98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {EN...

Oleh KimRyeonjin

2.1K 120 1

Aku umumkan pada dunia, bahwa kisah ini tentang mereka yang mengikat cinta dengan sebuah ikatan suci di depan... Lebih Banyak

PROLOG
CHAPTER 2: MAHLIGAI CINTA KITA
CHAPTER 3 : TAKUT KEGELAPAN
CHAPTER 4: AWAL GERIMIS MENGUNDANG
CHAPTER 5: ASMARA-KU TERLUKA
CHAPTER 6: SYAIR SI PARI PARI
CHAPTER 7: FAKTA DAN ASA
CHAPTER 8: BINTANG ASMARA
CHAPTER 9: LENGGANA
CHAPTER 10: MULIA HATI
CHAPTER 11: BERTUKAR PILU
CHAPTER 12: MIMPI ASMARA
CHAPTER 13: IZINKAN AKU
CHAPTER 14: MANISNYA MADU MALAM ITU
CHAPTER 15: MARWAH CINTA
CHAPTER 16 : GULITA
CHAPTER 17 : MENTARI KU
ISI SURAT AZAM
98's: DIARY ASMARA

CHAPTER 1 : GADIS KU ASMARA

312 6 0
Oleh KimRyeonjin


Senyuman terlukis di wajah ku kala melihat sosok yang aku damba terjamah oleh pandang mata. Seorang gadis cantik, berambut sepinggang dan bermata menarik, telah keluar dari bilik kenyamanan demi menemui diriku.

Tapi sayang, tak ada senyuman di wajah cantik itu. Aku rasa di masih setengah hati menerima perjodohan ini. Tapi tak masalah, setelah pernikahan kami nanti, aku bersumpah akan berusaha sekuat tenaga mengukir senyuman di wajah yang aku puja itu.

Setelah usaha ku bulan ini membuahkan hasil, dapat ku duga. Tak semudah itu menaklukkan hati Tuan Wibisana, untuk mendapatkan putri tunggalnya yang amat jelita. Namun aku sudah mempersiapkan jawaban dari jauh-jauh hari.

Bermodalkan kemapanan dan garis keturunan ku dari seseorang yang berteman dekat dengan Tuan Wibisana, sehingga dia percaya untuk menitipkan putri nya padaku. Sebab aku adalah putra dari almarhum teman dekatnya sendiri.

"Asmara, ucapkan salam pada calon suami mu," titah Tuan Wibisana pada putri cantik nya.

Terlihat gadis itu melirik sekilas ke arahku. Aku pun menatap gadis itu dengan senyuman cerah, tapi dia menunduk lagi sembari memilin ujung gaun jingga yang dia kenakan. Oh, lugunya dia.

"Assalamualaikum," ucap Asmara dengan suara pelan namun mendayu begitu lembut.

"Walaikumssalam," jawabku tak kalah lembut.

Ku lihat kedua orang tuanya Asmara tersenyum puas, mendengar kami saling bertukar sapa.

"Pernikahan kalian akan di laksanakan Minggu depan, bagaimana menurutmu Asmara?" kata Tuan Wibisana pula.

Terlihat Asmara menarik nafas panjang, kemudian dia hembuskan dengan berat hati. Lalu dia menatap ayahnya dengan binar mata pasrah dan lemah. "Terserah ayah, Mara ikut saja."

Lega rasanya hatiku mendengar kalimat Asmara barusan, Walaupun tersirat kepasrahan dan keterpaksaan. Tak mengapa, aku berjanji Mara. Kamu tidak akan menyesal menikah dengan ku, karena aku akan membahagiakan mu, Aku bersumpah untuk itu.

"Saya akan mempersiapkan segala sesuatunya, Yah. Ayah, Bunda dan Asmara terima beres saja," ucapku pula.

Kedua orang tuanya Mara mengangguk paham, berbeda dengan Asmara yang masih tertunduk lesu enggan menatapku. Tapi tak lama kemudian dia kembali harus berserah diri, sebab ayah dan bundanya menyuruhnya untuk berkenalan dengan ku. Mereka berdua meninggalkan kami di teras depan rumah itu, dengan kecanggungan yang sunyi.

