The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

257K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
31

30

6.1K 483 130
By jaeandje

20.52

SIAPA YANG NUNGGUIN INI HAYOO?

iya tau telat dua jam dari yg gue janjiin, maaf yakk. Ak tau kalian ini pemaaf🥺

Ternyata ngerapihin itu cukup memakan waktu yg lama ya ehehe

enjoy!!

warning
banyak bhs. inggris & kata kasar.

Jehan dan Marven masuk ke dalam ruangan ketua dewan rumah sakit Hadvent. Di dalam sana sudah terdapat Tania dan Kanara yang sedang berbincang dengan pengacara pribadi dan beberapa orang yang sudah tidak asing lagi di mata Jehan.

"Gimana dewan rumah sakit tau tentang ini?" tanya Jehan dengan suara lantang.

"Seseorang ngirim rekaman suara ke bagian Hrd, rekaman obrolan lo sama Jisya" Kanara menjawab sambil menyerahkan tab yang di tangannya.

Jehan pun mengernyit tak paham, ia menerima tab yang diberikan kakaknya lalu memutar rekaman yang sudah tertera di layar.

[sedikit flashback ke part 13]

"Apa yang mau lo bahas, Sya?"

"Marven orang yang paling gue percaya, lo tenang aja dia ngga bakal buka mulut sembarangan"

Hanya dari dua penuturan itu, Jehan langsung mengingatnya. Pembicaraan dengan Jisya di sebuah cafe sekitar berbulan-bulan lalu. Dan Marven juga mengingat momen itu sehingga sulit untuk mengelak. Tapi sampai mana orang itu merekamnya?

"Oke, sorry. Kalo gitu gue mau nanya dulu sejak lo jadi suami Rasel, lo ngerasa ada yang aneh sama dia ngga?"

"Aneh gimana maksud lo?"

"Misalkan dia ngalamin kejadian yang buruk tapi ngga sampe satu hari dia lupa kejadian itu kaya kejadian itu ngga pernah terjadi"

"Kenapa lo bisa tau tentang itu?"

"Lo ngerasain kan? Sejak kapan?"

"Sejak keluarga Rasel dateng ke rumah. Padahal gue yakin banget ada sorot kecewa dari matanya, dan ngga sampe setengah hari dia langsun lupa. Gue kira Rasel emang sengaja nutupin kecewanya tapi dia kaya gitu ngga cuma sekali"

"Rasel bahkan ngga inget kejadian yang menimpa gue kemarin "

"Rasel ngga inget kejadian tragis lo karena itu kebiasaan dia, Je"

"Maksud lo?"

"Lo bilang ngga sampe setengah hari Rasel langsung lupa pertemuan keluarganya, bagi istri lo berurusan sama keluarga besarnya itu sama aja mimpi buruk–"

"Dan ngelupain mimpi buruk udah jadi kebiasaan Rasel dari dulu."

"Jadi maksud lo Rasel sengaja?"

"Sebenernya gue ngga punya hak buat ngasih tau lo tentang ini, soalnya Rasel minta gue buat tutup mulut. Tapi lo suaminya sekarang dan gue rasa lo harus tau ini, Je"

"Ini semua semacam diary Rasel yang dia titip ke gue. Emang curhatannya ngga banyak tapi Rasel nulis ini karena takut dia bener-bener lupa sama apa yang dia alamin sebelumnya,"

"Lo pernah denger istilah alter ego?"

"Rasel punya alter ego?"

"Rasel kaya gini karena masa lalunya. Lo tau kan apa penyebab orang tuanya meninggal? Bagi dia kematian orang tuanya itu trauma terbesar dan Rasel pernah bilang ke gue dia hampir depresi cuma karena dia berusaha buat move on,"

"She finally moved on, but her moving on was not enough so Rasel decided to do memory suppression to forget her all bad memories."

"Gue ngga tau Rasel masih suka nulis-nulis kaya gini atau engga, tapi gue harap dari sini lo bisa paham kenapa Rasel gampang ngelupain memori buruknya"

"Walaupun Rasel terbiasa ngelupain-- And she always look happy, smiling or laughing but it's just a fake, Je"

"Dulu Rasel selalu cerita ke gue tentang ini, gue tau pernikahan lo berdua karena paksaan doang tapi gimanapun juga sekarang lo suaminya dan gue minta lo buat gantiin gue jadi tempat ceritanya bisa kan?"

"I'll do my best"

"Not will, but you have to do your best. Rasel itu sahabat gue dan yang gue pengen cuma dia aman dan bahagia. Dulu itu tugas gue, tapi lo suaminya jadi ini tugas lo sekarang"

"Asal lo tau, Jehan. Gue ngga pernah setuju sama pernikahan lo berdua dan jujur gue takut nantinya lo ngga ngetreat dia sebagai istri. Setiap detiknya gue selalu kepikiran, 'Is she okay?' apalagi lo baru kenal dia beberapa hari sebelum sah jadi suami istri"

"Tapi sekarang gue percaya sama lo, Jehan"

"Gue ngga tau harus bilang apa selain makasih, thanks a lot, Sya. I really appreciate you for wanting to tell me about this"

Jehan memejamkan mata. Pada dasarnya orang itu merekam semua tentang kondisi mental Rasel yang sudah pasti akan merugikan wanita itu, terutama untuk karir dokternya. Dan sangat disayangkan Jehan tidak dapat mengelaknya karena percakapan di rekaman itu benar terjadi.

"Pengirimnya udah diselidiki?" Jehan mendongak lalu menatap asisten pribadi ibunya dan dua orang kuasa hukum rumah sakit.

"Sudah, Tuan" jawab salah satu dari mereka. "Alamat IP pengirimnya berasal dari daerah Golden Sunset Hills Residences, 45678. Dan pemilik nomornya bernama Lorenza Lahna."

Jehan tersenyum miring sementara Marven tidak mengerti mengapa tindakan wanita itu mudah dilacak dan tidak seperti biasanya.

"Dia sengaja biar kita tau ini ulahnya" ujar Jehan yang seolah-olah dapat membaca pikiran Marven sontak membuat Marven ber-oh ria.

"Tapi kenapa?" lanjut Jehan bercemooh sambil berpikir keras.

"Bukan itu yang harus lo pikirin sekarang tapi situasi Rasel. Urusan Lorenza bisa kita selesaiin nanti," sahut Kanara jengah.

"Is it true, Je?" tanya Tania memastikan dengan raut wajah yang menunjukkan rasa khawatirnya.

Tania mengulum bibirnya ketika melihat sang putra yang masih diam. "Hey, talk to me, son. Situasinya bener-bener serius sekarang, kalo kamu ngga ngomong apa-apa mamah ngga bisa bantu banyak meskipun mamah ketuanya disini."

"Rasel bisa kehilangan pekerjaannya bahkan izin prakteknya bisa dicabut, Jehan"

Kanara menganggukkan kepalanya, sama paniknya dengan sang ibu. "Rekaman ini udah sampe ke manajer personalia bahkan mamah udah dipanggil sama komite dewan jurinya,"

Namun rekaman suara ini hanya tersebar di jajaran petinggi saja. Mulai dari manajer hingga dewan-dewan. Mereka mengupayakan segala cara agar rekaman tersebut tidak menyebar di kalangan karyawan biasa. Bagaimanapun juga rumah sakit ini memiliki kewajiban melindungi aib para dokter, perawat dan petugas lainnya.

"Seorang dokter punya alter ego itu dianggap ancaman, Je. Jadi ada rapat peninjauan khusus buat Rasel lima belas menit dari sekarang dan gue punya feeling Rasel dipecat hari ini juga,"

Tania menghembuskan nafasnya, "Sayang–"

"Mamah ngga punya jalan keluar untuk ini, buktinya terlalu kuat"

Jehan memilih menegakkan tubuhnya lalu menyandar pada punggung sofa. Wajahnya terlihat santai di mata Tania, Kanara serta yang lain sehingga mereka tidak bisa membaca apa yang sedang Jehan pikirkan sekarang.

"Obrolan itu benar tapi tentang Rasel punya alter ego, itu kesalahpahaman." ucap Jehan disertai senyum tipisnya.

"Minggu lalu, Billy ngasih peringatan tentang ini dan aku ngga mau buat celah untuk Lorenza. So I prepared something," lanjutnya. Marven pun sontak mengeluarkan sebuah map putih lalu memberikannya kepada Tania

"I asked a friend for help two days ago. Dia psikiater terbaik di Singapura jadi aku minta Rasel konsultasi ke dia, and the result it is not an alter ego."

"Memory suppression, itu keputusan akhirnya berdasarkan hasil konsultasi." sambungnya.

Memory suppression atau disebut juga penekanan memori yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menghilangkan ingatan buruk yang terus muncul. Penekanan ini menggunakan fungsi otak dalam tingkat tinggi, seperti penalaran dan berpikir rasional bisa mengganggu kerja otak dalam mengingat suatu memori.

Teknik ini sebenarnya sama saja dengan melatih otak untuk mematikan suatu ingatan dengan menggantikannya dengan ingatan lain yang lebih menyenangkan. Dengan ilmu yang ia dapat untuk menghilangkan semua memori buruknya, Rasel menjadikannya kebiasaan sehingga bagi perempuan itu mudah untuk melupakan kejadian yang bisa memancing trauma terbesarnya.

Sekecil apapun kejadian tidak mengenakannya masih bisa memicu kenangan terburuknya kembali berputar. Itulah alasan Rasel terbiasa untuk langsung mematikan segala kejadian buruk yang ia alami.

Tania dan Kanara membaca kertas dari dalam map putih tersebut secara seksama. Sebagai sesama dokter, keduanya memahami istilah medis yang tertulis di sana. Akhirnya mereka pun menghela lega.

