Tampan Berdasi (MxM)

By DaddyRayyan

80.6K 9K 4.6K

Orang yang paling kamu hindari sejak zaman sekolah adalah bosmu di kantor. Orang yang kamu benci semasa sekol... More

Pendahuluan + audio suara karakter
P r o l o g
Dasi 1
Dasi 2
Dasi 3
Dasi 4
Dasi 5
Dasi 6
Dasi 7
Dasi 9
Dasi 10
Dasi 11
Dasi 12
Dasi 13
Dasi 14
Dasi 15
Dasi 16
Dasi 17
Dasi 18
Dasi 19
Dasi 20
Dasi 21
Dasi 22
Dasi 23
Dasi 24
Dasi 25
Dasi 26
Dasi 27
Dasi 28
Dasi 29
Dasi 30
Dasi 31
Dasi 32
Dasi 33
Dasi 34
Dasi 35

Dasi 8

2.9K 309 155
By DaddyRayyan

Surprise update malam ini.

Selamat menikmati.

Sehat-sehat ya semuanya.







Kak Rayyan.

Suara berat itu membangunkan Rayyan dalam tidurnya secara lembut. Kamar gelap. Rayyan bisa mendengar deru napasnya yang naik dan turun konstan, sampai perlahan-lahan ia merasakan dingin menggigiti kulitnya. Aneh, mestinya hanya ada kipas angin di dalam kamar OB-nya ini.

Rayyan menyadari alasannya kemudian.

Ia sedang rebah tanpa sehelai benang pun. Kedua tangan terikat simpul di atas kepala dengan sehelai dasi sutra dingin, pergelangan kaki juga diikat dasi—lebih banyak dasi.

Ada Pak Wis duduk di tepi ranjangnya. Sorot matanya sama seperti kemarin lalu, penuh kebencian yang dingin.

" ... Shouki?" Rayyan memanggil serak.

Di mata Rayyan saat ini, wajah Pak Wis sang CEO bertukar-tukar dengan wajah si bintang basket sekolah, Shouki Al Zaidan Wisanggeni, yang antusias dan selalu tersenyum baik padanya. Seseorang yang sering mengalihkan dunia Rayyan saat SMA.

Pak Wis membawa sehelai dasi panjang di tangannya dan dia berkata tenang, "Kak Rayyan suka dasi, kan?"

Rayyan tahu ini mimpi, tetapi dalam tiap mimpi buruk kamu pasti tak bisa bergerak, tak bisa kabur, tak bisa melawan saat Pak Wis—Shouki menindih tubuh polosnya di kasur dengan kekuatan. Tak hanya berat tubuh Pak Wis yang membuat Rayyan sesak, tetapi juga tangan-tangannya yang bergerak, bibir yang mencium, dan anggota tubuh Pak Wis memaksa Rayyan untuk membuka lebar. Adegan ini mirip video panas kesukaannya zaman sekolah. Ikat-mengikat dasi, saling tindih, submisif dikuasai yang agresif, ranjang berderit. Dulu Rayyan merasa panas hanya membayangkan video itu, tetapi hanya dingin yang kali ini terasa. Sakit, dingin, sesak, tubuh gemetar hebat.

"Shouki—Pak Wis—Lepasin saya."

"Bukannya Kak Rayyan suka?"

"Sakit—"

"Sakit? Enggak. Ini enak, kan? Saya tau kamu suka diginiin sama saya."

"Ampun, Pak—"

"Apa saya orang pertama yang bisa ngelakuin ini ke kamu?"

"Ampun—"

"Kamu enggak bisa kabur terus."

"Maafin saya, Shouki—Pak Wis—Maaf—"

Pak Wis tidak berhenti meski Rayyan memohon ampun. Ada dasi panjang di tangan Pak Wis. Dasi dengan motif mewah yang sama seperti yang dibelikan oleh Kanaka. Dasi itu dieratkan ke leher Rayyan. Mengikat, mencekik, mencekik sangat kuat Rayyan tak sanggup lagi menarik udara ke dalam parunya.

Ranjang terus berderit seiring dengan rintihan terakhirnya.

"Shouki—"

Dan begitulah caranya kabur dari mimpi buruk, kamu harus mati dulu. Setelah napas habis karena dicekik dasi, Rayyan terbangun dari mimpi itu sambil menyebut nama "Shouki". Terkesiap penuh keringat dingin.

Setelah terengah beberapa saat, Rayyan gemetar, terhuyung saat mau turun dari ranjang. Sekujur tubuhnya panas dan kepalanya berputar.

Demam tinggi.

"Suhu badan Mas Rayyan nyampe 38,9 derajat. Udah, Mas Rayyan istirahat dulu sehari ini," kata Pak Arian saat mengunjunginya di kamar pada pagi hari dengan sebuah termometer digital yang ditempelkan ke kening.

