FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
21. Kamu?

20. Rama & Toko Buku

30 4 0
By rahmatgenaldi

Rama Hakmani:
"Kau sudah siap-siap?"

Raina Genna Eldirah:
"Iya."

"Kau bagaimana? Sudah menuju ke sana?"

Rama Hakmani:
"Maaf, Na. Mungkin aku akan sedikit terlambat. Aku sedang menunggu tukang galon mengantar ke rumah. Kau pahamlah, ini derita seorang anak yang tinggal sendirian."

Raina Genna Eldirah:
"Tidak apa-apa."

"Kalau begitu aku masih punya banyak waktu untuk mengisi perut, kan?"

Rama Hakmani:
"Ya, kau makan saja lah dulu."

"Tapi jangan sampai kenyang."

Raina Genna Eldirah:
"Iya, aku tau. Aku tidak perlu terlalu banyak mengisi energi hanya untuk menemanimu ke toko buku, kan?"

Rama Hakmani:
"Bukan begitu."

"Maksudku, sebaiknya kau jangan makan terlalu banyak pagi ini."

Raina Genna Eldirah:
"Kenapa?"

Rama Hakmani:
"Hanya mengingatkan."

Raina Genna Eldirah:
"Dasar aneh."

Rama Hakmani:
"Tukang galonnya sudah datang. Lima menit lagi aku berangkat."

"Share location sekarang, Na."

Raina Genna Eldirah:
"Hah? Share location?"

Rama Hakmani:
"Idiot."

"Aku belum pernah tau rumahmu di mana, kau pikir aku cenayang yang bisa langsung tau hanya dengan menebak-nebak?"

Raina Genna Eldirah:
"Tunggu, kau mau menjemputku?"

Rama Hakmani:
"Kau tidak benar-benar berpikir bahwa aku akan membiarkanmu berangkat ke toko buku sendirian, kan?"

Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, ini hal biasa. Bare minimum. Tapi kenapa saat mendapati Rama berkata bahwa dia akan menjemputku, aku jadi terdiam dan sedikit panik? Aku langsung berdiri dari meja makan, mencari cermin untuk memastikan bahwa penampilanku sudah oke. Hari itu aku benar-benar mengikuti petuah Kirei. Aku mengenakan celana katun berawarna hitam yang kupadukan bersama kaos polos abu-abu, dengan sebuah kardigan berwarna soft brown sebagai outer. Awalnya aku sama sekali tidak berani memoleskan riasan apapun ke wajahku selain lipt-tint dan cushion. Tapi hari itu berbeda, aku bahkan sampai bangun pagi sekali untuk menonton tutorial natural make up yang disarankan Kirei.

Aku menatap pantulan diriku di depan cermin, cukup lama meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bersama cushion, loose powder, concelear, lipgloss , eyeliner dan blush on yang meriasi wajahku, aku berusaha percaya pada diriku sendiri bahwa Raina memang layak untuk sebuah kencan. Tapi tunggu, apa benar ini layak disebut kencan? Semakin waktunya akan tiba, semakin membingungkan untuk kujawab. Sebab jika memang ini bukan kencan, kenapa Rama sampai harus menjemputku segala? Jika ini harus kuanggap sebagai jalan-jalan biasa, kenapa aku sampai harus bersolek ria padahal dulunya aku tidak pernah mau menyentuh alat-alat make up?

Hampir satu jam aku hanya mondar-mandir tak jelas di depan cermin, berusaha tetap tenang meski sebenarnya aku sangat kewalahan menghadapi degup jantungku.

Rajendra Rama Hakmani:
"Depan."

Oke. Itu hanya satu kata. Satu kata yang membuatku panik bukan main dan dengan spontan melangkah buru-buru. Aku bahkan tidak sempat memutuskan mau kuapakan rambutku, apakah harus kucatok lurus atau justru kutambahkan kesan curly. Tidak ada waktu memikirkannya karena Rama sudah sampai di depan rumahku.

Dengan rasa panik yang masih sama, aku menuruni tangga sambil menguncir rambutku ke belakang. Sialnya, aku hampir terjatuh setelah tiba di depan pagar rumah. Aku hanya berharap Rama tidak melihat itu, karena tentu ini akan lebih dari sekadar memalukan.

Tapi ... di mana dia? Katanya di depan rumahku? Aku menoleh ke kanan dan kiri, tetap tak kulihat mobil Honda Jazz berwarna carnival yellow terparkir di sekitaran rumah. Sampai akhirnya, suara klakson membuatku tersentak.

