Home. [End]

By rsptkasih

232K 31.3K 3.4K

[Angst] She fell first, he fell harder. Arsad terjebak sendiri dalam rencana balas dendamnya pada seorang per... More

Prekuel: You had me at hello
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12-1
Chapter 12-2
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Extended Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
CAST
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Extended Chapter 30
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Epilogue
Extra di Karyakarsa [Sudah Lengkap]
Spin Off Abel: Tidak denganmu, dengan yang lainnya

Chapter 31

4.1K 650 108
By rsptkasih

***

Arsad keliru. Ketakutan terbesarnya bukanlah Indira yang marah dan membencinya, melainkan melihat Indira yang terus diam, dan tampak kesulitan mengekspresikan marahnya. Ini bukan hal yang baik untuk Indira sendiri. Arsad tidak masalah kalau Indira sarkas padanya seperti di dalam mobil tadi.

Dia berhasil membawa Indira pulang dengan kebisuan yang mencekik sepanjang jalan. Mereka harus bicara setiba di rumah. Arsad tidak perlu cerita dari awal, dia hanya perlu menjawab pertanyaan yang Indira ajukan. Tidak mudah, keadaan ini justru sulit baginya.

Tapi kenyataan berjalan sebaliknya.

Ruang tamu rumah mereka senyap. Arsad kembali dari kamar setelah mengambilkan selimut untuk istrinya yang menolak ganti baju dan memilih terduduk termenung di sofa. Dia juga mematikan pendingin ruangan.

Indira merenggut selimut dari bahu lalu melemparnya ke sudut sofa. Memandang suaminya dengan putus asa. "Katakan sesuatu. Kamu bilang aku harus percaya sama kamu. Kamu harus yakinkan aku kalau kamu nggak sejahat yang Ibu katakan."

"Nanti kamu sakit." Arsad mengambil selimut tersebut, berniat memakaikannya kembali di tubuh istrinya yang kedinginan. Bibirnya memucat. Dia khawatir besok Indira demam. Meski kondisinya sendiri juga mengenaskan.

"Kamu nggak berbeda dari mereka. Kamu palsu."

Tangan Arsad yang memegang gumpalan selimut jatuh ke sisi tubuh. Mengembuskan napas. Rupanya selama ini dia gagal menunjukkan perasaan cintanya. Lagi pula, siapa yang akan percaya.

"Iya, aku palsu. Kamu pasti sedih dan kecewa. Kamu pasti sangat marah."

Kamu bahkan nggak nangis. Hanya raut putus asa yang semakin dalam dan menyedihkan. Membuat Arsad berkali-kali mengutuk dirinya sendiri. Membuatnya berubah pikiran, alih-alih memenuhi kepala istrinya dengan semua pembelaan, dia ingin memberi validasi setiap luka Indira yang tertoreh karenanya.

Arsad berbalik, memutus kontak mata dengan Indira. "Aku nggak punya penjelasan apa pun sekarang. Kamu pasti udah dengar dari Ibu. Kamu boleh marah. Silakan marah. Nggak perlu ada yang kamu tahan. Di rumah ini, kamu bebas meluapkan apa pun yang kamu rasakan."

Sama aku, kamu boleh merasakan apa pun. "Jadi manusia yang terlalu baik melelahkan kan, Ndi? Marah nggak bikin kamu dibenci, nggak bikin kamu ditinggalkan. Kamu berhak marah selagi kamu punya alasan. Terlepas aku memang salah."

Sisi hati Arsad yang lain menganggap dia telah bersikap tolol. Ada kesempatan untuk menjelaskan, Indira mendengar seperti yang dia inginkan. Tapi dia lebih tersiksa melihat Indira harus menelan rasa kecewa dan bersikap biasa saja besok paginya. Seperti yang sudah-sudah. Tidak adil ketika dia memang bersalah dan karena Indira memang pemaaf, lantas berharap dimaafkan dengan mudah.

Setidaknya dia harus menerima akibatnya. Apa pun yang Indira dengar, bukankah sebagian besar memang fakta? Arsad punya tujuan lain menikahi Indira. Meski hanya sebatas gagasan atau pada akhirnya hanya menunggu waktu untuk mewujudkannya, tapi berapa kali dia membatin nait buruk pada Indira? Dirinya sendiri bahkan tidak bisa menyangkal, apalagi membela diri. Tidak punya muka untuk mengemis maaf saat ini. Merasa tidak pantas.