"Maaf, Pak," ujar Rayyan parau. "Saya tadi udah beli obat panas di warung ... udah gapapa, Pak. Saya bisa kerja hari ini."

"Tapi demamnya masih tinggi. Coba ke puskesmas dekat sini terus lapor kalau perlu beli obat tambahan."

Rayyan mengangguk.

"Mas Rayyan mungkin stres atau kecapean. Tidur dan makan yang cukup."

Rayyan mengangguk agak lama.

Setelah Pak Arian pergi, Rayyan kembali jatuh tertidur. Sebenarnya dia tak ingin tidur. Tiap kali tidur, pasti ia bermimpi mengenang masa-masa sekolah dulu.

Shouki Wisanggeni selalu ada dalam mimpi, memaksa Rayyan untuk mengingat hal-hal yang tak ingin diingatnya.

Kedekatan mereka tak bisa Rayyan ingat jelas. Bentuknya seperti kepingan puzzle yang berserak dan hilang sebagian. Rayyan tak ingin menyusun puzzle tersebut, tetapi di dalam mimpi kepingannya mencuat satu demi satu, membuatnya terpaksa mengingat beberapa hal.

Shouki Wisanggeni—Adik kelas yang pernah menjadi gebetannya ini memiliki harum kolonye citrus yang energik di lehernya, yang Rayyan sering hirup diam-diam jika ia butuh kenyamanan. Sejak menginap di rumahnya satu kali, Shouki jadi makin dekat dengan Rayyan di sekolah. Ke mana-mana jalan bersama. Istirahat, jajan ke kantin makan bakso satu meja. Duduk di bangku koridor kelas juga bersama-sama. Rayyan juga tak pernah absen menonton Shouki latihan basket di tepi lapangan.

Shouki sering main ke rumah Rayyan, setidaknya seminggu sekali, entah itu berenang, minta diajari main gitar (kalau tak salah Shouki akhirnya pandai memainkan satu atau dua lagu L'Arc~en~Ciel), dan malamnya pasti menginap. Bi Minah membuatkan mereka mi untuk makan malam sesuai request. Shouki ternyata suka mi rebus, sedangkan Rayyan suka mi goreng. Mereka makan bareng sambil ngobrol.

Rayyan samar-samar ingat Shouki selalu pakai kaus dengan sablon wajah penyanyi Jepang favoritnya dengan celana boxer pendek. Lututnya tampak menghitam saat ditekuk dan di betisnya ada bekas luka kena knalpot. Helai rambutnya wangi sampo menthol, kadang juga wangi asap kendaraan. Wangi yang sangat khas cowok-cowok SMA.

Namun, yang membedakan Shouki dari Fano, anggota band Rayyan, serta cowok-cowok lainnya, adalah wajah dan senyum Shouki yang selalu tulus saat berhadapan dengannya. Mata itu sering tampak berbinar antusias saat Rayyan bercerita. Untuk pertama kalinya, tanpa Rayyan sadari, ia merasa sangat nyaman memiliki Shouki sebagai teman bicara.

Rayyan menyeringai. "Gimana? Udah nonton video bokep yang cowok-cowok pakai dasi?"

Shouki, yang sedang rebah pada bantal di sampingnya, melirik sekilas. Rayyan suka melihat leher Shouki yang bergerak-gerak saat ia menelan ludah.

"Udah, Kak .... "

"Terus? Suka? Apa geli?" Rayyan sengaja mendekatkan wajahnya ke Shouki.

Shouki melirik ke arah lain. "Ya ... badannya bagus."

"Bagus? Yeah, terutama bodi si bottom-nya, ya."

" ... Tapi badannya bagusan Kak Rayyan, sih," tambah Shouki, menatapnya kembali.

Jawaban yang di luar tebakan Rayyan.

Mereka saling tatap, lalu tertawa dengan canggung.

Terkadang Shouki melontarkan kalimat yang bernada menggoda seperti itu. Rayyan jadi salah tingkah setiap kali Shouki berkata demikian. Wajah Shouki tampak polos apa adanya. Jadi, sepertinya Shouki tak ada maksud menggoda.

"Jadi ... kamu habis lulus SMA enggak kepengin kuliah, penginnya jadi atlet basket nasional?" tanya Rayyan.

"Rencananya gitu, Kak," jawab Shouki. "Kalau Kak Rayyan?"

"Belum tau, yang pasti saya bakal kuliah S1 dulu. Papa pengin saya kuliah di luar, tapi mungkin juga bakal kuliah di sini. Lulus kuliah, saya bakal nerusin perusahaan keluarga."

"Kak Rayyan bakal jadi CEO? Eksekutif muda yang setiap hari pakai jas dan dasi?"

"Iya, keren, enggak?" Rayyan mendengus membayangkan dirinya sendiri mengelus-elus dasi licin mahal setiap hari.

