98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {EN...

By KimRyeonjin

2.1K 120 1

Aku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan... More

PROLOG
CHAPTER 1 : GADIS KU ASMARA
CHAPTER 2: MAHLIGAI CINTA KITA
CHAPTER 3 : TAKUT KEGELAPAN
CHAPTER 4: AWAL GERIMIS MENGUNDANG
CHAPTER 5: ASMARA-KU TERLUKA
CHAPTER 6: SYAIR SI PARI PARI
CHAPTER 7: FAKTA DAN ASA
CHAPTER 8: BINTANG ASMARA
CHAPTER 9: LENGGANA
CHAPTER 10: MULIA HATI
CHAPTER 11: BERTUKAR PILU
CHAPTER 12: MIMPI ASMARA
CHAPTER 13: IZINKAN AKU
CHAPTER 14: MANISNYA MADU MALAM ITU
CHAPTER 15: MARWAH CINTA
CHAPTER 17 : MENTARI KU
ISI SURAT AZAM
98's: DIARY ASMARA

CHAPTER 16 : GULITA

48 6 0
By KimRyeonjin


Nafas ini rasanya pendek sekali dari hari ke hari, membuat ku sengsara diri sebab tak mampu menyanyi dengan leluasa. Namun tetap aku tahan sesak di dada, demi menghibur banyak telinga, agar mereka tak kecewa.

Hari ini aku menampilkan lagi, sebuah lagu penuh makna yang dalam. Dengan syair marifat yang mengandung arti kehidupan dan kematian, hakikat sejati dari setiap insan tuhan.

Lagu Kurnia, aku bawakan dengan sepenuh jiwa. Sekuat tenaga menahan sakit di dada, menahan getaran diri yang mengguncang raga, menyerang paru-paru yang tinggal organ tanpa guna.

"Terlukis hakikat insani
Dari cinta lautan jiwa
Satu pengzahiran rasa jelas di mata
Satu lakunan di pentas dunia
lukisan yang tidak berbingkai
Dan bahasa yang tak ternilai
Kita renangi bersama lautan nikmat
Sampai ke pulau segala keramat"

Nada rendah yang aku ambil cukup stabil, sehingga aku mampu melanjutkan nyanyian ku yang di sambut tepuk tangan, serta sorak sorai meriah dari peminat ku. Sesekali aku lambaikan tangan pada mereka dan mereka pun mengikuti gerakan tangan ku, dengan begitu riang nya hati kami.

"Pabila kita pulang
Dendangkan lagu kasih sayang
Hilangkan keraguan terangkan kegelapan
Apa ayang ada di langit dan bumi
Adalah satu curahan cinta kita tak terperi
Aku hanya menumpang kasih melihat keindahan
Menjamah kebahagiaan
Dan berterima kasih atas kurnia
Yang tak terhingga"

Ah, di tengah reff aku hampir saja tersedak. Tapi untungnya aku bisa menahan batuk yang sungguh sesak, agar tak mengkhawatirkan banyak pihak. Para peminat ku melanjutkan nyanyian itu dengan semangat, membuat ku tersenyum hangat.

"Terlukis hakikat insani
Dari cinta lautan jiwa
Satu pengzahiran rasa jelas di mata
Satu lakunan di pentas dunia
lukisan yang tidak terbingkai
Dan bahasa yang tak ternilai
Kita renangi bersama lautan nikmat
Sampai ke pulau segala keramat"

Oh tuhan, tunggu sebentar lagi. Ku mohon biarkan aku menyelesaikan nyanyian ini. Rasanya dada ku sesak sampai ingin meledak, aku tekan dada ini dengan tangan kiri berusaha menahan rasa yang membludak. Ku tatap puluhan mata yang berbinar-binar memandang ku dari bawah sana, lantas aku lemparkan senyuman terbaik ku meskipun langkah ku limbung.