Pantas saja aku tidak menemukannya. Orang mobilnya beda! Hari itu dia menjemputku dengan mobil Honda CRV Prestige berwarna putih yang dengan langsung membuatku berpikir, mobilnya ada berapa, sih?! Dan, kenapa pula jantungku harus berdetak dengan ritme sekacau ini saat mulai berjalan menuju mobil itu?

Tanganku membuka pintu mobil, lantas langsung duduk di kursi penumpang tepat di samping Rama tanpa punya sedikit pun keberanian untuk menoleh ke arahnya. Tuhan ... aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa gugup begini hanya karena duduk berdua di dalam mobil bersama seorang lelaki. Ini rasanya berbeda, sungguh jauh berbeda jika dibandingkan ketika aku duduk di samping Andre. Rasanya mengingatkanku seperti saat aku duduk di dalam mobil bersama Julian dulu, tapi yang satu ini jauh lebih mendebarkan.

Tuhan ... apakah degup jantungku yang tidak teratur ini hendak memberitahu bahwa aku sudah suka Rama sejak kemarin-kemarin? Ah, aku tidak mau menemukan jawabannya.

Kuberanikan diriku menoleh, kemudian terperanjat karena ternyata Rama sedang menatap ke arahku. Tunggu, lebih tepatnya, dia sudah memandangiku sedari tadi! Aku tidak yakin, tapi dari tatapannya itu, dia terlihat seperti .... speechless?

"Harus sekali, ya, menatapku seperti itu? Kenapa?"

Dia langsung membuang tatapannya ke sembarang arah. Menggaruk tengkuknya, lantas dengan buru-buru menyalakan mesin mobil. Kupikir kita akan segera jalan menuju toko buku yang ada di Grand Mall Cavvarta, tapi yang ada Rama kembali menoleh, menatapku dengan tatapan yang seperti tadi. Sedalam tadi, dan sama kuatnya.

"Rama? Inikah caramu menyapaku? Begini caramu mengatakan 'Hai, Raina' ? Kenapa kau seperti sedang melihat hantu, sih?"

Lagi, dia terlihat seperti orang yang salah tingkah saat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah yang bukan ke arahku. Dia mulai melajukan mobil, tetap diam saat aku justru semakin dibuat gugup dengan situasi.

Kenapa dia menatapku cukup lama ya tadi? Apa riasanku terlalu menor? Oh, Raina, harusnya kau memang tidak perlu sampai bersolek begini! Atau mungkin, pakaianku terlalu ramai? Kurang cocok dengan bentuk badanku?

"Tidak usah pikir macam-macam," ucap Rama meruntuhkan menara otakku. "Aku hanya sedikit terkejut melihatmu yang hari ini sedikit ... berbeda. Berbeda dengan apa yang selama ini kulihat lewat kuliah online."

"Kenapa? Jelek, ya?"

Dia menoleh cepat ke arahku. "Hei, aku tidak bilang begitu!" serunya sebelum kembali fokus menatap jalan.

"Lalu apa?"

Dia menggeleng. "Lupakan saja."

Apa-apaan! Ingin sekali membuatku penasaran, Rama? Kalau menebak perasaanku sendiri saja aku masih ragu dan tidak berani, kenapa sekarang aku harus menebak isi kepalamu? Aku tidak mau memikirkannya lebih jauh, mungkin lebih baik kubiarkan saja dia dengan pikirannya sendiri.

Aku mengeluarkan ponsel, berusaha agar dengan begitu aku bisa terlihat tenang meski kenyataannya berbanding terbalik.

Raina Genna Eldirah:
"Rei, tolong aku. Dia tadi menatapku lama sekali. Bagaimana aku tidak gugup?"

Kirei:
"Kontrol, Na. Tenang. Kau harus terlihat tenang. Sit still, look pretty."

"Apa yang sedang kau lihat di ponselmu itu?" Rama berucap, membuatku melihat ke arahnya yang masih fokus menyetir. "Apa yang lebih menarik dari mengajakku bicara, Na?"

"Kau hanya diam. Kupikir kau lebih ingin tenggelam dalam pikiranmu," belaku seadanya. Selanjutnya yang terjadi di sana adalah topik-topik yang sekiranya bisa membuat kita berdua semakin jauh saling mengenal.

Rama terlalu bisa. Selalu bisa membuatku tanpa sadar menyibak tabir yang kugelar untuk menutup diriku dari siapapun. Dia banyak bertanya, aku pun menjawab dengan penuh rasa senang.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan novelmu itu, Na? Kapan punyaku akan dikirim ke rumahku?"