Di belakang punggungnya, isak tangis Indira akhirnya mulai terdengar. Arsad bergeming di tempat. Mendengar tangisan yang mengirisnya tanpa sanggup memeluk Indira kali ini.

***

Tadinya Abel hanya menyapa biasa ketika berpapasan dengan Indira di area parkir, tapi dia mundur lagi. Mengerjap karena mengira penglihatannya salah.

"Mbak rapi banget habis ngedate pagi-pagi?"

Indira tersenyum sekilas, menggeleng. Dia terpaksa menggunakan makeup tebal untuk menutupi wajah sembapnya. Mereka berjalan bersisihan. Masih dengan Abel yang cerewet. "Suami mulai nyuruh buat dandan ya? Padahal natural juga udah cantik. Tapi nggak apa-apa sih, dandan kan hak setiap wanita. Mau natural atau on point atau cetar sekalian kalian tetap cantik di mata kami. Boleh nanya? Alisnya sulam di mana?"

"Alisku asli. Minta kopi dong, Bel."

"Oh, asli, bagus bentuknya. Boleh, aku bikinin sekarang juga." Abel berlari lebih dulu. Pegawai kafe tampak sudah datang. Abel segera menyelinap ke balik konter. Sibuk di depan mesin pembuat kopi dan mulutnya diam sejenak.

Indira menunggu di bangku luar. Melihat satu per satu pegawainya berdatangan. Indira hanya melambai kecil. Senyumnya tak selebar biasanya. Semoga tidak banyak yang menyadarinya.

"Caramel Frappe datang!" Diikuti Abel yang duduk. "Bonus cookies almond."

"Makasih."

Abel kemudian mengomentari cuaca hari ini yang mendung. Seperti hujan semalaman tidak cukup. Lalu fasih menyebutkan beberapa titik ibu kota yang dilanda banjir kalau sampai hari ini juga hujan deras lagi. Lalu macet di mana-mana. Belum pohon tumbang. "Suram," katanya.

"Suram gimana?"

"Buat single kayak aku, cuaca menjelang akhir tahun beneran bikin suram, Mbak."

"Kayak hidupmu sepi aja."

Abel meringis. "Kalau Mbak ngerasa sepi, datang aja ke rumahku. Setiap hari rasanya kayak pasar tumpah."

"Jadi aku mesti bawa keranjang belanja ya?"

Keduanya saling bertukar decihan.

"Apa tawaran ini serius?" Karena pasti menyenangkan ada di tengah-tengah mereka. Pasti hangat. Walau hanya satu atau dua jam.

Abel terdiam sebentar. Menangkap nada ganjil tapi memutuskan tidak membahasnya. "Tentu aja serius. Lila sama Mama pasti seneng Mbak main ke rumah. Ajak sekalian—"

"Oke, aku datang kapan-kapan."

Tetap meneruskan. "Ajak abangku sekalian."

"Dia nggak pantas kamu anggap abang."

"Duh, iya iya, posesif banget."

***

"Jadi Mas Ar sudah jujur?"

Arsad masih diam beberapa menit sampai Bu Midah mengira pertanyaannya tidak terdengar. Tapi lawan bicaranya memang sedang melamun.

"Dia telanjur tahu dari ibunya. Ceritanya rumit, Bu. Saya nggak bisa cerita ke Ibu untuk yang satu ini."

Bu Midah tersenyum penuh pengertian. Salah satu alasannya lebih nyaman bicara dengan Bu Midah ketimbang tantenya, karena ini. Reaksi tenang seperti ini yang dia butuhkan saat ini. Tantenya mungkin akan mengomel panjang jika tahu tindakan yang dipilihnya.

"Istri Mas, maaf Ibu lupa namanya, marah besar?"

"Dia nggak marah. Dia hanya nangis. Tapi dia benci saya."

"Marahnya mungkin tipe yang diam, Mas."

Arsad menggeleng. "Dia dari kecil ngalamin banyak hal yang nggak enak, Bu. Saya rasa dia nggak ngerti cara marah yang benar. Apa-apa kebiasaan dipendam. Dia kira marah terus cuma diam, lalu selesai? Dia numpuk emosi di hatinya sendiri."