"Ck! Kenapa ngga bilang dari awal?!" sentak Tania namun Jehan hanya terkekeh kecil tanpa menjawabnya.

"Saya minta kalian yang mengurus ini di rapat peninjauan nanti, tidak masalah kan?" tanya Jehan tertuju pada dua orang yang merupakan bagian dari tim kuasa hukum rumah sakit.

"Tentu saja, Tuan. Surat keterangan ini sudah cukup untuk membantu Dokter Rasel," jawab salah satu dari keduanya.

"Butuh saksi?"

"Sebenarnya tidak tapi jika ada itu bisa menjadi senjata tambahan kita nanti."

Jehan mengangguk tipis, "Kalau begitu psikiater yang bertanggung jawab atas istri saya sedang dalam perjalanan kesini nanti kalian koordinasi saja dengan asisten saya."

"Baik, Tuan."

"Mah, kalau dalam lima belas menit temen aku belum disini, bisa tunda rapatnya sampe dia dateng?"

Tania tersenyum sambil mengangguk, "Sure.."

Kanara menyeru seraya mengacungkan ibu jarinya ke arah sang adik. "Makin kesini lo makin gesit aja kalau urusan Rasel, dasar bucin"

"Buruan nikah makanya biar lo paham gimana rasanya di posisi gue," balas Jehan dengan nada mengejek.

"Ck!" Kanara berdecak sebal dan merotasikan bola matanya.

Setelah itu Jehan pun beranjak sambil menatap layar ponselnya. "I have something to do, jadi aku pergi dulu ya, Mah. Masalah disini Marven yang bakal urus sisanya."

Lagi-lagi Tania mengangguk, "Alright."

"Kabarin gue terus perkembangannya," ucap Jehan kepada Marven yang hendak menelepon seseorang dan asisten sekaligus temannya itu menganggut.

Jehan meninggalkan ruangan tanpa melepaskan pandangannya dari layar ponsel. Terlebih ketika notifikasi muncul dan menampakkan dua pesan dari nomor tidak dikenal. Isi pesannya berhasil membuat Jehan terpancing.

"What are you planning to do, L?" gumamnya seraya memasuki lift dan menekan tombol lantai paling atas di rumah sakit ini.

Benar. Jehan akan menghampiri Lorenza yang menunggunya di rooftop.

°°°

Rasel melepas jubah dokternya lalu duduk di depan meja komputer kerjanya. Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening, kasus penyelamatan pasien hari ini cukup berat dan memakan waktu yang lama.

Namun Rasel tetap harus melanjutkan tugas lainnya yang tertunda. Seperti contohnya saat ini, Rasel menggunakan waktu istirahatnya untuk memeriksa status dan riwayat semua pasien yang menjadi tanggung jawabnya di bulan ini. Terlebih suasana ruang dokter disini sedang sepi sehingga menambah kefokusannya untuk mengerjakannya lebih cepat.

"Sel, mau balik sekarang bareng gue ngga? Sif lo harusnya udah selesai kan?"

Rasel menoleh ke belakang dan melihat teman dekatnya yang baru saja masuk tetapi langsung berjalan menuju lokernya.

"Gue ambil double sif hari ini, Sya" jawab Rasel yang membuat temannya reflek menutup pintu loker secara kencang.

"Double sif? Lo gila?!" sentaknya.

"Ya habis udah dua hari ini Jehan sibuk banget sama proyek perusahaannya. Tadi pagi aja dia berangkat pas gue belum bangun jadi kalau gue pulang cepet nanti gue sendirian di rumah, males–"

Jisya menghembuskan nafasnya. Tentunya dia bisa memahami perasaan wanita bersuami alias sahabatnya itu. Memang sih dua hari terakhir ia melihat mood Rasel sedang tidak baik ternyata Jehan lah penyebabnya.

"Yaudah ayo makan siang bareng gue. Yang ini gue ngga terima penolakan, ayo!" Jisya menarik paksa lengan Rasel yang hendak menolak tetapi tidak bisa.

"Iya-iya gue ikut." ucap Rasel pasrah seraya mengambil ponselnya lalu mengikuti langkah Jisya.

Kalau ditanya apakah mereka berdua tau persoalan rekaman suara yang sedang ramai di jajaran petinggi, jawabannya adalah ya mereka tau. Bahkan sebelum hari ini mereka sudah tau berkat peringatan yang Billy berikan.

Hanya saja mereka belum tau bahwa rekaman tersebut sudah mencapai pihak manajerial hari ini.

Jisya membawa Rasel ke sebuah tempat makan yang baru buka di penghujung perempatan dan cuma membutuhkan waktu sekitar lima menit memakai mobil. Tempatnya sangat ramai terutama pada jam makan siang seperti saat ini karena lokasinya berada di tengah perkantoran sehingga banyak pekerja yang datang kesini.

Lihat saja sekarang. Padahal sudah dua jam semenjak jam makan siang dimulai namun tempat ini masih saja ramai. Jisya dan Rasel cukup pusing melihat banyaknya orang. Tapi makanannya juara. Itu yang paling penting.

"Akhir-akhir ini gue sering makan disini dan gue ngajak lo karena gue yakin lo pasti suka makanannya," ujar Jisya seraya menerima struk pembayaran dari kasir.

Rasel yang sedang melihat ponselnya pun mengangguk setuju. "Tau aja lo selera gue kayak gimana–"

"Kita temenan berapa lama sih, Sel?" cetus Jisya yang mendapat kekehan dari Rasel.

"Shit. Sel??"

Rasel berdeham dan menoleh, menunjukkan raut bertanya terlebih ketika ia melihat Jisya seperti ragu terhadap sesuatu.

"Kenapa?"

"Kayaknya gue ngga bisa anter lo balik ke rumah sakit.."

Helaan nafas lega keluar dari hidung Rasel, "Gue kira ada apa, Sya"

"Sorry banget ya? Atau gue telfon Jehan deh–"

"Ngga usah, jarak dari sini ke rumah sakit ngga sejauh itu. Gue bisa sendiri kok," tolak Rasel langsung.

Jisya mulanya terlihat masih ragu namun tak lama ia pun menyetujui ucapan sahabatnya itu. "Yaudah gue cabut duluan ya, sorry sekali lagi"

Rasel mengangguk sambil melambai saat Jisya pergi menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari situ. Setelah itu ia pun meninggalkan posisinya dan hendak kembali ke rumah sakit.

Tangannya sedang memegang ponsel dan jari jemarinya mengetik sesuatu kepada suaminya yang entah sedang apa. Beberapa hari terakhir Jehan benar-benar sibuk sampai pulang larut. Jadinya Rasel tidak bisa menghabiskan waktu dengan sang suami seperti biasanya.

Sialnya, Rasel kesal akan hal tersebut. Ditambah hari ini Jehan sama sekali belum menghubunginya. Alhasil ia pun mengalah dengan mengirim pesan lebih dulu. Itu juga entah dibalas kapan.

Ayolah, Rasel merindukan Jehan. Apakah pria itu tidak menyadarinya?

Perasaan kesal itu tiba-tiba berubah menjadi rasa tidak enak dan gelisah. Ia merasakan ada yang mengikutinya di belakang tetapi dirinya tidak berani menoleh ke belakang untuk memastikannya.

Rasel mencoba menghapus perasaan itu dan meyakini dirinya sendiri bahwa itu hanyalah sebatas firasat saja.

"Oke, tenang. Mungkin cuma perasaan gue aja" Meski begitu, ia tetap waspada dengan memilih untuk mempercepat langkahnya.

Dia memanfaatkan keadaan orang yang berlalu lalang karena dengan begitu ia bisa lebih mudah bersembunyi di balik keramaian ini. Dan Rasel kini sedang bersembunyi di balik tembok toko yang mengarah ke sebuah gang.

Namun rasa gelisahnya membuat Rasel tanpa sadar berjalan ke lawan arah dari tujuannya. Sehingga mau tidak mau Rasel harus memutar balik. Ada jalan lain tetapi akan menghabiskan waktu yang lama sedangkan dirinya harus segera kembali ke rumah sakit.

"Sialan! Jam tiga gue harus udah ada di rumah sakit lagi," umpat Rasel kepada dirinya sendiri.

Hampir sepuluh menit Rasel bersembunyi di balik tembok itu sampai firasatnya hilang lalu setelahnya ia berjalan ke arah sebaliknya. Tapi baru saja tiga kali melangkah, dua mata Rasel menangkap tiga orang aneh yang menatapnya. Yang lebih menakutkan adalah ketiga orang itu perlahan mendekatinya.

Rasel reflek melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat untuk menjauh dari siapapun tiga orang itu. Firasatnya benar, ada yang mengikutinya namun entah tujuannya apa.

Dengan perasaan takut, Rasel buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelepon seseorang dan orang pertamanya adalah suaminya, Jehan.

'Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menjawab panggilan..'

"Jehan, please. Angkat telponnya–" nafas Rasel cukup menggebu saat ini sambil berharap sang suami menjawab telepon kedua kalinya.

'Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menjawab panggilan..'

Rasel berdecak kesal bercampur takut. Tangan putihnya bergetar sambil mencari nomor lain yang mungkin akan menjawabnya.

"Please, please, please…"

-

Jehan memeriksa pistol pribadinya sudah berisi cukup peluru sebelum menghampiri dia, orang berinisial L yang memintanya datang ke atap. Lorenza. Jaga-jaga apabila nantinya ada sesuatu tak terduga yang mengancamnya.

Dirinya akan berhadapan dengan Lorenza, tentunya akan ada segala kemungkinan untuk terjadinya sesuatu. Dia hanya perlu siaga saja terlebih belum ada yang tau tentang Jehan akan menemui Lorenza di tempat yang tidak semua orang lalui seperti atap rumah sakit ini.

