98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {EN...

By KimRyeonjin

2.1K 120 1

Aku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan... More

PROLOG
CHAPTER 1 : GADIS KU ASMARA
CHAPTER 2: MAHLIGAI CINTA KITA
CHAPTER 3 : TAKUT KEGELAPAN
CHAPTER 4: AWAL GERIMIS MENGUNDANG
CHAPTER 5: ASMARA-KU TERLUKA
CHAPTER 6: SYAIR SI PARI PARI
CHAPTER 7: FAKTA DAN ASA
CHAPTER 8: BINTANG ASMARA
CHAPTER 9: LENGGANA
CHAPTER 10: MULIA HATI
CHAPTER 11: BERTUKAR PILU
CHAPTER 12: MIMPI ASMARA
CHAPTER 14: MANISNYA MADU MALAM ITU
CHAPTER 15: MARWAH CINTA
CHAPTER 16 : GULITA
CHAPTER 17 : MENTARI KU
ISI SURAT AZAM
98's: DIARY ASMARA

CHAPTER 13: IZINKAN AKU

59 7 0
By KimRyeonjin

"Laporannya sudah saya terima, besok pagi akan saya periksa. Terimakasih, kamu bisa kembali beristirahat."

"Iya, Selamat malam."

Asmara menutup panggilan telepon itu, seperti nya dari salah satu manager yang mengirimkan laporan lagi. Ya, dia akan memeriksa nya besok. Karena dia baru saja selesai memeriksa laporan yang masuk sejak pagi. Mulai dari sore hingga matahari tenggelam, Asmara baru selesai dengan pekerjaannya sekarang.

Ah, aku jadi rindu. Padahal baru lima jam dia meninggalkan ku bekerja, aku sudah merasa sepi sekali. Tapi sekarang dia kembali kepadaku, karena pekerjaannya telah usai. Asmara pun menghampiri ku yang tengah duduk di atas tempat tidur.

"Obatmu sudah di minum, Zam?" tanya Asmara sambil memasangkan selimut untuk membalut tubuh ku di malam yang dingin.

Tapi sebenarnya bukan itu yang aku butuhkan, melainkan pelukan dari hangat nya raga istriku.

"Sudah," jawabku.

Asmara tersenyum, dia menatap ku tulus. "Sekarang kamu istirahat ya? Sudah malam," titahnya pula.

Aku menggeleng sebagai bentuk penolakan, membuat Asmara mengernyit dalam. Lantas dia mendudukkan diri di sisi tempat tidur, menyamai diriku.

"Kenapa tidak mau tidur? Apa kamu mau berjaga hingga pagi?" tanya Asmara seraya tersenyum menggoda.

"Aku mau peluk, Mara," rengek ku dengan wajah memelas.

Asmara tertawa kecil, lantas merapatkan dirinya ke arah ku. Lalu dia menarikku masuk ke dalam pelukannya. Iya, dia mengabulkan permintaan ku. Memeluk diri ini dengan hangat, membiarkan ku bersandar di pelukannya yang nyaman.

"Apa aku meninggalkan mu terlalu lama?" tanya Asmara lembut.

"Iya. Aku sampai rindu," jawabku.

Dia terkekeh lagi, sembari mengeratkan pelukannya padaku. Aku merasakan sebuah kecupan mendarat di puncak kepala ku, seperti seorang anak yang mendapatkan ciuman manis dari sang ibu. Aku tersenyum sembari memejamkan mata, dan mengeratkan tautan tangan ku di pinggang nya.

"Mara, aku ingin tanya sesuatu tapi kamu jangan marah ya?" ucapku dengan hati-hati.

"Hmmm? Tanya apa, sayang?" sambut Asmara.

Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan bertanya, sambil menelan ludah perlahan. Menenggelamkan kekhwatiran dan keresahan yang mungkin akan menggema, aku pun memberanikan diri bertanya. "Mara, boleh aku perform seperti biasa? Eee- tidak seperti biasa, maksud ku.... Setidaknya sekali saja dalam sehari," kataku dengan perlahan dan hati-hati.

"Aku merasa bosan di rumah saja, boleh kan Mara? Please... Aku janji aku tidak akan merepotkan mu, aku janji tidak akan drop lagi dan tidak akan skip radioterapi. Ku mohon izin kan aku perform lagi, sayang." Aku memohon dengan memelas pada Asmara, berharap diri nya mengizinkan ku bekerja walaupun sekali perform saja.