"Keren! Tapi sekarang juga Kak Rayyan juga udah keren, sih." Shouki nyengir.

Rayyan tertawa. "Saya biasa aja, Shouki. Kamu nanti mungkin lebih keren dari saya. Sekarang kamu masih kelas satu. Bisa aja kamu nantinya berubah pikiran. Kalau enggak pengin lagi jadi atlet basket, kamu bisa kerja di perusahaan saya."

"Sejujurnya aku enggak kebayang kerja di lingkungan kantor gitu. Rasanya itu bukan aku," jawab Shouki.

"Padahal kamu pasti cakep banget kerja pakai jas dan dasi di kantoran gitu. Dan kamu ini orangnya ambisius, Shouki, malahan bisa aja suatu hari kamu punya perusahaan sendiri dan jadi CEO-nya." Rayyan menyemangatinya.

Shouki membalas, "Aku dari keluarga sederhana, Kak. Mana mungkin aku jadi CEO dan punya perusahaan besar kayak Kakak."

"Aminin dulu, dong. Kamu pasti bisa sukses kalau nyoba. Kita enggak tau gimana nantinya."

"Aku jadi atlet, Kak Rayyan jadi CEO. Amin. Amin."

Rayyan nyengir senang. "Oke kalau gitu. Nanti kalau kamu tanding basket nasional, saya pasti nonton, sesibuk apa pun saya."

Shouki sering menatap lekat dari samping kalau Rayyan tersenyum seperti ini. Tatapan ingin membuat Rayyan tersenyum lebih lama.

"Janji?"

"Janji."

....

....

Dan demikianlah masa depan Rayyan Nareswara.

Tidur di basemen pasar hingga kamar kecil sumpek, bekerja serabutan sebagai kuli bangunan hingga akhirnya menjadi OB.

Tidak ada dasi.

Tidak ada jas licin keren.

Tidak ada janji yang bisa ia tepati.

*

*

*

Kanaka Jayanti datang ke kantor esok harinya. Wanita itu sudah mendengar kabar kegaduhan misterius yang menyebabkan tunangannya masuk rumah sakit.

Pak Arian bungkam saat ditanyai. Memang bukan urusannya untuk menjelaskan kepada Kanaka apa yang terjadi.

Namun, kata orang wanita memiliki perasaan yang kuat, hati yang sensitif. Siang itu Rayyan sudah turun dari demam, sudah kembali berseragam office boy dan sedang mencuci cangkir di pantry

Kanaka menghampirinya. "Assalamualaikum, Mas Rayyan?"

Rayyan hampir membuat cangkir di tangannya tergelincir.

"Waalaikumsalam, Mbak ... Kanaka?"

Kanaka datang dengan senyum dan sama sekali tidak tampak paras curiga ataupun menuding. Seperti kemarin, ia sedang menenteng sebuah kantong karton berisi sepotong dasi.

Itu dasi yang kemarin Rayyan kalungkan ke leher Pak Wis.

Karena sakit, Pak Wis tak bisa datang menghadiri acara makan malam keluarga Kanaka. Jadi, Kanaka datang untuk mengambil kembali dasi itu dari meja kantornya.

Rayyan melamun sebentar. Dasi keren di dalam kotak itu terlihat seperti tali pengikat leher saat ini.

"Mas Rayyan gapapa? Saya dengar dari Pak Arian, Mas Rayyan sakit—Eh, awas jatuh cangkirnya, Mas!"

Rayyan tak sengaja mengepalkan cangkir yang baru saja ia cuci, hampir tergelincir jatuh kalau tidak diteriaki Kanaka.

"Iya—Mbak, saya udah sembuh. Udah bisa kerja hari ini."

"Kalau masih belum fit, mending istirahat dulu aja, Mas."

"Udah, kok, Mbak. Nanti saya bilang ke Pak Arian." Rayyan tersenyum lebar. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

Rayyan sudah bersiap apabila Kanaka bertanya soal insiden dengan Pak Wis, tetapi wanita ini malah tersenyum dengan alis mata terangkat. Jenis senyum itu sering tampak pada wajah mantan kepala mandor Rayyan saat masih jadi kuli bangunan. Wajah ketika mereka membawa kabar gembira, senyum pemberi harapan.

"Kalau udah sembuh, saya sebenarnya pengin nawarin kerjaan ke Mas Rayyan."

"Hah? Kerjaan gimana, Mbak?"

"Kerjaan kayak gini." Kanaka mengangkat brosur perusahaan jasa konsultasi Pak Wis. Ada wajah Rayyan sebagai model di situ.

Rayyan agak malu melihat Kanaka mengangkat brosur itu ke udara.

"Mas Rayyan tahu, enggak? Sejak foto Mas Rayyan jadi model ini dipasang di Instagram kantor Pak Wis, engagement-nya jadi naik."