Namun tidak perlu khawatir. Jehan sudah mengaktifkan earpiece miliknya sehingga semua teman-temannya dapat mendengar pembicaraannya dengan Lorenza dan juga melacaknya dari jauh, hanya saja earpiece mereka juga harus aktif.

Jehan juga sudah mengirim pesan kepada satu teman serta adiknya tentang hal ini. Keduanya akan datang sesuai instruksinya. Kalian pikir Jehan percaya Lorenza sendirian? Tentu tidak. Wanita terlalu itu licik dan cerdik.

Setelah merasa siap, Jehan pun mendatangi wanita bersetelan segala hitam sedang merokok sambil memainkan sebuah pisau di tangan satunya.

"How does it feel to be where you used to be, Lola? I mean Lorenza, my bad" ucap Jehan lupa yang disengajakan.

Lorenza menoleh dan tersenyum remeh, "You wrong, Jehan. This hospital has never been my place–"

Jehan menganggut saja karena wanita itu tidak suka dielak. "Yeah it was just your drama, right?"

"Wow, gue ngga menduga lo memahami itu" Lorenza menatapnya bangga beserta tepukan kecil.

"Saking pahamnya gue sampe sadar ternyata drama yang lo buat cukup payah–" balas Jehan dengan senyum miringnya.

Lorenza tertawa paksa tanpa ada rasa tersinggung sama sekali. "Well, let's see. Apa drama gue emang payah atau lo hanya ngehibur diri lo sendiri,"

Jehan tersenyum penuh percaya diri sambil mengangguk-ngangguk saja. Kemudian ia memperhatikan bagaimana Lorenza bermain dengan pisaunya. Jehan merasa aneh dengan suasana saat ini, terlalu hening.

"Jadi apa tujuan lo minta gue kesini, Lorenza?"

Lorenza menyeringai sembari mematikan puntung rokoknya, "Yang pasti bukan untuk bunuh lo, Pak Pimpinan Kanagara" kekehnya.

Jehan memegang dagu runcingnya, "Gue hampir lupa kesepakatan yang tunangan lo buat sama salah satu pemegang saham gue, Richard"

"Making deals by illegally buying shares and even manipulating ownership, semua itu hanya untuk mencegah gue jadi pimpinan."

"But again, your plans failed. How does it feel to repeatedly fail at every plan you and Jeksa make for the destruction of me and my family?" Jehan bertanya dengan seringaiannya.

Anehnya, Lorenza tidak merasa tersinggung sama sekali. Ia malah berdecak kagum lalu menyeru, "Jeksa would love to see this side of you, Jehan"

"Where is he?"

Lorenza tersenyum miring, "You're wondering what plans Jeksa and I made after our failure, right? Ok, let me tell you."

"Kanagara bener-bener ngelindungin Rasel dari segi apapun dan itu bikin gue sama Jeksa cukup kesulitan, it's pretty impressive though. I mean, Kanagara salah satu keluarga yang berpengaruh di negara ini, so yeah–"

"And I realized something, satu-satunya yang bisa ngelawan keluarga lo itu opini publik dan gue bakal manfaatin peluang itu."

Lorenza mengganti posisi tubuhnya menjadi menghadap Jehan, "Let me guess. Lo dateng kesini karena istri lo kan?"

"Alter ego–" Lorenza melipat kedua tangannya di depan dada. "Siapa sangka salah satu dokter kompeten di rumah sakit ini punya alter ego?"

Jehan belum memberikan respon apapun. Ia diam karena ia ingin tau sejauh mana wanita itu menyampaikannya. Di dalam hati, ia tertawa remeh. Lorenza terlihat terlalu percaya diri saat ini.

"Menurut lo, apa kata keluarga pasien yang ditangani Rasel? Atau apa kata masyarakat keluarga yang paling berpengaruh disini nyatanya punya menantu berkepribadian ganda yang notabenenya cukup mengancam negara ini?"

"That's my first plan. You want to know the second one?" Masih melipat kedua tangannya, Lorenza menatap Jehan dengan mengangkat salah satu alisnya.

Jehan tertawa kecil seraya maju satu langkah mendekat. "Lo pikir gue bodoh?"

"Gue udah tau tentang rencana pertama lo itu jauh sebelum lo bilang sekarang, harusnya lo bisa nebak itu, bukan?"

"You think I've been quiet all this time? Lo bilang keluarga gue punya pengaruh besar di negara ini, and I could do anything with that. Kenapa lo berdua melewatkan hal itu?"

Lorenza sudah tidak lagi tersenyum yang penuh kepercayaan diri. Berbeda dengan Jehan, lelaki itu justru tersenyum penuh kemenangan saat bertatapan dengan Lorenza yang ekspresinya terlihat tidak enak.

"I'm telling you, don't be too confident. Lo sama Jeksa selalu yakin satu langkah di depan gue tapi nyatanya gue yang satu langkah di depan kalian."

Jehan mengangkat sebelah alisnya, "Lo cuma bergantung sama rekaman itu. But honestly, it was a misunderstanding"

"Untuk rapat peninjauan Rasel karena rekaman yang lo kirim ke pihak manajerial, gue punya saksi psikiater profesional. Lo ngga tau itu kan?"

"Gue cukup kaget ternyata orang penuh ambis kayak lo kurang teliti juga–"

Wajah Lorenza benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan ucapan Jehan barusan. Wanita itu diam-diam mengepalkan tangannya dan mengeraskan rahangnya.

"See? I'm one step ahead of you, Lorenza." Lagi-lagi Jehan menunjukkan senyum remehnya. Kali ini berhasil menyinggung dan memancing emosinya.

Jehan bisa melihat bagaimana wanita itu menahan amarahnya agar tidak menyeruak.

Tak lama kemudian, Lorenza kembali merubah raut wajahnya menjadi lebih tenang disertai dengan senyuman aneh. "Selangkah di depan gue? Lo yakin?"

"Rasel–" Lorenza menghela nafas seraya membalikkan badannya dan bertumpu pada pagar kaca untuk memandangi suasana kota dari atas sini.

"Where do you think she is right now, hm?"

Pertanyaan yang terdengar sebuah sarkasme itu sukses menimbulkan rasa marah sekaligus juga gelisah di benak Jehan.

"Maksud lo apa?" tanyanya dengan suara berat yang tertahan. Ia sedang menahan untuk tidak terpancing karena bisa saja itu hanya gertakan Lorenza supaya Jehan lalai.

Mengingat Rasel adalah kelemahan terbesar Jehan, sudah pasti sesuatu yang menyangkut Rasel dapat membuat Jehan lengah.

Lorenza menoleh dan mengedikkan bahunya dengan senyum yang sengaja memancing Jehan, "Tadi lo nanya dimana Jeksa dan gue yang nanya dimana istri lo sekarang–"

Jawaban Lorenza kali ini berhasil memancing emosi Jehan, ada pesan tersirat dari ucapannya dan Jehan menangkap pesan itu. Ia langsung menarik kerah jaket kulit wanita itu lalu mencengkramnya kuat. Jehan mengeraskan rahang karena amarahnya kian memuncak.

"Lo sentuh dia dan terima akibatnya hari ini juga." ancam Jehan terdengar tidak main-main.

°°°

Rasel berjalan cepat sambil mencari titik area yang tepat untuk mengecoh orang-orang yang masih mengikutinya hingga saat ini. Rasa takut yang dirasakannya mulai memudar karena kini lebih fokus melindungi dirinya sendiri selama yang ia bisa.

Kini ia berada di sebuah komplek ruko kosong seolah terbengkalai. Rasel berjalan cukup jauh demi melarikan diri dari orang-orang itu. Disini sepi, ia kembali bergetar takut. Rasel sesekali menoleh ke belakang untuk melihat mereka, tetapi ia tidak melihat siapa-siapa.

Artinya mereka berjarak cukup jauh dari posisi Rasel saat ini. Tidak terduga Rasel berhasil menjaga jaraknya dengan orang-orang itu agar dirinya bisa mencari tempat yang tidak mudah ditemukan.

Melawan rasa takutnya, Rasel mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat sembunyi namun sialnya ia tidak dapat menemukan satu tempat yang bisa dijadikan sebagai persembunyiannya.

Ruko-ruko yang berjejeran semuanya ditutup oleh pintu besi dan terkunci sehingga mustahil untuk bersembunyi di dalam sana. Tetapi Rasel tidak menyerah, ada sedikit harapan bahwa satu yang terbuka.

Rasel memeriksa satu persatu namun hasilnya nihil. Ia pun berdecak kesal lalu berlari entah ke arah mana sambil mengeluarkan ponselnya dari saku baju. Jarinya menekan kontak terakhir kali yang ia hubungi.

Lolongan minta pertolongan Rasel juga tidak ada yang menggubris saking sepinya di tempat itu.

Terlalu sibuk melarikan diri, Rasel sampai tidak sadar bahwa kini ia dihadapi sebuah pertigaan. Ia tak tau harus mengambil jalur kanan atau kiri karena ia tidak mengingat arahan bagian ini.

"Got you. Sepertinya kamu bingung harus pergi ke arah mana, lebih baik berhenti melarikan diri, Nona."

Rasel sontak membalikkan tubuhnya. Ia pun melangkah mundur ketika melihat ada lebih dari delapan pria kekar di depannya berjarak satu meter lebih. Jika dihitung empat belas pria totalnya.

"Jangan buang-buang tenagamu," kata salah satu dari mereka dengan seringaiannya. Bisa terlihat dengan jelas dialah pemimpinnya.

"What the hell do you want from me?" tanya Rasel dengan keberaniannya.

"Bos kami ingin bertemu denganmu."