Ah, terima kasih. Terima kasih kepada Rama karena sudah memilih topik yang setidaknya bisa meredakan debar jantung. "Well, bukunya masih belum benar-benar selesai. Kalau mengikut perhitunganku, sebenarnya sudah rampung sepenuhnya. Tapi penerbitku ingin aku menambahkan extra chapter. Itu yang sedang kukerjakan belakangan ini."

"Lho? Kalau belum selesai, kenapa kalian sudah bisa membuka pre-order?"

Aku menertawakan pertanyaannya, menoleh demi memuaskan diriku meledeknya. "Kau ini nampak sekali belum pernah ikut pre-order buku. Masa pre-order itu cukup lama, Rama. Bisa sampai dua bulan. Di masa-masa itulah penulis punya kesempatan lebih untuk menyempurnakan hal-hal yang belum rampung sebelum bukunya naik cetak."

"Kalau sudah rampung, lalu apa?"

"Ya tentu saja buku-bukunya akan dikirim ke orang-orang yang memesan. Kemudian dilanjutkan ke pre-order batch dua."

"Hah? Bacth dua?" Dahinya mengernyit, aku membalasnya dengan anggukan.

"Kebetulan, aku bersyukur sekali karena novelku ramai peminat di pre-order batch pertama ini. Artinya, akan dibuka lagi pre-order batch kedua. Kalau masih ramai, katanya akan sampai tiga kali pre-order sebelum bukunya beredar ke toko-toko buku."

Dari ekor mataku aku bisa melihat dia mengangguk paham. Aku menghitung dalam hati, sembari berpikir harus membahas apa setelah ini jika Rama tidak lagi kembali bicara.

"Tapi yang masih aku pertanyakan ada, sih, satu hal."

Dia kembali bicara. Batinku bersorak dengan ekspresiku yang kuusahakan tak terbaca. Aku menoleh ke arahnya, membebaskan dia untuk lanjut bertanya.

"Aku sempat melihat di Instastory-mu, ada beberapa orang yang mengeluh karena tidak kebagian di pre-order pertama. Memangnya apa bedanya dengan pre-order kedua dan tiga? Bukannya waktu pengirimannya serentak, juga, ya? Kenapa buru-buru sekali harus ikut yang pertama?"

"Tentu ada bedanya, Rama. Di dalam pre-order kemarin, disediakan seribu eksemplar. Tapi dari seribu eksemplar itu, ada lima puluh orang pertama yang akan mendapatkan buku bertandatangan. Mereka memperebutkan posisi lima puluh orang pertama itu. Entah apa istimewanya tandatanganku, aku juga tidak mengerti."

"Ah, harusnya aku tidak perlu ikutan pre-order pertama."

Aku refleks menoleh, apa maksudnya?

"Karena, aku bisa meminta tandatanganmu kapan saja aku mau, kan?"

Aku lagi-lagi hanya bisa tertawa. Membiarkan suasana itu menghanyutkanku, mengikis sedikit demi sedikit kegugupan yang ada di sana. Entah mungkin karena sadar bahwa aku tidak sanggup banyak bicara, atau mungkin Rama memang selalu bisa membantuku untuk jadi berani di hadapannya. Dia kembali bicara, ketika aku justru masih tenggelam di dalam pikiran untuk mencari cara.

"Kau hebat, Na."

"Tiba-tiba sekali memujiku?" Aku terkekeh.

"Kau tau? Sebagai mahasiswa manajemen, kau sudah hebat, Na."

"Ah, diam! Kau tau, Rama. Kau sungguh tau bahwa aku tidak akan pernah cocok dengan jurusan manajemen. Aku hanya menjalankan keinginan orangtuaku."

"Tapi buktinya, tanpa kau sadari kau sudah menerapkan ilmu manajemen ke dalam karirmu, Na. Apa yang kau dan penerbitmu lakukan selama pre-order ini, itu semua teknik marketing yang kita pelajari di dalam manajemen pemasaran. Kita masih semester tiga, tapi action-mu sudah menanjak tinggi melebihi alumni."

"Rajendra Rama Hakmani." Aku mengeja namanya, mengulum senyum sembari menoleh ke arahnya. "Manusia yang paling berlebihan saat memuji."

Dia hanya mengedikkan bahunya seraya berkata, "Ini tidak berlebihan. Karena yang dipuji memang bukan gadis biasa."