Aku berdeham untuk memecah keheningan. "Mara, kita di suruh apa ya tadi?" pancingku.

"Berkenalan," jawab Mara singkat.

"Ah, iya. Berkenalan, Perkenalkan Mara. Namaku Azam Zafari," ucapku sembari menyodorkan tangan dan tersenyum ramah pada Asmara.

Dia mengangkat pandangan nya menatap wajah ku, kemudian tersenyum miring. Terlihat ekspresi tengil di wajahnya, tapi tidak menyebalkan. Malah terlihat menggemaskan, Mara membalas uluran tangan ku.

Terasa begitu lembut sentuhan tangannya, bak helaian sutra membelai halus kulit ku. "Asmara Wibisana."

"Calon istri ku?" pancing ku dengan wajah serius.

Asmara mengangguk kecil. "Katanya begitu."

Aku tertawa mendengar celetukan semu dari dirinya, lalu tautan tangan kami terlepas sebab dia lebih dulu melepaskannya.

"Katanya kamu penyanyi terkenal di Mexolar?" tanya Asmara dengan sedikit minat.

"Iya, bisa di bilang begitu."

"Tapi kok aku tidak tau ya?" katanya sambil menerawang jauh.

Aku terkekeh kecil. "Mungkin aku tidak seterkenal itu," sahutku pula.

"Aku tidak pernah mendengar mu menyanyi," ucap Asmara pula.

"Kamu mau mendengar ku bernyanyi?" tawarku sembari menegakkan tubuh.

Dia tersenyum, sembari menggeleng tipis. Oh tuhan, akhirnya aku bisa menyaksikan senyuman itu lagi. Betapa indahnya lengkungan di bibir Asmara-ku, mempesona bak dewi dari nirwana.

"Nanti saja," tolaknya.

"Di hari pernikahan kita?" kataku pula.

Asmara terlihat berfikir sejenak, lalu mengangguk walaupun ragu. "Ya terserah kamulah," jawabnya.

Aku tertawa, ku tatap wajah ayunya dengan segenap penghayatan jiwa. Melihat dirinya di hadapan ku kini, bak sedang bermimpi. Gadis pelita yang selalu aku pikirkan kini berada tepat di hadapan mata, dekat dalam jangkauan dan sebentar lagi akan ku sematkan tanda kepemilikan.

"Azam, jangan menatap ku begitu. Aku malu," protes nya membuat ku menyadari bahwa aku baru saja menatap nya lekat tanpa berkedip.

"Abang, Mara. Dia lebih tua darimu," tegur Nyonya Wibisana yang tiba-tiba muncul dari pintu utama membawakan kami cemilan.

"Terimakasih bunda," ucapku pada Wanita itu sembari melirik Asmara yang seperti nya terpancing dengan godaan ku.

"Bunda? Kamu memanggil bunda ku dengan sebutan bunda juga?" tanyanya dengan mata membulat.

"Iya, kenapa?" tanyaku sambil menyesap teh manis hangat yang di suguhkan bunda dengan santai.

Ku lihat Asmara memasang wajah kesal, dia menatap ku tajam dengan bibir mengerucut. Lagi-lagi aku hanya bisa menahan kegemasan. "Itu bunda ku, bukan bundamu!"

"Bundamu akan jadi bundaku juga sebentar lagi," pancingku pula.

"Tidak! Bunda hanya miliku," kata Asmara sembari menggeleng kukuh.

Nyonya Wibisana tertawa geli mendengar perdebatan kami, dia mengulurkan tangannya menyentuh puncak kepala Asmara sembari menunduk.

"Azam benar, nak. Dia kan sebentar lagi akan jadi suamimu? Berarti bunda dan ayah akan menjadi orang tua nya juga," jelas Nyonya Wibisana dengan sabar dan lemah gemulai.

Aku tersenyum geli melihat Asmara yang seperti nya merajuk, sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Masih tidak terima bahwa dirinya akan berbagi panggilan bunda dengan ku.