"Jeksa atau Lorenza?" Rasel berdecih remeh, "Why didn't they go straight for it? Coward–"

"Sebaiknya kamu mengikuti perkataan kami selagi kami masih baik. Percayalah kami tidak ingin menyakiti wanita cantik sepertimu,"

Rasel diam. Takut, panik, rasa ingin berlari bercampur menjadi satu. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Berlari ke jalur kiri atau kanan?

"Don't try to run away again," celetuk orang yang sama seakan-akan dia dapat membaca pikiran Rasel.

Rasel meremas celana bagian sampingnya sambil berpikir keras. Ada harapan tinggi kedatangan mereka detik ini juga, namun sepertinya tidak. Karena itu Rasel memilih untuk nekat.

Melihat bagaimana orang-orang sedang saling menyalakan puntung rokok di tempatnya, Rasel merasa ini merupakan waktu yang tepat untuk kembali melarikan diri.

"Wait, change of plan. Our boss wants us to kill you, now." Pria paling depan menodongkan pistolnya membuat Rasel kembali melangkah mundur.

"Good bye, sweetie–"

Dor!

Dor!

Dor!

Rasel tersentak sehingga ia berjongkok sambil menutup kedua telinganya. Ia memejamkan mata dan nafasnya bergetar ketakutan. Bahkan seluruh tubuhnya juga bergetar takut saat ini, menghasilkan isakan tangis yang bisa membuat siapapun yang mendengarnya merasa sakit.

"Peluru selanjutnya gue pastiin jatuh tepat di kepala kalian dan gue ngga main-main."

"Billy?"

"Back off, now. All of you."

"What the fuck? Lo masih hidup?"

"Jeksa told you that I was dead? Funny" Billy terkekeh remeh.

Mendengar itu Rasel langsung mengangkat wajahnya dan melihat Billy datang bersama anak buahnya dari arah kiri sementara Natalie dari arah kanan. Kemudian Rasel pun menghela nafas lega.

Mereka benar-benar menepati ucapannya di telepon dengan datang menjemputnya sangat tepat waktu, sedikit terlambat sebenarnya tapi tidak masalah. Ketika suaminya tidak kunjung menjawab, Rasel langsung menghubungi Natalie dan meminta bantuan wanita itu setelah menjelaskan situasinya.

Lalu bagaimana reaksi Natalie dan yang lain? Tentunya mereka panik dan bergegas datang sebelum terjadi apa-apa terhadap Rasel. Tidak sulit untuk mengetahui posisi wanita itu berkat kalung yang dipakainya.

Natalie, Billy, Alaya dan Ezzra yang bertugas sebagai penembak jitu menggantikan Yaslan di atap sebuah hotel yang letaknya di belakang komplek pertokoan kosong ini. Benar, Ezzra pelaku tiga tembakan yang menginterupsi tadi.

Dari kedua arah Natalie membawa anak buah terbaiknya sambil menodongkan pistol andalannya masing-masing berjalan ke tengah dan berhadapan dengan anak buah Jeksa sehingga membentuk formasi V terbalik untuk melindungi Rasel.

"Bill, lo tau sendiri Jeksa bakal bunuh siapapun yang ngehalangin keinginannya–"

Billy menyeringai, "I don't care cause I don't serve him anymore."

Keempat belas pria di hadapan Billy saat ini merupakan partner timnya ketika ia bekerja di bawah Jeksa dulu. Billy tau betul keahlian  mereka dan dirinya juga tau kelemahan mereka jadi akan mudah untuk mendominasi situasi ini.

'Kita kedatangan tamu.'

'Gue liat dari atas sini ada mobil jeep hitam datang dari belakang mereka, hati-hati.'

Perkataan Ezzra melalui earpiece membuat Natalie sontak menoleh dan menatap Billy, "Siapa yang di dalam mobil itu?"

'I can't confirm that yet, kacanya terlalu gelap'

"Jeksa." Billy menyahut.

Natalie dapat mengonfirmasi bahwa benar-benar Jeksa yang datang ketika empat belas pria di depannya ini langsung memberi celah jalan dan seorang laki-laki bertuxedo serba hitam ditambah kacamata hitamnya juga berjalan melalui celah jalan tersebut.

"T-tuan–" ucap si pria yang paling banyak berbicara tadi kini terdengar takut. Sepertinya dia juga tidak menduga kedatangan Jeksa ke sini.

"You haven't done what I told you to do?" respon Jeksa tanpa memalingkan wajahnya. Auranya saat ini benar-benar menakutkan untuk semua anak buahnya.

Rasel sontak mengangkat kepalanya ketika indra pendengarannya menangkap suara berat ciri khas Jeksa. Karena rasa ingin taunya, ia mencoba melihat situasi dari celah antara Billy dan Natalie.

Jeksa benar-benar datang untuk membunuhnya?

"How can?"

"Maaf, tuan. They suddenly came when I was about to kill that woman as you ordered."

"Mereka punya penembak jitu di sekitar sini,"

"Then kill all of them too,"

Billy tertawa kecil yang berhasil mengalihkan perhatian semua orang. Pasalnya nada tawanya itu terdengar sangat meremehkan.

"Not that easy, Sa"

"Wow! Look who's here," Jeksa melepaskan kacamata hitamnya, menampakkan wajah yang sumringah. "My best men!"

"Long time no see, brother." ucap Jeksa yang anehnya terdengar tulus.

"You abandoned me and my team, now you joined forces with my enemies to protect that sweet lady behind you–"

"That's hurting me quite a bit, my brother."

Jeksa mengatakan itu seolah dari hati terdalamnya untuk membuat Billy tersentuh, tetapi untungnya Billy tidak bodoh untuk tertipu dengan bualan mantan bosnya itu.

"Lo dilatih, dirawat dari kecil sama keluarga gue dan ini bentuk rasa terima kasih lo, Bill? What a jerk,"

Billy sedikit mengedikkan bahunya, "Gue emang berhutang sama lo setelah apa yang keluarga lo kasih buat gue dan keluarga gue. Tapi gue ngga ngerasa harus berterima kasih karena itu, Sa"

"Lo butuh gue, keluarga lo yang butuh gue. Jadi semua upaya lo untuk gue dan keluarga gue hanya untuk mengikat gue supaya gue ngga bisa lepas dari lo."

"Well, that's true…"

"Jehan yang bantu gue lepas dari lo," lanjutnya.

Jeksa mengubah ekspresinya, "Lo percaya sama Jehan? Gimanapun juga lo pernah ngekhianatin dia dan ada kemungkinan Jehan bakal bales apa yang lo khianati dari dia, we never know–"

"Hati-hati, Bill."

Natalie sontak menoleh dan melihat wajah Billy yang sedang terbungkam, sedikit khawatir lelaki itu berubah pikirannya oleh ucapan Jeksa barusan.

"Bill, jangan kepancing!" desis Natalie.

'Jehan bukan pendendam, gue bisa jamin itu. Dia bakal mastiin keluarga lo baik-baik aja, ngga usah khawatir. Lo cukup lindungi Rasel sekarang.'

Jeksa terkekeh kecil seraya mengeluarkan pistolnya lalu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal menggunakan barang tersebut. "Gue ada penawaran,"

"Go back to where you were. I will forget your betrayal and you can start all over again. It may start with handing over my sweetie behind your back?"

"Give her to me."

Natalie tersenyum miring, "If you want her, pass me first, you asshole." tantangnya.

"Oh! You were the one who helped Rasel escape during the kidnapping, weren't you? Gue udah denger banyak tentang lo dari anak buah gue,"

"Natalie right? Anak salah satu petinggi di organisasi swasta terkenal di Amerika dan sialnya organisasi itu incaran gue untuk gue ajak kerja sama,"

"Lo wanita yang hebat, gue yakin itu. Bahkan gue hampir kewalahan karena lo punya permainan yang rapi, I mean you're Nicole's daughter" ucap Jeksa dengan mengidikkan bahu.

Natalie memicingkan mata, menduga-duga apa lagi yang Jeksa ketahui tentang dirinya. Tidak heran mengapa pria itu tau tentang organisasi dan ibunya. Lagipula Natalie sudah mengira setelah penculikan Rasel saat itu, Lorenza dan Jeksa akan mencari tau tentangnya.

"So you know about my mother? Then you should know that dealing with me won't be easy, like a mother like a daughter."

Jeksa tertawa sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Gue tau karena itu gue mau minta baik-baik, give her to me."

"No need to spend bullets and no need for bloodshed today, pretty fair isn't it?"

Natalie berdecih remeh dan tak percaya, "Lo pikir gue bodoh untuk percaya omong kosong lo?"

"Fair? That is a bullshit, Tuan Jeksa yang terhormat"

"Kenapa lo terobsesi banget sama Rasel, Sa? Itu pertanyaan gue yang ngga pernah sempet gue tanya selama gue bertugas di bawah lo–" tanya Billy penasaran.

Tentunya Billy tau cerita antara ayah Jeksa dan kedua orang tua Rasel yang menjadi penyebab semua hal ini terjadi. Namun Billy penasaran dengan sudut pandang Jeksanya sendiri karena ia yakin pria itu punya maksud lain dibalik ini semua.

"I just want her," balasan Jeksa terdengar tidak ingin menjawab pertanyaan Billy. "I don't need your gratitude, just give her to me, brother."

Rasel benar-benar dibuat merinding oleh percakapan antara Billy, Natalie dan Jeksa. Rupanya pria itu sangat menginginkannya sampai bertindak segininya. Sekarang Rasel paham mengapa Jehan juga rela bertindak semaksimal mungkin untuk melindunginya.

Meskipun Billy, Alaya, Natalie serta anak buahnya kini berdiri membuat barisan rapi di hadapannya untuk menghadang Jeksa dan bawahannya agat tidak mendekat kepadanya tetapi Rasel masih takut.

