepedihan yang mendalam.

"Mbok ingin dia tetap menemani mbok di sini, tidak perlu jauh-jauh ke ibu kota. Dia ingin menjadi seorang arsitek, sedangkan mbok ingin dia fokus membantu usaha warung makan mbok. Mbok ingin dia menjadi pebisnis yang meneruskan keinginan ayahnya."

Ratna menghela napas lelah, mendengar Ana dia tambah rindu kepada putranya. Dia melampiaskan dengan tertawa kecil. "Tapi dia keras kepala, dia pergi tepat di umur 20 tahun, sekarang mungkin dia sudah berkeluarga, memiliki seorang anak dan istri, keluarga kecilnya. Tapi selama sepuluh tahun ini mbok tidak pernah mendengar kabarnya, tidak tahu kemajuan atau proses yang dia lalui. Setiap hari Mbok menanti kepulangannya, tetapi itu hanya penantian."

Ana menelan ludah pahit, kejadian itu berbanding balik dengannya. "Kenapa Mbok tidak mencarinya?"

"Mbok sendirian, Nak. Jakarta begitu luas dan dia tidak ingin pula menemui Mbok sampai saat ini, dia tentu masih ingat alamat rumah kami. Namun, mbok tidak pernah menyangka bahwa seorang putra tunggal, seseorang yang Mbok besarkan dan didik, kini begitu asing bahkan tidak terlihat."

"Mbok sebagai orang tua, tidak pernah mengusir darah daging Mbok sendiri, tetapi dialah yang pergi meninggalkan Mbok seorang diri," lanjut Mbok Ratna mengenggam kelemahan di hati.

Ana amat terpukul mengenai itu, mengapa keluarga menjadi sesuatu yang sulit untuk dijaga? Mengapa seseorang mudah merusak atau bahkan melemparnya keluar? Ana tidak bisa menerima kejamnya dunia ini, padanya pada Mbok Ratna.

"Orang tuamu tidak mungkin mengusirmu, mereka mungkin hanya marah sesaat." Ratna mengelus bahunya, tangkas Ana meringkuk memeluk lutut.

"Saya mengacaukan segalanya..." Ana berbisik, tiba-tiba keperihan itu timbul lagi. Seakan tidak ingin berhenti. "Saya merusak setiap usaha bapak dan ibu saya untuk membangunkan derajat dan harga diri dalam keluarga."

Mbok Ratna meresapi kesedihan yang Ana bawakan, dia pun mengelus rambutnya agar lebih tenang ketika tangisannya berubah isakan. Tindakan itu justru membuat Ana meledak-ledak.

"Saya tahu saya salah, tetapi bapak tidak akan memaafkan saya, dia bilang saya bukan anaknya lagi." Ana masih ingat segala kata yang terlontar untuknya. "Saya selalu dianak tirikan dan sekarang saya harus menanggung semuanya sendirian."

Mbok Ratna berbisik, "Apa yang harus kamu tanggung?"

Ana pikir memberitahu masalahnya tidaklah penting, tetapi memberitahu pun tidaklah penting. Ada saatnya semua terbongkar dan pasti begitu.

"Menjadi orang tua."

Keheningan terjalin beberapa saat sebelum Ana menarik napas dan melantaskan penjelasaan gamblang. "Saya hamil... Tidak ada satu pun dapat menerima keadaan saya."

Mbok Ratna sama sekali tidak menghakimi, dia justru merapikan helai rambut Ana yang lengket bersatu dengan air mata.

"Boleh saya sentuh?" pintanya merujuk pada perut Ana, itu sangat di luar prediksi. Itu menumbuhkan sesuatu untuk Ana, alhasil perempuan itu mengiyakan. Ini pertama kalinya seseorang menyentuh perutnya, hangat dan menenangkan dan Mbok Ratna justru menyambutnya dengan riang.

"Sudah lumayan membesar, berapa bulan? Tiga atau empat?"

"Kayaknya empat..." Ana mengingat-ingat kapan itu terjadi. "Sekitar 14 minggu."

"Mengetahui ada kehidupan di dalam sini adalah sesuatu yang luar biasa yang pernah terjadi. Mbok masih ingat rasa ingin selalu melindungi." Mbok Ratna pun menatap Ana penuh kasih. "Di mana ayahnya?"

"Kami mungkin dibuang." Ana berasumsi. "Saya tidak pantas untuknya. Saya rasa saya bisa mengatasi semuanya sendiri, meski saya tidak tahu caranya. Hanya saja mengharapkan seseorang membuat saya semakin kecewa."

"Ana, kamu berhak meneruskan apa keinginanmu. Meneruskan hidup dan menjaga bayi ini adalah bentuk kamu mau bertanggung jawab, sekarang, kamu harus menguatkan diri untuk menjalankannya. Kamu mungkin melakukan kesalahan, tetapi kamu tidak lari darinya. Ana, kamu melakukan hal yang benar," kata Mbok Ratna membangkitkan Ana. Namun, perkataan selanjutnya melenyapkan semangat.

"Pulanglah..."

Ana kini membuang muka, rahangnya mengetat dan napas memburu. Mengingatnya saja ia tidak sanggup. "Saya tidak bisa, saya bukan bagian dari mereka, Mbok. Bapak sendiri yang bilang, itu melukai hati saya dan saya tidak tahu bagaimana kedudukan saya setelahnya dengan adanya bayi ini."

Ana melirik Mbok Ratna, melepaskan kata-kata tegas dan teguh. "Saya tidak mau siapa pun ini menganggap anakku nantinya seseorang yang seharusnya tidak ada. Satu-satunya alasan saya di sini karena bayi saya, itu membuktikan dia prioritas saya mulai sekarang."

Baru kali ini Ratna melihat keteguhan seseorang secara nyata, Ana yang malang. Ia tahu persis rasanya kehilangan dan dikecewakan keluarga, seseorang yang menjadi nomor satu dan orang yang disayangi. Ratna yakin Ana adalah anak yang baik.

"Baiklah, Ana. Ikut dan menetaplah di rumah Mbok."

Ana terperangah, ia telak menggeleng ketika Ratna bangkit dan mengulurkan tangannya.

"Tidak perlu repot-repot, say—"

"Kamu masih remaja. Tidak aman tinggal di kota asing sendirian," sanggah Ratna tidak ingin penolakan. "Tinggallah sampai kamu memutuskan untuk pulang."

Derasnya hujan kini senyap di telinga, Ana layaknya melihat malaikat yang akan menyelamatkan kehidupannya. Ana terlahir kembali. Dari mata ibu itu, ia melihat sebuah ketulusan. Apakah Ana pantas untuk mendapatkan malaikat seperti Mbok Ratna?

###

Ana kamu kuat kamu bisa sayangkuu ❤️❤️ gimana? Silakan berasumsi dan berpendapat, yaaaa. Besok aku balik lagi tapi kalo VOTE KOMENNYA BANYAK YA!!! Selamat tahun baru semoga tahun depan tahunnya kita semua yaa 🩷🩷❤️❤️❤️

Continue Reading

You'll Also Like

178K 8.7K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
320K 3.7K 81
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
288K 24.3K 36
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
120K 10.4K 22
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...