Lantas bagaimana caranya untuk tidak gugup setelah mendapati kalimat seperti itu? Aku takut sekali jika debaran jantungku bisa terdengar sampai ke Rama. Untuk mencegah itu terjadi aku merasa harus mengambil sedikit gerakan. Kumundurkan sedikit kursi penumpangku hingga sedikit ke belakang dari kursi kemudi. Tak lupa kutarik napasku pelan, lantas mengembuskannya kembali dengan perlahan. Tak lama setelahnya, di dalam mobil itu terdengar dengan jelas lantunan lagu dari band Juicy Luicy yang berjudul 'Terlalu Tinggi.'

Semesta ... kenapa kau begitu paham dengan apa yang sedang kurasa? Aku memang sedang merasa dibawa Rama naik terlalu tinggi ke atas, tapi di lain sisi aku sungguh takut jika hal kedua yang terjadi selanjutnya adalah dijatuhkan ke dasar jurang. Semesta ... itu tidak akan terjadi, bukan?

Aku menoleh ke arah spion tengah yang ada di dalam mobil untuk memastikan wajahku tidak terlihat gugup, tapi ... RAMA KENAPA MENATAPKU LEWAT SPION ITU?! Aku terpaku, melihat netra coklat itu yang juga sedang menatap ke arahku lewat perantara spion. Mungkin karena tau bahwa aku tak bisa berlama-lama saling tatap begini, Rama memilih untuk memutus kontak mata.

Benar sekali. Ini semua sudah terlalu tinggi dan membahayakan jantungku.

• • •

Raina Genna Eldirah:
"Rei, dia tidak berhenti mencuri pandang ke arahku!😭"

"Barusan kudapati dia sedang menatapku lewat kaca spion tengah."

Kirei:
"Itu bagus. Setidaknya kau bisa memberi dia kesan pertama yang baik. Mungkin menurutnya kau berbeda dari biasanya, jauh lebih cantik? Makanya tidak bisa berhenti melirikmu."

"Nikmati jalan-jalanmu, bitch. Berhentilah mengeluh padaku."

Tak lama setelah percakapanku dengan Kirei lewat pesan teks itu, mobil yang dikemudikan oleh Rama itu sudah terparkir rapi di basement milik salah satu Mall di kotaku; Grand Mall Cavvarta. Ralat, bukan salah satu, tapi ini satu-satunya Mall yang ada di kota kami. Aku sudah hampir meraih gagang pintu, hendak turun jika Rama tidak tiba-tiba menginterupsi.

"Ah, sial. Aku lupa membeli masker, Na. Ini kan masih harus pakai masker kalau ke Mall, bisa-bisa aku dilarang masuk. Kau ada masker cadangan?"

Aku hanya menggeleng, sedangkan Rama langsung turun, memutari mobil sebelum akhirnya membukakan pintu untukku. Oh, tentu saja. Jantungku harus terbiasa dengan hal-hal seperti ini.

Rama berjalan di depanku, sedangkan aku masih sibuk berkicau kepada Kirei saking aku tidak tahan dengan kegugupan yang ada. Kirei sempat memintaku untuk mengambil gambar Rama, tapi saat kuarahkan kameraku ke dia ... dia menoleh. Sial. Mau kutaruh di mana mukaku?

"Kau kenapa?" Dia berhenti melangkah. "Sampai pucat begitu?"

Diamlah, Rama. Aku hampir saja ketahuan olehmu memotret dirimu diam-diam. Apa kau tau tidak ada yang lebih memalukan dari itu?

Saat kita sudah hampir tiba di pintu masuk Mall, kulihat Rama merogoh isi waist bag-nya, entahlah, mungkin sedang mencari masker. Aku bisa menebak karena setelahnya ia menoleh ke belakang, tertawa ke arahku.

"Yang ada di tasku hanya masker seperti ini. Masker N95. Lihat, seperti nakes yang sering menjemput pasien covid."

Aku balas tertawa, bersyukur karena kegugupan yang kualami mulai berkurang. "Biasanya di pintu masuk penjaga pintunya jualan masker, kok. Nanti kau bisa beli saja di sana."

Rama benar-benar membeli masker seperti yang kukatakan saat kita sudah tiba di pintu masuk. Maskernya juga jauh dari kata stylish, itu hanya masker biasa yang sering kudapati banyak di rumah sakit. Tapi masih lebih baik lah, ketimbang dia harus mengenakan masker N95.

Aku terlalu sibuk memikirkan soal masker ini, sampai tak sadar Rama sedari tadi mengajakku bicara.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tolong titip masker ini di tasmu," titahnya sambil menyerahkan masker lama yang sebelumnya kami tertawakan bersama-sama.

Dan ... ini dia. Saat itu akhirnya tiba. Momen itu menjadi nyata.