Pertama Rasel tetap takut kepada Jeksa yang akan melakukan segala cara. Kedua Rasel takut jika diantara Billy, Alaya, Natalie serta para anak buahnya ada yang mati demi dirinya. Yang kedua adalah hal yang paling Rasel takutkan, ia tidak mau ada pertumpahan darah hari ini.

"Lo pikir gue bodoh untuk gampang luluh terhadap tawaran lo? Salah besar,"

"Selama ini gue anggap semua apa yang gue lakuin buat lo cuma sebatas melunasi semua utang gue ke lo. I've never once felt grateful to you, Sa"

'Gue udah siap di atas sini, bahkan gue bisa tembak kepala si brengsek itu sekarang juga'

Alaya sontak tersenyum miring, "Jehan would love to see that shot, Zra–"

"Jehan would have preferred his death," Billy menimpali.

'Gue tunggu aba-aba lo, Nat'

Ezzra mengabari melalui earpiecenya membuat Billy menyeringai seraya menarik pelatuknya, "You're messing with the wrong person."

"Alaya, bawa Rasel ke mobil sekarang." titah Natalie tanpa mengalihkan pandangannya dari Jeksa beserta empat belas pria di hadapannya.

Alaya menyimpan pistolnya lalu menghampiri Rasel yang sudah terduduk di aspal seraya memakaikan jaketnya yang sengaja Alaya lepas untuk Rasel. Temannya itu hanya menggunakan baju scrub dokter.

"Sel, let's get you out of here, ya?"

Jeksa tersenyum miring lalu menoleh ke arah anak buahnya, "Kill them all–"

"Don't miss a single one."

"Zra, sekarang!"

Dor!

Billy, Natalie dan para anak buahnya pun mulai menghujami tim Jeksa dengan tembakan yang tiada henti dan tidak memberi celah kepada mereka untuk membalas menembak.

'Damn it! Tembakan gue ke Jeksa meleset, sialan!'

Namun sayangnya mereka bergerak cepat untuk melindungi dirinya dengan bersembunyi dibalik mobil, tembok sampai tumpukan batu bata. Sehingga Natalie, Billy, anak buahnya bahkan Ezzra pun sulit untuk membidik mereka.

Natalie memberi pertanda kepada semua anak buahnya untuk mundur dulu sebelum peluru mereka habis. Bukan mundur menyerah, tetapi mundur mencari tempat berlindung agar dapat mengisi kembali peluru dan membidik 'mereka' dengan tepat.

Alaya merengkuh tubuh Rasel dan membawa temannya itu berlindung di tempat sampah. Sialnya posisi mobil yang ia tuju masih berada belasan langkah tetapi aksi tembak menembak lebih dulu terjadi sehingga keduanya sulit untuk berjalan dengan hujannya peluru seperti itu.

Dor! Dor!

"Y-Ya, gue takut–" Rasel melirih dengan tubuh yang kembali bergetar takut. Suara tembakan yang sangat keras itu seketika membuatnya kembali mengingat kejadian dua belas tahun yang lalu.

Dimana sang ayah dan ibunya beradu tembak dengan entah segerombolan siapa.

Dor!

Alaya mengulum bibirnya, "Zra, gue harus bawa Rasel pergi dari sini sekarang juga tapi gue ngga bisa ngelakuin itu tanpa perlindungan lo dari atas"

Dor!

'I'll cover you.'

"Sel, liat gue." Alaya memegang kedua bahu Rasel yang sudah mendongak untuk menatap Alaya.

"Gue tau lo lagi takut, tapi gue butuh lo untuk berani. It's not safe for you here so we have to run to the car right there, okay?"

"Can you do that?" Rasel mengangguk, Alaya tau temannya itu memaksakan diri agar berani. Tak tega sebenarnya tetapi mau tak mau Rasel harus berani di situasi macam ini.

Alaya tersenyum manis, mencoba untuk memberi ketenangan di tempat yang penuh suara tembak ini.

"Gue bawa mobilnya, lo gimana, Nat?"

'Ngga usah mikirin gue. Lo sama Rasel pergi dari sini sekarang juga!'

'Gue bakal mastiin ngga ada salah satu dari mereka yang ngikutin lo. Jadi pergi sekarang, Ya!'

Billy mengisi ulang pelurunya lalu tertawa kecil, "Bunuh mereka semua, Nat."

"Lo yakin? Gimanapun juga mereka pernah jadi partner lo, Bill"

"Ngga peduli. Gue tau kemampuan mereka kayak apa dan ini peluang buat kita untuk habisin mereka semua. If we fail today, it will give them time to recover."

"As long as Jeksa's alive, we can't give them a break. Because if we do–"

"Believe me, we will have a hard time. Jehan and Rasel will be more threatened." Natalie dapat melihat Billy serius dengan ucapannya.

"Lanjut menembak dan jangan berhenti!" titah Natalie berteriak agar semua anak buahnya dapat mendengar perintahnya.

"Jangan sampai diantara mereka semua ada yang pergi dari tempat ini!"

Natalie dan Billy kompak melihat ke arah Alaya yang hendak berlari dari tempat situ seraya berkoordinasi dengan Ezzra yang akan memberi tembakan perlindungan dari atas gedung hotel.

Setelah itu mereka saling memandang dan menganggukkan kepala satu sama lain seolah pertanda sesuatu, tanda yang mungkin hanya mereka berdua yang tau.

Dor!

"Finish them off!"

°°°

"Go ahead, then all your efforts to protect your wife will be in vain." Lorenza menantang.

Jehan berdecih, "Is that so? I could do that too" ia memajukan wajahnya ke dekat telinga Lorenza sampai wanita itu bingung seketika.

"Gue dan tim gue punya banyak bukti untuk ngejatuhin bisnis gelap Jeksa, so you'd better not provoke my anger" bisiknya sebagai bentuk peringatan.

Lorenza terkekeh remeh, "Wow! It's so easy to provoke you, Pak Pimpinan. Rasel bener-bener kelemahan lo ya?"

"Don't you dare to touch her or I won't hesitate to kill you right now." Jehan menguatkan cengkramannya sehingga sedikit mencekik Lorenza.

"I tell you, i–if you kill me now, J–jeksa will kill her too." balas Lorenza kesulitan bernafas.

Jehan mengeraskan rahangnya hingga terlihat urat di lehernya. Mendengar ucapan Lorenza tadi membuat Jehan perlahan melepaskan cengkramannya dikerah jaket wanita itu dan Lorenza terbatuk sambil mengambil nafas.

"Where is she?" tanya Jehan terdengar menuntut.

Lorenza mengusap lehernya seraya menatap tajam pria di depannya, "Why don't you try to find her yourself?" geramnya seraya mengayunkan pisaunya ke arah Jehan.

Tanpa Jehan sadari, Lorenza mengambil pisau miliknya diam-diam. Namun Jehan langsung menghindar dan membalas serangannya tanpa senjata. Jehan menggunakan kemampuan bela dirinya dengan sekuat tenaganya, tidak peduli bahwa lawannya adalah seorang perempuan.

Lorenza juga tidak kalah kuat. Berbulan-bulan latihan dengan tekad ingin membalas dendam membuatnya menjadi lebih cepat dan gesit. Ia memegang erat pisau miliknya agar tidak lepas karena senjata ini satu-satunya peluang untuk mengalahkan Jehan.

Jehan bergerak sangat cakap. Menghindari satu persatu serangan Lorenza yang menurutnya tak berteknik. Dirinya juga tidak segan memberi sebuah perlawanan dalam bentuk beberapa tinjuan dan tendangan.

Mereka berdua sibuk berkelahi yang sangat menguras tenaga. Lorenza tidak menyerah, begitu pula dengan Jehan yang tidak akan membiarkan wanita itu mengalahkannya.

Jehan menahan tangan Lorenza yang memegang pisau dan wanita itu menggeram agar tangannya di lepas namun tenaga Jehan terlalu kuat. Dengan tenaga tersebut, Jehan mendorong tubuh Lorenza sampai tertubruk tembok.

"'Yang jelas bukan untuk bunuh lo?'" decih Jehan meniru kalimat yang Lorenza ucapkan beberapa saat yang lalu. "Lo pikir gue percaya? You seem very determined to kill me now."

Lorenza menyeringai jahat, menunjukkan luka sobek di ujung bibirnya berkat tinjuan Jehan. "Look at you. Seems very determined to kill me too, huh?"

Dor!

Lorenza tersentak ketika sebuah peluru entah datang dari arah mana mengenai tembok tepat di sampingnya dengan jarak tak sampai lima senti dari wajahnya.

"You're not alone don't you?" tanya Lorenza semakin emosi.

Jehan tersenyum miring karena sepertinya orang yang ia kirimkan pesan sudah datang sesuai instruksinya. Ahli menembak dalam jarak jauh, Yaslan, sedang memantau sikon melalui teropong pistol jitunya dari atap gedung perkantoran yang letaknya tepat di depan rumah sakit Hadvent.

"You're the one who come to your enemy's place, lo pikir gue bakal ngelewatin kesempatan itu?"

"Fuck you, Jehan." Lorenza berhasil melepaskan dirinya dan kembali menyerang Jehan namun pria itu menangkisnya dengan cepat.

Lorenza menunjukkan hasil yang selama ini ia latih kepada dirinya sendiri. Ia tau betul Jehan sangat ahli dalam bela diri sehingga tak mudah tentunya bagi seorang wanita sepertinya untuk mengalahkan pria itu.

Masih memegang senjatanya, Lorenza seringkali mengarahkan ujung pisaunya ke bagian dada dan perut Jehan. Tentunya tak semudah itu karena perlawanan yang Jehan berikan seolah-olah pria itu dapat membaca setiap pergerakan Lorenza.