Bukan semata bekerja mencari nafkah, tapi mencari hiburan diri dan semangat hidup juga. Sebab aku merasa lebih berharga dan segar jika sudah berada di tengah-tengah pentas dunia, menghibur banyak mata dan telinga. Menyanyi untuk pelipur lara mereka, seolah dari sana aku mendapatkan transfer energi sehingga membuat ku bersemangat lagi.

Ku dengar lirih nafas Asmara berhembus dengan berat, namun dia tak melepaskan pelukannya barang sedetik jua. Asmara-ku mengusap lembut pundak ringkih ini, seraya berkata. "Zam, bukan aku tak mengizinkan kamu perform. Tapi- aku masih mengkhawatirkan mu, sayang. Masih terbayang di kepala ku saat kamu terbaring seperti kemarin, itu sangat mengerikan bagi ku, Zam."

"Tapi, Mara. Aku drop karena menolak pengobatan radioterapi, dan sekarang aku sudah rutin berobat kan? Aku yakin aku tidak akan drop lagi," timpal ku meyakinkan Asmara.

"Lagi pula, sayang. Aku tidak akan pergi secepat itu," gumam ku setengah sadar. Demi tuhan kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut ini, tak menyandari bahwa kalimat itu mungkin akan melukai Asmara-ku.

Dan benar saja, kini Asmara mengurai pelukan kami. Dia menunduk menatap ku yang bersandar di sisi ranjang dengan wajah sendu dan mata teduh.

"Bagaimana jika aku yang pergi lebih dulu?" tanya Asmara dengan datar.

Mata ku terbelalak mendengar pertanyaan Asmara yang tiba-tiba. "Jangan berkata begitu, Mara. Aku takut," cicit ku seraya meraih tangan lentik Asmara untuk ku genggam.

"Kamu pikir aku tidak takut kehilanganmu, Zam?" tanyanya dengan tegas. Aku dapat mendapati raut cemas bercampur emosi dari wajah istriku. Oh tuhan, mulut ini begitu lancang melontarkan kalimat putus asa itu. Sehingga melukai istriku. "Sayang, tidakkah kamu bisa melihat hati ku selama ini? Kenapa kamu membuat ku takut?" resah Asmara dengan sendu.

Aku menunduk memejamkan mata dalam, mengumpati diri dalam hati. Menyesali betapa bodohnya diriku ini.

"Kamu pesimis seperti itu, membuat ku takut, Zam." Asmara pun menunduk meneliti wajah ku yang penuh rasa bersalah itu.

"Maaf, Mara. Maafkan aku," sesal ku tak tersangkal. Aku masih tak berani menatap mata Asmara yang mungkin sekarang sedang berkaca-kaca.

Tangan lentik itu dengan sopan meraih wajahku, membuat pandangan kami saling bertemu. Anehnya, tak ku dapati raut kecewa dan pilu di mata istriku. Ku lihat dia tersenyum penuh arti, sambil menyemai mata ini. "Aku sudah pernah bilang kan? Waktu kehidupan itu di tentukan oleh Tuhan, bukan manusia. Kita harus percaya keajaiban tuhan itu ada, Zam."

"Iya, Mara. Aku percaya, Maafkan aku, sayang." Aku membalas tatapan nya tak kalah dalam, menelusup kan cinta serta ketulusan tak terhingga.

"Jangan pernah berkata begitu lagi ya? Aku tidak suka," kata Asmara-ku.

Aku mengangguk menyetujui. "Iya, Istriku."

Helaan nafas lega keluar dari mulut Asmara, lalu dia meraih tangan ku satu lagi. Hingga kini kedua tangan ku tengah dia genggam, dan dia bawa ke pangkuan nya.

"Aku tau kamu sangat mencintai pekerjaan mu, Zam. Sangat mencintai peminat mu dan tidak ingin membiarkan mereka kesepian tanpa suara merdu mu," ungkap Asmara sambil mengusap punggung tangan ku. "Aku izinkan kamu perform, satu kali dalam sehari."

Aku membulatkan mata mendengar keputusan Asmara, senyuman cerah terbit di wajah ku tanpa diminta. "Benar sayang?" tanyaku memastikan.

Asmara mengangguk sambil tersenyum tipis. "Tapi ada syarat nya ya?"