Aku berjalan di samping Rama menuju ke toko buku dengan masih bertanya-tanya.

Apa aku tidak sedang bermimpi?

• • •

Hari Minggu tidak juga sanggup untuk menjadikan toko buku bisa seramai tempat-tempat makan. Pengunjung yang ada masih bisa kuhitung jari, juga suasananya sangat kontras dengan suasana mall yang bingar. Di sini tenang sekali, sepi tapi menghangatkan. Aku merasa pulang, tapi kali ini bersama seorang anak cucu Adam yang minta untuk ikut.

"Sudah kau temukan bukunya," ucapku saat melihat Rama sudah menggenggam novel Janji karya Tere Liye. "Lalu apa lagi?"

Dia malah terkekeh, menatapku berkali-kali dengan senyuman meledek. "Sebelumnya, kau tidak pernah punya teman lelaki untuk diajak ke sini, ya?"

"ENAK SAJA!" Aku memukul bahunya.

"Lagian, kenapa kau berpikir bahwa aku akan setega itu membiarkanmu pulang dengan tangan kosong, Na?"

"Maksudmu?"

"Idiot. Kau carilah juga buku untuk dirimu sendiri. Setidak-tidaknya, aku tidak merasa bersalah karena harus mengambil sedikit waktumu untuk menemaniku ke sini."

Aku menggeleng, entah kenapa terlalu sulit menerima tawarannya yang satu itu. Karena sejujurnya, sekalipun banyak lelaki yang sempat mendekatiku kemarin-kemarin, tak satu pun dari mereka kuizinkan untuk membelikanku sebuah novel. Bagiku novel adalah jati diriku, sebuah area milikku yang tidak bisa kubagikan oleh sembarangan orang. Melihat Rama mendesak seperti ini, aku merasa seperti ada ksatria yang memaksa untuk meruntuhkan benteng pertahananku.

"Malah melamun! Na! Ayo, cari buku yang kau mau."

Aku hanya menatapnya sekilas, kemudian membiarkan dia mengekoriku yang sedang mengitari rak-rak buku khusus novel dengan langkah tenang. Aku tidak tau apakah saat itu aku mengizinkan dia untuk membelikanku novel atau tidak, yang jelas aku hanya sedang mengikuti apa yang naluriku katakan. Kubiarkan kakiku melangkah ke mana dia ingin, kubebaskan tanganku meraba buku manapun dia mau.

Aku sibuk memilih, membaca satu demi satu bagian belakang tiap bukunya. Kala itu ada empat buku yang ada di tanganku. Semuanya bergenre fiksi remaja karena kupikir aku sedang membutuhkan banyak referensi dengan genre sejenis itu berhubung aku memang sedang berencana menulis fiksi remaja lagi.

Di tanganku sudah ada novel Hilmy Milan karya Nadia Ristivani, Areksa karya Ita Krn, Alastair Owns Me karya Nisaafatm, juga Back To School karya Palupiii. Aku masih mencerna pemikiranku untuk menyeleksi keempat buku ini, sampai akhirnya kuputuskan untuk memilih Alastair Owns Me, karya Nisaafatm. Tapi aku tau, besok-besok aku akan datang lagi untuk menjemput tiga buku lainnya.

"Raina," panggil Rama saat tanganku sedang sibuk menaruh kembali tiga buku yang tidak jadi kupilih.

"Iya?"

"Aku ingin mengenal duniamu, Na. Aku mau membaca buku-buku fiksi yang sering kau bawa itu, lalu menjadi temanmu. Bolehkah?"

Sesaat aku terpana. Bagaimana dia tahu bahwa selama ini aku selalu membawa novel di dalam tasku kemanapun aku pergi? Apa mungkin dia sempat melihat aku membaca buku di sela-sela jam kuliah tiap kali perkuliahan diadakan secara offline? Entahlah. Kemudian dengan keberanian yang entah dari mana, aku maju selangkah. Mengikis jarak antara aku dengan Rama tanpa ada satu pun dari kita yang ingin berhenti saling menatap. Aku sedikit mendongak, mendapati wajahnya yang kini berjarak hanya sejengkal dari wajahku.

Kuulurkan tanganku, menyerahkan satu buku yang menjadi pilihanku dengan tatapan yang masih terkunci oleh netra coklat itu.

"Sebelumnya aku tidak pernah kepikiran untuk membiarkanmu masuk lebih jauh. Tapi hari ini aku malah membiarkanmu membelikan novel yang kumau. Jadi kau pasti sudah tau jawabanku, kan, Rama?"

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 274K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
2.2M 104K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.4M 19.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.8M 145K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...