Mayat yang Berjalan (ed. revi...

By Al-Fayoum

1.5K 330 174

Raisa Uktala mati, jatuh dari air terjun saat karya wisata sekolah. Bunuh diri? Dibunuh? Atau kecelakaan? Tak... More

Sekapur Sirih
Prolog
Hari Pertama, Selasa - 1
Hari Pertama, Selasa - 2
Hari Kedua, Rabu - 1
Hari Kedua, Rabu - 2
Hari Kedua, Rabu - 3
Hari Ketiga, Kamis
Hari Keempat, Jumat - 1
Hari Keempat, Jumat - 2
Hari Keempat, Jumat - 3
Hari Kelima, Sabtu - 1
Hari Kelima, Sabtu - 2
Hari Kelima, Sabtu - 3
Hari Kelima, Sabtu - 4
Hari Kelima, Sabtu - 5
Hari Kelima, Sabtu - 6
Hari Keenam, Minggu - 2
Hari Keenam, Minggu - 3
Hari Ketujuh, Senin - 1
Hari Ketujuh, Senin - 2
Hari Ketujuh, Senin - 3
Hari Ketujuh, Senin - 4
Hari Ketujuh, Senin - 5
Hari Ketujuh, Senin - 6
Hari Ketujuh, Senin - 7
Hari Ketujuh, Senin - 8
Konklusi - 1
Konklusi - 2
Konklusi - 3
Konklusi - 4
Epilog

Hari Keenam, Minggu - 1

36 10 1
By Al-Fayoum

—Zaki

Hari Minggu. Hari yang cocok buat dipakai leha-leha: baca buku, nonton film, makan camilan, molor siang, ngopi, dst., dsb., dsj. Meski begitu, karena suatu alasan, di pagi hari yang begitu cerah ini, aku duduk di jok Phoenix dan mengayuh pedalnya sambil ngos-ngosan.

Seorang gadis bertengger di jok penumpang, mengenakan jaket Adidas merah dan celana jersi hitam. Rambutnya masih diikat ekor kuda, tapi kini ditudungi topi merah berinisial F. Apa arti inisial itu? Entahlah. Fuck, mungkin.

"Jaja, cepetan!" jerit gadis itu sembari berpegangan ke rambutku. "Lelet amat lo, sii? Itu mobil tadi jauh di belakang. Sekarang udah nyusul aja."

"Gue yang salah denger ato lo nyuruh gue balapan ama Toyota Supra Twin Turbo?"

Satu hari yang penuh kekacauan pun kembali dimulai.

—Zaki

Beberapa menit sebelumnya, aku bangun di ranjangku sambil mengerang. Wajahku, yang kini memar di sana-sini, terasa ngilu ketika menguap. Aku meraba-raba ke atas meja, mencari ponselku yang berdering, menendangku dari alam mimpi. Ada SMS.

—Hai, Beb.

Begitulah isinya. Nomor tak dikenal. Tak ada di kontak. Aku mengabaikannya dan kembali coba tidur. Lima menit kemudian, SMS lain datang.

—Beb, kok dikacangin siiii .... Bales dunkzz.

Aku menghela dan garuk kepala. Baru aku hendak menekan tombol matikan daya, SMS ketiga masuk.

—Beb, ML yuk!

Aku tak kuasa menahannya lagi dan membalas.

—Najis.

—Akhirnya! Dibales juga. Beb, baru bangun, ya? BTW soal ML ntu canda, ding. Aku masi perawan, gak bakal dikasih obral.

—Kayak yang punya nonok aja, lo.

—Ada dunkz.

—Yakin bukan kontol?

—Eeew! Pagi-pagi udah ngeres, iiih!

—Lo bener. Bogem gue udah ngeres. Pengen jotos lo.

—Pelesir, yuk!

—Moh.

Sejenak tak ada balasan. Aku pikir dia menyerah. Tolol. Buntut Kuda tak pernah menyerah. HP-ku berdering lagi. —Ada orang yang nuduh lo pelaku pembunuhan Raisa. Lo masih mau diem aja?