"Waduh, saya enggak main media sosial, Mbak. Mungkin itu cuma kebetulan."

"Kebetulan atau enggak, saya pernah nawarin Mas Rayyan kerja di kantor desain saya, kan? Saya mau kasih offer lagi sekarang. Ini saya lagi mau launching koleksi pertama saya, Mas Rayyan mau jadi model saya juga, enggak?"

"Maaf, Mbak, tapi saya harus izin dulu sama Pak Arian. Di kantor ini cuma ada satu OB—"

"Ooh, bukan masalah, Mas! Saya tadi juga udah izin Pak Arian. Selama Mas Rayyan jadi model saya, saya pasti carikan OB penggantinya. Kantor ini memang ada kerja sama alih daya dengan perusahaan keluarga saya. Jadi Mas Rayyan tenang aja." Kanaka bicara dengan cepat dan lancar. Mungkin seperti itulah cara Kanaka bicara saat membuat video endorsement untuk brand-brand besar. Skill membujuk yang sangat meyakinkan.

" .... "

Rayyan belum punya skill yang memadai untuk menolak.

*

Kantor Pak Wis sederhana, tetapi bagi Rayyan sudah cukup besar.

Namun, kamu tak bisa membandingkan kantor Pak Wis dengan kantor Kanaka. Beauty influencer ini berkantor di sebuah gedung pencakar langit di pusat bisnis di Jakarta Pusat. Darmawan Group Tower. Gedung berkonsep futuristik yang didesain arsitek kelas dunia, berlantai tujuh puluh milik Pak Darmawan, ayah Kanaka.

Kanaka memiliki tiga anak perusahaan sebagai bagian dari Darmawan Group. Ia bergerak di bidang kosmetik, parfum, dan pakaian. KaJa Design adalah perusahaan muslim fashion brand yang mulai dirintis oleh Kanaka selama setahun terakhir sejak followers-nya berada di angka satu juta. Kantornya terletak di lantai 58, 59, dan 60. Untuk bisa naik menggunakan lift, Rayyan harus meninggalkan KTP di resepsionis lobi.

Lantai kantor Kanaka menggunakan lantai marmer putih bersih. Dinding jendela kacanya memungkinkan cahaya matahari memenuhi setiap sudut. Meja-meja kerja modern dari kayu berlapis kulit dengan lampu gantung berdesain arabesque di atasnya. Karyawannya bekerja di ruang terbuka dengan partisi kaca. Interior kantor dengan gaya berpakaian para karyawannya sama-sama modis. Mbak-Mbak karyawan yang di kantor Pak Wis tidak ada yang semodis mereka. OB di kantor Kanaka juga punya seragam yang lebih rapi, lebih wangi. Yah, di mana pun kamu berada, rumput tetangga selalu tampak jauh lebih indah bagi orang yang kurang bersyukur.

Rayyan diminta menunggu di sofa lobi, memandangi orang lalu-lalang. Sebagaimana di kantor-kantor, kamu pasti selalu bertemu sekelompok orang atau minimal dua mbak-mbak kantoran yang berjalan atau bersantai di area meja resepsionis dengan suara yang didesiskan, tengah bergosip.

Kebetulan sekali Rayyan mendengar mereka bergosip tentang bos mereka sendiri.

"—Semalam liat story-nya Bu Kanaka, enggak? Gue enggak liat calonnya hadir di acara keluarga—"

"—Lah, gue pikir memang enggak diundang? Bukannya Pak Darmawan belum restu—"

"—Padahal calonnya baik, kok, meski agak jutek. CEO juga—"

"—tapi kan CEO dari perusahaan kecil? Kurang pantes buat Bu Kanaka—"

Ada karyawan pria lewat dan memotong pembicaraan Mbak-Mbak tersebut. "—Makanya kalau jadi cewek jangan melebihi cowoknya, dong. Jangan punya jabatan terlalu tinggi, jangan kuliah sampai S2, jangan terlalu kaya, pasti susah dapet jodoh, tuh!"

Mbak-Mbak yang bergosip tadi mendebat teman prianya karena tidak setuju.

Rayyan menyandarkan punggung ke sofa, pura-pura tidak mendengar semua itu.

Beberapa saat kemudian, Mbak-Mbak dan Mas yang tadi berdebat langsung balik badan dan serentak bersuara hangat, "Siang, Bu Kanaka!"

"Siang semuanya! Siang, Mas Rayyan! Yuk, sini ikuti aku."

Kanaka datang sendiri menemui Rayyan di lobi. Penampilannya di kantor masih seperti biasanya; gamis terusan yang kasual, dengan kerudung dan bucket hat, sneakers, dan senyum ceria. Karyawan yang berpapasan dengan Kanaka di koridor pasti disapa akrab. Sikap Kanaka sebagai atasan berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Pak Wis yang selalu ketus.