"Tapi lebih baik mana, dia marahnya meledak-ledak atau diam?"

"Dia harusnya mukul atau nampar saya."

Bu Midah menghela napas prihatin. Arsad berdiri dari bangku semen. Hari sudah petang. Dia tidak bisa menahan seorang ibu yang sangat dibutuhkan anaknya lebih lama bersamanya.

"Jaga kesehatan, Mas. Langsung pulang saja. Istirahat." Itu pesan Bu Midah sebelum berlalu.

Tapi kata pulang menjadi sangat menakutkan untuknya. Bagaimana kalau dia tidak menemukan Indira di rumah. Bagaimana kalau dia ditinggalkan.

***

"Mbak? Kenapa malah ngelamun?"

"Maaf, Bapak tanya apa?"

"Ini jadinya mau ke mana, Mbak? Kita udah muter-muter satu jam."

Alamat mana yang harus Indira sebutkan?

Rumah Ibu? Tidak mungkin, jelas tidak mungkin. Rumah Tante Elma? Dia menyimpulkan jika Tante Elma tahu tentang semuanya dan Indira tidak ingin dengar apa-apa. Apartemen Anya juga bukan pilihan yang bisa dia ambil sekarang. Dia hanya akan dicerca banyak hal lalu ditertawakan karena pilihannya menikah dengan Arsad padahal sudah dilarang. Naga? Sahabatnya itu sedang bahagia-bahagianya dengan keluarga kecilnya.

Indira tidak punya tujuan.

"Apa ada, Pak, satu tempat yang bisa saya tuju?"

"Ya?"

"Saya ngerasa nggak punya rumah."

Sopir taksi mengerutkan dahi. Tampak sangsi. Tapi lalu coba percaya, banyak yang berpenampilan seperti orang kaya tapi ternyata turun di depan gang kumuh. Penumpangnya ini mungkin salah satunya. Mendadak khawatir dia ternyata mengangkut penumpang yang tidak punya uang.

Indira mengerti keresahan sopir taksi karena kalimat ambigunya setelah dia perhatikan dari spion tengah. Dia membuka tas, menarik berlembar-lembar uang, entah berapa dia tidak menghitung, dan mengulurkannya ke depan.

"Saya turun di halte berikutnya, Pak."

"Tapi ini terlalu banyak. Ini bahkan cukup untuk—"

Taksi berhenti, Indira bergerak keluar. Tas selempang tak lagi tersampir di bahu, kini talinya menggantung di tangan kiri. Berdiri di tepian halte dengan lalu lalang kendaraan, lampu yang menyilaukan dan bunyi-bunyi klakson.

Tidak. Dia tidak sedang menunggu bus. Lagi pula bus terakhir sudah lewat satu jam yang lalu. Dia hanya merasa familier dengan tempat ini. Halte. Mengingatkannya kalau dia pernah bertemu, berharap dan jatuh hati ke orang yang salah.

Dia pikir masih ada orang baik. Dia kira gilirannya bahagia sudah di genggaman. Setelah sekian lama, setelah semua sakit yang dia telan sendiri, ternyata hidupnya masih berjalan di tempat.

Siapa yang harus dia salahkan?

Bukan Arsad, bukan. Tapi dirinya sendiri yang bodoh.

Suara lain ke benaknya menyangkal. Bohong, Arsad memang salah dan kamu membencinya. Tapi kamu membencinya karena kamu terlalu mencintainya, bukan?

Indira menyibak rambut. Menyeringai getir. Meremas tali tas lebih erat.

Sayangnya, hanya kamu yang mati-matian jatuh cinta. Dia tidak.

***

Arsad masih terjaga saat Indira pulang larut malam. Menunggu sambil menyalakan televisi hanya agar ada suara lain di rumah ini. Nyaris tertidur tapi ingat jika istrinya belum juga pulang. Dia coba menghubunginya sekali tapi tidak diangkat. Setidaknya tidak diblokir.

Saat terdengar suara berisik dari arah kamar, Arsad setengah berlari menghampiri. Menemukan istrinya sedang membentangkan koper besar di lantai dan menurunkan semua bajunya dari gantungan lemari.

"Kamu mau ke mana? Ini udah tengah malem."

Indira tidak menyahut tapi tangannya terus bergerak hingga koper mulai penuh.