Nyonya Wibisana terkekeh lagi, lalu mencubit pelan ujung dagu anaknya yang menggemaskan itu. Ah terimakasih Nyonya, sudah mewakili rasa gemasku. "Sudah jangan merajuk begitu, Bunda masuk dulu ya? Kalian yang akur."

"Ingat, Mara. Panggil dia Abang, karena dia lebih tua darimu," pesan wanita paruh baya itu pula, mengingatkan ku pada bundaku yang sudah meninggal tiga tahun yang lalu.

Setelah Nyonya Wibisana masuk ke dalam, baru Asmara mau angkat bicara.

"Aku tidak mau punya suami tua," kecamnya dengan wajah kesal.

"Aku tidak setua itu, Mara. Kalau kamu tidak mau memanggil ku Abang, tak masalah. Panggil aku sesuka mu, kalau bisa panggil sayang juga tak masalah," godaku sambil tertawa.

Asmara berdecak kesal, lalu berdiri dengan menghentakkan kakinya. Berjalan memasuki pintu utama dengan langkah berdentum-dentum, seperti nya dia benar-benar kesal. Aku tak marah, hanya tertawa saja melihat tingkah calon istri ku yang benar-benar menggemaskan.

Tak lama setelah Asmara masuk, Tuan Wibisana keluar dan menghampiri ku. Mungkin dia melihat anak gadisnya terlihat kesal, kemudian dia khawatir dengan hubungan kami.

"Ada apa Azam? Apa dia bertingkah lagi?" tanya pria itu dengan cemas.

"Ah, tidak ayah. Asmara tidak bertingkah, dia hanya kesal karena saya terlalu banyak menggodanya," jawabku dengan jujur.

Ayahnya Asmara tertawa sembari menggelengkan kepala, mungkin dia geli dengan percekcokan remaja seperti kami. "Kalau begitu ayah panggilkan lagi ya, Asmara nya?"

"Eh tidak perlu ayah, biarkan saja Asmara beristirahat. Ini sudah malam, saya juga mau pamit pulang." Aku berdiri menghampiri Tuan Wibisana yang masih berdiri di ambang pintu utama.

"Kenapa cepat sekali?" tanyanya.

"Sudah kemalaman, Ayah," kataku dengan sopan.

"Kamu tidak mau pamit dengan calon istri mu terlebih dahulu?" goda pria itu sambil tersenyum menggoda ku.

Aku menunduk malu, seraya terkekeh kecil. "Saya titip salam saja, Ayah. Kasihan dia kalau harus keluar lagi, disini sudah mulai dingin. Bisa tolong ayah sampaikan, kalau Azam pulang?" ucapku pula.

Tuan Wibisana tertawa, seraya menepuk pundak ku perlahan. "Baiklah, Azam. Nanti ayah sampaikan," katanya pula.

Aku pun menyalami Ayahnya Asmara, alias calon mertua ku. Lalu pamit pulang, tak lupa pamit pada bunda juga. Saat aku berjalan ke halaman menghampiri mobil ku, aku melihat siluet seorang gadis berdiri di jendela lantai dua. Tapi begitu aku memandang kesana, cepat-cepat siluet itu menghilang. Senyuman terlukis di bibirku, pasti itu Asmara yang mengintip kepulangan ku.

"Manisnya calon istri ku," gumamku perlahan setelah memasuki mobil. Lalu aku pun beranjak dari kediaman Keluarga Wibisana.

****


HAHAHA GIMANA? SUKA?

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

7K 164 14
it's a twd story it begins at season 1 It's a fanfic about rick grimes and the reader
99.8K 931 30
(Y/n) just wanted to leave the curse of a life he was forced with. When the day comes that he leaves he makes a new family and a new life, a better o...
1.3K 66 15
Nadira Kiara Cantika, seorang gadis yang berada di kelas 11 itu sedang mengalami fase patah hati setelah berjalan 6 bulan hubungan, ia dikhianati ol...
9.2K 5 1
Marceline Winterwald had plans, get good grades, graduate and get a job overseas. It was a solid plan all she had to do was not interact with the mai...