Jehan memperhatikan wanita itu sedang lengah dan ia langsung memanfaatkannya dengan mendominasi gerakan. Jehan memelintir tangan Lorenza yang mencengkram pisau lalu menghempaskannya agar benda tajam itu terlepas.

Dor!

Kali ini tembakan itu mengejutkan Jehan dan Lorenza pun menyeringai penuh kemenangan sambil melirik ke belakang. "Bukan cuma lo doang yang ngga mau melewatkan kesempatan ini–"

Dari sudut pandang Yaslan yang masih mencoba membidik Lorenza dari atap gedung perkantoran, ia terkejut ketika ada yang mencoba menembak Jehan dari jarak jauh.

Yaslan pun mencari penembaknya ke semua arah dan tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk menemukannya. Insting sebagai penembak jitunya sangat kuat.

Setelah menemukan penembaknya yang ternyata berasal dari gedung samping rumah sakit, Yaslan membidiknya tepat di kepala lalu menekan pelatuknya tanpa ragu.

Yaslan tersenyum miring saat pelurunya yang tadi tepat sasaran. "How dare he shoot at my boss.." gumamnya.

"Fair enough–" Jehan menarik rambut Lorenza  ke belakang dan menjadikan tubuh wanita itu sebagai perisai dari tembakan jarak jauh yang tertuju kepadanya.

"Sebagai musuh yang baik, gue kasih tau lo satu hal. Never let your guard down," bisik Jehan dengan kekehan yang meremehkan.

"Fuck you." Lorenza menggeram tidak sabar seraya berusaha melepaskan dirinya dengan gerakan menyikut sepenuh tenaga ke bagian pinggang Jehan.

Jehan mengerang sakit sehingga kunciannya terhadap Lorenza pun terlepas. Ia memegangi pinggangnya kemudian bersiap kembali untuk melanjutkan aksi serangan dan perlindungan.

Lorenza mengeluarkan pistolnya bersamaan dengan Jehan yang mengeluarkan pistolnya juga sehingga mereka berdua saling menodong pistol dan mengunci tatapan satu sama lain.

"La, ini yang lo mau?" Jehan bertanya halus, membuat Lorenza di seberangnya terheran.

"Awal gue kenal lo itu sebagai temennya Rasel, Lola Agaisha. Don't you ever think about how happy your friendship was?"

"Dendam? Gue paham rasa itu. Tapi lo dendam ke pihak yang salah, harus berapa kali gue buktiin? Lo liat sendiri rekaman CCTV waktu orang tua lo diinterogasi,"

"Navarez itu manipulatif dan orang tua lo juga korbannya, wake up, La!"

"Rasel selalu yakin lo bisa berubah. Dia masih nganggap lo sebagai sahabatnya dan gue harap lo juga karena gue yakin hubungan pertemanan kalian selama ini pasti berarti buat lo."

Lorenza terdiam mematung mendengar tuturan kata dari mulut Jehan. Ada perasaan aneh yang muncul ketika pria itu menyinggung hubungan pertemanannya dengan Rasel. Terutama bagian Rasel yang masih menganggapnya sebagai sahabat.

"Both of us can end this very nicely and no one needs to get hurt,"

"Damn, well done. I was almost touched by your words, Jehan." Lorenza tersenyum remeh karena sepertinya Jehan gagal membujuknya.

"All of this will end if one of us dies and that person is you–"

Dor!

Lorenza menggeram kesakitan saat sebuah peluru mengenai bahunya. "Fuck! Arrgh!!"

Dengan mata yang memerah sambil menekan titik tembak di bahunya, Lorenza melihat ada yang datang dari belakang Jehan membawa beberapa orang sambil mengarahkan pistolnya kepadanya.

Jehan menoleh sedikit dan melihat sang adik beserta pistolnya yang ujungnya berasap, itu artinya tembakan pada bahu Lorenza barusan Jendra lah pelakunya.

Lorenza menahan marah dan rasa sakit hingga wajah serta lehernya memunculkan urat. Tetapi ia langsung berlari pergi ketika sadar situasinya tidak akan mendukung. Dia tidak bisa melawan mereka semua sendirian.

Jendra hendak mengejar namun Jehan segera menahannya, "We don't have time to chase after her"

"Bang, ini kesempatan bagus–"

"Lorenza sengaja mancing gue ke atas sini dan dia tau gue ngga akan nekat datang sendirian, so she's distracting me."

"She's broke us up on purpose to make it easier for Jeksa to carry out their plan,"

"What plan? And to whom?"

"Rasel, bantu gue cari dia."

Detik ini juga Jehan meyakini dirinya sendiri bahwa Lorenza tidak akan pernah berubah dan sudah tidak ada lagi harapan sehingga berbicara pun akan sia-sia.

Sosok Lola Agaisha benar-benar sudah lenyap dari dalam diri wanita itu.

°°°

Alaya menuruni tangga lalu mendatangi para partner timnya yang sedang berkumpul di sofa ruang keluarga. "Rasel's sleeping right now–"

"She'll be fine, gue rasa dia mulai terbiasa tapi Jeksa bener-bener bikin dia ketakutan hari ini."

"Jehan dimana?" Alaha menatap Natalie, Billy dan Ezzra yang sedang membongkar dan memeriksa senjata mereka masing-masing. Ditambah Marven yang langsung datang dari rumah sakit setelah diberitahu situasinya.

Kondisi ruang keluarga rumah Jehan sangat berantakan oleh beberapa pisau, perangkat dari pistol yang dibongkar dan peluru yang tersisa setelah konflik dengan tim Jeksa sore tadi.

"He's on his way here," jawab Ezzra tanpa mengalihkan pandangan dari kegiatannya.

"Kejadian hari ini emang rencana mereka? Dan mereka berdua sengaja muncul di tempat yang beda buat misahin kita semua?" Marven menggeram kesal ketika Natalie mengangguk.

"Mereka tau kalau kita bergerak sebagai satu tim, mereka bakal kalah telak." sahut Ezzra.

"Brengsek!" umpat Marven. "Dasar pengecut–"

"At least we've taken out Jeksa's best men," ujar Billy.

"But it's not over until they're dead." kata Natalie sangat tegas dan penuh ambisi.

"Tadi hampir aja gue–"

"Fokus lo dibagi dua karena lo harus kasih Alaya sama Rasel perlindungan, jadi bukan salah lo." Natalie memotong perkataan Ezzra sebelum pria itu menyalahkan dirinya.

Brak!

Marven, Natalie, Billy, Ezzra dan Alaya sontak mengalihkan pandangannya saat mendengar pintu yang seperti didobrak terbuka dan mendapati tiga orang yang mereka tunggu kedatangannya.

Jehan, Jendra dan Yaslan. Penampilan mereka bisa dibilang kacau terutama Jehan, raut wajah pria itu terlihat jelas sekali rasa gelisah, panik dan marah yang bercampur menjadi satu. Dia berjalan terburu-buru sambil melepaskan jas biru tua dan dasinya lalu melemparkan kedua barang itu ke sembarang arah.

"She's fine, Je.." Alaya lebih dulu berucap seolah bisa membaca apa yang akan Jehan tanyakan.

"Terus dimana dia sekarang?"

Alaya tersenyum tipis, "Tidur di kamar."

Jehan langsung menghela nafasnya, rasa lega yang muncul membuat kedua kakinya lemas seketika tetapi ia menahannya. "Thank God.."

"Lo berempat ngga kenapa-kenapa kan?" Jehan menatap Alaya, Billy, Natalie dan juga Ezzra secara bergantian. Memastikan keadaan mereka berempat.

"Aman." jawab Billy mewakili yang lainnya.

"Keadaan lo sendiri gimana?" tanya Marven khawatir. Pasalnya penampilan luar sobatnya itu benar-benar kacau.

"Keadaan gue ngga penting," cetus Jehan tanpa sadar membuat orang di sekitarnya kesal.

"Lo bisa aja mati." Yaslan menimpali dengan nada yang cukup sinis supaya pria itu sadar bahwa betapa bahayanya di atap rumah sakit tadi.

Jehan tidak menggubris itu, ia justru menatap asisten sekaligus temannya. "Komite dewan juri di rumah sakit gimana situasinya?"

"Semua terkendali sesuai dugaan lo, jadinya aman." jawaban Marven langsung diangguki oleh Jehan.

"Intinya hari ini apapun rencana Jeksa sama Lorenza hampir berhasil. We can't let that happen again later on–" celetuk Ezzra.

Natalia menyikut Ezzra dan memberikan sorot mata yang tidak biasa sehingga Ezzra bingung apa yang sedang wanita itu coba katakan.

"Kita bahas tentang ini nanti. Lebih baik lo samperin Rasel dulu di atas, dia nyariin lo terus dari tadi" ucap Natalie dengan senyum tipisnya. Alaya mengangguk setuju.

Jendra menepuk bahu kakaknya, "Istri lo baik-baik aja, jadi sekarang tenangin diri dan jernihin pikiran lo, bang"

Hembusan nafas keluar dari indra penciuman Jehan sambil mengulum bibirnya. Ia menatap sendu teman-temannya terutama Natalie, Billy, Alaya dan Ezzra.

"Jangan ada yang pulang malam ini, gue mau bahas sesuatu." ucap Jehan dengan suara berat ciri khasnya.

Semua orang mengangguk patuh. Dari raut wajahnya yang serius saat mengatakan satu perintah tadi, tandanya sesuatu yang Jehan ingin bahas merupakan hal yang penting.

"I'm grateful that no one got hurt today and–"

"Thank you for protecting and bring her home safely." ucap Jehan yang kedengarannya tulus sekali.

Jehan bersungguh-sungguh dalam mengatakan itu. Istrinya baik-baik aja berkat mereka disaat dirinya sibuk dengan hal lain. Jehan mengakui kali ini dirinya cukup gegabah sehingga ia tidak menyadari rencana apa yang sedang Lorenza dan Jeksa jalankan.