Aku mengernyit. —Siapa?

—Siswa Baru.

—Siswa Baru siapa, anjing?

—Kenalan Hau-Hau.

Hmm? Oh. Dia. Aku sedikit kaget dia mau membantu Buntut Kuda dalam perkara ini, tapi aku tak kaget dia menuduhku sebagai tersangka. Jika aku ada di posisinya, aku akan sampai di kesimpulan yang sama juga.

Buntut Kuda mengirim SMS lagi. —Gimana? Terima tantangan? Pengen buktiin kalo teori dia salah?

—Gak juga. Lagian gimana kalo dia bener? Mau lo jalan sama gue?

—Liliput kayak lo? Bunuh orang? Plis, deh. Anjing. Aku hampir mematikan HP ketika melihat lanjutannya di bawah. Lagian Iqla sama Hau-Hau percaya lo. Gue percaya mereka. Lalu, lebih bawah lagi: Buruan. Gue tungguin depan kamar lo.

Bulu kudukku berdiri. Pelan-pelan, aku merayap di atas ranjang, menyingkap tirai, dan ... tampak sebuah wajah melekat di kaca jendela. Terang saja aku menjerit histeris.

—Zaki

Pada akhirnya, seperti yang Anda semua ketahui, aku ikut rencana Buntut Kuda. Bukan sebab aku ketularan semangat dia. Bukan pula sebab aku ingin membuktikan bahwa diriku tidak bersalah. Aku digagahi.

Jadi, kami pun pergi menuju TKP. Betapa itu agenda yang luar biasa konyol. Selain tempat tujuan yang melanglang buana, aku juga belum persiapan apa-apa. Aku cuma pakai kaus dan kolor dan sandal jepit. Aku bahkan belum sarapan atau minum susu pagiku—aku tak pernah memulai hari tanpa yang dua itu.

Kami masuk ke mal terdekat dan memarkir Phoenix di sana, lalu pergi ke terminal. Kami naik bus, turun di kota sebelah, lalu pindah angkot berkali-kali hingga si Buntut Kuda muntah. Wajahku terasa terbakar gara-gara dituduh kenalan orang katro ini.

Begitu kami sampai di tempat wisata, Buntut Kuda langsung tepar di bawah pohon cemara. Aku membeli sebotol Sprite buatnya (dengan uang dia sendiri, berhubung aku tak bawa duit barang sepeser pun). Aku membukakan tutupnya, menaruhkan sedotan, hingga menyodorkannya sekalian. Seolah itu belum cukup baik, aku sampai mau-maunya pijat tengkuk si gadis.

"Sori, sori," ujarnya, wajah pucat dan sudut bacot basah. "Mobil bokap semua AC-an. Seumur-umur gak pernah naik angkot."

"Masa, sih."

"Gue sultan, jir." Buntut Kuda menghela napas. "Dulu gue biasa diantar-jemput kalo mau ke mana-mana."

"Sama babeh lo?"

"Gak, lah. Sama sopir."

"Sopir pribadi?"

"Emang ada sopir umum?"

"Kek princess lo."

"Gue emang princess." Lalu dia muntah lagi di dekat kakiku.

"Anjing bangsat nyiprat babi!"

"Terus? Di mana lokasi Raisa jatoh?"

"Mana tau, lah! Gue gak ikutan piknik, anjir!"

"Lah? Gimana dong?"

Aku mengusap wajahku. Manusia edan. Sama sekali tak bisa diandalkan. "Biar gue tanya Iqla." Aku mengeluarkan HP-ku.

—Zaki

Ada banyak hal yang menjadikan tempat wisata sialan ini populer. Bakal kering kerontang mulutku andai harus menyebutnya satu-satu—itu pun kalau aku tahu semua. Seingatku, ada kompleks saung botram di sini, ada cagar budaya, ada bumi perkemahan, pemandian, petapaan, pesugihan, bahkan pelacuran sekalian.