Kantor Kanaka juga memiliki studio khusus untuk pemotretan katalog produk dan pemasaran. Sekat-sekat berdiri dengan tempelan mood board dan sketsa konsep koleksi fashion muslim terbaru. Rayyan yang diminta jadi model dadakan dibawa ke ruangan ini. Sudah ada stylist dan asisten desainer menunggu, langsung menyapa Rayyan ramah dan mengajak berkenalan.

Rayyan agak canggung menerima jabat tangan mereka.

"Mas Rayyan?" Kanaka tiba-tiba berbisik di belakang bahunya.

"Iya?"

"Jangan bilang ke anak-anak kalau Mas Rayyan ini OB di kantornya Pak Wis, ya."

"Kenapa, Mbak?"

"Mas Rayyan, saya enggak mau bilang OB itu kerjaan rendahan. Itu kerjaan halal dan baik. Cuma Mas Rayyan enggak perlu ngenalin diri di mana Mas Rayyan kerja. Anak-anak taunya Mas Rayyan itu model freelance yang saya rekrut."

"Oh, iya, Mbak." Rayyan diam sebentar. "Kenapa Mbak Kanaka milih saya yang jadi model?"

Kanaka tak sempat menjawab pertanyaan itu. Dua asisten desain sudah menarik Rayyan ke balik sekat dan menyerahkan beberapa setelan busana.

Rayyan sempat membayangkan ia diminta memakai setelan eksekutif muda tampan dan dasi lagi, tetapi ternyata bukan.

Rayyan diminta jadi model baju koko syar'i.

*

Rayyan awalnya diprotret untuk katalog dua belas model baju koko.

Karena hanya berupa foto katalog, Rayyan cuma perlu meluruskan punggung dan melihat kamera dengan tatapan mata tajam. Cekrek-cekrek. Tak perlu pose susah. Aman. Sampai detik ini Rayyan berhasil meyakinkan banyak orang di kantor Kanaka bahwa dirinya bukan mantan kuli yang sekarang bekerja jadi OB.

Namun, tanpa Rayyan sadari, karyawan Kanaka sejak tadi banyak yang mencuri-curi lihat wajah Rayyan. Dari fotografer sampai penata rias Kanaka percaya Rayyan sungguhan model freelance.

"Ihhhh, Kana! Bagus kali badannya itu, mukanya pun cucok kali kutengok. Nemu aja kau yang cakep-cakep, ya, Kana!" Asisten Kanaka, lelaki botak dengan bulu mata yang panjang, kelihatan kesengsem sama Rayyan. Namanya Mas Ginting. Gaya bicaranya separuh logat Medan dan Jakarta, tetapi gayanya sedikit melambai dan jari kelingkingnya suka naik. Sepertinya Mas Ginting bisa menjadi kawan akrab Mas Dicky di kantor Rayyan.

Kanaka senyum-senyum. "Gue selalu bisa nemu rough diamond, kan?"

"Kok, gue enggak pernah ngeliat dia di mana-mana, ya? Minta Instagram-nya Mas Rayyan, dong. Jangan-jangan Mas ini yang pernah main FTV 'Suamiku Pengembala Bebek Ganteng' itu, bukan, sih?" Asisten Kanaka lainnya ikut menyahut.

Rayyan menjawab kebingungan itu. "Bukan, Mbak. Saya cuma pernah jadi bintang iklan aja pas SMA dulu. Saya enggak punya media sosial."

Kanaka menambahkan, "Mas Rayyan ini memang enggak suka main medsos."

Mas Ginting kelihatan marah. "Yang betul aja dia? Masak belum punya TikTok dan Instagram?! Padahal model freelance! Cemana cara jualannya?"

"Maaf saya dari dulu memang gaptek," tambah Rayyan, sembari melirik ke arah Kanaka. "Dulu saya pernah bikin Facebook, terus lupa password dan enggak keurus sama sekali."

Kanaka bertepuk tangan. "Nah! Gue juga baru kepikiran, mungkin kita bisa bantuin Mas Rayyan bikin akun medsos. Mas Rayyan kan bakal jadi model tetap kita, nih."

"Setuju kali seratus buat Bu Kanaka!"

"Enggak usah, Mbak—" Rayyan angkat tangan.

"Harus, Mas. Karena Mas Rayyan bukan cuma jadi model katalog aja. Mas Rayyan juga perlu bikin video-video TikTok buat brand kita."

" ... Maksudnya, Mbak?"

Rayyan belum pernah membuka yang namanya aplikasi TikTok, apalagi bikin video.

Kanaka dan para asisten minta Rayyan berakting di depan kamera. Aktingnya sederhana, bukan berdialog, ia cuma harus berjalan tampan ke arah kamera dengan baju koko merah, dengan senyum dan mata yang tajam, lalu video di-pause, Rayyan kembali dengan baju koko biru sambil melompat, lalu berganti lagi dengan baju koko putih, seterusnya. Butuh beberapa kali take untuk menyelesaikan video itu.