"Pabila kita pulang
Dendangkan lagu kasih sayang
Hilangkan keraguan terangkan kegelapan
Apa ayang ada di langit dan bumi
Adalah satu curahan cinta kita tak terperi
Aku hanya menumpang kasih melihat keindahan
Menjamah kebahagiaan
Dan berterima kasih atas kurnia
Yang tak terhingga"

Dengan nafas tersengal, aku selesaikan nyanyian itu walaupun tak sempurna. Tapi betapa luas nya hati peminat ku, mereka tetap bertepuk tangan dan mengapresiasi diri ini. Memaksakan lagi senyuman terbit di wajah ini, aku pun membungkuk hormat pada penonton.

Setelah itu aku berbalik untuk kembali ke back stage, tapi baru beberapa langkah ku ambil. Kaki ini sudah bergetar hebat, hingga langkah ku terhenti di tempat. Rasa sesak itu datang menyeruak, kini seluruh dada ku rasanya seperti di timpa batu besar.

Sorak sorai penonton yang menggema kini teredam oleh suara dengungan yang memekakkan telinga, membuat ku memejamkan mata beberapa masa.

Pandang mata ku berkunang-kunang dan perlahan menghitam. Aku tak sanggup lagi menahan massa tubuh ini, hingga akhirnya tumbang.

Tapi saat jatuh aku tak merasakan sakit sama sekali, aku jatuh di tempat ternyaman. Sampai akhirnya aku rak sadarkan diri di sana.

****

"Zam.... Azam."

"Zam, bertahanlah. Ku mohon...."

"Kazam, jangan ajak suamiku pergi. Jangan...."

Terdengar jelas di telinga ku suara Asmara yang bergetar, sambil tersedu-sedu mengelukan nama ku. Namun lemahnya diri ini, untuk sekedar membuka mata saja aku tak mampu.

Sekujur tubuh ku rasanya lemas, aku bahkan tak mampu bergerak sedikitpun. Dada ku berdenyut-denyut sakit, sekedar menarik nafas pun rasanya sulit. Jantung dan paru-paru ku baga di hujam belati sembilu, menyayat nyayat seluruh inti dalam diri.

Ku dengar tangis Asmara-ku, ku dengan berbagai rintihan pilu dan permohonan dirinya agar aku membuka mata. Semakin dalam rasa nya luka ini mendengar istri ku menangis, meraung memanggil namaku tanpa mampu aku sahut.

"Zam..." rintih Asmara lagi.

Oh tuhan, lagi-lagi aku mohonkan padamu. Beri aku kekuatan sedikit saja, aku ingin memenuhi panggilan istriku. Membalas genggaman tangannya sedikit saja, semampu diriku.

Aku ingin bisa membuka mata melihat wajah istriku lagi tuhan, walaupun sakit. Sakit sekali rasanya dada ini.

Getaran dalam aliran nadi aku rasakan, menghantarkan kekuatan pada otot dan urat urat tangan. Walaupun dalam skala kecil, namun itu cukup untuk ku membalas genggaman Asmara. Syaraf dalam kepala mengantarkan pesan pada mata, hingga perlahan kelopak mata ku terbuka.

Hal yang pertama aku lihat adalah wajah sembab istriku yang berbasuh air mata. Oh Asmara-ku, malang nya diri mu sayang. Menangisi lelaki lemah seperti ku, Maafkan aku, Mara. Maafkan aku.

Di balik masker oksigen yang menutupi separuh wajah ini, aku berusaha mengungkapkan pilu hati. Namun lisan ku terhenti, sebab tak ada suara yang berbunyi. Kerongkongan ku seolah menolak untukku berbicara.

Asmara yang peka akan hal itu pun angkat bicara. "Syuut... sudah, jangan di paksa. Aku mengerti maksud mu walau sekedar dari tatap mata," ucap Asmara perlahan di samping telingaku.

Aku mengangguk sambil memejamkan mata, menutupi kesedihan yang tak reda. Oh tuhan, lemahnya diriku. Sampai berucap sepatah katapun tak mampu, bagaimana caraku berbicara dengan nya jika seperti ini?

Aku tidak sedih kehilangan suara emasku, aku sedih karena aku tak mampu berbicara dengan istriku.

"Kamu dengarkan aku saja, ya?" Asmara membelai lembut rambut ku, membuat ku perlahan membuka mata dan menatap nya. "Suamiku.... aku tau kamu kuat, kamu begitu hebat, sayang. Aku bangga padamu," turut istriku dengan tatapan penuh haru.