Tempat yang hendak kukunjungi adalah air terjun. Yah, tak sesimpel itu. Ada dua puluh delapan air terjun di sini, dari berbagai tingkat dan lima arus sungai berbeda. Gila, memang. Seandainya Iqla tak memberi tahu lokasi tepatnya, manalah kami tahu letak Raisa jatuh.

"Bentar, bentar! Buntut Kuda!" Aku jongkok di tanah, napas terengah-engah. Di hadapanku jalan menanjak terjal, bermedan liar dan terkurung dahan-dahan pohon melengkung. Seekor ulat berjalan dengan giatnya di atas lututku. Kusentil makhluk malang itu hingga terbang ke bokong Buntut Kuda.

"Air?" tawarnya.

"Thanks." Aku mengatur napas sejenak, lalu bangkit berdiri. "Oke. Lanjut."

Air terjun tempat Raisa jatuh ada di atas gunung. Tempatnya terpencil, suram, lagi belantara. Keringat merembes dari kepala sampai lubang pantat gara-gara rute yang terjal dan gila-gilaan. Di tiga perempat jalan, kami sampai di sebuah puncak lereng dan turun kembali, menyusuri deretan tangga tua. Mendadak, ada papan pengumuman yang menghadang: Tempat Ini Ditutup. Kami berdua mematung, mulut mangap-mangap macam ikan gurame.

"Pantes dari tadi gak ada orang lewat."

"Ciat!"

"Anjing bangsat Buntut Kuda! Lo ngapain, setan!"

Buntut Kuda menendang papan pengumuman hingga terbang, terbanting, lalu terbelah dua. "Ini papan jadah ngehalangin jalan."

"Lo gak baca tulisannya, apa!"

"Gue bodo. Gak demen baca."

"...."

Singkat cerita, kami ngibrit dari sana dan pergi ke lokasi air terjun.

Seperti yang dikabarkan, tempat itu penuh semak belukar. Daerahnya terbilang kecil, berbentuk setengah lingkaran dengan lebar dua puluh meteran. Di tepi tebing, tampak sebaris pagar besi berkarat setinggi satu meter. Ketika aku melongokkan kepalaku dari sana, aku langsung pusing. Buntut Kuda malah hampir jatuh.

"Hati-hati, anjrit!"

"Pusing, pusing."

Aku menghela napas. "Lo bawa kamera?"

"Tada!" Gadis itu mengangkat sebuah kamera digital berwarna kuning gelap. Mirip tahi, kalau boleh blakblakan. Cuma orang sinting yang mau membelinya.

"Coba lo ambil foto-foto dulu. Tapi awas! Hati-hati! Gue yang repot kalo lo celaka." Aku tak bawa duit pulang, soalnya.

"Foto apaan aja, omong-omong?"

Aku memberinya sejumlah arahan, yang intinya, sebanyak mungkin, di tiap sudut.

"Sip." Usai memberiku hormat, dia pun melesat pergi.

Aku berbalik, mengatur napas, tangan di saku kolor. Oke. Ini TKP nonaktif. Sudah tiga bulan lebih semenjak insiden terjadi. Hampir mustahil untuk menemukan hal baru di sini.

Apa semua ini ada gunanya? Aku ragu. Sayang, tak ada pilihan lain. Buntut Kuda tak bisa dihentikan oleh apapun dan siapapun. Dia akan terus-terusan menggangguku sebelum puas.

Amsyong. Melakukannya dengan setengah-setengah cuma akan membuatku lelah. Tanggung ke sini, aku akan mencoba serius. Setidaknya Raisa berhak mendapatkan itu. Tuhan tahu hutang macam apa yang aku punya padanya.

—Zaki

Hal pertama yang membuatku bertanya-tanya adalah untuk apa dia ke sini. Maksudku, ini adalah tempat yang sama sekali tak punya daya tarik. Pemandangannya jelek, rutenya sulit, lokasinya sepi dan penuh semak. Satu-satunya prospek yang tempat ini miliki hanyalah sebagai pabrik anak haram. Selain itu, kenapa harus datang sendiri? Raisa bukan introver. Setidaknya, Zulfa selalu bersamanya. Wanita itu dan Raisa adalah teman baik dari SMP.