"Eh, gue ada ide, gimana kalau Mas Rayyan pura-pura buka baju di depan kamera, terus muter, terus pas muter lagi udah pake baju lain lagi. Seksi gini biar bisa FYP!"

"Enggak bisa! Astaghfirullah, ini koleksi syar'i, jangan yang menggugah syahwat ibu-ibu dan mas-mas tulang lunak! Harooom!"

"Mas Rayyan pakai baju koko begini aja udah bikin banyak penonton klepekan dan memimpikan imam keluarga, kok."

Rayyan menyimak diskusi lucu antara Kanaka dan karyawannya sambil geleng-geleng kepala. Memangnya video seperti ini bisa menjual? Rayyan tak paham.

Jawabannya sangat bisa. Karena Kanaka Jayanti, dengan followers berjumlah jutaan, mengadakan live di TikTok dan Instagram sementara Rayyan diminta untuk berganti pakaian dan hadir di depan kamera.

"Teman-teman, ini dia koleksi yang mau aku launching bulan ini!" Kanaka meletakkan kameranya di tripod sambil bicara.

Mas Ginting ikut bicara sambil berkaca di depan kamera. "Ayo, ayo, wak wak yang punya adek cowok, kakak cowok, pacar, suami, saudara merapat dulu kelen semua. Lihat, nih, Bun, betapa gagahnya suami atau calon imam kelen kalau pakai baju koko dari KaJa Design, ya, kaan!"

"Bener. Masyaallah!"

Selagi kata-kata "calon imam" mengudara, Rayyan diminta untuk maju ke arah kamera memamerkan model baju koko tersebut.

"Ini cuma ada sisa sedikit karena aku buatnya terbatas," Kanaka berkata supaya para penonton langsung panic buying. "Jadi please langsung hubungi adminku sebelum kehabisan. Mas Rayyan coba muter."

Rayyan berputar memperlihatkan punggungnya.

"Liat keren kali bagian belakangnya ada potongan khas tenun ikat. Mau dipakai kondangan ayok, mau dipakai foto keluarga ayok. Cepat beli, Bun! Jangan sampai kelen mimpi-mimpi, terus nyesel, bukan tanggung jawab kami. Nah, cobak Mas Rayyan balek badan lagi ke depan, nih liat—"

Rayyan berputar lagi ke depan.

Karena ia cukup dekat dengan tablet dan HP yang Kanaka pasang, Rayyan jadi bisa mengintip sedikit komentar-komentar yang dikirimkan para penonton live.

"Baju-bajunya bagus banget. Kalau lbh murah dikit lbh bagus."

"Masnya cakep bgt. Mau dong IG Masnya."

"Masnya ganteng mukanya kayak siapa tuh aktor thailand yang macho."

"Adminnya no response."

"Yang merah berapaan."

"masnya berapaaaan."

"Mau sama masnya yang pake baju koko."

Jumlah penonton terus bertambah. Sekarang sudah di atas sepuluh ribu penonton.

Rayyan tanpa sengaja melihat sesuatu di antara komentar.

Shouki Wisanggeni bergabung dalam live.

Rayyan diam.

Sebelum Rayyan bisa memastikan apa yang ia lihat, Kanaka dan tim sudah menarik Rayyan untuk berganti pakaian lagi. Selagi Mas Ginting sibuk berkoar-koar jualan.

*

*

Kanaka membayar Rayyan dengan harga yang lebih dari cukup.

"Mas, ini saya kasih fee yang memang setara dengan fee untuk para model freelance." Kanaka menyerahkan sebuah amplop kepada Rayyan.

Rayyan merasakan amplop itu tebal dari luar dan dia harus menghitung sambil menelan ludah. "Mbak Kanaka, ini enggak kebanyakan? Ini udah setara gaji saya sebulan—Saya bukan model sungguhan."

"Enggak, kok, Mas. Saya benar-benar terbantu dengan Mas Rayyan hari ini. Live kita sukses. Video-video di TikTok dan Instagram juga cepet banget naik engagement-nya. Saya serius juga mau bantu Mas Rayyan bikin akun media sosial. Mas Rayyan nanti bisa punya kerja sampingan selain jadi OB. Tadi aja rame yang nanyain akun Instagram Mas Rayyan di chat. Coba dibayangin kalau udah punya akun sendiri. Mas Rayyan punya potensi bisa terkenal, lho."

"Duh, saya enggak bisa bayangin, masa seorang OB bisa jadi selebgram kayak Mbak Kanaka."

"Lho, jangan salah, Mas Rayyan. Kalau Allah sudah berkehendak, apa yang enggak mungkin? Banyak yang jadi artis hidupnya susah dulu, nguli dulu, dari jadi OB dulu."