Untuk pertama kalinya Jehan memberi senyum manis nan tulus kepada semua orang yang ada disini. Alaya, Ezzra, Marven, Yaslan, Natalie bahkan sang adiknya pun terkejut melihat itu.

Rasel, wanita itu benar-benar telah menaklukan pria yang mulanya dingin dan kaku alias Jehan Atharizz Kanagara.

Marven hendak mengeluarkan suaranya tetapi Jehan sudah meninggalkan semua orang yang ada di ruang keluarga, berjalan cepat menuju kamarnya di lantai atas.

Maklum. Dia sudah tidak sabar memeriksa keadaan istrinya, rasa khawatirnya tidak akan hilang kecuali dia melihat Rasel benar-benar didepan matanya.

Jehan langsung menghampiri Rasel yang sedang terlelap begitu membuka pintu kamar. Wajah tidurnya terlihat sangat damai, tidak ada goresan luka sedikitpun dan itu membuat Jehan mengulas senyum tenang.

Kelihatannya Rasel benar baik-baik saja tetapi secara fisik. Secara hati? Entahlah. Semoga saja. Namun kali ini Jehan benar-benar merasa lega. Bahkan rasanya ia ingin segera memeluk erat tubuh ramping Rasel detik ini juga tetapi ia tahan.

Dia duduk di tepian ranjang pelan-pelan agar tidak membangunkannya. Tangan kekar sisi kiri Jehan bergerak mengelus lembut pipi tembam Rasel, mencurahkan rasa lega yang tiada tara, senang dan rasa sayangnya melalui elusan itu.

"Maaf–" lirihnya dengan perasaan bersalah yang cukup besar menyelimuti benaknya.

Jehan sedikit membungkukkan badannya untuk memberi kecupan penuh arti di sisi kanan pipi sang istri dan juga keningnya. Ia mencium dua bagian itu cukup lama, berharap tindakannya ini tidak mengusik tidur nyenyak Rasel.

Kemudian setelahnya Jehan menatap dalam-dalam wajah istrinya yang memiliki paras luar biasa cantiknya, nyaris sempurna.

"Aku ngga akan pernah maafin diri aku sendiri kalau kamu kenapa-kenapa, Sel"

"Tadi kamu pasti ketakutan kan?" Jehan menaikkan selimut tebalnya hingga menutupi dada. "Maaf–"

Jehan mencium pipi dan kening Rasel lagi, kali ini lebih singkat dari yang sebelumnya karena ia tidak mau mengganggu. Lalu setelah itu, dia  mendekat ke telinganya untuk berbisik,

"Tidur yang nyenyak. Have a nice dream ya, sayang."

-

Setelah melihat keadaan istrinya di kamar dan sekaligus membasuh wajahnya agar lebih segar, Jehan menuruni tangga lalu berjalan menuju mini bar yang dimana teman-temannya sudah menunggu disana.

Hatinya sudah tenang dan pikirannya pun sudah kembali jernih. Ini saatnya membahas rencana pembalasan terhadap apa yang sudah Jeksa dan Lorenza lakukan termasuk kejadian hari ini.

Baru sampai Jehan langsung disodorkan sebuah gelas yang sudah diisi wine oleh Marven. "Abis recharge energy sama istri kesayangan, muka lo langsung seger banget, Je–"

Jehan berdecih dan merotasikan bola matanya seraya menerima gelas wine tersebut, sementara yang lain tertawa kecil.

Jehan membuka dua kancing atas kemejanya, entahlah malam ini rasanya gerah. "Gue udah muak sekarang,"

"Jeksa sama Lorenza, we have to finish them both off."

Marven, Jendra, Yaslan, Ezzra, Alaya, Natalie dan Billy, mereka dalam mode sangat serius sekarang. Ketujuh dari mereka mulai menyimak dan mendengarkan paparan Jehan saat ini.

"Kita pake cara yang sama kayak mereka. Media, opini publik atau reputasi." Jehan tersenyum miring.

Namun sayangnya mereka bertujuh belum menangkap apa maksudnya sampai Natalie menyadarinya.

"Bukti-bukti tentang Jeksa yang kalian punya," celetuknya.

Jehan memetikkan jarinya ke arah Natalie, "Kalau gue pikir-pikir kita punya banyak bukti buat ngejatuhin reputasi Navarez"

"This is the time to use all of that evidence."

Ditengah-tengah paparan sang kakak, Jendra mengalihkan matanya ketika melihat seseorang menuruni tangga. Jendra pun tersenyum tipis, "Bang.." panggilnya.

Jehan menatap sang adik dengan salah satu alis yang terangkat. Tidak hanya Jehan, yang lain pun menatap ke arahnya. "Apaan?"

Jendra menunjuk dengan dagunya seolah memerintah Jehan untuk menoleh ke belakang. Semua kompak menolehkan kepalanya ke arah yang Jendra tunjuk barusan.

"Jehan…"

Jehan sontak mengernyit melihat Rasel sedang duduk di salah satu anak tangga sambil mengucek matanya. Ia menyimpan gelas lalu segera menghampirinya, barangkali istrinya itu membutuhkan sesuatu.

"Jehan…"

"Aku disini, sayang. Kamu perlu apa?"

"Mau peluk sebentar, boleh?"

"Boleh,"

Jehan menjongkokkan dirinya tepat di hadapan Rasel dan membawa tubuh ramping istrinya itu masuk ke dalam dekapan eratnya.

"Kenapa bangun, hm? Mimpi buruk?" tanyanya lembut setelah melepas dekapannya lalu membelai rambutnya.

Masih memejamkan mata dan mengucek mata sisi kanannya, Rasel menggeleng. "Kebangun aja–" jawabnya dengan suara parau.

"Aku ke bawah soalnya mau ngecek kamu udah pulang atau belum ternyata udah. Kok ngga ngebangunin aku sih?"

Jehan tersenyum, "Kamu tidurnya nyenyak banget, aku ngga tega ngebanguninnya"

Rasel diam seraya membuka kedua matanya sedikit demi sedikit lalu menguap kecil hingga Jehan pun terkekeh gemas.

"Masih ngantuk kan? Lanjut tidur sana, nanti aku nyusul–"

Rasel menggeleng keras, "Sekarang aja" rengeknya manja dan mengerutkan bibir bawahnya.

"Aku harus ngurus sesuatu dulu sama yang lainnya, sayang."

"Yaudah aku mau ikut," ucap Rasel dengan puppy eyes, andalan ciri khasnya ketika dia meminta sesuatu.

"Takut lama, mending istirahat aja ya?"

Rasel kembali menggeleng. "Ngga mau sendirian di kamar, mau ikut kamu aja, Je.."

"Boleh ya, please?"

Jehan mengalah dengan mengiyakan kemauan sang istri sambil tersenyum manis. "Yaudah iya boleh"

"Alright, come on–" Jehan berdiri sambil mengulurkan tangannya dan Rasel menerima uluran tersebut lalu menggenggamnya dan mengikuti langkah Jehan.

Jendra, Marven, Natalie, Ezzra, Billy, Alaya dan Yaslan memperhatikan pasangan itu dari tadi. Mereka semua merasakan hal yang sama yaitu, tenang dan senang. Pemandangan yang benar-benar bisa membuat hati mereka seketika menghangat.

Marven memberikan kursi bar untuk Rasel ketika mendapati teman iparnya itu akan bergabung. Tidak etis membiarkan istri dari bosnya itu berdiri bukan?

Natalie dan Alaya tersenyum melihat bagaimana Rasel manja hanya di depan suaminya.

"Duduk aja disini," Jehan menuntun Rasel duduk di kursi bar yang Marven berikan letaknya tepat di sampingnya.

"Silakan, nyonya–" sahut Marven cengengesan.

Rasel tidak menggubris karena sebenarnya dia sedang mengantuk berat tetapi Rasel tidak mau jauh-jauh dari sisi suaminya. Jadinya ia memilih untuk menahan rasa kantuk tersebut sampai urusan Jehan selesai.

Jehan tersenyum tipis ketika wanita di sisinya ini menggandeng lengan kanannya dan menyender disitu, menjadikan lengannya sebagai bantalan untuk memejamkan mata.

"Kalo ngga nyaman bilang ya?" Rasel mengangguk kecil.

"Oke, lanjut. Tadi gue sampe mana?"

"Bukti" sahut Alaya.

"Semua buktinya masih lo pegang kan, Zra?" Ezzra mengangguk. "Bukti tentang pasar gelap, penyelundupan narkoba dan senjata, penipuan bahkan pencucian uang, kita serahin semuanya ke kejaksaan–"

Ezzra, Alaya, Natalie, Billy dan Yaslan reflek mengubah ekspresinya saat mendengar ucapan Jehan mengenai tindak lanjut terhadap bukti yang mereka punya. Diserahkan ke kejaksaan?

"Tunggu, lo serius?" tanya Yaslan memastikan.

"Je, lo tau sendiri backingan dia kebanyakan orang-orang kejaksaan. Kalau kita serahin bukti ini kesana, bukan cuma buktinya yang bakal hancur tapi kita juga." timpal Alaya tak setuju dengan ide Jehan.

"Kali ini gue setuju sama Alaya," celetuk Ezzra.

Jehan mengangkat kedua ujung bibirnya, ia mengerti pemikiran teman-temannya namun bukan Jehan namanya kalau dia tidak punya jalan lain.

"Jehan minta gue selidiki semua backingan Jeksa di kejaksaan, hasilnya ada tiga orang. Dua orang jaksa hukum pidana dan satunya lagi kepala jaksa wilayah" ujar Marven.

Marven menyimpan benda pipih yang sedari tadi ia pegang di atas meja mini bar, tepat di tengah-tengah agar semua bisa melihat.