Mungkinkah dia diundang seseorang?

Aku tak tahu. Informasinya masih belum mencukupi. Kuputuskan untuk menyimpan lajur pikiran itu untuk dipertimbangkan nanti. Yang bisa kulakukan sekarang adalah memeriksa TKP. Aku menghampiri pagar pengaman yang kelihatan rapuh dan menggoyangkannya.

Anjir. Ini, sih, dicolek sedikit juga bakal copot. Heran juga belum ada yang lepas sampai sekarang. Aku merenung sejenak, lalu menendang pagar itu hingga betulan lepas. Lebih aman begini. Setidaknya tak bakal ada orang yang tertipu oleh rasa aman palsu.

Kembali aku menengok ke bawah jurang. Dalam bukan main. Pagar yang kujatuhkan hilang di balik kepulan kabut yang menyelimuti dasar air terjun. Deburan air bergemuruh di udara.

Aku mendadak teringat cerpen terakhir dari antologi Memoar of Sherlock Holmes. Aku harap aku tak perlu adu tinju dengan si pelaku dan jatuh juga macam Holmes. Amit-amit.

Sebentar. Mungkinkah .... Tidak. Aku kira mustahil. "...." Meski begitu, tak ada salahnya bila aku mengeceknya. Aku mencari peta sungai lewat HP-ku. Kuangkat tanganku tinggi-tinggi karena kehilangan sinyal bajingan. Untuk kesekian kalinya, kukutuk tubuh cebolku. Setelah punggungku sakit dan kakiku kesemutan, barulah aku mendapat apa yang aku inginkan. Hasilnya cukup membuatku terpukau.

Terhubung. Sungai di tempat ini dan sungai yang ada di dekat sekolahku ternyata terhubung. Namun aku masih ragu dengan pemikiranku. Pemikiran bahwa mayat Raisa hanyut hingga ke sekolahku.

Tidak, itu tidak mungkin.

Nyaris mustahil.

Sembilan puluh sembilan koma sembilan sembilan sembilan persen mustahil.

Benarkah?

Aku sempat berpikir buat melempar botol plastik yang diisi alat lacak buat membuktikan teori ini. Aku langsung mengurungkannya. Aku bukan agen rahasia. Aku tak punya peralatan untuk mewujudkan khayalan tingkat tinggi macam itu. Lagi pula tak perlu diuji. Teorinya benar-benar salah.

Maksudku, jaraknya bukan sekilo-dua kilo. Dan sungai tak selamanya datar. Kadang lewat bendungan, kadang lewat dam, kadang lewat jeram, kadang lewat arungan. Bila Raisa hanyut, paling dia cuma bakal tersangkut di suatu tempat.

Tapi kemudian, bagaimana cara si pelaku memindahkan mayat Raisa ke sekolah? Hah! Aku berpikir kelewat jauh. Mungkin caranya simpel. Bungkus, angkut ke mobil, bawa ke sekolah. Abaikan motif dan tujuan; bisakah itu terjadi? Jelas. Setidaknya lebih dari hipotesis yang pertama.

Sekarang, yang jadi pertanyaan adalah cara si pelaku melewati CCTV di gerbang sekolah. Pasti tidak dengan berjalan. Kelewat jelas. Mungkin dengan mobil. Lebih tertutup.

Tunggu. Jika begitu, pasti polisi juga sudah bisa menebaknya. Mereka cuma perlu lihat rekaman CCTV. Itu aneh, berhubung kasusnya tak kelihatan ada perkembangan sama sekali. Apa jenazah dibawa ketika listrik padam? Tidak. Sekolah punya sumber listrik darurat untuk hal macam itu.

Mungkin sebaiknya aku pikirkan cara lain. Cara untuk membawa tubuh Raisa tanpa tertangkap CCTV. Bagaimana? Sayang aku tak melihat jenazahnya sendiri. Aku tak bisa memastikan.

Pertama, adalah dengan memutilasinya, memasukkannya ke dalam tas, lalu memindahkannya sedikit demi sedikit. Apakah ini mungkin? Iya, ini mungkin.