Kanaka benar. Kalau Tuhan sudah berkehendak, apa saja bisa terjadi. Yang tinggal di kolong jembatan kemarin sore bisa saja menang uang kaget jadi jutawan. Dan ada orang yang sudah kaya dari lahir bisa saja jatuh miskin dalam waktu singkat. Ha ha. Rayyan sendiri contoh nyatanya.

"Ya, kita enggak usah muluk-muluk ngebayanginnya. Mulai aja dulu dari bikin akun sendiri. Eh, tapi kalau udah terkenal nanti, jangan lupain saya Mas Rayyan, saya juga mau di-folbek Mas Rayyan, ya." Kanaka tertawa.

Tawa Kanaka tulus. Kanaka sebaik yang orang-orang bicarakan tentangnya, bahkan lebih baik dari yang selama ini Rayyan pikir.

Dalam diam Rayyan tersenyum lembut.

Shouki Wisanggeni sungguh beruntung punya tunangan sebaik ini.

Rayyan mengenali perasaan aneh di dadanya.

Masih bingung apakah ini perasaan cemburu atau iri. Barangkali perpaduan keduanya. Atau mungkin ada perasaan lain. Perasaan ... senang? Senang untuk Pak Wis yang memiliki calon istri idaman banyak lelaki. Cantik, kaya raya, baik, salihah. Cocok sekali mereka berpasangan.

Pasangan dan karier yang Rayyan tak mungkin miliki atau mimpikan saat ini.

Kanaka menelengkan kepalanya. "Mas Rayyan? Kok, senyum-senyum sendiri? Hayo, mikirin siapa?"

Rayyan terkekeh. "Maaf, Mbak, saya cuma ngerasa beruntung aja bisa ketemu Mbak Kanaka dan dapat kesempatan ini. Mbak Kanaka memang baik banget. Pak Wis beruntung banget bisa punya calon istri yang ... yah, saya bisa bilang Mbak Kanaka dan Pak Wis ini power couple. Sama-sama punya perusahaan. Sama-sama sukses." Rayyan mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar, meski mungkin ia luput membuat matanya tersenyum.

Kanaka menatap mata Rayyan dan diam sebentar.

Apa Rayyan salah bicara? Barangkali ia terlalu sok akrab. Rayyan berdeham dan buru-buru mengganti topik. "Kalau boleh tahu, kenapa saya yang dipilih jadi model? Mbak Kanaka bisa hire banyak model profesional sungguhan." Rayyan menurunkan volume suaranya, sembari menatap beberapa karyawan yang berjalan di koridor. "Kenapa saya?"

Pertanyaan itu dijawab sedikit lama. Kanaka memutar sedikit bucket hat yang ia kenakan di atas kerudung, sembari matanya bergerak ke arah kanan. "Yah, ini kata anak-anak, dan kata Pak Wis juga ... kalau saya itu punya mata yang bagus kalau nilai sesuatu. Pas ketemu Mas Rayyan pertama kali, saya langsung bisa ngeliat Mas Rayyan ini sosok yang pinter, dan menarik, saya jadi enggak pikir dua kali nawarin Mas Rayyan jadi model saya."

Rayyan tersenyum. "Padahal masih banyak OB lain yang lebih ganteng dari saya."

"Enggak ada, Mas! Adanya cuma di cerita-cerita drakor atau di novel kayaknya." Kanaka tertawa. "By the way, Mas Rayyan enggak langsung balik ke kantor, kan? Mau nemenin saya, enggak?" pinta Kanaka.

"Nemenin ke mana, Mbak?"

"Jenguk Pak Wis di rumah sakit, yuk," jawab Kanaka, tersenyum. "Tadi Pak Wis juga ikut nonton live kita dan nge-like foto-foto Mas Rayyan, lho."

Rahang Rayyan mendadak kaku.

*

Sudah tiga hari sejak Pak Wis dirawat inap. Menurut Kanaka, Pak Wis sudah makin baik kondisinya dan kemungkinan bisa pulang ke rumah besok.

Rayyan sebetulnya belum siap bertemu Pak Wis secepat ini. Namun, kamu tahu wanita memang sering peka perasaannya. Kalau Rayyan menolak ajakan Kanaka untuk menjenguk, wanita itu bisa curiga. Tak ada alasan untuk menolak. Dengan dada yang sedikit tak nyaman, ia mengangguk mengiyakan.

Tadinya Rayyan pikir Pak Wis dirawat di rumah sakit milik konglomerat yang lobinya semewah hotel bintang lima. Ternyata Pak Wis memilih menginap di rumah sakit umum biasa, yang bisa dibilang golongan menengah ke bawah. Pun begitu, Pak Arian tetap memesan kamar VIP terbaik di rumah sakit itu untuk Pak Wis. Kamar paling ujung. Rayyan meremas handel keranjang buah saat Kanaka mendorong pintu itu terbuka.