Aku pun tersentuh mendengar kalimat nya yang penuh fakta dan bangga, atas apa yang aku lakukan tadi.

"Kamu ingat di panggung tadi? Begitu kamu menyelesaikan nyanyian mu walaupun tak sepadu dulu, tapi peminat mu tetap bangga dan bahagia, sayang. Mereka bertepuk tangan dan berseru untuk mu, Zam. Bagaimana aku tidak bangga? Dan sekarang aku yakin, semua dari mereka pasti tengah merisaukan keadaan mu." Masih dia belai rambut dan wajah ku secara bergantian, walaupun kondisi diri ini tak karuan lagi. Tapi dia tetap menatap ku penuh puja-puji, sebagaimana dia menatap dunianya.

Haru rasa hati ku ini membuat kedua mata ku berkaca-kaca menatap nya. Andai saja lidah ini tak kelu, sudah aku seru kan segala isi hati ku pada Asmara.

"Tenang saja, mereka tak kecewa padamu. Mereka begitu mencintai mu, Zam. Sebab mereka tau, kamu tak hanya memiliki kelembutan suara. Tapi juga lembut hati dan laku," tutur nya dengan senyuman getir yang dia paksakan terbit demi menguatkan Aku. "Karena itu, kamu harus sembuh ya, sayang? Sembuh demi aku, demi penggemar mu dan demi impian pernikahan. Kita masih punya banyak impian kan, Zam?"

Aku memejamkan matanya lama, lalu mengangguk sebagai jawaban. Rasa nya tak mampu aku tahan genangan air mata yang memenuhi pelupuk ini, meminta segera di hujan kan membasahi diri.

"Kamu harus sembuh sayang," bisik Asmara pula.

Tulus nya kalimat cinta dan penyemangat dari istri ku, tak mampu membuat ku menahan air haru. Hingga mengalir lah sungai duka di wajah ini, berlinangan membasahi pipi.

Dalam pejaman mata itu, aku rasakan usapan tangan hangat menyerka butir air mata baru yang akan turun. Berlanjut dengan belaian kasih nya di pipi ku.

"Jangan menangis, sayang. semuanya akan baik-baik saja. Aku percaya itu, kamu juga harus yakin, ya?" bisik Asmara syahdu.

Asmara-ku... Bagaimana bisa kamu begitu kuat dan tegar, sayang? Sementara aku tau, hati mu pun kini tengah retak seribu. Menyaksikan suami mu di hujam sengsara bak manula. Oh sayang ku, beribu maaf aku tuturkan karena kelemahan ku menggores hati nurani mu.

Ku buka mata ku lagi dan aku tatap netra legam milik Asmara-ku yang di penuhi genangan pilu, namun senyuman tetap terpatri di wajah itu.

"Aku mencintaimu, Zam. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintaimu. Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintaimu. Ingat itu selalu, ya?" Dia kecup kening ku dalam, Sehingga aku dapat merasakan hangatnya cinta dari sapuan bibir Asmara.

Dapat juga ku rasakan, setetes air mata nya jatuh membasahi kening ku dan mengering disana. Air mata cinta, ketulusan dan kesetiaan. Menzahirkan betapa mulianya curahan rasa yang dia berikan untuk ku yang tak berdaya, bahkan dalam kondisi seperti ini pun dia tetap mengenggam sumpah setia.

Mulialah diri mu, Asmara. Mulialah dirimu di mata ku dan di mata Sang maha cinta.

****

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 138 8
[REVISI PAS TAMAT] just read :) Ini soal Acha dengan kesabarannya, dan juga soal Dava dengan segala 'ketidak peduliannya' ini memang bukan ki...
3.3M 189K 77
Nobody ever loved him; she was the first who loved him. He did not have a family and then one day she entered into his life and became a world for h...
21.3K 1.1K 52
Gulf was making his first Novice vows to become a Friar, at the age of 23, he always felt God's call to religious life, he was always touched to help...
9.2K 6 1
Marceline Winterwald had plans, get good grades, graduate and get a job overseas. It was a solid plan all she had to do was not interact with the mai...