Kedua, adalah dengan melemparnya melewati benteng sekolah. Tapi sebentar. Tinggi benteng sekolahku tidak enteng. Mustahil untuk melempar mayat utuh ke atasnya. Agar cara ini bisa terjadi, si pelaku harus memutilasi tubuh Raisa lagi. Apakah ini mungkin? Iya, ini mungkin.

Ketiga, adalah dengan menyelipkannya melewati celah benteng. Benteng di belakang ruang Ekskul Catur punya lubang sebesar kepala Iqla. Jika mayatnya dimutilasi—lagi—cara ini bisa dilakukan. Apakah ini mungkin? Iya, ini mungkin.

Untuk sekarang, ada tiga hipotesis, dan semuanya punya syarat yang sama: mutilasi. Yang perlu kulakukan hanyalah memastikan apakah kondisi mayatnya memang termutilasi atau tidak. Tapi bagaimana caranya?

Aku menggaruk bokong. Aku butuh akses pada saksi. Apakah ada guru atau murid di sekolahku yang sempat melihat jenazah Raisa? Aku mesti mencarinya.

—Zaki

Selesai bermain-main dengan pemikiran tak bergunaku, aku kembali kasak-kusuk, menyelidiki TKP. Mumpung ada di tempat kejadian, harusnya aku fokus saja dulu ke tugas ini. Aku berjongkok, mengecek kondisi tanah; berkeliling sambil merentangkan tangan buat mengukur; mengorek semak belukar; memandangi langit.

Mentari merayap tegak lurus dengan arus sungai. "Berarti itu timur," gumamku, menatap ke depan. Barat adalah arah hutan. Sebuah draf peta aku gambar dalam benak. Kembali, aku menengok ke sana-kemari—tak ada lampu penerangan di sini.

"Cebool!"

Teriak Tazan ... bukan ... maksudku, Buntut Kuda. Aku berbalik. Si gadis menyeruak dari semak belukar, macam babi. Jangan tanya aku kenapa dia bisa sampai ada di sana.

"Berisik! Ntar ketauan, bego!"

Buntut Kuda tak berhenti berlari. Tubuhnya penuh dedaunan dan ranting. "Udah ketauan!"

Selang satu detik, sosok lain menyeruak dari belukar (masih macam babi). Ah. Petugas wisata.

"Anak goblok! Jangan kabur, woy!" Dia menoleh padaku, melotot, lalu ganti mengejarku.

"Anjir!" Aku mulai lari, tapi sudah terlambat. "Cok Cok COK! Tungguin, Cok!"

"Asem!" Buntut Kuda berbalik, lari ke arah si petugas, lalu terbang dan menendangnya dengan rider kick (aku, sebagai penonton Kamen Rider ketika kecil, tak pernah tahu kalau hal tersebut bisa dilakukan di dunia nyata).

Si pria malang langsung terbanting, terguling beberapa kali, lalu tergeletak diam dengan mulut melongo. Dia tak bangkit lagi sehabis itu.

"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!" jeritku, layaknya karakter wanita sampingan yang baru saja menemukan mayat pertama korban pembunuhan berantai. Oke, aku akui itu lebay, tapi tetap saja: "Bangsat! Ngapain lagi lo, monyet!" []

Continue Reading

You'll Also Like

558K 85K 74
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action serta #scifi yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kas...
454K 38.6K 43
Apa kalian pernah mendengar cerita tentang Banshee dari Irlandia? Atau sosok Dracula yang melegenda dari Rumania? Mungkin, legenda Wendigo yang terso...
9.1K 1.5K 37
"Jangan main kalau matahari mulai terbenam, nanti kamu bisa hilang! Apalagi kalau sampai masuk ke Alas!" Bukan untuk menakut-nakuti anak kecil agar p...
94.5K 11.3K 28
Luka yang diterimanya membuat Roy tak dapat beraktivitas seperti biasanya. Namun, Wijaya--rekan kerjanya--memberitahukan kejanggalan yang terjadi pad...