Ada harum pewangi jeruk di dalam kamar itu. Kamar yang bersih, tetapi terasa kosong.

Pak Wis, di ranjang itu, sedang bersandar dalam keadaan setengah duduk pada bantal yang ditumpuk. Rayyan tak tahu apakah pria itu sedang tidur atau sadar. Topi bucket yang dikenakan Kanaka menutupi pandangan Rayyan sesaat.

Kanaka mengambil keranjang buah dari tangan Rayyan sambil berterima kasih, lalu meletakkannya di meja untuk Pak Wis.

"Wis, gimana kondisi kamu hari ini?" tanya Kanaka dengan suara lembut. "Aku ke sini ditemani Mas Rayyan. Tadi aku udah izin Pak Arian. Gapapa kan Mas Rayyan aku mintai tolong jadi modelku?"

Pak Wis tidak tidur. Dia menatap kalem ke arah tunangannya dan ke arah keranjang buah di atas meja.

Lalu, mata itu menatap arah Rayyan.

Tatapan mata itu kosong.

Diam, Rayyan memilih berdiri di ambang pintu, tak berani melangkah masuk.

Pak Wis hanya melirik Rayyan sebentar, lalu menatap balik Kanaka lagi. "Aku udah enakan," katanya. Dari cara bicara Pak Wis, terdengar seolah-olah pria itu berusaha menenangkan dirinya.

"Kamu udah makan? Di bawah ada bakery, lho ... aku mau belikan roti kesukaan kamu," kata Kanaka, lalu menoleh ke Rayyan. "Mas Rayyan jaga Pak Wis dulu, ya. Saya mau turun sebentar."

"Eh, saya aja yang belikan roti buat Pak Wis, Mbak—"

"Enggak usah, saya aja," potong Kanaka. "Sekalian saya mau turun nebus obat. Bentar aja, kok."

Wanita itu keluar dengan langkah mengentak cepat.

Rayyan diam.

Pak Wis diam.

Pak Wis melihat ke arah luar jendela.

Rayyan melihat wajah pria itu dari samping, melihat dadanya yang naik turun pelan.

" .... "

" .... "

Pak Wis menoleh tiba-tiba ke arah nakas di samping ranjang. Tangannya terjulur. Sepertinya ia mau mengambil gelas air putih.

Rayyan spontan masuk ke ruangan, mengambilkan gelas itu untuk Pak Wis.

Pak Wis menahan napas sebentar. Pelupuk matanya turun. Ia mengambil gelas itu dari tangan Rayyan tanpa kata, minum, lalu meletakkannya lagi di sudut nakas. Rayyan membantu menggesernya agar gelas berada di tengah nakas, lebih aman.

Setelah itu, Rayyan mundur hingga betisnya menyentuh sofa, sejauh mungkin dari ranjang.

"Pak Wis," Rayyan memulai setelah ia menarik napas panjang, "Saya datang jenguk Bapak... diajak Mbak Kanaka."

Pak Wis menatap Rayyan kini. Namun, tatapan itu masih kalem, kosong.

"Saya juga datang ke sini mau minta maaf."

"Kenapa? Maaf kenapa?" tanya Pak Wis serak.

"Karena saya, Bapak sampai masuk rumah sakit. Saya enggak tau Bapak mungkin ada trauma sama dasi. Saya minta maaf lancang ngalungin dasi itu ke leher Bapak. Bapak jadi panic attack dan—"

Hening.

"Semua ini salah saya. Maaf, Pak Wis." Rayyan sedikit membungkuk.

Pak Wis menatap.

Sedetik kemudian, gigi pria itu bergemeretak dan tangannya mengepal. Pak Wis meremas selimutnya, kelihatan berusaha keras untuk menarik napas dalam-dalam, lalu membuang napas dengan keras.

Tenggorokan Rayyan menyempit.

Seperti yang ia duga, Pak Wis juga belum siap untuk bertemu dengannya saat ini.

Suatu kesalahan Rayyan datang kemari.

"Kalau ... Kalau kehadiran saya dirasa membuat Bapak enggak nyaman ... saya izin keluar," ucap Rayyan.

"Ya, pergi," kata Pak Wis. "Pergi aja kamu."

Rayyan mengangguk, berbalik untuk pergi.

Pak Wis berkata lagi, "Kamu selalu pergi, kan?"

" .... "

Langkah Rayyan terhenti.



Bersambung

Update berikutnya mau kapan?

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 203K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.2M 33K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.9M 144K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
58.2K 4.1K 32
Ini cerita Ksatria. Bukan Ksatria baja hitam, ya, bukan. Apalagi Ksatria bertopeng, iyuuuhh bukan banget. Ini kisah Ksatria Danadyaksa. Cowok ngondek...