"Apa? Apa syaratnya? Akan aku terima," sambut ku kesenangan.

"Aku harus ikut kemanapun kamu perform," jawab Asmara mengutarakan syarat yang amat sederhana.

Aku tersenyum menampilkan deretan gigi ku, lalu mengangguk semangat. "Aku terima syarat itu, sayang. Aku mau bekerja di temani kamu," sahutku pula.

Ku lihat Asmara mengangguk sambil tersenyum hangat, menanggapi kebahagiaan ku juga. Dengan segera, aku peluk lagi dirinya. Tapi kali ini, dia lah yang bersandar di dada ku. Karena aku ingin memanjakan istriku malam ini.

"Ayo kita tidur, sayang."

"Nyanyikan aku lagu pengantar tidur Zam," pintanya sembari menyamankan posisi di dadaku.

Aku tersenyum sambil mengusap lembut pundak istriku. "Syair si pari pari, mau?"

"Apapun itu, aku hanya ingin mendengar suaramu."

"Baiklah sayang," putus ku.

Aku berdeham sekali untuk memantapkan suara, lalu mulai melantunkan sebuah lagu.

Lagu istimewa yang aku ciptakan atas perwujudan rasa cinta dan rindu ku pada Asmara-ku, kala dia berada jauh di negeri seberang. Terpisah selat dan jarak yang membentang, hanya bermodalkan bayang-bayang dalam memori usang. Aku menciptakan lagu ini di bawah langit ungu, sembari menerawang wajah kekasih ku.

Asmara-ku.

"Lara... kian parah merusuh dada
Terpintas litar ku terasa
Sepi... nyaring menjerit dan membingit
Lenyap damai tanpamu
Masa... tersimpul di alam yang kelam
Terolak-alik arah tujunya
Hanya... hanya zahirmu yang kan bisa
Meleraikan segalanya"

"Di bawah sinaran ungu
Kau persembahkan syairmu untukku
Gemalai tarimu bagai
Sang pari-pari turun ke bumi"

"Menjelmalah kau dari maya
Hiburkanlah hatiku gundah
Jangan biarkan aku.... keliru
Memburu... dirimu...."

"Masih berlegar di antara mimpi
Bagai nyata kau hadir dan bersenda
Telah kuhulurkan kasihku padamu
Tak kau genggam jiwaku yang tercengkam
Aku yang terseksa
Dan menanti...."

Dapat aku rasakan tautan tangan Asmara di pinggang ku kian mengendur, lantas aku pun menunduk demi mendapati wajah ayu yang ku puja telah terlelap ke alam mimpi. Tak dapat aku tahan senyuman di bibir ku, kala pemandangan indah itu kembali terjamah mata. Ah, aku selalu suka melihat wajah Asmara-ku saat tertidur seperti ini.

Begitu indah, begitu mempesona. Bak seorang putri tidur yang menunggu ciuman pangeran nya. Kelopak mata bak bunga mekar itu tertutup rapat, membuat bulu mata lentik nya menyapu sekitar kantung mata itu. Cantik sekali, istri ku.

Tak mampu menahan diri. Aku kecup kening Asmara-ku dalam, sambil memanjatkan doa pada tuhan meminta perlindungan untuk Asmara-ku dalam tidur nya. Agar tak di suguhkan mimpi buruk ataupun gangguan lainnya, aku hanya ingin Asmara-ku beristirahat dengan tenang.

Sebab dia sudah lelah bekerja dari sini, dan mengurus diriku yang merepotkan. Aku harap Asmara-ku bisa melepas lelahnya dalam waktu dekat ini.

"Maafkan aku Asmara, maafkan aku selalu merepotkan mu. Aku mencintaimu," bisikku di telinga nya. Kemudian turut memejamkan mata tanpa melepaskan pelukan kami.

****

Continue Reading

You'll Also Like

1K 52 37
The beginning of Noelle and Niall. © lokiniall 2018
1.7M 95.6K 87
Daksh singh chauhan - the crowned prince and future king of Jodhpur is a multi billionaire and the CEO of Ratore group. He is highly honored and resp...
3.2M 187K 77
Nobody ever loved him; she was the first who loved him. He did not have a family and then one day she entered into his life and became a world for h...
99.8K 931 30
(Y/n) just wanted to leave the curse of a life he was forced with. When the day comes that he leaves he makes a new family and a new life, a better o...