Panik semakin menyergap Arsad. "Apartemen Anya? Dia jemput kamu? Kalau kamu mau ke sana biar aku antar. Tapi tolong besok, jangan sekarang."

Indira sibuk menarik ritsleting koper, mengabaikan ocehan Arsad. Selesai dengan koper, dia bergerak ke laci. Mencari satu kunci di antara tumpukan barang di dalamnya. Lagi-lagi mengabaikan Arsad yang mengikuti tanpa berani mencekal lengannya.

Kunci yang dia cari sudah di tangan, lalu melewati Arsad untuk mengambil koper. Langkah lelaki itu masih membayang di belakangnya. Tidak terdengar bujukan lagi. Indira menggeret koper keluar dari kamar dan berhenti di tengah ruangan.

Sisi kanannya pintu keluar. Sisi kirinya pintu menuju halaman. Dia berhenti sebentar, membuat pertimbangan. Mengambil kunci bangunan belakang lantas tidak membuatnya berpikir untuk pergi saja sekalian. Dia ingin meninggalkan rumah ini, karena melihat Arsad, mendengar suara atau gestur terkecilnya, membuat Indira sesak.

Tapi dia tidak punya tujuan. Sialnya, hanya rumah ini. Yang isinya juga orang jahat.

Indira menarik kopernya ke sisi kiri. Arsad tiba-tiba mendahuluinya. "Kamu mau tidur di kamar tamu?"

Bantu membukakan pintu. Sok peduli sekali. Indira mencela di dalam hati.

"Tapi kamarnya belum dibersihin. Mungkin berhantu juga. Ah, tapi kamu nggak takut yang begituan. Kenapa kamu nggak takut apa-apa sih. Minimal takut tikus." Arsad berhenti di teras, membiarkan istrinya kepayahan menarik koper melewati jalan setapak bebatuan. Bukan tidak mau bantu. Indira terlihat tidak mau dia sentuh.

Ada bangunan yang tidak terlalu besar di halaman belakang. Difungsikan untuk kamar tamu. Atapnya bisa digunakan untuk memandangi langit lewat tangga besi yang melingkar.

Indira memutar kunci di pintu. Tanpa menoleh. "Aku lebih takut sama manusia kayak kamu."

Terasa nyeri saat mendengarnya. Arsad merespons dengan anggukan kecil. Menunggu istrinya masuk ke kamar tamu dan menyalakan lampu. Melihat siluet Indira dari jendela sebelum dua lapis gorden itu buru-buru ditutup rapat.

Ini jauh lebih baik daripada melihat Indira keluar dari rumah dan membuatnya kelimpungan setengah mati. Sedikit lega. Besok pagi dia masih bisa melihat istrinya.

Arsad masih bertahan di teras belakang bermenit-menit setelahnya. Cukup lama. Kakinya yang terus berdiri mulai kesemutan. Dia belajar banyak dari Indira, bahkan sekarang, dia sangat mengerti bagaimana rasanya mensyukuri hal sederhana.

Tahu akan begini rasanya, kemarin-kemarin dia menatap Indira lebih lama. Membuatnya tertawa lebih sering. Membawanya ke lebih banyak tempat. Membuatnya merasa sangat dicintai.

"Maaf, Ndi. Aku gagal nunjukin ke kamu kalau dunia nggak lagi menyakitkan. Duniamu masih sama. Aku nggak guna, ya."

***

Kayaknya haters Arsad gak sebanyak haters Acid nih awowkwokk🤡

Selasa/21.11.2023

Continue Reading

You'll Also Like

23.1K 2.7K 33
Hidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain ha...
102K 11.9K 32
Sada benar-benar menginvasi hidup Gentala! Anak manja itu mau apa-apa harus sama Gentala! Gentala nggak boleh kuliah di luar negeri cuma karena Sada...
41.4K 6.6K 7
Book #3 dari series Dunia Ocha Sequel dari cerita Jungkir Balik Dunia Ocha dan Jumpalitan Dunia Ocha, disarankan untuk membaca kedua cerita tersebut...
3.1K 385 7
"Na, nikah, yuk?" tanyaku di sore hari yang absurd. Setelah kami berdua bermain bulu tangkis dan sedang beristirahat. Aku pikir ia akan menyemburkan...