"Minggu lalu gue ketemu jaksa agung yang ternyata dia mentor Jendra pas pelatihan di Singapura."

"Well, kita juga punya backingan di kejaksaan, lebih tepatnya jaksa agung di kejaksaan negeri. So why not?"

Kelima teman yang mulanya ragu kini kompak menyeru kagum. Pasalnya yang mereka tau, jaksa agung merupakan pimpinan tertinggi dalam seluruh hierarki kejaksaan negara ini. Jika begini mereka kembali unggul dibanding Jeksa dan Lorenza.

"Jen, udah buat janji temunya?"

Jendra mengangguk, "Hari sabtu besok di jam makan siang"

"Gue mau lo dateng ke janji temu itu, Zra" pinta Jehan dan Ezzra pun mengangguk patuh.

"Je.." panggil Rasel dengan bisikan.

Jehan langsung menoleh, "Kenapa?" tanyanya lembut.

"Mau minum susu, yang dingin–" pinta Rasel sambil menyengir.

"Maaf diganggu dulu sebentar ya?" ucap Rasel merasa tidak enak karena telah menginterupsi pembicaraan mereka.

Namun mereka semua sama sekali tidak masalah, mereka malah memaklumi itu. Justru kebanyakan dari mereka merasa panas hati dalam diam.

Betapa manisnya hubungan Jehan dan Rasel membuat mereka seketika ingin menikah detik itu juga.

Jehan segera menuruti permintaan sang istri. Ia mengambil gelas lalu membuka kulkas untuk mengambil keinginan Rasel yaitu susu dingin.

"Tambahin es batu dong, Je.."

"Ngga, ini udah dingin." Jehan membantah permintaan istrinya yang satu itu. "Nih–"

Rasel menerima pemberian gelas yang sudah berisi susu itu dengan ekspresi cemberut.

"Ya, lo punya temen yang jago retas di kancah dunia kan?" Alaya menganggut.

"Gue punya tugas berat buat lo dan lo pasti butuh bantuan untuk itu. Jadi lo boleh bawa temen lo tapi cukup satu orang."

"And that person has to be the one you trust the most, you got it?"

Alay tersenyum senang. Ia sangat sangat menyukai tugas yang menantang, apapun itu.

"Nat, gue butuh sumber daya sebanyak mungkin. Jadi gue mau anak buah lo dan anak buah gue kerja sama, so I want you to train them all."

Natalie melipat kedua tangannya di depan dada, "Sure. I'll handle that"

"Dan lo berdua--" Jehan mengubah arah pandangnya ke Yaslan dan Billy. "It's a tough and dangerous task but I want you to spy on their every move."

"Wait for my cue and we start all of this next week."

Marven menepuk bahu Jehan, "Istri lo udah ngantuk banget kayaknya--"

Jehan reflek menoleh dan tersenyum melihat Rasel tertidur setelah minum susu sambil menopang rahangnya.

Benar-benar menggemaskan.

-

Jehan menutup pintu kamarnya secara berhati-hati, takut Rasel terjatuh dari gendongannya. Kemudian dia berjalan menuju ranjang dan membaringkan istrinya di sana.

"Kamu mau kemana lagi, Je?" Rasel menahan tangan Jehan yang berurat ketika suaminya itu hendak pergi.

"Aku mau mandi dulu, sayang. Mau ikut, hm?"

Tak diduga Rasel menganggukkan kepalanya, tanda bahwa ia mengiyakan tawaran Jehan yang sebenarnya hanya pertanyaan jahil saja. Siapa yang mengira Rasel akan menerima itu?

"Ikut–" Jehan menelan ludahnya sendiri, cukup tertegun dengan jawaban istrinya yang terlihat serius

"Jangan, bahaya. Kamu tidur aja, lagian aku ngga akan lama kok"

"Mau ikut. Aku juga belum mandi soalnya," ucap Rasel bersikeras ingin ikut.

Jehan gelagapan sekarang. Niatnya hanya ingin jahil tetapi mengapa berakhir seperti ini?

"Kamu mandinya besok pagi aja, sekarang udah terlalu malem nanti kamu sakit, sayang. Nurut ya?"

Rasel mengerutkan bibir bawahnya lalu mengangguk. "Tapi jangan lama-lama,"

Jehan mengulas senyumnya sambil mengusap pelan puncak kepala Rasel. Ia merasa istrinya ini menjadi lebih manja dari pada biasanya, ia tidak keberatan justru Jehan mau gila rasanya karena Rasel manja itu merupakan hal yang sangat menggemaskan.

Hampir sekitar setengah jam kemudian, Jehan sudah selesai mandi dan kini pria itu berada di walk in closet sedang memakai baju tidurnya. Karena tidak sabaran, Rasel memutuskan untuk menghampiri suaminya ke walk in closet.

"Kenapa ngga tidur duluan, hm?" tanya Jehan sambil memakai kaos putih polosnya. Ia dapat melihat kedatangan Rasel dari pantulan cermin.

"Aku maunya tidur sama kamu," Rasel sedikit lebih sadar dibandingkan dengan sebelumnya.

Rasel menyandarkan diri pada meja penyimpanan koleksi dasi suaminya. "Udah selesai kan?" Jehan tersenyum dan mengangguk.

"Sel.." panggil Jehan yang direspon sebatas dehaman saja.

Jehan mengulum bibirnya lalu menghela nafas seraya maju mendekat sehingga jarak diantara dirinya dan Rasel sangat tipis.

"Maaf,"

Rasel mengernyit bingung, "Maaf untuk apa?"

"I'm sorry I didn't pick up your call." Jehan menundukkan kepala, rasa bersalahnya terlalu besar sampai Jehan tak kuat bertatapan.

Sejak di tangga tadi, Jehan merasa tidak sanggup untuk berhadapan dengan Rasel karena rasa bersalah itu. Melihat wajah Rasel justru membuatnya teringat fakta bahwa istrinya ini berada dalam bahaya karenanya.

"You must be terrified, right? Sorry I wasn't by your side"

"Hei.."

"To be honest, I was so scared, Sel. I was afraid you would be hurt because I didn't pick up your phone. I'm so sorry–"

Rasel merasa hatinya sangat terenyuh mendengar ucapan penyesalan suaminya, padahal kejadian ini diluar kehendak dan bukan salah siapa-siapa.

"Kenapa minta maaf? Ini bukan salah kamu dan buktinya aku baik-baik aja kan?"

Jehan masih menunduk, belum berani untuk menatap istrinya sampai Rasel gemas sendiri.

"Liat aku," Rasel mengangkat dagu Jehan agar pria itu menatapnya.

Alangkah terkejutnya Rasel ketika melihat wajah suaminya yang memerah ditambah kedua matanya berkaca-kaca.

"Kamu nangis?!" Rasel memekik kaget.

Hati Rasel semakin tersentuh saat mengetahui sebesar apa rasa bersalah yang Jehan rasakan terhadap hal yang bukan kesalahannya. Lelaki itu benar-benar menangis.

Ada pepatah mengatakan, 'Jika lelaki menangisi seorang perempuan, itu tandanya lelaki itu sangat menyayangi perempuan tersebut'

Dan ini pertama kalinya Rasel melihat Jehan menangis, terlebih hanya karena Jehan tidak menjawab panggilannya. Semenyesal itukah? Setakut itukah? Sesayang itukah?

Rasel tersenyum hangat sambil menghapus buliran bening di ujung mata suaminya. "Hei.."

"Bukan salah kamu. Besides, there must be a reason why you didn't pick up my calls, right?"

"Alaya, Natalie, Billy sama Ezzra bener-bener ngelindungin aku." Rasel memberikan senyum yang menenangkan sambil bertatapan dengan Jehan.

"I can't imagine what would happen if you got hurt–" Jehan bergumam masih sangat menyesal.

"Sst! I am terrified at that time but I'm fine, totally fine."

Jehan membenamkan wajahnya di ceruk leher istrinya dan Rasel melingkarkan kedua tangan di punggung Jehan, memeluk erat sang suami.

"It's okay, Jehan. Stop blaming yourself, please. Aku udah disini dan aku baik-baik aja, itu yang penting sekarang."

Deru nafas berat Jehan menyapu sekujur leher jenjang Rasel. Ia bisa merasakan rasa sayang dan tulus yang Jehan salurkan dari dekapannya saat ini.

"Proyek perusahaan kamu udah selesai kan? Beberapa hari terakhir kamu sibuk banget, ngga lupa punya istri kan?"

"Aku kangen kamu tau.." omel Rasel mencoba mengalihkan suasana agar menjadi lebih tenang.

Upayanya berhasil ketika mendengar Jehan terkekeh kecil.

"I love you, Raselia."

Rasel tersenyum bahagia. "I love you too, Jehan."


to be continued~~~

ayyyyooooo!!!

how abt this part?

siapaa yg mau masuk semester 5 disini? Aku aku akuu hihijii

siapa yg jadi mahasiswa baruu disini? semangat ospek fren<3

jujur deh, cerita ini bentar lagi tapi ga bentar bgt juga si pokoknya dikit lagi deh udah siap berpisah sm Jehan-Rasel?🥺

tp tp tp jangan sedih, cerita selanjutnya yang bakal gue publish yaituuu Garwana #azeekk

love u banyak-banyak fren, serius. Kiss jauh dr Bdg buat kalian semua😙💓

see u di part selanjutnya!<3


kiw

Continue Reading

You'll Also Like

42.4K 366 4
well, y'know? gue fetish sama pipis dan gue lesbian, eh gue sekarang sepertinya bi, kontol dan memek ternyata NYUMS NYUMS Apa ya rasanya Mommy? juju...
245K 36.8K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
182K 15.4K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...
49.9K 3.6K 51
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...